Bab
4
-Ranting
Ranti-
Ranti
menggiring bebek-bebek dengan ranting karamunting di tangannya. Ia menggembala
bebek-bebek milik Pak Yogi menuju kali yang tak jauh dari rumah. Kini ia sudah
tak pernah lagi mengenakan seragam sekolah. Namun, ia selalu meminjam buku di
perpustakaan dan membawanya saat menggembala bebek.
Ranti
menyandarkan tubuhnya di akar pohon beringin. Mengamati bebek-bebek yang sedang
asyik berenang di kali. Ranting karamunting tak lepas dari tangan kanannya,
sedang tangan kirinya memegang buku kesehatan yang sedang ia baca. Hari mulai
sore, Ranti kembali menggiring bebek-bebek itu masuk ke kandangnya.
Pak
Yogi sedang mengarungi kotoran bebek. Kotoran bebek ini biasa dimanfaatkan untuk
pupuk organik. Beberapa warga yang bercocok tanam akan membeli kotoran bebek di
sini. Tanpa dikomando, Ranti membantu Pak Yogi mengarungi kotoran-kotoran
bebek. Mengikatnya dan menyusun di sudut pekarangan kandang bebek yang luas.
Pak Yogi memberikan kebebasan Ranti mengambil kotoran bebek untuk dijadikan
pupuk tanaman sayurnya. Setiap pagi dan sore sebelum menggembala bebek, Ranti
selalu menyempatkan diri merawat tanaman di kebun belakang rumahnya.
Selama
bertahun-tahun Ranti bekerja dengan keluarga Pak Yogi. Apa saja ia kerjakan,
bukan hanya menggembala bebek-bebek saja. Ia sering membantu Bu Yogi memasak
juga, sebab Bu Yogi memiliki warung makan dan sering sibuk di dapur sendirian. Ia
tak lagi sungkan menerima pemberian Bu Yogi. Pak Yogi sering memberikan upah
lebih untuk Ranti. Bahkan Pak Yogi memberikan seekor bebek yang kini telah
menjadi sepuluh ekor bebek, Andi sangat senang merawat bebek-bebek itu.
“Ran,
ini bawa pulang untuk adik-adikmu!” Bu Yogi menyodorkan satu renteng rantang
berisi makanan.
Ranti
menerima pemberian Bu Yogi. “Makasih Bu.” Ia bergegas pulang ke rumah.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam....”
Andi membukakan pintu rumah.
Ranti
langsung menuju dapur untuk meletakkan makanan yang diberikan Bu Yogi.
Menggantinya ke wadah miliknya.
“Masak
apa?” tanya Ranti yang melihat Sinta sedang memasak. Sinta bukan lagi anak
kecil berusia empat tahun. Kini, ia sudah bisa membantu Ranti membereskan rumah
juga memasak.
“Goreng
telur, Mbak. Mbak Ranti bawa makanan?” Sinta memperhatikan Ranti yang sedang
mengganti wadah makanan.
“Iya.
Dikasih Bu Yogi. Tadi Mbak bantu di warungnya karena warung lagi ramai.”
“Bu
Yogi selalu baik dengan kita. Apa Sinta juga boleh kerja seperti Mbak Ranti?”
Sinta mengangkat telur dari penggorengan, meletakkanya di atas meja.
“Kak!
Telurnya sudah matang!” teriak Sinta memanggil Andi yang sedang membaca buku di
ruang tamu.
“Boleh.
Tapi, Sinta kerjanya kalau sudah lulus sarjana. Dan tidak boleh kerja angon bebek seperti Mbak Ranti.” Ranti
tersenyum, melangkahkan kakinya ke tempat mencuci piring untuk membersihkan
rantang milik Bu Yogi. Kini, mereka tak lagi harus ke sumur untuk mencuci atau
mandi. Sudah ada kamar mandi di rumah mereka, hadiah dari Pak Yogi karena Ranti
rajin bekerja.
“Memang
kenapa kalau angon bebek, Mbak? Kata
Mbak Ranti itu pekerjaan halal?”
Ranti
membalikkan tubuhnya menatap Sinta yang sudah tumbuh besar. “Iya, memang
pekerjaan halal. Tapi, ada pekerjaan yang lebih baik untuk Sinta. Sinta harus
bisa jadi orang sukses.”
“Sukses
itu seperti apa Mbak?”
“Sukses
itu kalau Sinta bisa mewujudkan cita-cita Sinta.”
“Sinta
tidak punya cita-cita.” Sinta menundukkan kepalanya.
“Kenapa?
Setiap anak harus punya cita-cita.” Ranti menghampiri Sinta, membelai rambutnya
yang hitam dan ikal.
“Cita-cita
Mbak Ranti apa?” Sinta menatap wajah Ranti.
Ranti
tersenyum. Menghela napasnya. “Dulu, waktu Bapak dan Emak masih hidup, Mbak
Ranti ingin sekali jadi dokter. Tapi, sekarang cita-cita Mbak Ranti adalah
mewujudkan cita-cita kalian berdua.” Ranti memeluk Sinta. Andi juga ikut
menghambur ke pelukan Ranti.
“Kak
Andi pengen jadi apa?” Sinta menatap Andi sambil memeluk tubuh Ranti.
“Hmm....”
Andi memutar kedua bola matanya. “Ada deh. Rahasia!”
“Iih...
Kak Andi main rahasia-rahasiaan sama Sinta!” gerutu Sinta.
Andi
malah tertawa melihat wajah lucu Sinta.
***
Pagi
ini, udara terasa begitu dingin. Ranti menggenggam secangkir teh sembari
memandangi kebun sayur mungil miliknya. Dia berencana untuk menanami kebun
warisan Bapaknya. Jika ia bisa menanam satu hektar cabai, ia pasti bisa
memiliki banyak uang untuk biaya kuliah kedua adiknya.
“Mbak...!”
Suara Andi membuyarkan lamunan Ranti. Ranti membalikkan tubuhnya, menatap Andi
yang sedang berdiri di pintu dapur. Ranti tersenyum menatap Andi yang semakin
dewasa. Kini, Andi telah menggunakan seragam putih abu-abu. Air mata Ranti
hampir jatuh melihat Andi yang semakin gagah. Tinggi badannya kini telah
melebihi tinggi badan Ranti.
“Mbak
Ranti masih ingin angon bebek Pak
Yogi?” Andi memperbaiki kancing seragamnya.
Ranti
mengangguk. “Pak Yogi sudah semakin tua. Mbak Ranti akan tetap membantunya.
Mbak tidak akan pernah lupa kebaikan keluarga Pak Yogi pada kita. Andi saja sekarang
sudah melebihi tinggi Mbak Ranti.” Ranti mengangkat tangannya ke atas kepala.
“Bebek pemberian
Pak Yogi sekarang sudah menjadi banyak. Hampir menyamai jumlah bebek Pak Yogi.
Bagaimana kalau Mbak Ranti ajak serta bebek-bebek kita jalan-jalan seperti
bebek-bebek Pak Yogi?” Andi menatap Ranti. “Jika tidak merepotkan Mbak Ranti.”
Ranti
tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. “Nanti Mbak ajak serta mereka. Tidak
akan merepotkan. Sarapan dulu! Mana Sinta?”
“Hadir
Mbak!” Baru disebut namanya, Sinta langsung muncul dengan seragam putih biru. Sinta
kini tumbuh menjadi remaja yang cantik.
“Sarapan
dulu!” ajak Ranti. Mereka duduk bersama menikmati sarapan.
“An,
usai SMA mau lanjut ke mana?” tanya Ranti.
“Sesuai
jurusan yang Andi mau. Masih cari-cari informasi Mbak.” Andi menyuap kembali
makanan ke mulutnya.
Ranti
mengangguk-anggukan kepalanya. Ia berniat ke pasar, mencari majalah atau buku
yang berisi informasi Universitas Terbaik jurusan Geologi. Andi bercita-cita
menjadi seorang Geolog, dan Ranti harus membantu Andi mencari referensi
Universitas yang baik.
Usai
sarapan, Andi dan Sinta bergegas ke sekolah. Sementara Ranti sibuk membereskan
rumah, lalu pergi ke pasar.
Sepulang
dari pasar. Ranti menuju kandang bebek milik Pak Yogi. Bebek-bebek itu sudah
menjadi sahabat Ranti. Mereka selalu menyambut Ranti dengan senang hati. Sama
halnya dengan Ranti, begitu cekatan memberi makan dan merawat bebek-bebek milik
Pak Yogi. Ranti membuka pintu kandang, Bebek bergantian keluar dari kandangnya.
Ranti mengambil ranting kayu untuk menggiring bebek-bebek ke sungai. Tak lupa
ia membawa serta bebek-bebek milik Andi. Ketekunan Andi dalam beternak membuat
bebek-bebek miliknya berkembang cepat. Bahkan, uang hasil penjualan bebek bisa
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan sekolah Andi dan Sinta.
Dari
kejauhan, sepasang mata sedang memperhatikan Ranti yang duduk di tanggul.
Merendamkan ujung kakinya. Tertawa melihat bebek-bebek yang sedang asyik
berenang di sungai. Ranting karamunting dikibas-kibaskan di atas air dan
membuat bebek-bebek itu saling berenang bertabrakan. Hal ini selalu menimbulkan
gelak tawa bagi Ranti.
“Bahagia
banget!” Sepasang mata yang memandang Ranti dari kejauhan, kini duduk di sisi
Ranti.
“Eh!
Mas Gung?” Ranti terkejut dengan kehadiran Mas Gung. Mas Gung adalah salah satu
sahabat Ranti sejak kecil. Ia sering kali menemani Ranti, atau sekedar menyapa
saat Ranti melintas di persawahan miliknya saat menggembala bebek.
“Ran,
aku dengar dari Pak Yogi. Kamu mau menggarap lahan Bapakmu yang ada di bukit
itu?” tanya Mas Gung.
“Rencananya
begitu Mas. Tapi, aku belum punya waktu untuk merintisnya. Lahan itu sudah
terlalu lama tak digarap. Pohonnya sudah tinggi-tinggi dan aku belum punya
kekuatan untuk menghancurkannya.” Ranti tersenyum.
“Beri
upah saja ke orang lain.”
“Siapa
yang mau Mas?” Ranti menopang dagunya. Pandangannya melompat ke sana kemari,
berusaha mengingat orang-orang yang mau kerja serabutan.
“Coba
ke rumah Pak Mul. Dia sering merintis lahan orang. Biar saja dia yang mencari
kawan untuk membantunya. Lahanmu itu cukup luas. Jika hanya satu orang,
pastilah tidak akan cepat selesai. Jadi, kamu harus mengupahi tiga sampai empat
orang.”
Ranti
manggut-manggut. “Kira-kira berapa ya upahnya Mas?”
“Umumnya
seratus sampai seratus lima puluh ribu sehari.”
Ranti
mengangguk-anggukan kepalanya sembari berpikir jumlah uang yang akan dia
perlukan untuk membuka lahan kebunnya.
“Rencananya
mau kamu tanami apa?”
“Cabai.”
“Wah,
itu bagus. Harga cabai sekarang sangat bagus di pasaran. Aku yakin kamu pasti
berhasil,” ucap Mas Gung.
“Kenapa
Mas Gung seyakin itu? Aku sendiri tidak yakin,” guman Ranti.
“Karena
kamu selalu melakukan hal dengan sungguh-sungguh. Buktinya, sekarang kamu sudah
berhasil menyekolahkan kedua adikmu dengan usahamu sendiri. Kamu perempuan yang
hebat!” puji Mas Gung.
“Ah,
Mas Gung bisa aja.” Ranti tersipu. Ranti sadar, dia bukan anak gadis berusia 10
tahun. Kini, ia sudah dewasa. Kedua adiknya sudah tumbuh menjadi anak remaja
yang cerdas. Ada perasaan bangga dalam benaknya. Bangga karena bisa melewati
banyak hal sulit dalam kehidupan.
Ranti memandang
ranting karamunting yang sedari tadi ia kibaskan. “Terima kasih ranting kecil. Kamu adalah awal dari kehidupanku saat ini.
Jadilah penunjuk jalan kesuksesanku mewujudkan impian kedua adikku.”