Sumber Ilustrasi : Kumparan.com |
“Rin, tolong ya!” Pak Bayu memakai rompi
kerjanya. Menyempatkan diri untuk masuk ke ruanganku sejenak sebelum berangkat
tugas ke area pengeboran lepas pantai.
“Beres Pak!” Aku masih sibuk dengan laporanku,
namun aku sempatkan untuk bisa mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar
dari mulut Pak Bayu.
Tak lama kemudian, Pak Bayu bergegas menuju
Helipad. Aku bisa melihatnya dari jendela ruanganku di lantai lima. Aku adalah
Assistant Chief Clerk yang mengurusi Administrasi. Aku memang dekat dengan
beberapa rekan, sebab sifatku yang memang senang berceloteh dan bersosialisai.
Hari ini, Pak Bayu pasti menjalankan tugas
dengan gelisah. Sebab, menurut perkiraan dokter istrinya akan melahirkan. Dia
belum mendapat jatah cuti, terlebih lagi pekerjaan memang sedang
padat-padatnya.
Bu Ana, istri Pak bayu usianya dua tahun lebih
tua dari usiaku. Dan sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Aku cukup
dekat dengan Bu Ana. Sebab sebelum mereka menikah, Bu Ana sering berkunjung ke
Balikpapan. Namun semenjak berbadan dua, ia lebih memilih untuk menetap di
Surabaya, di kediaman orang tuanya.
Pak Bayu juga asli orang Surabaya. Di
Balikpapan hanya melaksanakan tugas kerja. Dan sudah pasti demi anak istri. Di
lokasi pengeboran lepas pantai, masih sangat susah sinyal. Hingga besar
kemungkinan Pak Bayu akan mendapat kabar terlambat, atau bahkan tidak
mendapatkan kabar sama sekali. Sejak keberangkatannya ke lokasi pagi hari, ia
sudah terlihat gelisah.
Aku menatap ke luar jendela. Menghela napas
perlahan. Menatap Awan yang bergelayut di atas lautan. Dari ruangan ini, aku
bisa leluasa memandang pantai Balikpapan. Ombak-ombak kecil terkadang senada
dengan bentuk awan di atasnya. Aku sedikit terenyuh dengan kisah Pak Bayu,
sebenarnya bukan hanya dia saja. Tapi, beberapa karyawan juga mengalami hal
ini. Bedanya, Pak Bayu adalah supervisor yang punya hak lebih dari karyawan
lainnya.
Hari mulai petang, belum ada tanda-tanda Bu
Ana menghubungiku. Aku mondar-mandir di teras kantor. Gelisah. Duh, aku saja
segelisah ini. Bagaimana dengan Pak Bayu yang menanti di lepas pantai sana?
Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon Bu Ana
terlebih dahulu. Beberapa kali aku hubungi, tidak diangkat.
“Assalamu’alaikum...!” Suara asing dari
seberang sana menjawab telponku.
“Wa’alaikumussalam. Bu Ana ada? Saya teman
kantor Bapak. Mau menanyakan kabar Bu Ana, soalnya Bapak lagi ke area lepas
pantai—”
“Pantas saja sulit Ibu hubungi. Tolong
sampaikan pada Bayu, Ana mau melahirkan. Ini sedang di ruang persalinan di
Rumah Sakit.” Sudah jelas yang menelepon adalah orang tua Bu Ana.
“Oke Bu. Saya langsung ke area pengeboran
temui Bapak.” Aku menutup telepon tanpa basa-basi lagi. Sudah saking paniknya.
Aku berkali-kali berlari masuk ke ruangan untuk mengambil barang yang selalu
saja tertinggal.
Aku berlari menuju Helipad. Mencari Operator
Helikopter yang biasa membawa kami menuju ke area pengeboran lepas pantai.
Namun, aku tak mendapatinya sebab hari sudah petang dan aku tidak mengajukan
permintaan untuk berjaga-jaga hingga petang. Kemungkinan Shift berikutnya bisa terlambat
datang.
Aku kembali ke kantor. Meminta kunci salah
satu SpeedBoat pada Security. Aku tak punya banyak waktu jika harus menelpon
operator Heli dan menunggunya. Lebih baik aku bawa SpeedBoat seorang diri. Itu
lebih baik dan lebih cepat. Sebab aku wanita, dua orang karyawan pria bergegas
menyusulku dengan membawa satu SpeedBoat lainnya. Semua tahu kepanikanku.
Aku segera menjemput Pak Bayu. Membawanya ke
Bandara agar secepatnya terbang ke Surabaya. Tak peduli ia masih mengenakan
seragam kerja. Dia jauh lebih panik dariku, jauh lebih khawatir.