[Beejees] |
Jam istirahat aku jarang sekali ke kantin. Kebetulan ini hari senin, aku memang sedang puasa. Untungnya Maya dan teman-temanku yang lain mengerti kalau aku rutin berpuasa setiap hari senin dan kamis. Aku selalu menghabiskan waktu dengan menggambar di dalam kelas saat jam istirahat.
"Rin, ada salam dari Andi." Maya yang baru saja kembali dari kantin mengagetkanku. Karena aku sedang fokus menggoreskan pensil ke atas kertas, aku sama sekali tidak menyadari langkah kaki Maya saat masuk ke dalam kelas.
"Mmm," sahutku, masih tetap fokus dengan gambar yang sedang aku buat.
"Rin, kenapa sih kamu selalu nolak salam dari Andi? Dia kan ganteng, pinter, baik hati pula. Susah lho dapet cowok kayak gitu." Maya duduk di hadapanku.
Aku melirik ke arahnya. "Kamu dikasih apa sama dia? Muji-muji sampe segitunya," celetukku.
"Kamu nih buruk sangka mulu loh. Itu kenyataan tau! Kalo dia nggak naksir kamu, udah aku gebet deh biar jadi pacarku."
"Kelanjiannya pang," celetukku.
"Rin, kamu dicari sama Andi!" Linda langsung berteriak saat masih berada di pintu kelas.
"Sibuk!" sahutku.
"Ndi, Rinanya lagi sibuk katanya!" Linda berteriak sembari mengeluarkan kepalanya dari pintu kelas.
"Ada orangnya?" Aku langsung berdiri menghampiri Linda yang masih berpegangan dengan pintu kelas.
"Ada, tuh!" Linda menunjuk dengan dagunya. Aku melihat Andi sedang bersandar di dinding luar kelas sambil tersenyum ke arahku.
Aku segera menghampirinya. "Ada apa, Ndi?"
"Pulang sekolah nanti ada acara, nggak?" tanya Andi.
"Eh!? Ada." Aku mengangguk-anggukan kepala. "Aku mau ke rumah Maya bareng Linda, mau ngerjain tugas."
"Enggak, Ndi! Bohong dia," sahut Linda.
Aku langsung melemparnya dengan pensil yang sedari tadi masih aku pegang. "Nggak usah nguping!"
"Aku tau kalo kamu hari ini nggak ada jadwal les, kan? Tapi kamu masih mau ngeles mulu. Pulang sekolah, aku tunggu di parkiran ya!" pinta Andi tak lepas memandangku.
"Insya Allah ya! Aku nggak janji."
Andi tersenyum ke arahku.
"Ciyee ... ciyee.... jadian ciyee ...." Beberapa anak mulai menggodaku dengan kata "ciye" yang membuatku risih.
"Udah, ya! Aku mau masuk kelas. Itu aja, kan?"
Andi mengangguk dan mempersilakan aku masuk dengan isyarat tangannya. "Idih, aku bener-bener risih dengan sikap Andi yang sok-sok jadi cowok romantis."
Sepulang sekolah, aku bermalas-malasan melangkahkan kaki keluar dari kelas atau pun sekolah karena harus menemui Andi di parkiran. Jelas aku tidak bisa menghindar. Aku harus melewati parkiran terlebih dahulu untuk bisa keluar dari sekolah ini. Ini membuatku harus menemui Andi yang sudah menungguku di sisi mobilnya.
"Ada apa, Ndi?" Aku langsung bertanya saat sampai di hadapan Andi.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi, nggak di sini."
"Di mana?"
"Masuk ke mobil dulu, yuk!"
Aku menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Ngomong di sini aja!"
"Di sini nggak enak ngomongnya."
"Ya udah, nggak usah ngomong aja sekalian!" Aku membalikkan tubuhku dan bergegas pergi. Namun tangan Andi berhasil menahanku. Hal ini mengundang perhatian banyak mata yang sedang sibuk keluar dari parkiran sekolah.
Aku menghela napas dan kembali berhadapan dengan Andi.
"Please, Rin. Sekali ini aja!" pinta Andi.
Belum sempat menjawab, tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku langsung merogoh saku tasku dan mendapati nomor telepon dari pengurus Panti Asuhan.
"Assalamu'alaikum. Ada apa, Bu?"
"Wa'alaikumussalam. Kamu cepet ke sini ya! Sella sakit, abis diserempet mobil pas pulang sekolah."
"Apa!? Iya, iya. Aku langsung ke sana." Aku menutup telepon tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Aku sudah panik dengan kabar kalau Sella sakit. Sella adalah anak yang masih kecil. Aku nggak bisa ngebayangin gimana keadaan Sella sekarang.
"Kenapa?" Andi tiba-tiba menyentuh pundakku. Menyadarkan kalau aku sedang tidak sendirian. Dia pasti tahu kalau aku sedang dalam keadaan panik.
"Aku harus cepet-cepet pulang. Sorry!" Aku setengah berlari tanpa menghiraukan Andi lagi. Secepatnya aku keluar dari gerbang sekolah. Berjalan kaki sekitar 300 meter keluar dari gang untuk bisa menunggu angkot yang lewat.
Aku sudah berdiri beberapa menit di tepi jalan, tapi angkot tak kunjung muncul. Murid-murid yang biasa menunggu angkot bersamaku juga sudah tidak ada lagi. Sepertinya aku sedikit terlambat keluar dari sekolah sehingga supir angkot sudah tidak ngetem lagi di jalan masuk ke SMA-ku.
"Ayo, masuk! Buru-buru kan?" Tiba-tiba mobil Andi sudah berhenti di depanku. Aku sedikit ragu untuk menerima tawarannya. Apa iya aku harus berduaan di dalam mobil bersamanya. Aku takut kalau ... ah, aku nggak boleh suudzon sama orang. Lagipula, Andi terkenal sebagai cowok baik-baik di sekolah, entah kalau di luar sekolah.
Aku langsung masuk ke dalam mobil Andi. Ia mulai menjalankan mobilnya perlahan-lahan.
"Rumahmu di Regency, kan?" tanya Andi sebelum memutar arah mobilnya.
"Iya. Tapi, kita nggak usah muter. Aku mau ke kilo."
"Mau ngapain?" Andi menaikkan kedua alisnya karena heran.
"Aku mau ke Panti."
"Panti mana?"
"Ibu Pertiwi. Yang di kilo lapan."
"Oh, yang di belakang Poltek itu ya?" Andi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Iya."
Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing selama beberapa saat.
"Rin!" panggil Andi dengan nada lirih.
"Iya."
"Kenapa kamu selalu menolak ajakan aku buat ketemu?"
"Kapan aku nolak?"
"Yah, nggak nolak sih. Tapi, sepertinya kamu memang sengaja menghindar setiap kali aku ngajak jalan."
"Aku banyak kegiatan, Ndi."
"Kamu belum punya pacar, kan?"
Aku menggelengkan kepala. "Nggak sempat mikirin pacar."
"Emangnya nggak pengen punya cowok kayak temen-temen kamu yang lain? Bukannya semua cewek seneng diperhatiin?"
"Iya, mungkin. Tapi buat aku, pacaran cuma bikin hidupku makin ribet."
"Kenapa?"
"Karena ada banyak hal yang bisa aku lakuin buat ngisi waktu luang aku daripada cuma ngabisin waktu buat dating sama pacar."
"Apa itu salah satu alasan kamu ngejauhin aku terus?"
"Iya," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. Aku bisa melihat dari ekor mataku kalau wajah Andi terkejut dengan jawabanku yang to the point banget.
"Jadi, kamu belum pernah jatuh cinta sama seseorang?" tanya Andi lagi.
"Belum tau soal definisi jatuh cinta itu sendiri apa. Aku mencintai banyak orang di sekitarku. Menyayangi mereka semua. Dan aku sendiri nggak tahu kenapa kata cinta harus diawali dengan kata jatuh untuk mengungkapkan sebuah perasaan yang istimewa. Kalau kata orang jatuh cinta itu indah, kenapa harus pakai kata jatuh. Bukannya jatuh itu sakit?"
"Jatuhnya emang sakit. Apalagi cintanya nggak terbalaskan. Sangat sakit, Rin. Tapi cinta membuat kita rela merasakan sakit berkali-kali demi orang yang kita cintai." Andi menyandarkan tubuhnya setelah mesin mobilnya mati tepat di halaman Panti Asuhan Ibu Pertiwi.
Aku menatap Andi untuk pertama kalinya. Ia kini tak menoleh ke arahku sedikitpun. Pandangannya lurus ke depan dan aku bisa melihat guratan lelah dan rasa kecewa di dalam dirinya. Sebegitu jahatnya kah aku selama ini membiarkan Andi terus-menerus mengejarku tanpa tahu bagaimana akhirnya. Sejak kelas satu sampai kelas tiga SMA, dia tidak pernah lelah dan menyerah untuk bisa menyapaku. Walau di antara sapaan itu, ada jarak yang terbentang jauh. Kegigihannya memang patut untuk dihargai. Tapi, menghargainya bukan dengan cara menerimanya menjadi seorang pacar. Ini terlalu rumit bagiku.
Andi menoleh ke arahku dan berhasil membuat aku salah tingkah. Entah ... ketika ia menatapku tanpa bicara, justru membuat dadaku sesak dan berdebar-debar. Jauh berbeda dengan Andi yang konyol dan sering malu-maluin saat di sekolah. Bahkan ia tidak malu menyatakan pada semua murid kalau dia menyukaiku. Tingkahnya itu justru membuatku malu dan risih, itu juga salah satu alasan kenapa aku selalu menghindar untuk bertemu dengannya.
"Belum mau turun? Mau sampai kapan diem-dieman di mobil?"
Aku tersenyum, melepaskan safety belt yang masih melingkar di tubuhku dan bergegas keluar dari mobil. Andi mengikuti langkahku dari belakang.
Semua anak-anak panti menyambutku dengan riang gembira. Mereka selalu ceria saat aku datang dan itu adalah kebahagiaan tak terkira bagiku.
"Sella gimana?" tanyaku pada mereka.
"Lagi tidur, Kak." Aku melangkahkan kaki masuk ke kamar Sella ditemani dengan anak-anak yang lainnya. Aku bersyukur karena luka Sella tidak begitu parah. Untungnya si pelaku mau bertanggung jawab dan membawa Sella berobat ke klinik.
"Ya, sudah. Biarkan dia istirahat. Kita keluar yuk!" ajakku pada anak-anak panti yang ikut masuk ke dalam kamar Sella. Aku mengusap kepala mungil Sella dan mencium keningnya sebelum aku keluar kamar.
Aku melihat Andi sedang berkumpul dengan anak-anak lainnya di aula yang berada di depan musholla. Tempat anak-anak berkumpul dan berkegiatan di sana. Sepertinya dia sedang asyik mendongeng. Karena, laki-laki tidak boleh masuk ke kamar wanita. Andi memilih menunggu di aula bersama dengan anak-anak yang lainnya. Aku juga ikut bergabung mendengarkan dongeng yang sedang diceritakan oleh Andi.
Aku tidak menyangka kalau Andi punya kemampuan story telling yang baik. Dia juga terlihat nyaman berbaur dengan anak-anak panti. Bahkan ia tak sungkan menggendong salah satu anak yang memang tubuhnya paling kecil. Keceriaan dan kebahagiaan itu hadir di antara kita. Aku bisa melihatnya. Sesekali Andi memandang ke arahku sembari bermain dengan anak-anak.
Hampir dua jam kami menghabiskan waktu bersama dengan anak-anak panti. Aku berpamitan usai memastikan kalau Sella akan baik-baik saja. Aku memang menjadi relawan di panti ini. Apa pun tentang keadaan anak-anak, aku selalu tahu. Kebetulan, ayahku juga menjadi salah satu donatur di panti asuhan ini. Aku mulai tertarik dengan anak-anak panti saat aku merayakan ulang tahunku yang ke-14. Ketika itu, ayah mengajakku merayakannya di Panti Asuhan. Sejak itulah aku menjadi rutin ke panti untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka secara moril dan materil.
"Kamu bisa mendongeng?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil.
"Sedikit."
"Tadi itu lumayan bagus, lho!"
"Oh ya?"
Aku mengangguk kepala. Ini pertama kalinya aku memuji Andi. Itu bukan berarti aku mulai menyukainya atau bahkan jatuh cinta dengannya. Tapi hanya sekedar pujian seorang teman, tak ada yang istimewa.
"Kamu sudah sering ke panti itu? Kelihatannya kamu deket banget sama anak-anaknya."
Aku mengangguk.
"Dari tadi cuma manggut-manggut aja. Pas di Panti, kamu kelihatan ceria dan cerewet banget. Kenapa kalau sama aku, cuma manggut-manggut aja?"
Aku tersenyum. "Nggak tau mau ngomong apa," jawabku sambil nyengir.
"Ngomong I Love You,kek!"
"Idih, maksa!"
"Biarin, daripada jomblo mulu!?"
"Mending jomblo."
"Emang kamu seneng jomblo mulu? Nggak ada yang sayang."
"Yee ... jomblo itu bukan berarti nggak disayang atau nggak punya cinta. Aku punya banyak anak-anak panti yang aku sayang banget dan mereka juga sayang sama aku. Cinta itu bukan cuma untuk satu orang saja, tapi buat semuanya juga. Biar hidup kita jauh lebih bahagia."
"Asal jangan cinta sesama jenis aja!" celetuk Andi.
"Iih ... apaan sih!?" Aku mendelik sembari menyubit lengan Andi.
"Sakit tau!" Andi mengelus lengan yang aku cubit. Ups ... sorry! Aku bener-bener nggak sadar sama tindakanku kali ini. Kok, bisa tanganku selancang ini?
"Sorry!"
Andi tersenyum. "Nggak papa, kok. Aku pasti bakal kangen sama cubitanmu."
Aku mengerucutkan bibirku. Lagi-lagi Andi memulai bualannya yang bikin perutku mual.
"Ndi ...!" panggilku tanpa menatap ke arahnya.
"Ya." Andi tetap berkonsentrasi mengemudikan mobilnya.
"Kenapa kamu nggak pacaran sama cewek lain aja? Daripada kamu ditolak melulu sama aku, daripada kamu jomblo mulu."
Andi tersenyum ke arahku. "Rin, kalau aku nembak cewek lain dan ditolak lagi, lagi dan lagi ... itu namanya aku ngejatuhin derajat aku sebagai cowok paling ganteng se-Balikpapan."
Aku mengerutkan kening, rasanya mataku mau keluar mendengar ucapan Andi kali ini. Sumpah ini cowok, pede banget!
"Apa bedanya dengan ditolak berkali-kali? Pasti akan ada cewek yang mau jadi pacar kamu, kok."
"Kamu sendiri kenapa nolak aku berkali-kali?" tanya Andi balik. Aku merasa pertanyaanku tadi adalah senjata yang akan membunuhku sendiri.
"Eh!? Aku!? Karena ... aku nggak mau pacaran. Aku mau fokus sekolah dulu."
"Emangnya aku ganggu banget ya? Padahal, kamu ini kan pinter. Harusnya kamu bisa membagi waktu antara pacaran sama pelajaran!"
"Apa!?"
"Anak pinter harus bisa me-manage waktu dan pikirannya. Masa cuma karena pacar doang, belajarmu terganggu? Lemah!" celetuk Andi.
"Terserah! Aku nggak akan ngubah komitmen aku sampai aku ketemu cowok yang ngajak aku menikah, bukan pacaran!" Aku mendengus ke arah Andi.
"Jadi, kamu udah pengen nikah?"
Aku gelagapan dengan pertanyaan Andi. Seharusnya aku tidak mengatakah hal itu di usiaku yang masih delapan belas tahun.
"Lulus sekolah aku lamar kamu, boleh?"
"Eh!?"
"Diajak pacaran, katanya maunya nikah. Diajak nikah, malah plonga-plongo gitu."
"Eh ... aneh aja. Kita masih terlalu muda buat nikah. Lagipula aku masih mau kuliah dulu."
"Ya udah, abis wisuda aku lamar kamu!"
Aku tersenyum. "Oke. I'm wait! Sekarang, kamu coba aja dulu cari cewek lain yang bisa kamu jadiin pacar, biar nggak jomblo mulu! Siapa tau lima tahun lagi pikiran dan hatimu akan berubah."
"No. Insya Allah aku nggak akan berubah sampai lima puluh tahun ke depan."
"Sok yakin. Belum tentu kita jodoh!"
"Aku yakin kita jodoh. Itulah kenapa aku milih buat ngejomblo ketimbang cari cewek lain."
"Why?"
"Karena kamu adalah berlian yang sulit buat aku dapetin. Aku nggak akan nyia-nyian. I'm alone for love, because love is you!" Andi menunjuk tepat ke arah dadaku.
"Kamu tunggu aku lima tahun lagi! Aku harap kamu nggak nerima cowok lain di hatimu selain aku."
Aku mengedikkan bahuku.
"Ck. Please, Rin! Jangan terima cowok lain selain aku!" Andi menghentikan mobilnya tepat di halaman rumahku.
"Maksa!"
"Aku nggak maksa, aku cuma memohon."
"Iya. Insya Allah."
"Serius ya! Aku nggak bercanda ini."
"Iya!" Aku mendengus ke arah Andi.
"Galak amat, sih!" celetuknya.
"Udah tau galak, kenapa suka?" Aku makin kesal.
"Hehe ... justru aku suka kamu karena kamu galak, cuek dan jutek banget!" Andi memencet hidungku. "Aku tau kamu tipe cewek setia."
"Sakit, nah!" Aku mengelus hidungku yang digapit jemari tangan Andi.
"Ya udah, cepet masuk rumah dan jangan keluar lagi buat cowok lain selain aku ya!" goda Andi.
"Siap, Bos!" Aku bergegas melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah usai melambaikan tangan pada Andi yang mulai menjauh dari halaman rumah.
Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Andi tak lagi menggodaku di depan umum seperti biasa. Dia bisa lebih bersikap dewasa untuk menyatakan perasaannya. Aku tak perlu menahan malu karena olokan seisi kelas atau sekolahan. Dia lebih banyak menemuiku di rumah. Bercengkerama dengan ayah hampir setiap malam. Bahkan, ia jarang mengajakku bicara. Sepertinya, Andi sudah berhasil mengganti posisiku sebagai anak ayah.
Kita nggak perlu pacaran cuma untuk mencari dengan siapa kita akan menjalani hari-hari kita. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama tanpa harus menjadi pacar.
Kalau jodoh, Tuhan pasti akan menyatukan kita. Kalau bukan jodoh, sekuat apa pun keinginan kita untuk bersamanya ... kita akan tetap berpisah.
Aku tidak memimpikan apa pun tentang masa depan. Sampai waktu itu benar-benar tiba.
Aku masih menunggu ... sendiri ... untuk cinta.
Rin Muna
East Borneo, 19 Maret 2019
Kok nggak happy ending ya...
ReplyDeletePacaran kek atau menikah gitu biar tambah greget 😊😊
Hehehe... sengaja digantung biar ada kisah selanjutnya,,, wkwkwkwk
DeleteAku belum buat
ReplyDeleteCeritanya bagus punya ku
Aku jadi malu bila ada yang membacanya
Lihat cerita Mba Muna menarik
Ah.. Bunda bisa aja...
DeleteBunda mah selalu bagus kok tulisan2nya... hehehe
Semangat Bunda!
Yey, digantung juga
ReplyDeletewkwkwkwk... kayak jemuran baju yang gak kering2...
Delete