BAB 1
-Tanpamu-
“Ran, Bapak sama Emak berangkat dulu ya! Jaga adik-adik di rumah dengan
baik.” Pamit Mak Yati pada ketiga anaknya. Mereka berencana ke kota untuk
memenuhi undangan.
“Iya Mak. Bapak sama Emak hati-hati ya!” Ranti mencium bahu tangan kedua
orang tuanya. Diikuti oleh kedua adiknya yang masih kecil.
“Nanti Sinta dibelikan sepeda ya Pak!” pinta Sinta yang baru menginjak
usia empat tahun.
“Iya Sayang. Nanti Emak belikan sepeda buat Sinta. Sinta di rumah yang
pinter ya! Jangan nakal, jangan bikin repot Mbak Ranti. Juga jangan cengeng!”
pesan Mak Yati sambil mencium kening Sinta.
“Andi, jaga adik kamu baik-baik ya! Jangan kelahi! Andi kan laki-laki
sendiri. Harus bisa jagain Adek Sinta dan Mbak Ranti ya!” Pak Dillah
menambahkan.
Andi mengangguk tanda mengerti.
Pak Dillah dan Mak Yati bergegas pergi dengan sepeda motor bututnya.
Meninggalkan ketiga anaknya yang masih memandangi tubuh kedua orang tuanya di
depan pintu rumah hingga mereka tak dapat terlihat lagi.
Ranti bergegas masuk ke dalam rumah, mengajak kedua adiknya bermain di
dalam rumah. Menutup pintu rapat-rapat agar Sinta tidak keluar rumah sendirian.
“Kak, nanti Sinta mau dibelikan sepeda." Sinta pamer pada
kakak keduanya.
“Iya, pasti sepedanya bagus ya?” Andi tersenyum, menyenangkan hati adiknya.
“Iya dong. Nanti Kak Andi boleh pinjam kok. Nanti gantian
pakainya.” Sinta tersenyum sembari menyisir rambut boneka kesayangannya.
“Kak Andi kan sudah punya sepeda. Nanti sepedanya Sinta
pakai sendiri saja,” balas Andi.
“Tapi, sepedanya Kak Andi kan sudah jelek,” gumam Sinta.
“Nggak Papa. Kan masih bisa dipakai.” Andi sambil menatap sepeda miliknya
dari balik jendela. Sepeda itu ia sandarkan di bawah pohon kelapa, tepat di
samping rumah. Sepeda itu warisan dari Mbak Ranti. Sehingga keadaannya
sudah tidak bagus lagi. Standartnya sudah putus hingga tidak bisa menopang
tubuh sepeda saat tak dipakai. Remnya juga sudah rusak, Andi memasang potongan
sandal di atas bannya, potongan sandal itulah yang ia gunakan untuk menahan
bannya berputar saat mau berhenti. Warnanya juga sudah usang dan berkarat.
Tapi, Andi masih memakainya karena cuma itu yang ia punya. Ia tidak mau
merepotkan kedua orangtuanya dengan merengek meminta sepeda baru.
Ranti mendengarkan percakapan mereka dari bilik dapur. Sesekali ia
memperbaikai dan meniup kayu bakar yang terkadang mati jika ditinggalkan.
Tangannya sibuk memotong sayur kangkung yang ia petik dari belakang rumah. Satu
jam kemudian, nasi, sayur kangkung dan ikan asin goreng sudah siap di atas meja
dapur. Ia mengajak kedua adiknya untuk makan bersama.
“Sinta mau teh!” Sinta merengek, menepis tangan Ranti saat memberikan
air putih.
“Sebentar ya Mbak buatkan.” Ranti bergegas menuju termos yang berisi air
panas. Menuangkan satu setengah sendok gula dan teh ke dalam gelas. Kemudian
menuangkan air panas ke dalam gelas.
Tarrrr....!
Tiba-tiba gelas yang diisi air panas pecah diiringi teriakan kecil Ranti,
sebab kakinya terkena percikan air panas.
“Kenapa Mbak?” Andi bergegas menghampiri Ranti.
“Nggak Papa. Sepertinya gelas ini memang sudah rapuh.” Ranti
gelisah. Tiba-tiba jantungnya berdetak hebat. Tubuhnya gemetar,
wajahnya memucat. Hatinya di serang perasaan gelisah. Bayangan kedua orang
tuanya bergelayut di pikirannya. "Semoga Bapak dan Emak baik-baik saja,"
batin Ranti sembari mengaduk teh hangat yang untuk Sinta.
Usai makan, Sinta dan Andi kembali bermain bersama. Sinta asyik
berlari-larian hingga terjerembab di teras rumah. Lutut kirinya lecet dan itu
membuatnya tidak berhenti menangis. Ranti semakin bingung. Karena Sinta sulit
sekali untuk dihibur, bahkan lukanya tidak boleh tersentuh sedikit saja apalagi
diberi obat.
“Bapak sama Emak lama ya Ndi? Ini sudah hampir senja. Biasanya selepas Ashar mereka
sudah kembali. Sinta juga nggak berhenti-berhenti nangisnya.” Ranti mulai
gelisah. Ia terus menggendong Sinta yang masih menangis.
“Ia Mbak, kok belum pulang juga ya? Biasanya kalau ke kota
itu jam segini sudah pulang. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Bapak dan
Emak.” Andi tak kalah gelisah.
"Hush..! Jangan bicara seperti itu. Mereka pasti baik-baik saja.
Mungkin mereka terlambat pulang karena masih mencari sepeda yang bagus untuk
Sinta." Ranti menatap lembayung senja dari teras rumahnya. Sungguh,
hatinya sangat gelisah. Namun ia tak ingin menunjukkan kepada kedua adiknya.
“Ranti...!” Pak Yogi , ketua RT datang dengan tergopoh-gopoh. Diikuti
beberapa warga dibelakangnya.
Ranti menatap mereka penuh tanya. Tidak biasanya warga datang beramai-ramai
ke rumahnya, kecuali di hari raya. Lagi pula kedua orang tua mereka sedang
tidak di rumah.
“Ada apa Pak? Emak sama Bapak sedang tidak di rumah.” Ranti menatap wajah
Pak Yogi yang gelisah.
“Ayo masuk dulu ke rumah! Bapak mau bicara denganmu.” Pak Yogi masuk
ke dalam rumah Ranti dan duduk bersama.
Pak Yogi mengerutkan kening dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal setiap
kali menatap ketiga wajah polos yang ada di hadapannya.
"Kamu saja yang sampaikan, Man! Saya bingung." Pak Yogi
menyenggol lengan salah seorang warga.
"Bapak saja. Bapak ketua RT." Yang ditunjuk malah menunjuk balik.
Bahkan mereka saling tunjuk dan berbisik.
Hal ini membuat Ranti curiga. Ranti menatap wajah Pak Yogi dan beberapa
warga satu per satu. Semuanya terlihat bingung. Sama bingungnya dengan Ranti.
"Mmm... begini Nak Ranti." Pak Yogi berdehem untuk memulai
pembicaraannya.
"Ya, Pak?" Ranti menatap Pak Yogi penuh tanya.
Pak Yogi kembali menggaruk kepalanya. Menoleh ke beberapa warga yang
memberikan semangat untuk melanjutkan kalimatnya.
“Ran... baru saja Bapak dapat telpon dari rumah sakit." Suara Pak Yogi
tercekat. "Bapak dan Emak kamu kecelakaan, nyawanya tidak dapat
tertolong.” Pak Yogi menahan napas di dadanya. Menyaksikan ketegangan di
wajah Ranti.
Deg... jantung Ranti terasa berhenti berdetak. Kalimat yang keluar dari Pak
Yogi bagai sambaran petir yang menyerang tubuhnya jutaan kali. Air matanya
tumpah begitu saja. Teriakkannya histeris memanggil nama kedua orang
tuanya. Nama yang tak akan pernah lagi mendengar panggilannya apalagi
menyahut. Ia terus menangis histeris. Beberapa warga mencoba menenangkannya.
"Sabar Ranti.. ini sudah takdir Allah. Kamu harus kuat!" Bu Yogi
memeluk tubuh Ranti yang masih memangku adik bungsunya. Adik bungsunya masih
menangis kesakitan karena jatuh, ia belum mengerti apa itu kematian.
Ranti terus terisak dalam pelukan Bu Yogi. "Ranti gimana kalo Bapak
sama Emak nggak ada, Bu? Andi dan Sinta masih kecil-kecil."
Bu Yogi menelan ludah mendengar ucapan Ranti. Ia hanya bisa mengelus-elus
bahu Ranti. Tak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya. Hanya air mata yang
membasahi pipinya. Menyaksikan tiga anak kecil yang tiba-tiba ditinggalkan
kedua orang tuanya. Mereka masih terlalu kecil untuk merawat diri mereka
sendiri. Bagaimana nasib mereka tanpa orang tua?
Sementara Andi meringkuk di sudut ruangan. Ia tak kuasa menahan air matanya
berderai. Membenamkan wajahnya dalam-dalam di lipatan tangan dan kakinya. Ia
masih tak percaya jika Bapak pergi meninggalkan mereka. Pergi meninggalkan Andi
yang baru saja mendapatkan kebahagiaan karena akhirnya bisa mengenakan seragam
merah putih. "Baru kemarin Bapak bilang Andi gagah dengan seragam
sekolah yang baru. Kenapa sekarang Bapak malah pergi? Andi baru punya satu
seragam. Bapak belum lihat Andi pakai seragam putih abu-abu. Bukannya Bapak
pengen lihat Andi bisa sekolah tinggi?" batin Andi dalam tangisnya.
Cerita Selanjutnya ...
0 komentar:
Post a Comment