Source Image : pixabay.com |
Aku memandang cahaya bulan yang terang dari atas balkon rumahku.
"Ayah..." desisku. Aku melihat wajahnya tersenyum dalam terangnya bulan purnama.
Almarhum ayahku bernama Purnama. Dan dia sangat senang jika bulan purnama datang. Dia selalu mengajakku bermain di luar rumah. Menikmati indahnya bulan sambil menyanyikan gending-gending jawa. Walau aku tak mengerti, tapi aku selalu menikmatinya hingga aku tertidur di pangkuannya.
"Ayah... aku rindu. Aku kesepian tanpamu. Aku rindu semua hal yang ada pada dirimu. Aku rindu terlelap dalam dekapmu." Aku menghela napas. Tak seharusnya aku terus memikirkannya. Seharusnya aku mengirimkan do'a-do'a agar Ayah bahagia di Surga. Sudah sepuluh tahun Ayah meninggal, kenangan tentangnya tak kan pernah bisa terhapuskan. Aku bukan lagi gadis kecilnya yang akan terlelap di pangkuannya. Tapi, aku selalu merindukan kisah itu, kisah yang takkan pernah terulang selamanya.
Tin... tin... tin...
Bunyi klakson motor membuyarkan lamunanku. Al melambaikan tangannya ke arahku. Aku segera turun untuk menyambutnya di depan pintu. Al, pemilik nama lengkap Aiktimal Al-Qamar adalah pria yang aku kenal beberapa bulan lalu. Hampir setiap malam ia datang ke rumah. Aku tahu, dia sangat menyukaiku walau tak pernah ia ungkapkan.
Al adalah pria yang baik. Aku tahu dia sedang proses pedekate denganku. Tapi, dia belum menyatakan perasaannya. Dia tidak pernah mengajakku nonton film di bioskop, katanya nonton di bioskop itu banyak setannya, takut khilaf. Dia juga tak pernah mengajakku keluar rumah walau sekedar mencari makan. Ia selalu datang membawakan makanan dan cemilan favoritku. Ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk mencuri perhatian Mama.
"Tumben bawa gitar?" Aku menatap gitar yang bersandar di punggungnya.
Al tersenyum. "Malam ini bulan purnama, aku ingin bernyanyi bersamamu di taman."
"Nih!" Al menyodorkan beberapa kantong plastik yang sudah bisa kutebak apa isinya.
"Masuk!" pintaku, mengajak Al menuju taman belakang rumahku.
Al sudah duduk manis sambil mengetem gitarnya. Aku bergegas ke dapur untuk mengambil piring.
"Ada Al?" tanya Mama.
Aku mengangguk. Sibuk membuka kantong platik berisi beberapa potong martabak telur dan cemilan lainnya. Mengambil piring dan menyusunnya dengan rapi.
"Biar Mama yang buatkan minum!" pinta Mama.
Aku menatapnya tajam. Mengernyitkan dahi. "Tumben?" batinku. Tak banyak berpikir, aku langsung bergegas menghampiri Al.
"Sudah habis berapa album?" Aku duduk di sisi Al.
Al tersenyum ke arahku. "Baru kelar aku stem."
"Owh, Oke. Kita mau nyanyi apa nih?" tanyaku.
"Karena ini malam purnama, gimana kalau kita nyanyikan lagu 'Purnama Merindu'?" Al memberi saran.
"Boleh."
Al mulai memainkan gitarnya. Aku dengan fasih menyanyikan lagu 'Purnama Merindu' milik Siti Nurhaliza. Aku menyandarkan punggungku di punggung Al. Kami saling menikmati cahaya purnama yang indah. Suasana yang sederhana tapi terasa sangat romantis. Ah, andai saja Al adalah kekasihku. Aku seperti sedang mengulang kisah romantis bersama Ayahku sepuluh tahun lalu.
"Ran... apa yang kamu pikirkan ketika melihat purnama?" tanya Al saat mengakhiri sebuah lagu yang kami nyanyikan.
"Ayah... Karena namanya Purnama. Jadi, setiap purnama aku selalu mengingatnya." tuturku sambil memandang cahaya bulan yang indah.
"Namaku juga artinya Bulan Purnama. Apa kamu juga akan mengingat Al-Qamar saat purnama?" tanya Al.
Jantungku berdegup kencang. Bibirku tiba-tiba beku. Dalam hati ingin berkata 'iya'. Tapi bibirku tak mampu berucap.
Al diam. Tak ada kata yang terucap di antara kami selama beberapa saat. Aku memandang lekat sang rembulan. Ada wajah yang sedang tersenyum di sana, wajah Ayah yang kemudian berubah menjadi wajah Al. Kenapa ada wajah Al? Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Namun bayangan wajahnya tak hilang juga. Apa iya aku sebenarnya sedang memikirkan dia?
"Apa yang sedang kamu pikirkan Al?" tanyaku dengan napas tersengal.
"Kita." jawabnya santai.
"Ada apa dengan kita?" Aku membalikkan tubuhku bersamaan dengan Al. Al menatapku tanpa berkedip.
"Ayoo... Al! Katakan! Katakan kamu mencintaiku!" batinku dalam hati. Berharap dia bisa mendengar isi hatiku.
Al menggenggam kedua tanganku. "Kita...." wajah Al memerah karena gugup.
Aku mengernyitkan dahi? Kenapa dimulai dari kata 'Kita'? Bukankah saat menyatakan cinta harusnya dimulai dari kata 'Aku mencintaimu' atau kata 'Kamu mau tidak jadi pacarku?'. Kenapa dia pakai kata kita? Ah, jelas-jelas dia hanya menganggap kita hanya bersahabat.
"Kita kenapa?" tanyaku makin tak sabar.
"Kita... kita... " Al menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kamu kenapa sih, Al? Aneh banget!" celetukku.
Al menarik napas, menghembuskannya lagi. Ia lakukan berkali-kali. "Sebentar, aku bingung harus mulai dari mana," tuturnya.
"Tadi sudah mulai dari kata Kita. Lanjutin aja!" pintaku. Menahan tawa melihat tingkah Al yang lucu.
"Oke. Kita... kita... kita menikah! Maukah kita menikah?" Al menatapku tajam.
Aku tertawa geli melihat wajahnya.
"Kok malah diketawain? Aku serius! Kamu nggak cinta ya sama aku?"
Aku terkekeh. "Iya deh, aku cinta sama kamu."
"Kenapa iya deh? Kesannya kamu terpaksa mencintai aku."
"Emang kamu cinta sama aku?" tanyaku balik.
"Kalau nggak cinta, nggak mungkin aku ngajak kamu menikah!" ungkapnya sebal.
"Hmm... iya, aku cinta sama kamu," tuturku lirih.
"Serius dong ngomongnya! Aku nggak dengar, Rania!" Al balik menggodaku.
"Aku cinta sama kamu," bisikku.
"Apa? Aku nggak dengar!"
"Aku cinta sama kamu Aiktimal Al-Qamar, Purnamaku!" teriakku.
Al tersenyum, kembali memetik senar gitarnya. Menyanyikan lagu-lagu romatis hingga aku terlelap di pangkuannya. Sosok Ayah ada dalam diri Al. Itulah sebabnya aku selalu nyaman ada di dekat Al.
Ayah, mungkin ragamu memang pergi jauh. Tapi hatimu tak pernah pergi. Bahkan hatimu menjelma menjadi malaikat penjagaku. Aku tahu, Ayah selalu mengawasi dan menjagaku. Mempertemukan aku dengan laki-laki yang mampu menjaga dan menemaniku, sama seperti yang Ayah lakukan dahulu. Terima Kasih untuk cintamu Ayah Purnama, Purnamaku...
0 komentar:
Post a Comment