Satu Hari dalam Ingatan Kakek
Penulis: Amelia Rizki
Semarang, 17 Desember 1945
Empat bulan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Santo kembali ke rumahnya di Semarang.
Suasana malam terasa mencekam akibat Belanda yang masih bercokol di tanah air. Tak banyak yang berani beraktivitas di malam hari, begitu juga dengan Santo. Sebagai seorang pejuang, ia harus lebih berhati-hati agar tak menarik perhatian para pasukan Belanda.
Malam itu terasa berbeda karena menjadi saksi kemarahan Mutia. Ia terdiam dengan tangan yang tergenggam kuat, setelah perselisihan dengan Santo, suaminya, hingga membuat kepalanya terasa pening. Dadanya naik-turun dengan helaan napas yang diambil sembarangan. Jantungnya berdentam-dentam begitu kuat, terasa ingin lepas dari tempatnya.
"Tolong mengertilah, Mutia. Ini demi negara kita." Santo mengusap wajahnya kasar.
"Tetapi Bagas itu masih berusia 16 tahun, Mas. Apa ndak kasihan sama anakmu?" Mutia menahan air yang akan jatuh di sudut matanya.
Santo menggeleng pelan, pertanda ia tetap pada keputusan. Pernyataannya yang ingin membawa anak mereka turut serta menjadi pejuang, menorehkan kecemasan yang mendalam di hati Mutia. Ingin rasanya ia menjelaskan betapa rasa khawatir itu juga datang menghampirinya, tetapi kecintaannya kepada negara ini lebih besar dari segala yang ia miliki.
Mutia terisak lirih, sadar bahwa tak ada lagi yang bisa menghentikan keputusan suaminya.
"Pergilah ke rumah simbok di Demak. Di sana kamu akan aman sementara waktu. Aku dan Bagas akan datang menjemputmu jika kondisi Semarang sudah membaik."
Santo mengecup puncak kepala Mutia, lalu memeluknya sebentar.
"Berhati-hatilah dalam perjalanan. Jadilah wanita yang tangguh lagi kuat."
Mutia mengemas pakaiannya ke dalam sebuah kain yang diikat sedemikian rupa. Bersamanya juga ia membawa secercah harapan atas keselamatan suami dan putra semata wayang. Mutia harus kuat. Menjadi istri seorang pejuang memanglah tak mudah. Dengan mengendap-endap, ia berjalan keluar meninggalkan rumah yang telah memberikan naungan belasan tahun lamanya.
"Aku menunggu kalian datang dalam keadaan bernyawa," ucap Mutia lirih sembari menengok ke arah rumah yang baru saja ia tinggalkan.
Akan tetapi, betapa terkejutnya Mutia ketika mendengar suara ledakan granat bergema dari arah belakang. Ia menjerit kala melihat rumahnya telah berlobang di beberapa bagian. Entah bagaimana dengan nasib Santo dan Bagas. Satu yang ia pahami, keputusan Santo menyuruhnya pergi adalah demi keselamatan dan kebaikannya sendiri.
Tanpa Mutia ketahui, detik di mana granat itu meledak dan membuat lubang di dinding rumahnya, detik itu pula Santo dan Bagas bergerilya menuju basecamp para pejuang. Mereka menyamar menjadi warga sipil biasa tanpa senjata, agar para tentara musuh tak curiga dengan keberadaan mereka.
"Kita akan melakukan gerakan senyap. Semua akan dilakukan dengan cermat dan hati-hati." Letkol Basuni memberikan penjelasan.
"Kita akan menyerang mulai malam ini. Tentu saja ini akan berhasil jika kita semua bekerja sama. Musuh telah membakar rumah-rumah warga dan juga gudang persenjataan. Kita hanya memiliki tekad kuat dan bambu runcing sebagai senjata. Apakah kalian bersedia?!"
"Siap, bersedia!" Gemuruh suara penuh rasa nasionalisme mengobarkan semangat juang yang tinggi.
Mereka mulai membagi tugas agar penyerangan dapat sukses terlaksana. Golongan Toekang Listrik yang biasanya bertugas mengaliri listrik di seluruh kota, kini bekerja sama untuk memadamkan seluruh listrik di dalam kota. Sabotase ini dilakukan agar
konsentrasi Belanda terpecah belah.
"Santo! Maju ke arah jantung kota kemudian kepung markas musuh. Bawa beberapa pasukan bersamamu!" Dengan tegas Komandan Basuni memberikan perintah. Dalam situasi seperti ini, titah komandan menjadi keharusan dlyang harus dipatuhi tanpa ada perlawanan.
Santo mengangguk. Matanya berkilat tajam, dengan bendera merah putih terikat kuat di atas bambu runcing miliknya. Ia dan beberapa pasukan muda untuk bergerilya menuju markas musuh.
"Kita berpencar! Lumpuhkan musuh dengan senjata apa pun yang kita punya. Takada kata menyerah demi mempertahankan kemerdekaan kita," teriakan Santo berhasil memantik semangat para pemuda.
Akan tetapi, baru saja Santo hendak menyergap musuh, derap langkah sepatu terdengat mendekat.
"Hou je mond!"
Santo mematung merasakan dinginnya moncong senjata tepat berada di keningnya.
"Bajingan!" umpat Santo sembari meludah ke arah pasukan Belanda.
Terang saja tindakannya itu membuat berang tentara Belanda. Ia bergumam, lalu memukulkan senjata laras panjang itu ke kepala Santo hingga membuat kepalanya berambut gondrong miliknya mengeluarkan darah.
Pandangannya mulai kabur, lalu samar-samar ia mendengar beberapa pejuang berlari menuju ke arahnya.
"Mati kowe!" Santo berteriak sambil mendorong tubuh tegap si Belanda hingga terhuyung.
Melihat kesempatan baik ada padanya, ia menangkap tinggi-tinggi bambu runcing miliknya, lalu menghujamkannya berulang kali. Senyuman terbit di ujung bibirnya. Perasaan puas telah mengalahkan seorang musuh seakan memenuhi ruang di dalam hati. Ia kemudian bergabung bersama pasukannya untuk terus menggempur musuh.
Semangat membara para Toekang Listrik yang sebelumnya membantu memadamkan listrik kini telah turun lapangan. Mereka bergerak dengan menggenggam berbagai macam keahlian mereka seperti;kunci-kunci, linggis, palu dan lain sebagainya.
"Merdeka!"
"Merdeka!"
"Usir Belanda dari Bumi Pertiwi!"
Teriakan-teriakan itu terus menggema dari para pejuang tanah air. Beberapa saat, Santo mulai ingat keberadaan Bagas. Bagaimana pun ia bertanggung jawab atas keselamatan anaknya. Mutia, sang istri, tak akan memaafkannya jika sesuatu hal terjadi kepada anak semata wayang mereka.
"Hendro! Di mana Bagas?" tanyanya sambil menepuk pundak teman seperjuangannya.
"Bagas tadi sudah lebih dulu berangkat ke daerah di sebelah utara. Pasukannya berhasil menakuti para Belanda itu," ujar Hendro sedikit berkelakar.
"Syukurlah kalau begitu." Santo meringis memegangi keningnya yang masih berdarah. Ia menyobek kain baju miliknya, lalu membebatnya kuat agar pendarahan segera berhenti.
Jarum jam terus berputar pada porosnya. Dalam dinginnya malam, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur. Beberapa bangunan penting tadinya berhasil dikuasai musuh, akhirnya bisa direbut kembali oleh pejuang tanah air. Markas besar berisi beberapa berkas penting dan perlengkapan senjata lengkap beserta amunisi juga aman terkendali.
Malam yang melelahkan telah terlewati. Matahari pagi bersinar hangat menerpa wajah-wajah dingin yang penuh bekas luka. Namun, wajah-wajah itu tetap menampilkan senyuman terbaik meski rasa lelah seakan mematahkan tulang belulang. Mereka tetap bersorak bangga karena berhasil memukul mundur Belanda dan mempertahankan Ibu Kota Jawa Tengah.
Santo sudah mendapatkan perawatan agar lukanya tak semakin parah. Bagas pun tak terluka parah. Hanya beberapa goresan di tangan dan kakinya. Berita kemenangan pejuang tersebar melalui radio-radio tanah air.
"Berita pagi hari itu dari sekitar Mranggen para pejuang republieken menyataken bahwa niat moesoeh menggempoer Mranggen tidak berhasil. Peloeroe-peloereo moesoeh djatoeh berhamboeran dimoeka Kota, di belakang Semarang, dan sekitar Mranggen!"
Tak terlukiskan betapa gembiranya hati Mutia mengetahui keberanian para pejuang telah berhasil mengalahkan Belanda.
"Mbok! Simbok! Belanda sudah pergi, Mbok. Mas Santo dan Bagas sebentar lagi pasti datang menjemputku di sini." Mutia berlari-lari menyampaikan kabar gembira kepada ibunya.
Bibir yang sejak semalam hanya terkulum kini mulai tersenyum manis. Begitu bahagianya hingga masih pagi-pagi sekali ia sudah mandi dan bersolek demi menunggu kedatangan anak dan suaminya. Kebanggaannya menjadi berlipat-lipat kala teringat perdebatan mereka malam itu. Mutia merasa beruntung karena suaminya bersikeras membawa Bagas berjuang bersamanya.
"Mutia!"
"Ibuk!"
Teriakan Santo dan Bagas memudarkan lamunan Mutia. Senyumnya makin melebar tatkala ia melihat dua sosok lelaki berjalan menuju ke arahnya.
17 Agustus 2023
78 tahun Indonesia merdeka.
Hari ini Kota Semarang begitu semarak dengan bendera merah putih berdiri tegak di depan rumah para warga. Seorang lelaki renta memakai topi veteran duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan. Matanya berkaca-kaca dengan tangan yang sesekali gemetar.
Tujuh puluh delapan tahun lalu, ia berjuang memukul mundur pasukan Belanda yang hampir saja kembali menduduki Ibu Kota Jawa Tengah. Meski bukan di hari yang sama, tetapi ia masih ingat keringat dan darah yang menetes dari dahinya.
Ia menggenggam kuat kain berwarna merah dan putih. Menghidu aromanya dengan sepenuh hati, lalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Meski suaranya tak sekuat dulu, meski tenaganya telah rapuh dimakan usia, tetapi ingatannya tentang hari itu takpernah hilang walau sedetik saja.
Ia terus bergumam, hingga seorang anak kecil bertubuh tambun dengan rambut sebahu itu menghambur ke dalam pangkuannya.
"Kakek Bagas, ayo pasang bendera!" ujarnya sambil menarik-narik kain yang dipegang sang kakek.
Di belakangnya, seorang lelaki berpakaian TNI juga turut menghampiri.
"Ayah, terima kasih telah berjuang bersama seluruh warga Semarang kala itu."
"Terima kasih telah menjadi tentara yang tangguh. Tugasmu menjaga tanah air, aku yang melanjutkan."
Kemudian mereka bersama-sama memasang bendera pada tiang kayu yang telah disediakan sebelumnya. Memberikan hormat pada sang saka merah putih yang demi dirinya telah rela bertumpah darah.
Semarak bulan Agustus selalu saja ditunggu warga. Berbagai lomba diadakan demi memeriahkan suasana. Dari anak-anak hingga dewasa semua larut dalam bahagia yang nyata. Pasukan gerak jalan, panjat pinang, tarik tambang dan sepak bola menjadi pertandingan rutin setiap tahunnya.
Tak lupa yang selalu menjadi topik utama adalah karnaval dengan berbagai jenis kostum kepahlawanan. Jika sudah begini, Kakek Bagas akan setia duduk di kursi miliknya, lalu mulai bercerita tentang hebatnya para pejuang memukul mundur para penjajah. Tentang bagaimana mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar di udara. Tentang duka kehilangan teman dan saudara di waktu yang nyaris berdekatan.
Selanjutnya ia akan bercerita tentang bahan makanan yang hanya terbuat dari umbi singkong semata, serta senjata yang tak seberapa, para pejuang tetap gigih membela. Lalu, Kakek Bagas mulai membanding-bandingkan, bagaimana hidupnya semasa menjadi pejuang muda dengan para muda mudi jaman sekarang.
"Dulu, menjadi prajurit itu begitu membanggakan, sekarang disuruh hormat bendera saja banyak yang tidak mau."
"Zaman dulu, senjata hanya milik penguasa. Kini pasukan adalah kita yang bergerak bersama melindungi tujuan negara."
Kakek Bagas meneteskan air mata yang sempat menggantung di pelupuk. Hatinya campur aduk melihat perkembangan Indonesia yang semakin modern. Satu hal yang selalu ia katakan, "Kita sudah lama merdeka, tetapi hari ini aku melihat rakyat dijajah oleh bangsa sendiri. Orang susah semakin susah karena mereka yang berkuasa berbuat semena-mena. Sungguh kasihan!"
PROFIL PENULIS
Amelia Rizki adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis cerpen. Ia telah mengikuti beberapa event dan berhasil menjuarainya. Selain itu, ia juga turut serta menjadi penulis di beberapa antologi bersama. Jika ingin berkomunikasi dengannya bisa melalui FB: Amelia Rizki