BAB 2
-Gubuk Kecil-
Ranti menatap pusara kedua orang tuanya yang baru saja di pasang di atas
gundukan tanah yang masih basah. Tangannya perlahan menaburkan bunga-bunga ke
atasnya. Matanya sembab, namun air matanya tak lagi bisa mengalir. Air matanya
telah habis, ia hanya sesenggukan tanpa air mata yang membanjiri
tubuhnya.
Tatapan Ranti menerawang jauh pada beberapa tahun silam saat masih bersama
dengan kedua orang tuanya. Kenangan itu membuat air matanya kembali menetes
sedikit demi sedikit. Namun, segera ia usap dengan kerudungnya. Ia tak ingin
tangisnya semakin memberatkan kepergian Bapak dan Emak. Dia harus ikhlas dengan
semua ini.Dia harus kuat menjalani hidup demi kedua adiknya yang masih kecil.
"Ran, ayo pulang!" Bu Yogi membuyarkan lamunan Ranti.
"Ranti masih mau di sini, Bu."
"Kamu sudah terlalu lama di sini. Lihatlah hari sudah beranjak senja.
Ayo kita pulang!Kita persiapkan tahlilan untuk kedua orang tuamu." Bu Yogi
mengusap pipi Ranti yang basah.
Ranti mengangguk. Dengan berat hati ia meninggalkan pusara kedua orang
tuanya. Kembali ke rumah. Rumah yang penuh kenangan bersama kedua orang tuanya.
"Bapak sama Emak mana Mbak? Katanya mau belikan Sinta sepeda. Kok nggak
pulang-pulang?" Sinta mencecar pertanyaan saat Ranti baru sampai di
rumahnya. Pertanyaan yang sangat menyesakkan di dada Ranti.
"Mbak Ranti mandi dulu ya!" Ranti mengusap pipi Sinta. Bergegas
menuju sumur yang ada di belakang rumahnya. Ia harus bergegas mandi sebelum
gelap menutupi pandangannya untuk kembali ke rumah.
Sementara Andi menarik lengan adiknya untuk masuk ke dalam kamar. Ia
mengajak adiknya bermain di kamar agar tidak menganggu ibu-ibu tetangga yang
sedang membantu memasak di dapur mereka untuk tahlilan arwah kedua
orang tua mereka.
"Kak, kenapa orang ramai-ramai di rumah kita?" tanya Sinta. Ia
mendengar riuh suara ibu-ibu yang sedang sibuk berjibaku di dapur kecil milik
mereka.
"Mereka sedang membantu Mbak Ranti memasak." Andi menatap wajah
Sinta yang masih polos.
"Bukannya Mbak Ranti sudah bisa masak sendiri? Kenapa harus dibantu?
Mbak Ranti sakit?" tanya Sinta lagi.
"Karena hari ini Mbak Ranti mau masak yang banyak untuk kita."
Andi kembali mengajak adiknya bermain, agar Sinta tak lagi bertanya perihal
keramaian di dalam rumahnya. Andi tidak tahu bagaimana menjelaskan pada Sinta.
Bahkan dia sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya. Ia hanya rindu, sangat
rindu pada Emak dan Bapak. Biasanya, jam segini Bapak sudah mengajak Andi bersiap
pergi ke Surau. Bapak biasa menjadi muazin untuk memanggil orang-orang datang
ke Surau. Andi bahkan sudah bisa menjadi muazin seperti Bapaknya. Namun, ia
belum memiliki keberanian untuk mengeluarkan suaranya di depan pengeras suara
Surau.
Tanpa disadari, air mata Andi jatuh bulir demi bulir. Merindukan sosok
Bapak yang selama ini menjadi panutan.
"Kenapa nangis?" Suara Sinta membuyarkan lamunan Andi.
"Nggak papa. Kakak cuma kelilipan matanya." Andi mengusap matanya
yang basah.
"Bapak sama emak mana ya? Katanya mau belikan sepeda baru buat Sinta.
Kok nggak pulang-pulang?" Sinta menatap jendela kamar.
Hari mulai gelap, satu per satu warga berdatangan untuk menghadiri tahlilan
kedua orang tua Ranti. Acara tahlilan berlangsung dengan khusyuk dan khidmat.
Lagi-lagi air mata Ranti kembali berderai saat malam mulai larut dan warga
telah kembali ke rumahnya masing-masing. Menutup pintu rumah rapat-rapat dan
semua lampu sudah padam.
"Mbak...!" Andi menghampiri Ranti yang masih duduk terisak di
dapur.
"Eh... Andi? Belum tidur?" Ranti mengusap air matanya.
Andi menggeleng. "Aku tidak bisa tidur. Aku kangen sama Emak, sama
Bapak."
"Mbak juga kangen sama mereka. Tapi, mereka sudah bahagia di surga.
Tugas kita mengirimkan do'a-do'a untuk mereka." Ranti mengusap rambut
Andi. "Sinta mana? Sudah tidur?"
Andi mengangguk. Mereka bergeming untuk beberapa saat.
"Mbak...!" Andi menatap Ranti yang masih bergeming.
"Ya."
"Apa besok kita masih bisa sekolah?"
"Kenapa tanya seperti itu?" Ranti balas menatap Andi.
"Karena kita sudah tidak punya orang tua. Seperti Wawan, dia tidak
bersekolah karena tidak punya orang tua." Andi menundukkan kepalanya,
meremas jari jemarinya.
Ranti menghela napas. "Kita akan tetap sekolah. Walau Emak dan Bapak
sudah tidak ada. Kita harus sekolah. Kamu ingat kan pesan Emak dan Bapak?"
"Anak-anak emak harus jadi sarjana. Walau hanya tinggal di gubuk, tapi
isinya gubuknya gunung emas. Harus jadi anak yang cerdas supaya bisa
membuat gunung emas di dalam gubuk kita!"
"Nah, bener. Jadi, Andi harus tetap sekolah. Mbak Ranti sekolahnya
pakai beasiswa. Emak dan Bapak tidak pernah pusing mikir biaya sekolah Mbak
Ranti. Andi juga harus jadi anak yang cerdas! Supaya bisa jadi sarjana!"
Ranti tersenyum, mengacak rambut Andi.
Andi tersenyum sembari mengusap rambutnya. "Apa seragam sarjana itu
bikin Andi lebih gagah dari pakai seragam SD Mbak?"
"Pasti." Ranti mengerdipkan salah satu matanya.
"Jadi, besok Andi tetap sekolah?" tanya Andi lagi.
Ranti mengangguk.
"Yang nyiapin seragam sekolah Andi siapa Mbak? Kan Emak
nggak ada."
"Mbak Ranti yang akan nyiapin seragam sekolah Andi. Tapi, Andi harus
belajar untuk menyiapkan keperluan sekolah sendiri ya!"
Andi mengangguk.
"Ya sudah. Ayo tidur! Ini sudah malam, besok mau sekolah kan?"
Ranti beranjak meninggalkan dapur.
Andi mengikuti langkah Ranti. Tak perlu waktu lama untuk terlelap. Hanya
dalam hitungan menit, Andi sudah mendengkur di sisi Sinta.
Ranti memandang wajah polos kedua adiknya. Mulai hari ini ia berniat untuk
mandiri. Ia tak bisa lagi merengek pada Emak atau Bapak. Kini, ia akan jadi
tempat rengekan kedua adiknya. Sungguh, dalam hati ia tak yakin bisa merawat
dan membesarkan kedua adiknya. Tapi, ia akan berusaha sungguh-sungguh agar
kedua adiknya bisa bersekolah hingga perguruan tinggi.
***
Beberapa warga berkumpul di Balai Desa untuk bermusyawarah mengenai hak
asuh ketiga anak Pak Dillah. Bagaimanapun, mereka masih sangat kecil dan harus
memiliki orang tua angkat. Oleh karenanya, Pak Ratno sebagai Kepala Desa
mengumpulkan warga desa di Balai Pertemuan.
Ranti dan kedua adiknya juga diundang untuk menghadiri pertemuan. Ini
juga untuk menentukan siapa yang berhak menjadi orang tua angkat untuk
Ranti dan kedua adiknya.
"Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Saya mengundang
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu ke sini untuk bermusyawarah mengenai hak asuh dari
anak-anak Pak Dillah. Mengingat dan menimbang usia mereka sangat kecil, maka
kami memberikan kesempatan pada seluruh warga, siapa saja yang berkenan untuk
mengasuh ketiga anak Pak Dillah." Suara Pak Ratno menggema di dalam
ruangan.
Warga yang berkumpul di Balai pertemuan saling menoleh dan berbisik.
"Biarkan kami yang mengasuh anak-anak Pak Dillah." Bu Yogi
berdiri dari kursinya.
"Saya mau mengasuh Andi." Pak Bagiyo, salah seorang warga yang
belum memiliki anak dan sangat menginginkan memiliki anak laki-laki.
"Tidak bisa Pak. Andi harus ikut dengan saya. Bersama Ranti dan
adiknya!" Bu Yogi menyergah.
"Ya tidak bisa begitu, Bu. Anak Pak Dillah kan ada
tiga. Harus kita bagi-bagi mengasuhnya. Jangan mentang-mentang orang kaya, Ibu
mau mengasuh ketiganya!" Pak Bagiyo meninggikan suaranya.
"Kalau Pak Bagiyo ingin mengasuh Andi, Ranti dan Sinta juga harus ikut
dengan Bapak. Kita tidak boleh memisahkan mereka!" Bu Yogi keukeuh.
"Saya tidak mampu jika harus merawat ketiganya.
Saya hanya mampu merawat satu saja. Saya bukan orang kaya seperti Bu
Yogi," ujar Pak Bagiyo.
"Ya sudah kalau Pak Bagiyo tidak sanggup
membiayai mereka, tidak usah mengasuh salah satunya!"
Perdebatan
mereka semakin sengit. Ditambah lagi beberapa warga yang lain juga berebut
ingin mengasuh salah satu anak Pak Dillah.
"Berhenti..!" teriak Pak Ratno menyaksikan
kegaduhan di Balai Pertemuan.
"Biar Ranti yang memutuskan akan bersama dengan
siapa!" Pak Ratno menambahkan. "Silahkan Ranti, kamu harus memutuskan
dengan siapa kamu dan kedua adikmu akan tinggal."
Ranti bangkit dari tempat duduknya. "Kami tidak
akan tinggal dengan siapapun. Kami tidak akan pernah meninggalkan rumah
kami."
Seketika semua hening.
"Tapi, kalian masih kecil." Pak Ratno
berbisik di telinga Ranti.
Ranti membusungkan dadanya dan menjawab dengan mantap.
"Aku bisa merawat kedua adikku. Kami tidak akan meninggalkan rumah
kami."
"Tapi, Ran..." Bu Yogi menatap Ranti kecewa.
"Kami akan baik-baik saja tanpa orang tua. Kami
akan tetap tinggal di rumah kami. Kami tidak akan ikut siapapun!" Ranti
menjawab dengan mantap.
Ranti tetap keukeuh dengan
keputusannya. Akhirnya warga pulang ke rumah dengan rasa kecewa. Juga Bu Yogi
yang sangat menyayangi ketiganya.
Pak Bagiyo melangkahkan kakinya keluar dari Balai
pertemuan sembari mengutuk karena gagal menjadikan Andi sebagai anaknya.
Anak-anak Pak Dillah dikenal sebagai anak yang baik
dan berprestasi. Sehingga banyak warga yang simpati dan menginginkan mereka
menjadi anak angkatnya.
Ranti menghela napas, kembali ke rumah dengan
perasaan lega. Ia tak habis pikir dengan ide Pak Ratno yang membuat warga
berebut ingin mengasuhnya. Ia lebih memilih di rumah ini. Rumah yang penuh
kenangan bersama orang tuanya. Ia yakin, ia bisa merawat kedua adiknya dengan
baik. Karena bagaimanapun, ia sangat menyayangi keduanya dan tak ingin
berpisah.
“Ya Allah...
berilah aku kekuatan untuk menjalani hari esok. Berilah aku kemudahan,” rintih
Ranti dalam salatnya.
Cerita Selanjutnya ...
Cerita Selanjutnya ...
0 komentar:
Post a Comment