CERPEN
“GETAR DADA DI LADANG LADA”
“Anggi….!”
Seru seseorang dari dalam rumah.
“Ada
apa Pak?” sahut Anggi sambil menggorek-gorek lada di penjemuran.
“Kamu
yang antar Lada ke Samarinda besok ya!” pinta Pak Murto yang baru keluar dari
pintu rumah.
“Kenapa
Anggi Pak?”
“Besok
Bapak ada pertemuan dengan para petani-petani yang lain.” Jawab Pak Murto
sambil menyulut sebatang rokok dan duduk santai di kursi teras rumahnya.
“Oke
deh Pak. Kok tumben banget ada pertemuan segala Pak? Emangnya ada apa?” Tanya
Anggi sambil melangkah mendekati ayahnya.
“Bapak
juga nggak tau, katanya sih dari Dinas Perkebunan atau Pertanian gitu. Bapak
kurang paham juga.”
“Oh…
gitu. Ya udah besok biar Anggi yang antar langsung mericanya ke sana.”
“Tapi,
Anggi itu kan perempuan Pak, apa gak sebaiknya menyuruh orang lain saja?” sahut
Ibu Darmi, mamanya Anggi yang baru keluar sambil membawa nampan berisi kopi
hangat dan pisang goreng.
“Ya
nanti bapak suruh Jamal temanin dia lah.”
“Nah,
kalau begitu Ibu nda khawatir Pak.”
“Apa sih
Bu yang dikhawatirkan? Anggi kan sudah besar.” Sahut Pak Murto.
“Iya
Bu, lagipula Anggi malas kalo jalan bawa si Jamal. Dia itu ribet kayak
perempuan.” Celetuk Anggi.
Dan mereka asyik bercanda pagi itu. Tak
lama kemudian Anggi menuju ke salah satu pondok dengan sepeda ontelnya. Di
ladang lada milik ayahnya ada beberapa bangunan pondok yang dipergunakan untuk istirahat
beberapa pekerja. Setelah menyandarkan sepedanya, Anggi berjalan kaki menuju
sungai perendaman. Di Sungai itu sudah di atur slot slot perendaman untuk
memisahkan lada yang hari panennya berbeda. Kemudian ia berjalan ke area lain
yang sedang dilakukan peremajaan tanaman lada.
“Pak,
ini bibitnya sudah disiapkan semua?” Tanya Anggi kepada salah seorang pekerja.
“Sudah
Mba, semuanya sudah siap tanam. Ini masih proses pembuatan lubang tanamnya.”
Jawab Pak Anto, salah satu pekerja di ladang itu.
“Wah,,,
keren memang Bapak ya, sudah berapa persen yang selesai pembuatan lubang
tanamnya pak?” Tanya Anggi kemudian.
“Sudah
tujuh puluh persen Mba.”
“Siip
deh. Oh… ya, Bapak lihat Jamal nggak?” Tanya Anggi sambil celingukan.
“Tadi
ada saya lihat di lahan yang lagi panen.” Jawab Pak Anto.
Anggi
segera menghampiri Jamal yang sedang memetik lada.
“Mal,
besok kamu disuruh Bapak nemenin aku ke Samarinda.” Celetuk Anggi yang sudah
berdiri di belakang tubuh Jamal.
“Wah,,,
beneran!? Asyiik… Ke Samarinda lagi. Ntar skalian kita mampir ke Mall ya. Kita
Belanja baju, trus kita makan di tempat makan yang enak-enak.”
Anggi
langsung memutar bola matanya melihat tingkah Jamal yang emang ribet dan banyak
maunya. “Ya deh, tapi jangan beli yang mahal-mahal ya!” tegas Anggi.
Keesokan
harinya Anggi dan Jamal langsung melaju menuju kota Samarinda. Setelah selesai
melakukan transaksi dengan pihak pabrik, Anggi langsung menuju mall untuk
menuruti keinginan Jamal.
“Cewek-cewek
di sini cantik-cantik ya Nggi, lumayan lah buat cuci mata. Mana tau bias dapat
jodoh orang sini juga.” Celetuk Jamal.
“Nggak
usah ketinggian deh. Kita ini cuma orang kampung, mana ada orang kota yang mau
sama orang kayak kita. Punya selera jangan ketinggian lah.” Sahut Anggi.
“Takdir
gak ada yang tau kan? Siapa tau aja ntar jodoh kita lebih baik. Kayak di
sinetron gitu, orang kampung dapet jodoh orang kota yang kaya raya…..” Oceh
Jamal panjang lebar.
“Itu
sinetron Jamal!” ucap Anggi sebal.
Hampir
seharian penuh mereka berkeliling kota Samarinda, sehingga mereka sampai di
rumah usai sholat isya’.
“Sudah
pulang?” Tanya Pak Murto.
“Iya,
Jamal bener-bener bikin aku capek banget. Banyak maunya!” gerutu Anggi sambil
berlalu masuk ke kamar tanpa menghiraukan suara panggilan Ibunya.
“Gimana
ini Pak?” tanya Ibu Darmi sambil menatap Pak Murto yang juga bingung.
Aaaaaaaarrrrgggghhhhh!!!
Tiba-tiba
teriakan Anggi meledak saat masuk ke kamarnya.
“Kamu
siapa? Kok tidur di kamar aku seenaknya!” teriak Anggi sambil memukuli
laki-laki itu dengan bantal gulingnya. “Pergi! Pergi!” pinta Anggi sambil
mendorongnya keluar dari kamarnya.
“Kamu
ini apa-apaan sih Nggi!” sentak Ibu Darmi.
“Bu,
ini Ibu yang apa-apaan? Main masuk-masukin laki-laki ke kamar aku.” Sahut Anggi
sebal. “Aku ini capek baru pulang, mau istirahat dan tiba-tiba di kasur aku ada
orang asing yang baring-baring seenaknya. Dan….” ocehan Anggi terputus.
“Dengar
Bapak dulu Nak!” kata Pak Murto memutus ocehan Anggi. “Ini Mas Fadli dari Dinas
Perkebunan Kota Samarinda. Dia mau nginap di sini beberapa hari untuk melakukan
pembinaan petani dan melihat langsung kegiatan perkebunan kita.”
“Kenapa
harus di sini? Di kamar aku?” tanya Anggi.
“Tadi
Bapak mau bicara sama kamu, tapi kamu buru-buru masuk kamar. Sementara kamu
tidur di kamar Masmu saja dulu, kan dia juga lagi nggak di rumah.” Jawab Ibu
Darmi.
“Nggak
mau Bu, Kamar Mas Seno itu berserakan.”
“Kan
bisa kamu bereskan dulu.”
“Nggak
ah, aku capek mau istirahat. Mending dia aja yang suruh tidur di kamar Mas
Seno, kan dia juga cuma numpang di sini.”
“Anggi…!”
sahut Ibu Darmi sambil melotot melihat kelakuan Anggi yang kurang sopan
terhadap tamu.
“Bu,
lagipula pakaian aku kan di kamar, nanti kalau aku mandi trus mau ganti pakaian
kan ribet bu kalo ada dia di kamarku.” Tutur Anggi yang menyadari maksud dari
tatapan Ibunya.
“Bener
juga kata anak Ibu, saya tidur di kamar lain saja.” Sahut Fadli.
“Nah,,,
dia aja bilang gitu kan? Ya udah aku mau istirahat.” Tutur Anggi sambil
berlalu.
Keesokan
harinya Anggi mendapat perintah dari bapaknya untuk mendampingi Fadli dalam
melakukan pembinaan ke petani-petani desa. Hampir semua masyarakat desa
berladang lada, namun hanya keluarga Pak Murto yang memiliki lahan yang luasnya
lebih dari 10 hektar dengan beberapa orang pekerja. Semua operasional kebun
diurus langsung oleh Anggi. Sejak Anggi masih sekolah hingga sekarang, dia
sangat rajin bekerja di ladang lada. Setiap hari selalu ia lalui dengan
semangat, bahkan disaat tersulit sekalipun. Tidak heran bila Fadli terkesan
dengan sifat dan sikap Anggi. Berkat bantuan Anggi, semua pekerjaan yang ia
kerjakan beberapa hari ini menjadi lancar. Wajah ceria Anggi mampu membungkam
emosi petani saat mereka mencoba mendebat apa yang disarankan oleh Fadli. Tak
ada yang salah dengan apa yang disampaikan oleh Fadli, dia hanya sedikit gugup
karena tidak biasa berbicara di depan para petani langsung. Banyak yang harus
ia dengar dari mulut petani, keluhan mereka tentang harga jual, keluhan mereka
tentang mahalnya pupuk dan masih banyak lagi.
Seminggu
berlalu, banyak hal yang Fadli pelajari tentang kehidupan di desa dan kehidupan
para petani. Berat langkahnya meninggalkan desa yang memberinya berjuta
pengalaman tak terlupakan. Terutama, pada gadis manis yang selama ini mendampinginya.
“Fadli
pamit pulang ya Pak.” Tutur Fadli lirih pada Pak Murto.
“Iya
Nak, hati-hati di jalan. Jangan sungkan berkunjung kembali kemari bila ada
waktu luang.” Sahut Pak Murto.
Fadli
hanya menggangguk sambil melirik Anggi yang tidak bicara sepatah katapun. Ada
hal yang ingin ia utarakan, tapi bibirnya membeku. Perlahan ia jinjing tasnya
dan melangkah pergi memasuki mobilnya. Lambaian tangan terakhir Anggi dan
keluarganya mengiringi kepergiannya, sampai pada akhirnya mobil sedan berwarna
silver itu tak terlihat lagi dari rumah Anggi.
“Huft…
akhirnya tugas aku selesai juga damping dia. Saatnya sekarang aku istirahat.”
Celetuk Anggi sambil berlalu masuk ke kamarnya.
Anggi
menghempaskan tubuhnya ke atas kasur sambil memandang langit-langit kamarnya. Matanya
membelalak ketika ia merasakan ada sesuatu yang aneh menusuk punggungnya. Ia
merasa seperti meniduri duri yang sebelumnya tidak ia lihat. Anggi bangkit dan
melihat setangkai mawar di atas kasurnya. ‘Iseng banget sih naruh mawar di
sini? Kerjaan siapa pula ini? Nggak tau ya kalo ini bahaya, sakit banget
punggung aku ketusuk durinya’, batin Anggi sambil melangkah ke jendela untuk
membuang bunga itu. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat gulungan
kertas menempel di tangkai mawar itu. ‘Ini surat’ batin Anggi bingung. Dan yang
lebih membingungkan lagi adalah siapa pengirim surat itu. Bagi Anggi ini adalah
keisengan belaka. ‘Jangan-jangan si Jamal nih ngerjain’, batinnya. Di bukanya
perlahan surat itu dan mulai membacanya.
Ada banyak hal yang ingin aku utarakan
tapi tak tahu harus mulai darimana. Banyak hal yang ingin aku bicarakan tapi
bibirku beku tak berdaya setiap kutatap mata indahmu. Aku kagumimu selayaknya
wanita, wanita yang tak pernah kutemui sebelumnya di setiap langkah hari-hariku.
Wanita yang ajari aku banyak hal tentang perbedaan, tentang keceriaan, tentang
kepedulian, dan tentang cinta. Cinta yang hanya bisa aku rasakan dalam dadaku.
Setiap ada di sisimu aku merasakan dadaku bergetar tak menentu, detak jantungku
berdetak tak teratur. Andai waktu bisa aku hentikan, aku masih ingin terus ada
di sampingmu walau kita berada dalam ruang yang sepi. Tanpa ada kata terucap
dari bibirmu pun aku merasa hatiku sedang ada dalam jutaan teriak kegaduhan. Aku
tahu saat ini kamu tidak memiliki rasa yang sama denganku. Tapi, suatu hari
nanti aku akan kembali dan kamu akan rasakan getaran cintaku. Aku janji kembali
saat kamu sudah siap membuka hatimu…. Fadli.
Anggi
termenung dalam beberapa menit. Hatinya masih tak percaya pada apa yang ia
baca, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Membalas suratnya ke mana? Sampai
akhirnya ia mengeluarkan handphone dari sakunya.
“Aku
bukan tak mau membuka hatiku, hanya saja aku tak pernah tahu cinta itu apa.”
Jemari tangan Anggi menari di atas keypad handphonenya dan mengirimkan pesan
pada Fadli setelah berpikir cukup lama.
“Aku
akan kembali dan tunjukkan padamu cinta itu apa.” Balas Fadli melalui pesan sms.
Anggi
tersenyum bahagia sambil memeluk handphone setelah membaca sms dari Fadli.Sudah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku antologi cerpen berjudul "Padamu Aku Bercerita"
______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan link atau nama penulis.
0 komentar:
Post a Comment