“Pengen
Berhenti Nulis”
Huft …!
Tulisan ini aku
tulis untuk menggambarkan kegelisahanku selama ini. Dari dulu, aku pengen
banget berhenti nulis. Rasanya … otak dan tubuh sudah lelah untuk terus mencari
ide. Belum lagi terdistraksi dengan kegiatan anak-anak. Pengen bisa berhenti
nulis, apalagi kalau tulisan yang kita buat nggak ada yang baca. Bikin mental
down karena aku ngerasa sudah mencurahkan tenaga dan pikiranku untuk membuat
cerita yang menarik, tapi ternyata nggak bisa menarik. Karena yang bisa menarik
itu cuma tangan.
Di sela-sela
pergantian malam, aku sering termenung sendirian di deket kulkas. Kenapa harus
deket kulkas? Yah, karena aku nggak punya AC buat ngadem. Terpaksa dah jadiin
kulkas sebagai alat untuk mendinginkan hati dan pikiran ini.
Aku sering
banget merenung dan bingung mau bikin ide apa lagi untuk ceritaku. Kadang, aku
sampai mengabaikan dan melupakan kegiatan penting karena waktuku habis kupake
buat ngelamun.
Sambil duduk
menatap diri sendiri yang nggak kelihatan, aku terus berpikir untuk berhenti
menulis. Pengen aja netralin otak dan pikiran. Pengen bisa hidup seperti
wanita-wanita yang lain yang bisa bersantai tiap hari tanpa beban. Tapi, balik
lagi sih sial sawang sinawang yang kerap aku dengar dalam nasihat orang jawa.
Terlalu banyak
hal yang terjadi sama aku sejak tujuh tahun belakangan ini. Aku harus
menanggung banyak penderitaan dan rasa sakit yang orang lain nggak pernah
mengetahuinya. Karena semua itu masih aku simpan sendiri dengan begitu rapat.
Aku cuma nggak mau ditertawakan sama orang yang nggak suka sama aku, saat aku
lagi ada dalam penderitaan.
Ketika aku
memutuskan untuk menjadi seorang single mom sejak satu tahun lalu, aku harus
siap dengan segala konsekuensinya. Harus siap menanggung masa depan anak-anak
dan keluargaku. Menjadi single fighter tidaklah mudah. Butuh effort yang lebih
karena harus bisa menjadi ibu yang bertanggung jawab pada rumah dan anak-anak,
sekaligus menjadi ayah yang harus mencari nafkah dan memastikan kalau besok
keluargaku masih punya makanan.
Semua rasa
sakit itu … nggak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Mungkin, akan butuh
naskah berjilid-jilid hanya untuk menggambarkan apa yang telah terjadi dalam
hidupku.
Setiap malam …
aku nggak bisa tidur nyenyak. Saat diri ini mulai berselimut sepi dalam
kelapnya malam, aku selalu dihantui banyak ketakutan. Ketakutan tentang masa
depan anak-anakku, ketakutan tentang kegiatan-kegiatan sosial yang selama ini
lakukan, ketakutan tentang bagaimana menjalani hubungan kembali dengan
seseorang.
Sungguh, aku ingin
lepas dari ini semua. Tapi aku nggak sanggup. Bagiku, tengah malam adalah pintu
yang selalu membawaku pada ingatan masa laluku. Setiap kali aku lihat pintu itu
… aku melihat diriku sendiri yang terluka di masa laluku. Rasanya sakit, pilu
dan sulit untuk aku gambarkan dengan kata-kata.
Aku sedih bukan
karena membenci orang yang melukaiku selama ini. Aku sedih karena aku bisa
melihat diriku sendiri yang masih berusaha keras berdiri kuat meski seluruh
tubuhnya tersayat dan berdarah-darah.
Aku takut aku
dilukai lagi.
Aku takut aku
dikecewakan lagi.
Aku takut aku
tidak bisa bahagia lagi.
Dan masih
banyak rasa takut yang menghantui pikiranku setiap malamnya.
Setiap aku
terjaga di tengah malam, aku selalu bersedih. Kesunyian dan kegelapan malam itu
sungguh-sungguh hal yang sempurna untuk menggambarkan sebuah penderitaan. Air
mata ini selalu menetes untuk menangisi nasib diriku sendiri.
Di tengah
kekalutan hatiku, rasanya aku pengen nulis. Karena aku tahu, aku nggak akan
sanggup memenuhi keinginan pembacaku yang harus update setiap hari, sementara
aku sibuk bertahan hidup dan mempertahankan kewarasanku.
Aku pengen
berhenti nulis. Tapi aku sadar kalau aku nggak akan bisa melakukannya. Bagiku,
menulis seperti healing atas semua rasa sakit yang aku alami selama ini. Kalau
aku tidak menulis, mungkin semua yang aku rasakan akan lebih sakit. Karena saat
malam hari dan aku nggak bisa tidur, aku selalu nulis untuk mengalihkan semua
kesedihan dan penderitaanku. Meski aku pengen berhenti menulis, menulis menjadi
bagian dari healing (penyembuhan) atas semua rasa sakit yang sedang aku pikul.
Aku selalu
pengen berhenti nulis, tapi aku selalu gagal. Karena menulis adalah bagian dari
kebutuhan dan bagian dari rutinitasku yang nggak bisa aku tinggalin. Setiap
kali aku nggak nulis, kepalaku rasanya mau pecah. Tapi … mau nulis juga selalu
nggak ada waktu untuk melakukannya. Jadi, aku pilih berhenti menulis sejenak
saja. Mengatur suasana hatiku dan aku akan menulis apa yang ingin aku tulis
saja. Karena terkadang … aku nggak bisa bahagia ketika aku sedang membahagiakan
orang lain.