pixabay.com |
Aku menyandarkan kepalaku pada bingkai jendela
yang basah. Menatap rintik hujan yang menyapu setiap jejak masa lalu. Aku suka
hujan. Sebab ia datang untuk menyapu jejak kesedihan. Namun, ia tak mampu
menghapus bayangan. Bayangan dua orang yang entah sedang apa di luar sana.
Sebelum turun hujan, aku melihat Juna
menjemput Mbak Daya. Aku tak banyak bertanya mereka akan ke mana. Mungkin
menghabiskan waktu duduk berdua di Kafe atau sekedar makan di pinggir jalan.
Aku rasa, kantong Juna yang masih anak sekolah tak cukup tebal untuk membawa
Mbak Daya ke tempat-tempat mewah. Atau justru Mbak Daya yang merelakan uangnya
melayang untuk mengisi perut Juna? Ah, entahlah. Aku tidak bisa terus
mener-nerka.
Aku dan Juna satu kelas. Namun, tak pernah
saling sapa. Sejak kepindahannya dari sekolah lama, ia telah banyak mencuri
perhatian banyak gadis. Ia tak malu merayu banyak gadis dan sering membuatnya
tersipu, bahkan betah berlama-lama menyandar di pundaknya. Tak perlu mendapat
gelar pacar untuk bisa bergelayut manja di tubuhnya. Aku sering melihat
beberapa cewek datang ke kelas saat jam istirahat hanya untuk mendekati Juna.
Entah apa yang ia buat hingga cewek-cewek di sekolah menggilai kehadirannya.
Juna tak sungkan menggoda Mbak Daya, guru
cantik di sekolah yang juga kakak kandungku. Tak banyak yang tahu jika Mbak
Daya adalah kakakku, termasuk Juna yang sering datang ke rumah dan mengajak
Mbak Daya pergi ke luar. Aku tahu, Mbak Daya tidak akan serius menanggapi Juna.
Itu sekarang, tidak tahu besok jika hatinya berubah karena rayuan Juna.
Aku tidak menyalahkan Juna sebagai cowok Don
Juan atau Casanova, sebab itu adalah pilihan hidupnya dan mungkin satu hal yang
membuatnya bahagia. Juga tidak menyalahkan Mbak Daya jika suatu hari ia
benar-benar jatuh cinta, sebab dia juga wanita biasa yang mudah tergoda. Sebab,
semua kapal pasti akan berlabuh. Jika tidak, pastilah ia karam di tengah
lautan.
Aku melipat buku yang sedari tadi aku pegang.
Memeluknya sambil menatap rintik hujan yang mulai enggan menyapa pijakan kaki.
Ada nama Juna di halaman pertama buku ini. Ya, ini memang buku Juna. Bagaimana
bisa aku mendapatkannya atau bagaimana buku ini bisa di tanganku? Sudah pasti
bukan sebuah hadiah darinya. Ia memberikannya begitu saja saat memintaku
membantunya mengerjakan tugas. Dan tidak pernah lagi menanyakan buku miliknya.
Dia terlalu sibuk dengan wanita-wanitanya.
“Eh! Hai...!” Aku mengangkat Ibon yang
tiba-tiba bergelayut manja di kakiku. Kucing persia kesayanganku, dengan pita
merah menghiasi lehernya. Aku ajak dia menikmati gerimis yang hampir hilang.
Aku tahu, Ibon tidak suka hujan. Ia lebih memilih bergelayut manja mencari
kehangatan. Aku meletakkannya di atas kasur.
Lamat-lamat aku dengar suara motor berhenti di
depan rumahku. Aku melirik jam dinding, jam setengah sebelas malam. Selama
inikah aku menghabiskan waktuku untuk melamun tentang Juna? Sejak mereka pergi
hingga pulang kembali, aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan pria yang
sedang menebar cinta ke mana-mana.
“Dek, tolong bukain pintu! Mbak lupa nggak
bawa kunci.” Teriakan Mbak Daya terdengar jelas di telingaku.
Aku bergegas menuju pintu, membuka perlahan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
“Ayo masuk Jun! Tolong bikinkan teh hangat
untuk Jun!” Mbak Daya menatapku, sedangkan Juna berdiri tepat di belakangnya.
“Apa ini ajakan untuk menginap?” goda Juna
sembari menatapku tanpa berkedip, bahkan ia lupa mengatupkan kedua bibirnya.
Aku bergegas ke dapur.
“Mbak Daya nggak pernah bilang kalau punya
adik yang cantik dan manis.” Aku mendengar suara Jun dari balik dapur.
“Untuk apa? Supaya kamu bisa menggodanya?”
Mbak Daya mendengus sebal.
Juna terkekeh. “Siapa tahu dia jodohku.”
“Semua perempuan kamu bilang begitu.”
Aku keluar dan meletakkan dua cangkir teh di
atas meja dengan bersimpuh di lantai.
“Hai, aku boleh—”
“Cepat minum dan cepat pulang!” sergah Mbak
Daya.
Aku bergegas masuk ke kamar. Aku dengar tawa
renyah dari mulut Juna. Ternyata, Juna tak mengenali penampilanku di rumah.
Kemungkinan dia memang tak begitu memperhatikanku. Sebab aku bukan cewek modis
seperti yang lain. Aku hanya menghabiskan waktuku bersama buku. Kacamata
menghiasi mataku yang minus setengah. Rambutku kuikat sekenanya saja.
“Kamu sungguh tidak mengenali dia?” Suara Mbak
Daya terdengar jelas dari kamar, sebab pintu kamar tidak kututup rapat.
Jun menggelengkan kepalanya.
“Karina, teman sekelasmu. Bahkan kamu sering
belajar kelompok dengannya kan?” ungkap Mbak Daya. Duh, kenapa Mbak Daya
mengungkapkan siapa aku di depan Juna? Sudah sedekat itukah mereka?
“Astaga! Pantes wajahnya familiar. Tapi aku
lupa. Beda banget sama di sekolah. Di sekolah cupu banget! Tiap hari pacaran
sama buku. Aku nggak berani ngajak ngobrol. Bahkan memperhatikan wajahnya aja
aku nggak pernah Mbak.” Jun terlihat membalikkan tubuhnya dari sofa, menatap
pintu kamarku. Kupastikan ia tak kan bisa melihatku di balik pintu.
“Sudah, jangan banyak bicara lagi! Cepat
habiskan tehmu dan cepat pulang!”
***
“Ternyata kamu di sini. Aku udah cari kamu ke
semua ruangan di sekolah ini. Akhirnya, aku bisa juga menemukan tempat persembunyianmu.”
Juna tiba-tiba duduk di sebelahku tanpa permisi. Bagaimana bisa Don Juan
seperti dia masuk ke perpustakaan sekolah?
“Kamu suka mojok ya?” Juna menatapku yang
memang sedang duduk di lantai di sudut ruang perpustakaan.
Aku bergeming, melanjutkan membaca buku
Ensiklopedia tentang perkembangbiakan makhluk hidup.
“Kamu suka baca kayak gini? Pengen
berkembangbiak juga ya? Aku siap kok.” Juna mendekatkan wajahnya.
Aku terkejut bukan kepalang. Jantungku
berdebar tak karuan sebab tingkahnya yang sangat menggelikan.
PLAK!
“Kehabisan wanita buat kamu goda? Hah!?” Aku
menyeringai, merasa puas bisa menampar seorang Don Juan sekolahan.
“Kamu jahat banget sih!?” Juna memegangi
pipinya, meringis menahan sakit.
“Lebih jahat kamu yang membiarkan hati banyak
wanita ketar-ketir karena ulahmu. Kamu pikir mereka boneka-bonekamu? Dan satu
lagi, jangan pernah dekati Kakakku lagi, atau—”
“Atau apa?!” Juna mendongakkan kepalanya
menatapku yang berdiri di depannya.
BUK!!
Buku Ensiklopedia super tebal mendarat tepat di
kepalanya.
“Sialan! Minta dicium memang kamu ya! Kakaknya
cantik, kalem, baik. Adiknya freak!” Juna bangkit dari duduknya dan berdiri
menatapku penuh kekesalan.
Aku balik menatapnya dengan sengit. “Apa kamu
bilang?”
“Freak!” sentak Juna mendekatkan wajahnya ke
wajahku.
Aku menginjak kakinya sekuat tenaga,
mengangkat lutut kananku tepat mengenai alat vitalnya.
“Aaaauuuu....!” teriakan Juna menggema ke
seluruh ruangan sembari memegangi alat vitalnya, terduduk menahan sakit.
Aku segera berlari sebelum ia membalas
perbuatanku.
“Awas ya! Kalau sampai aku mandul, kamu harus
tanggung jawab!” teriakan Juna masih bisa kudengar dari pintu keluar.
Aku bergegas menaiki tangga kecil di sisi
bangunan perpustakaan. Aku berdiri di atas balkon berukuran 3x3 meter. Tidak banyak
yang tahu tempat ini, tempat biasa aku menyendiri. Dan kini akan jadi tempatku
bersembunyi dari kejaran pria seperti Juna.
“Gila ya itu cewek cepet banget ngilangnya!”
Kulihat Juna berlari mengejarku. Celingukan ke sana kemari sementara ia tak
akan bisa melihatku. Siapa murid yang tahu di ujung bangunan sekolah yang hanya
berisi rak-rak buku, ada balkon yang asyik untuk melihat aktivitas anak-anak
sekolah.
Juna terus berjalan menuju ke ruang kelas. Aku
yakin, dia pasti mencariku ke kelas. Terlihat bertanya pada beberapa murid lain
yang menggelengkan kepalanya.
Aku kembali ke kelas setelah lima menit bel
berbunyi, kupastikan guru sudah masuk ke kelas terlebih dahulu sebelum Juna
menghujaniku dengan tingkahnya yang menggelikan.
Tiba-tiba Juna sudah duduk manis di kursi
sebelahku saat aku masuk. Tersenyum begitu manis. Senyum yang mengandung banyak
makna. Jelas ada maksud tertentu di balik senyuman itu. Senyuman yang sengaja
dibuat-buat untuk menyembunyikan niat jahatnya.
Selama jam pelajaran, semua baik-baik saja.
Aku belajar seperti biasa. Namun, saat jam pelajaran usai dan semua murid
meningalkan ruang kelas. Ada hal tak terduga yang terjadi. Juna tiba-tiba
menahanku untuk bangkit dari kursi. Bahkan menarik kursiku merapat di kursi
duduknya. Membentangkan satu kakinya di atas pahaku.
“Kamu apa-apaan sih!?” Aku menyingkirkan kaki
Juna dengan kasar. Membiarkannya mengaduh sebab kakinya terhantup meja.
“Aku suka cewek kasar sepertimu.” Juna
menatapku penuh nafsu.
“Semua cewek kamu suka Jun. Kambing cewek aja
kamu sukain!” celetukku, secepatnya bangkit untuk meninggalkan Juna.
Gerakan tangan Juna lebih cepat dari
gerakanku. Ia kembali menahanku.
“Aku teriak nih!”
“Nggak papa. Teriak aja! Biar semua sekolah
tahu kalau kamu sedang tergila-gila denganku.” Jun tersenyum.
“Apa!? Aku nggak pernah tergila-gila denganmu
dan tidak akan pernah!” Aku menyeringai tepat di depan hidungnya.
Juna justru mencondongkan tubuhnya dan beraksi
ingin menciumku, secepatnya aku menghindarinya.
PLAK!
Tamparan Kedua.
“Dasar Omes! Piktor!” Aku segera bergegas
pergi saat ia tertegun sambil memegangi pipinya yang masih panas. Tangannya tak
lagi bisa bergerak cepat menahan kepergianku.
Aku berlari secepatnya sebab ia berusaha
mengejarku hingga ke parkiran sekolah. Aku tahu, Juna pasti bisa mengejarku
dengan sepeda motornya bila aku naik angkot.
“Angkot... Please! Jangan lama datangnya!” batinku
sambil berlari keluar dari gerbang sekolah.
Tak lama angkot berhenti dan aku segera
menaikinya. Tepat saat motor Juna berjarak lima meter. Hal ini membuat Juna
terus mengikuti angkotku. Duh, kenapa jadi begini sih? Apa semua perempuan yang
tergila-gila dengannya itu dikejar-kejar dahulu seperti ini? Bagaimana para
cewek sekolah tidak tergila-gila jika melihat perjuangan Juna dalam mengejar
cewek seperti ini?
“Aku nggak akan berhenti mengejarmu sampai
kamu bilang cinta sama aku!” Juna masih duduk di atas motor. Menatapku yang
sedang membuka pintu rumah.
“Nggak akan pernah!” Aku segera masuk rumah.
Membanting pintu keras-keras. “Dasar cowok gila!” makiku.
“Kenapa pulang sekolah kok marah-marah? Ada
siapa di luar?” tanya Mbak Daya yang melihat wajahku terlipat tujuh.
“Cowok gila!” Aku bergegas masuk kamar.
Mbak Daya keluar menemui Juna. Mereka malah
asyik mengobrol di teras rumah. Sementara hatiku masih sangat dongkol dengan
tingkah Juna hari ini.