CERPEN
“IKHTIAR CINTA”
Karya : Rin Muna
Sudah 6 bulan
ini perasaan hatiku tak karuan. Entah apa yang ada di dalam hatiku sehingga selalu
bergetar ketika aku melihat Lisa, bahkan memandangnya dari kejauhan. Dia
satu-satunya wanita yang tak pernah bergeming saat yang lain asyik bersorak
memberi semangat ketika sedang bermain basket di lapangan sekolah ataupun saat
aku menunjukkan aksiku bernyanyi di atas panggung.
Dia adalah satu-satunya
wanita yang aku kagumi keindahan dan kesederhanaannya. Tubuhnya yang tinggi
semampai, kulitnya yang putih dan wajahnya yang cantik alami, semakin cantik
dalam balutan hijab. Sangat sederhana dibanding perempuan-perempuan lain di
sekolah ini, tapi dia terlihat istimewa.
Saat semua cewek sekolah sibuk
berteriak histeris memanggil namaku dalam pertandingan basket, dia hanya lewat
tanpa menoleh sedikitpun, bahkan sepertinya dia tidak tertarik dengan
keramaian. Sejak ia muncul dari ujung koridor utara hingga hilang di koridor
selatan, ia sama sekali tak menoleh sedikitpun. Justu aku yang tidak fokus saat
latihan atau pertandingan jika dia melintas di sisi lapangan.
Beberapa teman
selalu menepuk bahuku, mungkin mereka tersadar dengan lamunan atau pandanganku
yang tak ingin lepas dari gerak-gerik Lisa. Sudah lama sekali aku
memperhatikannya, dia gadis yang sangat berbeda. Pakaiannya santun, tidak
seperti anak-anak lain yang terlihat heboh dan berlebihan.
Setiap jam istirahat
makan siang, aku selalu mendapatinya berjalan menuju musholla, melaksanakan
sholat dzuhur dan kemudian menghampiri teman sekelasnya di kantin untuk makan
siang.
Terkadang ia terlihat duduk manis di antara rak-rak buku perpustakaan.
Aku ingin sekali bisa menyapanya, berkenalan dengannya, dan bisa mendengar
suaranya dari dekat. Tapi aku tidak punya keberanian untuk itu, jangankan untuk
menyapa, mendekatinya saja aku tak punya kekuatan.
Seperti biasa,
aku selalu ada di kursi kantin paling pojok agar aku bisa bebas memandang Lisa
dari kejauhan. Beberapa temanku sudah mengetahui perubahan yang
terjadi padaku dan kali ini mereka ada di meja bersamaku.
Aku tak bisa
menyembunyikan apa yang terjadi dalam hatiku, bahkan aku tak bisa mengalihkan
pandanganku dari Lisa. Walau kami asyik bercanda bersama, tapi sesekali mataku
tertuju pada Lisa yang sedang asyik makan bakso.
Terkadang Lisa terlihat lucu,
bibirnya merah merona alami karena kepedasan dan dia terlihat semakin cantik. Alisnya
yang rapi bak semut beriring, alami tanpa harus menggunakan pensil alis. Matanya
bulat indah dengan bulu mata yang lentik dan tebal alami, seperti gadis di anime
Jepang. Dia terlihat sempurna, bahkan mungkin satu sekolah akan memuji
kecantikannya.
“Ardi...!”
teriak Bayu tepat di telingaku.
“Woii,,, sakit
kupingku, kayak Jakarta-Bandung aja pake teriak-teriak segala.” Spontan aku
terkejut dengan kelakuan Bayu.
“Kamu kenapa
dari tadi kita ajak ngomong gak dengerin?” tanya Bayu kemudian.
“Eh...oh...eh....
denger kok aku.” Jawabku gugup.
“Apa kalau
dengar?” tanya Reno.
Aku berpikir
dan keki, karena sebenarnya aku tidak mendengarkan apa yang mereka ceritakan. Aku
sibuk mengagumi Lisa dari kejauhan.
“Sepertinya
dia sedang jatuh cinta pada gadis manis berhijab pink rawis itu.” Celetuk Andra
sok puitis.
Aku hanya diam
dan tersipu malu, entah apa yang ingin kukatakan. Berbohongpun aku tak bisa,
karena aku yakin mereka sudah memperhatikan apa yang selama ini kuperhatikan.
“Kenapa gak
kamu samperin aja, Di?” tanya Bayu.
“Gak berani,” jawabku singkat sambil memainkan sedotan di dalam gelas minumku.
“Hahahaha...” Tiba-tiba tawa keras Bayu, Reno dan Andra membuat gaduh suasana kantin dan
semua mata memandang ke arah kami.
“Ssst...
jangan keras-keras ketawanya!” pintaku sambil melihat ke arah Lisa. Dan untuk
pertama kalinya Lisa juga menengok ke arah kami. Dia teapt memandangku dan
kedua mata kami bertemu. Hanya dalam hitungan detik saja dia kembali
mengalihkan pandangannya, beranjak dari tempat duduk dan pergi meninggalkan
kantin.
“Nah,,, pergi
kan dia. Kalian sih ribut!” sentakku sebal.
Sementara Bayu
masih terus tertawa kaku sambil memegangi perutnya. “Hahaha... akhirnya ketahuan
juga kalau kamu beneran lagi perhatiin dia.” Ucap Bayu sambil menahan tawanya.
“Sejak kapan seorang Ardi, seorang kapten basket, ketua osis yang don juan
takut buat deketin cewek.” Celetuknya kemudian.
Aku langsung
bergegas pergi meninggalkan kantin tanpa sepatah kata yang ku ucapkan pada
teman-temanku. Bahkan aku tak peduli mereka masih bergumam dan menertawakanku.
Mereka tidak mengerti bagaimana perasaaan hatiku, mungkin inilah perasaan yang
sebenarnya. Alamiah dan datang begitu saja tanpa aku memintanya.
“Ardi....! Di
panggil Kepsek ke ruangannya.” Sapa salah satu teman sekelas dan seketika
membuyarkan lamunanku.
Tanpa banyak
bertanya aku langsung bergegas menuju ruang Kepala Sekolah. Aku tahu Kepala
Sekolah memanggilku hanya untuk hal-hal penting saja. Sebagai Ketua Osis yang
masih aktif, aku punya tanggung jawab terhadap semua kegiatan murid di sekolah
ini. Aku duduk di kursi tepat di hadapan meja kepala sekolah. Kemudian, dia
mulai mengajakku berbincang-bincang basa-basi sebelum ke pokok permasalahan
utama yang akan dia utarakan.
“Begini,
sekolah kita diminta untuk mengirimkan putra-putri berprestasi diajang
kompetisi siswa teladan antar sekolah dan antar provinsi. Saya ingin mengirim
kamu dan salah satu adik kelasmu yang sangat berprestasi di sekolah ini sebagai
kandidat untuk mewakili sekolah kita. Kamu bersedia?” tanya Pak Kepala Sekolah
kemudian.
“Saya
siap-siap saja Pak, kira-kira apa saja yang harus saya persiapkan untuk
mengikuti kompetisi itu?” tanyaku penasaran.
“Sebentar,
kita tunggu dulu dia datang ke sini. Nanti akan saya jelaskan detilnya saat dia
sudah di sini. Agar saya tidak perlu menjelaskan ulang. Kalian harus
bekerjasama dengan baik, karena di sini bukan kompetisi individual. “ ujar Pak
Kepala Sekolah.
Tak lama
kemudian terdengar pintu kepala sekolah yang diketuk. Kepala sekolah
mempersilahkan masuk dan aku sangat terkejut ketika melihat siapa yang datang.
“Akhirnya
datang juga, kenapa lama sekali Lisa?” tanya Kepala Sekolah.
“Maaf Pak,
tadi saya masih sholat dzuhur terlebih dahulu.” jawabnya dengan suara yang
lembut.
“Oh... oke.” kata
Pak Kepala Sekolah sambil memperbaiki posisi kacamatanya. “Silahkan duduk!”
perintahnya pada Lisa.
Lisa duduk
tepat di kursi sebelahku. Untuk pertama kalinya aku berada dekat dengan dia,
wanita yang selama ini begitu ku kagumi. Perasaanku semakin tak karuan, tubuhku
keringat dingin dan aku merasa gugup.
Bapak Kepala Sekolah menjelaskan panjang
lebar tentang kompetisi yang akan kami hadapi berdua. Sejak saat itu, aku dan
Lisa lebih sering bertemu untuk belajar bersama. Bukan hanya teori yang kami
pelajari, tapi juga ada beberapa praktikum yang akan jadi kompetisi.
Aku bahkan
tidak pernah menyangka kalau aku bisa sedekat ini dengan Lisa. Dia gadis yang
ceria, cerdas dan bijaksana. Tak jarang kami berdebat mempertahankan pendapat
masing-masing. Saling bercanda dan tertawa bersama. Dan kami bisa lebih sering
menikmati makan siang bersama.
Aku juga mulai belajar untuk dapat beribadah dan
menjadi imam di musholla sekolah. Banyak teman-teman yang heran dengan
perubahanku, tapi aku tidak malu karena aku berubah menjadi lebih baik. Seperti
apa yang pernah diucapkan Lisa padaku “Jangan pernah malu bila kita melakukan
hal yang baik!”.
Sampai
kompetisi berakhir dan kami berhasil menjadi juara kebanggan sekolah. Aku masih
belum punya keberanian untuk menyatakan perasaanku. Hingga aku naik ke kelas 3
dan dinyatakan lulus.
Aku masih memendam perasaanku, sampai ucapan salah satu
teman menyadarkanku apa arti kejujuran hati. Diterima atau tidak, setidaknya
aku bisa tahu bagaimana perasaan Lisa padaku. Di penghujung acara perpisahan
sekolah, aku mencoba menyatakan perasaanku pada Lisa. Aku menghampirinya dengan
perasaan gugup, tubuh yang keringat dingin.
“Lisa...!”
sapaku ketika sudah berada di sisinya.
“Ya Kak.”
Jawabnya dengan nada lembut.
“Kakak mau
bilang sesuatu sebelum Kakak pergi dari sekolah ini. Ini adalah hari terakhir
Kakak ada di sekolah ini. Kakak akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi dan kita tidak akan bisa bertemu setiap hari lagi.” Ucapku lirih.
“Iya, aku tahu
kok Kak. Semoga saja di kampus nanti Kakak tetap jadi mahasiswa yang
berprestasi. Dan jangan lupakan sholat ya!” tutur Lisa sambil memandang ke arah
panggung pensi.
“Aku cinta
kamu, Lisa,” celetukku tiba-tiba.
Lisa terdiam
tak berkata sedikitpun, tidak juga menoleh ke arahku. Jantungku semakin tak
karuan ketika aku tahu bahwa dia tak punya perasaan apa-apa. Bahkan setelah
beberapa detik, dia tidak merespon ucapanku.
Lima detik, sepuluh detik, lima
belas detik, tiga puluh detik dan dia masih diam.
Aku berharap dia menjawab
perasaanku, tapi dia tidak bergeming dan seolah-olah tak menganggap aku ada di
sisinya.
Aku membalikkan tubuhku dan pergi meninggalkan Lisa penuh kekecewaan.
Lisa memang tak seperti gadis lain, dia lebih sibuk dengan buku-bukunya.
Dia
tak mau disibukkan dengan perasaan cinta, baginya itu hanya akan mengganggu
kegiatan belajarnya. Aku berjalan menghampiri teman-temanku yang sedang asyik
membicarakan universitas yang akan mereka masuki setelah lulus SMA.
Tiga puluh
menit kemudian aku berpamitan kembali ke kelas untuk mengambil tas dan pulang
ke rumah. Ini terkahir kalinya aku pandangi kelasku beberapa menit, banyak hal
yang akan kurindukan dari kelas dan sekolah ini, terutama Lisa.
“Ah, aku harus
segera melupakannya. Dia tak menyukaiku sama sekali, apalagi berharap membalas
cintaku”. Batinku sambil menuju ke meja mengambil tas yang aku sandarkan di
kursi tempat dudukku. Aku terkejut mendapati ada amplop merah jambu yang ada di
mejaku bertuliskan ‘Untuk Kak Ardi’, aku segera membuka dan membacanya.
“Maaf bila aku belum bisa membalas perasaan cintamu.
Bahkan aku sendiri belum tahu apa itu cinta, aku sendiri belum yakin apakah aku
mencintaimu atau tidak. Bila tiba waktunya, kita akan dipertemukan kembali."
"Tuhan
menciptakan dua hati yang berbeda untuk saling mencintai, perasaan itu datang
tanpa aku memintanya. Tapi, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku masih
punya banyak hal yang harus kuperbaiki, aku belum jadi wanitamu yang baik,
belum pantas hadir dalam kehidupanmu."
"Aku tahu kamu sudah berusaha untuk
menjadi yang terbaik, bahkan saat aku tidak pernah memintanya. Maka, jadilah
yang terbaik untukku. Tuhan pasti akan mempersatukan bila hati kita berjanji
untuk tidak menghianati. Aku akan menunggu kamu mengucapkannya lagi ketika kita
sudah sama-sama dewasa dan siap berikrar di hadapan Tuhan. Aku hargai ikhtiar
cintamu dan aku akan menunggumu menikahiku.” –Lisa-.
-Selesai-
Cerita ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku Antologi Cerpen berjudul "Puppy Love"
______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.
0 komentar:
Post a Comment