CERPEN
“SURYA KEMERDEKAAN”
Karya : Rin Muna
Surya
berlari kecil menuju rumahnya, dia sudah berteriak-teriak memanggil Mamaknya
sebelum masuk ke dalam rumah.
“Mak,
kata Bapak kepala sekolah. Dua minggu lagi Tujuh belas agustus, Surya akan jadi
pasukan pengibar bendera di kantor kecamatan.” Teriak Surya penuh semangat.
“Oh ya?”
Mamak Widuri
tersenyum bangga sambil mengelus rambut Surya. Walau dalam hatinya masih
digelayuti perasaan yang tak menentu. Dia teringat akan mendiang suaminya yang
selalu menanamkan jiwa patriotisme kepada Surya. Mengajarkan kepada Surya
bagaimana mencintai tanah airnya. Kalau beliau masih hidup, pasti beliau bangga
sekali anaknya bisa menjadi seorang pengibar bendera pusaka yang selalu ia
agung-agungkan itu.
Menjadi seorang pengibar bendera di kota kecamatan bukan
perkara mudah bagi Mak Widuri. Mengingat perjalanan ke sana sangat jauh dan
sulit, harus melewati tiga desa yang jalannya masih tanah. Kalau hujan, sudah
pasti ojek tidak dapat menembus sulitnya medan yang berlumpur. Andai saja
suaminya masih hidup, mungkin tidak seberat ini dia memikirkannya. Belum lagi
memikirkan bekal yang harus dibawa anaknya, tidak mungkin ia membiarkan Surya
pergi jauh tanpa membawa uang sepeserpun.
Dengan penghasilan Mak Widuri yang
tak menentu. Jangankan untuk ongkos ke kota, untuk membeli beras saja masih
senin kamis. Ia lebih sering mengkonsumsi singkong rebus yang ia tanam sendiri di
pekarangan rumahnya.
“Tapi
Mamak ragu kamu bisa ikut Nak.” Tutur Mak Widuri lirih.
“Kenapa
Mak?”
“Kamu
tidak punya seragam Paskibraka.” Jawab Mak Widuri lesu. Melihat seragam merah
putih milik surya saja wajah Mak Widuri sudah merasa iba. Seragam surya tak
lagi putih bersih, banyak hiasan benang benang jahitan. Andai saja punya uang,
seharusnya seragam Surya diganti dengan seragam baru.
Surya
terduduk lemas memandangi lantai rumah yang masih beralas tanah. “Andai saja
Bapak masih hidup. Pasti Surya dibelikan seragam paskibraka sama Bapak ya Mak.”
Celetuk Surya.
Mak
Widuri merengkuh tubuh Surya sambil menahan air matanya jatuh. Ia tak tega melihat
impian putra kecilnya itu kandas begitu saja. “Kamu tidak perlu bersedih, Mamak
akan tetap berusaha membelikan kamu seragam. Yang penting kamu benar-benar giat
berlatih, supaya saat upacara nanti kamu tidak salah-salah. Jangan bikin malu
Mamak dan sekolah kamu!” kata Mak Widuri mencoba memperbaiki suasana.
“Iya
Mak, nanti Surya juga akan bantu Mamak cari uang,” tutur Surya.
“Tidak
usah Nak! Lebih baik kamu banyak berlatih saja, daripada waktumu terbuang
sia-sia. Kamu juga harus banyak beristirahat, supaya saat upacara nanti fisik
kamu tetap sehat dan kuat. Jangan sampai saat puncak upacara kamu justru
kelelahan dan pingsan,” tutur Mak Widuri.
Surya
manggut-manggut saja menuruti perintah Mamaknya. Dengan penuh semangat Surya
berlatih paskibraka setiap pulang sekolah. Tak peduli terik matahari menyengat
kulitnya atau gerimis hujan yang membasahi tubuhnya, Ia sangat senang bisa
menjadi pasukan pengibar bendera pusaka saat upacara di kota kecamatan nanti.
Pak
Jarwo sebagai kepala sekolah juga sangat bangga dengan semangat Surya. Andai
saja semua murid-muridnya seperti Surya, tidak hanya pandai tapi juga memiliki
semangat yang tinggi untuk belajar dan berlatih apapun. Bahkan mempelajari hal
yang sederhana saja, semangat Surya tetap menggebu-gebu.
Mak
Widuri juga terus berjuang sekuat tenaga agar dapat membelikan seragam paskibraka
untuk Surya. Mak Widuri hanya seorang buruh tani, ia tidak mendapatkan hasil
apapun bila tak ada petani yang menyuruhnya membantu mengolah sawah. Sudah
beberapa hari tidak ada yang memburuhkan keringatnya.
Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, Mak Widuri berjualan tapai singkong keliling. Hasilnya memang
tidak seberapa, tapi mampu membuatnya bertahan hidup. Mak Widuri berjalan kaki
dari rumah ke rumah untuk menawarkan tapai singkong buatannya sendiri. Lelah
sudah tak dirasanya lagi. Bahkan Mak Widuri sampai menjajakan tapainya ke
kampung sebelah. Sudah jelas jaraknya tidak dekat, sehingga Mak Widuri baru
sampai di rumah selepas sholat isya’. Seringkali ia pulang dan mendapati Surya sudah
tertidur pulas karena lelah berlatih seharian.
Surya anak yang pandai dan rajin
membantu orangtuanya sejak kecil. Sepulang berlatih paskibra, ia membereskan
rumahnya. Mengambil air ke sungai untuk kebutuhan memasak tanpa harus
diperintah oleh Mamaknya. Seringkali ia sudah menyiapkan singkong rebus dan
kopi hangat untuk Mamaknya. Walau terkadang sudah dingin saat Mamaknya sudah
sampai rumah. Karena lelah menunggu Mamaknya pulang, ia sering ketiduran di
dipan.
Sebenarnya Mak Widuri tak pernah memerintahkan dia untuk mengerjakan
pekerjaan rumah. Surya sendirilah yang merasa kasihan melihat Mamaknya berjuang
seorang diri agar bisa membelikan seragam untuknya. Mak Widuri segera mandi ke
sumur walau hari sudah petang. Setelahnya ia bergegas makan singkong rebus dan
kopi yang sudah disiapkan Surya di meja dapur. Mak Widuri mengeluarkan kantong
kecil dari keranjang dagangannya. Hanya dengan penerangan dari ublik saja, Mak
Widuri menghitung hasil jualan hari ini.
“Alhamdulillah… Hasilnya lumayan,
semoga besok bisa lebih lagi dan aku bisa membelikannya seragam baru,” tuturnya
sambil menghela nafas lega.
Tanpa berlama-lama lagi Mak Widuri langsung
bergegas ke dapur, mengambil beberapa ranting kayu bakar untuk memasak singkong
yang akan dibuat tapai. Setiap sebelum tidur ia terlebih dahulu sibuk
menyiapkan semuanya. Ditinggalnya tidur sejenak dan melanjutkannya kembali
seusai sholat subuh. Sebelum menjajakan tapainya dari rumah ke rumah, Mak
Widuri terlebih dahulu mengambil singkong dari kebun dan membersihkannya. Sehingga
saat pulang jualan, hanya tinggal mengukus dan mengolahnya.
Beberapa
hari kemudian, uang yang terkumpul dirasa cukup untuk membeli seragam
paskibraka. Mak Widuri mengajak Surya ke pasar untuk membeli seragam
paskibraka. Jarak dari rumah ke pasar sekitar 4 kilometer dan mereka harus
menempuhnya dengan berjalan kaki. Karena mereka tak punya cukup uang untuk naik
ojek.
Sesampainya di pasar, Surya dan Mak Widuri berkeliling kios satu persatu
menanyakan seragam paskibraka. Tapi tak ada satupun yang menjualnya di pasar.
Katanya harus ke kota kecamatan untuk membeli seragam tersebut. Atau dengan
memesan pada tukang jahit, tapi tidak bisa juga langsung jadi dalam waktu
dekat.
Karena di kampung itu hanya ada satu orang tukang jahit yang alat
jahitnya pun sudah sering ngadat termakan usia. Wajah Surya sudah terlihat
sangat sedih. Ia meneteskan air mata sambil berjalan pulang. Ia takut tak bisa
ikut upacara nanti hanya karena dia tak punya seragam.
“Bagaimana
ini Nak?” tanya Mak Widuri kebingungan.
“Kalau
ke kota kan lama Mak. Masih sangat jauh dari sini. Kalau berjalan kaki 3 hari
baru bisa sampai di sana. Berarti Surya tidak akan bisa ikut upacara nanti.”
Jawab Surya sambil menangis.
“Sudahlah,
tidak usah bersedih seperti itu. Besok saja kita ke kota kecamatan. Mamak cari
uang ongkos dulu untuk ke sana, kita bisa ikut menumpang menuju ke sana, jadi
kita tidak perlu berjalan kaki.” Tutur Mak Widuri.
“Bener
Mak?” tanya Surya mengusap air matanya.
Mak
Widuri mengangguk dan dengan berat hati mereka kembali ke rumah dengan tangan
kosong. Tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan,hanya mendapat lelah
berjalan kaki berkilo-kilo meter.
“Mak… dari
mana saja? Saya tadi pagi ke sini tidak ada orang.” sapa Pak Jarwo ketika Mak
Widuri dan Surya baru sampai di halaman rumah.
“Kami dari
pasar Pak. Ada keperluan apa ya Pak? Mari masuk dulu!” Kata Mak Widuri
mempersilahkan.
“Tidak usah lah Mak. Saya juga masih banyak
keperluan yang lain. Saya hanya ingin memberikan ini.” Tutur Pak Jarwo sambil
menyerahkan 1 kantong kresek hitam kepada Mak Widuri. Surya hanya memandang
dengan rasa penasaran.
“Apa ini
Pak?” tanya Mak Widuri.
“Ini
seragam paskibraka untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
Mak
Widuri dan Surya saling bertatapan dan tersenyum girang. “Ini benar untuk Surya
Pak?” tanya Mak Widuri masih tak percaya.
“Iya
benar. Itu untuk Surya. Kan Surya mau jadi pengibar bendera di kota kecamatan,
jadi saya belikan ini untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
“Alhamdulillah…!”
teriak Mak Widuri dan Surya bersamaan.
“Kami
baru saja dari pasar untuk mencari seragam paskibraka Pak, tapi kami tidak
mendapatkannya. Kata orang-orang harus ke kota kecamatan. Di sana tidak ada
yang menjual seragam paskibraka, kalau mau pesan di tukang jahit sudah tidak
sempat lagi Pak.” Tutur Mak Widuri.
“Astagfirullah…!”
kata Pak Jarwo sambil menepuk jidatnya.
“Ada apa
Pak?” tanya Mak Widuri bingung.
“Saya
lupa kasih informasi ke Surya dan Mak Widuri, kalau seragam paskibraka sudah
disiapkan oleh pihak sekolah. Jadi, Mak Widuri tidak perlu repot membelikan
seragam baru untuk Surya. Mak juga tak perlu khawatir, selama lima hari di sana
akan ada uang saku untuk Surya.” Tutur Pak Jarwo kemudian.
“Alhamdulillah…”
kata Mak Widuri lega. “Apa Pak? Lima hari!?” Mak Widuri sedikit tersentak
ketika menyadari ucapan Pak Jarwo.
“Iya,
karena Surya juga harus ikut berlatih dahulu dengan tim paskibraka dari sekolah
lain di sana.” Jawab Pak Jarwo.
“Surya
tidak bilang begitu. Katanya hanya upacara saja.”
“Maafin
Surya Mak. Kalau surya bilang sama Mamak lebih dulu, pasti Mamak tidak akan
mengijinkan Surya pergi ke sana.” Tutur Surya lirih.
“Kata
siapa Mamak tidak izinkan? Pasti Mamak beri izin. Menjadi paskibraka bukan
hanya impian kamu, tapi juga impian almarhum ayah kamu.” Sentak Mak Widuri.
Pak
Jarwo dan Surya saling memandang dengan senyum sumringah.
“Kalau
begitu, besok pagi Surya sudah harus siap-siap! Kita akan berangkat besok.”
Tutur Pak Jarwo.
“Apa?
Besok Pak!? Cepat sekali.” tutur Mak Widuri terkejut.
“Iya
Benar. Persiapkan diri ya Surya!” pinta Pak Jarwo.
“Siap
Pak!” jawab Surya dengan sikap hormat dan suara lantangnya.
Pak
Jarwo membalas hormat Surya dan segera berpamitan.
Keesokan
harinya, Surya sudah siap untuk berangkat pagi-pagi sekali. Semua perlengkapan
sudah ia masukkan ke dalam tas sejak semalam. Bahkan semalaman Surya tidak
dapat tidur nyenyak karena membayangkan ingin ke kota kecamatan. Mobil Jeep
yang dikendarai oleh wakepsek sudah terparkir di depan rumah Mak Widuri tepat
saat jam tujuh pagi. Pihak sekolah sudah siap mengantarkan Surya menuju ke kota
kecamatan.
“Kamu
baik-baik di sana. Tidak boleh nakal, tidak boleh berkelahi dengan teman di
sana. Latihan yang giat supaya jadi pasukan yang gagah.” Tutur Mak Widuri. “Ini
untuk bekal kamu di sana, gunakan dengan baik dan jangan boros!” pinta Mak
Widuri sambil menyelipkan beberapa lembar uang ke saku baju Surya.
Surya
mengangguk, mencium tangan dan kedua pipi Mamaknya. Kemudian bergegas menaiki mobil
Jeep yang dikendarai oleh Pak Wakepsek. Ada Pak Jarwo juga yang sudah duduk
manis di samping Wakepsek. Surya melambaikan tangan kepada Mak Widuri. Begitu
pula dengan Mak Widuri, terus melambaikan tangan sampai mobil yang dinaiki Surya
tak terlihat lagi. Tanpa disadari Mak Widuri meneteskan air mata melepas
keberangkatan Surya ke kota kecamatan. Ingin sekali ia ikut ke sana dan melihat
langsung putranya menjadi seorang pengibar bendera pusaka.
Sesampainya
di kota kecamatan, Surya langsung berbaur dan berkenalan dengan peserta
paskibraka dari sekolah lain. Mereka semua berlatih dengan baik dan penuh
semangat. Anak-anak seperti mereka memang semangatnya masih tinggi. Surya terpilih
menjadi penarik bendera dan Ia memanfaatkan waktu latihan dengan baik.
Tibalah
saatnya upacara bendera yang tepat pada tanggal 17 Agustus. Surya memandangi
tubuhnya di cermin yang sudah terbalut rapi dengan seragam paskibraka.
Upacara berjalan dengan penuh khidmat. Surya
menitikan air matanya ketika sangsaka merah putih tepat berada di ujung tiang
bendera. Ini adalah hari kemerdekaan baginya, hari kemerdekaan bagi seluruh
bangsa Indonesia. Impian Surya sederhana, hanya ingin mengibarkan merah putih. Tanpa
harus memikirkan bagaimana ia berjuang untuk bertahan hidup bersama Mamaknya.
Seperti
pesan almarhum ayahnya, merah putih harus terus berkibar. Sekalipun keringat
dan darah jadi penghiasnya. Surya tahu, ayahnya akan lihat apa yang sekarang
dia lakukan. Surya melihat bayangan Sang Ayah yang sedang hormat dan tersenyum
bangga padanya ketika ia menatap Sangsaka Merah Putih yang sudah ada di ujung
tiang bendera. Baginya, ayahnya tetap hidup dalam hatinya, dalam jiwa dan pikirannya.
Kemerdekaan Surya adalah ketika ia bisa menghantarkan Sangsaka merah putih ke
tempat tertinggi.
Cerpen ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam antologi cerpen berjudul "Syair Tujuh Belas Agustus"
_______________________________________________________
----------------------------------------------------------------------------------
🅒 Copyright.
Karya dilindungi undang-undang.
Dilarang copy paste atau menyebarluaskan cerita ini tanpa mencantumkan nama penulisnya.
0 komentar:
Post a Comment