Source: pixabay.com/pixel2013 |
“Sayang, kamu
janji bakalan setia sama aku, kan?” Ogah menatap Bije, pria yang tak sengaja
menjadi kekasihnya. Bije tersesat saat melakukan pendakian ke gunung bersama
komunitasnya. Dia sudah berjanji, siapa saja yang bisa menolongnya akan
dijadikan kekasih. Datanglah si Ogah, gadis kerdil yang menunjukkan jalan utama
ke perkampungan. Namun, Ogah tak langsung mengantarnya. Ia masih menahan Bije
untuk menghabiskan waktu bersamanya.
Bije
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Janji ya!”
“Iya.”
“Iya apa?”
“Iya, janji!”
“Janji apa?”
“Mmmm ....”
“Kok, mmm ...?
Bilang dong, janjinya apa?”
“Janji bakalan
setia.”
“Setia sama
siapa?”
“Sama pacar aku,
lah.”
“Pacar yang
mana!?”
“Duh! Aku pergi
dulu ya!” pamit Bije.
“Tuh, kan ...
katanya mau setia. Tapi kok pergi, sih!?”
“Aku mau pulang,
Ogah.”
“Jangan, Bang!”
Ogah memeluk kaki Bije sangat erat.
“Astaga ...! Aku
sudah dua hari dua malam di pondok ini bersamamu. Tidak kau beri makan. Lebih
baik aku pulang ke rumah. Ummi pasti sudah masak banyak makanan lezat untukku.”
Bije akhirnya lelah selama dua hari hanya mendengar celotehan Ogah.
“Bang Bije
lapar?” tanya Ogah polos.
“Iyaaaaa ...!
Kamu pikir dua hari tidak makan, aku tidak kelaparan? Dua jam saja aku sudah
lapar, Ogah!” Bije mulai geram.
“Tapi, kan Ogah
sudah bakarin ubi buat Bang Bije.” Ogah menatap sisa pembakaran yang ada di
sisi pondok kecil tempat mereka singgah.
Bije menepuk
dahinya sendiri. “Ogah sayang ... makan ubi aja nggak buat Bang Bije kenyang.
Bang Bije mau balik ke kota dulu ya. Nanti, Bang Bije bawakan makanan yang
enak-enak dari sana.”
“Serius, Bang!?”
wajah Ogah sumringah.
Bije menganggukan
kepalanya. Bergegas pergi meninggalkan Ogah yang merasa bahagia karena Bije
akan kembali ke hutan untuk membawakannya banyak makanan enak.
“Bije, kamu ke
mana aja?” tanya Said, salah satu temannya yang ikut dalam rombongan pendaki.
“Aku tersesat.
Untungnya ada yang nolongin aku,” jawab Bije dengan napas terengah-engah.
“Siapa? Mana
orangnya? Kami sudah dua hari khawatir, mencarimu ke mana-mana tidak ketemu.
Untungnya kamu sudah kembali ke posko.” Said menatap wajah Bije yang pucat.
“Temen-temen, Bije udah ketemu, nih.”
Beberapa teman
Bije langsung menghampiri dan merangkul Bije. “Kamu ke mana aja?”
“Aku dua hari dua
malam duduk di pondok itu sama cewek. Dia nggak mau aku tinggalin. Susah banget
mau pergi sebentar aja.” Bije menunjuk pondok kecil di kaki gunung yang bisa
dilihat dengan mudah dari posko, kemudian menenggak air mineral yang diberikan
salah seorang temannya.
“Cewek? Siapa?”
tanya Said penasaran.
Bije menganggukan
kepalanya. “Ada, cewek di hutan. Badannya kecil, kulitnya hitam manis,
rambutnya sebahu. Cantik sih, tapi—”
“Serius!? Di
pondok yang itu?” Said memotong pembicaraan Bije.
“Iya, kenapa?”
“Je, selama dua
hari kita mondar-mandir nyari kamu. Udaah ratusan kali pondok itu kami singgahi
dan nggak ada siapa-siapa,” tutur Said, diiyakan oleh teman yang lain.
Bije terkejut
mendengar pernyataan Said. “Serius? Aku di sana dan nggak lihat kalian sama
sekali.”
“Kita juga di
sana dan nggak lihat kamu sama sekali.”
“Astagfirullah
... aku pacaran sama hantu!?” teriak Bije.
“Pacaran ...!?”
teman-teman Bije menyahut serempak.
Semua saling pandang. Kemudian secepatnya
meninggalkan posko. Mereka segera kembali ke kota. Meninggalkan tanda tanya di
benak Bije. Bagaimana jika hantu itu menagih janji setianya?
Ditulis di tengah
kejenuhan
-Rin Muna-
Kalimantan Timur,
9 Oktober 2018
#DWPF
Clue :
Setia/Pergi
0 komentar:
Post a Comment