Labels
Friday, September 16, 2022
Extra Part 02 - I Lost You, Ustadz [Prekuel Assalamualaikum, Ya Habib]
“Assalamualaikum, Ustadz
...!” sapa Halimah dan teman-temannya saat mereka memasuki masjid yang menjadi
tempat ibadah sekaligus belajar kajian Al-Qur’an di desa tersebut.
“Wa’alaikumussalam ...!”
balas Ustadz Zuhri yang baru saja selesai menyapu masjid tersebut. “Sudah pada
datang?”
“Sudah, Ustadz.”
“Pasti pada capek ya jalan
kaki dari kampung sebelah. Ke belakang dulu kalau mau minum!” ajak Ustadz
Zuhri.
“Iya, Ustadz. Aku haus
banget. Boleh minta minum ke rumah Ustadz, kan?” Sahut Anjani.
“Boleh. Yuk!” ajak Ustadz
Zuhri. Ia segera melangkahkan kakinya menuju bangunan kecil tempat tinggalnya
yang ada di belakang masjid tersebut.
Halimah tersenyum kecil. Ia
memilih untuk melangkah masuk ke dalam masjid.
“Halimah, kamu nggak ikut
ke belakang? Istirahat dulu!” tanya Ustadz Zuhri saat menyadari Halimah tidak
mengikutinya.
Halimah menggeleng sambil
tersenyum. “Tidak usah, Ustadz. Halimah bawa air minum sendiri dari rumah.”
Ustadz Zuhri memperhatikan Halimah
selama beberapa detik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Mengajak Anjani, Agus,
Ibrahim dan Ihsan untuk beristirahat terlebih dahulu karena mereka baru saja
menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan.
“Waktu sholat Ashar masih
setengah jam lagi. Kalian beristirahatlah di sini dulu, ya! Kita mulai belajar ba’da
Ashar, seperti biasanya.”
“Siap Pak Ustadz!” sahut
Ibrahim dan yang lainnya bersamaan. Mereka langsung duduk di ruang tamu Ustadz Zuhri.
Menonton televisi sambil menikmati cemilan dan minuman yang tersedia di sana.
“Kalian sudah hafalan tajwid?”
tanya Ustadz Zuhri.
“Sudah, Ustadz.”
“Alhamdulillah. Tilawahnya
bagaimana?” tanya Ustadz Zuhri lagi.
Semua orang di sana terdiam
dan saling pandang.
“Hehehe. Kami belum ada
yang menguasai semuanya, Ustadz. Baru bisa nada rendah aja,” ucap Ihsan sambil meringis
ke arah Ustadz Zuhri.
“Wah, padahal ustadz sudah
siapkan hadiah untuk kalian kalau sudah menguasai semuanya minggu ini. Batal
deh hadiahnya,” ucap Ustadz Zuhri.
“Itu, Ustadz. Halimah ...! Halimah
sudah bisa tujuh tingkatan lagu Tilawah,” ucap Ibrahim.
“Oh ya? Yang bener?” tanya
Ustadz Zuhri penasaran.
“Iya, Ustadz. Dia semangat
banget belajar tilawah supaya bisa dapet hadiah dari Ustadz Zuhri,” ucap Agus.
Ustadz Zuhri tersenyum. “Baguslah
kalau begitu. Memangnya Halimah menginginkan hadiah apa dari saya?”
“Pengen di-khitbah sama
Ustadz Zuhri,” jawab Ibrahim.
Ihsan langsung membungkam
mulut Ibrahim. “Kamu jangan bocorin rahasia Halimah! Nanti dia marah sama kita,
gimana?”
Ibrahim menahan tawa sambil
menutup mulutnya sendiri. “Maaf, aku keceplosan.”
Ustadz Zuhri tersenyum
kecil. “Ya sudah, kalian istirahat dulu di sini! Saya akan coba menguji Halimah
sambil menunggu waktu sholat Ashar.”
“Siap, Ustadz!” sahut Ibrahim
dan yang lainnya bersamaan.
“Anjani boleh ikut, Ustadz?”
tanya Anjani sambil menatap wajah Ustadz Zuhri.
“Anjani sudah hafal
tingkatan lagu Tilawah juga?” tanya Ustadz Zuhri.
Anjani menggelengkan kepala.
“Saya uji Halimah dulu.
Boleh ikut kalau mau melihat,” ucap Ustadz Zuhri sambil melangkahkan kakinya. Ia
segera masuk kembali ke dalam masjid dan menghampiri Halimah yang sudah siap
dengan mukenah dan Al-Qur’an di hadapannya.
Ustadz Zuhri langsung tersenyum
lebar mendapati wajah cantik Halimah. Gadis belia itu tidak hanya memiliki
paras yang cantik, tapi juga memiliki sifat dan sikap yang baik pula. Ia selalu
merasa bangga dan mengagumi semua yang ada pada wanita ini. Terlebih saat ia
mendengar desas-desus jika Halimah menyukainya. Ia semakin tertarik dan
bersemangat untuk mengajar ilmu agama.
“Assalamualaikum, Halimah
Az-Zahra!” sapa Ustadz Zuhri sambil duduk di hadapan Halimah. Ia tetap menjaga
jarak sekitar dua meter dari tubuh Halimah agar tidak menimbulkan fitnah yang
tidak-tidak.
“Wa’alaikumussalam, Ustadz
...!” balas Halimah sambil mengangkat wajahnya dan menatap Ustadz Zuhri.
“Subhanallah ...! Kecantikanmu
sesuai dengan namamu, Halimah. Mewarisi kecantikan Fatimah Az-Zahra, putri
Rasulullah,” ucap Ustadz Zuhri sambil menatap wajah Halimah tanpa berkedip.
Halimah tersenyum dengan
pipi menghangat. “Ustadz Zuhri bisa saja. Aku merasa biasa saja, Ustadz. Masih
banyak wanita yang jauh lebih cantik dari saya.”
Ustadz Zuhri tersenyum
bangga mendengar ucapan Halimah yang begitu rendah hati. “Kata teman-temanmu,
kamu sudah bisa semua lagu Tilawah?”
Halimah mengangguk. “Insya
Allah, Ustadz.”
“Bisa saya dengarkan
sekarang?” tanya Ustadz Zuhri sambil tersenyum menatap Halimah.
Halimah mengangguk. Ia
segera membaca ta’awud dan mulai mengeluarkan lagu-lagu tilawah dengan suara merdunya.
Ustadz Zuhri terus
tersenyum menikmati suara merdu Halimah yang jarang sekali ia dengar.
“Halimah, hadiah apa yang
kamu inginkan dari saya karena kamu sudah berhasil menguasai lagu tilawah
dengan baik?” tanya Ustadz Zuhri begitu Halimah selesai melantunkan lagu-lagu
Al-Qur’an tersebut.
“Apa saja, Ustadz. Asal
Ustadz ikhlas memberinya untuk saya,” jawab Ainin sambil menundukkan kepalanya.
Ia tidak tahan jika bertatapan langsung dengan Ustadz Zuhri karena jantungnya tak
bisa diajak untuk berkompromi. Tatapan pria idaman itu berhasil membuat pipinya
mengeluarkan semburat warna merah muda.
“Aku akan meng-khitbah
kamu, Halimah. Aku akan menikahimu setelah kamu lulus SMA,” ucap Ustadz Zuhri.
DEG!
Halimah langsung menatap
wajah Ustadz Zuhri dengan perasaan tak karuan. Dunianya seolah berputar tak tentu
arah dan ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak
menyangka jika Ustadz Zuhri memiliki niat untuk memperistri dirinya. Rasanya,
ia sedang berada di alam mimpi karena menjadi istri dari Ustadz Zuhri adalah
sebuah mimpi. Mimpi yang selalu ia ucapkan dalam doa-doa dan sholatnya hingga
Allah menyentuh hati Ustadz Zuhri untuk membalas semua perasaan yang sedang ia
pendam.
“Ustadz, ini sungguhan?
Tidak sedang bercanda untuk membuatku senang ‘kan?” tanya Halimah.
Ustadz Zuhri menggeleng sambil
tersenyum. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini karena Halimah adalah
wanita cantik dan sholehah yang menjadi bunga desa di desa sebelah. Saat Halimah
datang ke tempatnya untuk belajar mengaji, ia merasa jika Allah sedang memberikan
jalan agar jodohnya semakin dekat dengannya. Ia ingin memiliki Halimah, wanita
yang wajah dan akhlaknya begitu mengagumkan meski tinggal di pelosok desa.
[[Bersambung ...]]
Terima kasih buat kalian
semua yang udah mau mengikuti kisah Halimah Az-Zahra.
Semoga ada banyak pelajaran
hidup yang bisa kalian ambil dari tulisan ini karena kita hanya manusia biasa
yang tidak akan bisa lepas dari dosa dan noda.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
Wednesday, September 14, 2022
Extra Part 01 - [Prequel Assalamualaikum, Ya Habib!"] [I Lost You, Ustadz]
I Lost You, Ustadz |
“Halimah, mau ke mana?” tanya Annisa ketika melihat
Halimah sudah berpakaian rapi. Gamis panjang menutupi seluruh tubuhnya dan
kerudung segi empat yang dipakai dengan rapi, dilengkapi dengan bross bunga
kamboja sebagai pemanis.
“Halimah mau ke kampung sebelah, Kak. Belajar mengaji
sama Ustadz Zuhri,” jawab Halimah sambil tersenyum lebar.
“Bukannya kamu juga sudah ngajar ngaji? Buat apa
jauh-jauh ke kampung sebelah?”
“Beda, Kak. Imah ngajar Iqro’ yang masih alif ba’ ta.
Masih harus mendalami ilmu mengaji yang baik dan benar supaya nanti bisa jadi
Ustadzah beneran di kampung ini.”
“Ya sudah kalau begitu. Kamu berangkat sama siapa?
Sendirian?” tanya Annisa.
“Nggak, Kak. Aku pergi sama Anjani dan teman-teman
yang lain juga, kok.”
“Rame-rame? Syukurlah kalau ada temannya. Pulangnya
jangan malam-malam, ya!” pinta Annisa.
“Iya, Kak. Kalau tidak ada kajian tambahan, Imah akan
pulang setelah sholat Isya’.” Halimah tersenyum sambil menghampiri Annisa. Ia
menyalami tangan kakaknya itu, mencium punggung tangan dan kedua pipinya
sebelum ia benar-benar keluar dari rumah. Itu adalah kebiasaan yang selalu ia
lakukan setiap kali akan keluar rumah.
Halimah tidak memiliki siapa pun selain sang kakak. Ia
dan Annisa sudah menjadi anak yatim-piatu sejak mereka masih berumur belasan tahun. Meski begitu,
kehidupannya di kampung tidak terlalu buruk. Kedua orang tuanya meninggalkan
sarang walet di belakang rumah mereka dan mereka bisa bertahan hidup dengan
menjual air liur burung walet tersebut. Hidupnya tidak kaya, tidak miskin juga.
“Kak Annisa, Halimah pergi dulu. Assalamualaikum …!”
pamit Halimah sambil melangkah keluar dari dalam rumah mungil nan asri milik
mereka.
“Waalaikumussalam …! Hati-hati di jalan. Semoga ilmu
yang kamu dapat jadi berkah,” ucap Annisa sambil tersenyum manis menatap tubuh
Halimah yang bergerak pergi.
Halimah tersenyum lebar. Ia terus melangkahkan kakinya
sembari memeluk tas kain yang berisi mukenah dan Al-Qur’an. Ia langsung
menghampiri Anjani dan teman-temannya yang menunggu di jembatan yang tak jauh dari
rumah mungil miliknya.
“Assalamualaikum …!” sapa Halimah sambil tersenyum
ramah.
“Wa’alaikumussalam Halimah cantik …!” balas tiga orang
pria yang ada di sana. Mereka tersenyum lebar sambil menatap wajah Halimah yang
sangat cantik di mata mereka.
Anjani melirik ke arah tiga pria yang menjadi kawan
sepermainan mereka. Ia tersenyum ke arah Halimah dan merangkul lengan
sahabatnya itu. “Kita berangkat, yuk! Nggak ada yang ketinggalan ‘kan?”
“Insya Allah nggak ada.”
Anjani tersenyum. Ia melangkahkan kakinya beriringan
dengan Halimah, sementara tiga pria remaja itu berada di belakang mereka.
“Anjani, kamu sudah hafalin tajwid yang diajari Ustadz
Zuhri kemarin?” tanya Halimah.
“Sudah, dong.”
“Oh, ya? Materi tilawah gimana? Kamu udah bisa semua nadanya?”
tanya Halimah.
Anjani menggeleng. “Aku nggak begitu bisa, Halimah.
Apalagi suaraku jelek dan napasku pendek. Suaraku nggak seindah kamu.”
“Jangan merendah, deh! Semuanya pasti bisa kalau
berlatih keras. Aku juga berlatih keras tiap hari. Kata Ustadz Zuhri, kalau
kita udah bisa menguasai semua tingkatan lagu tilawah, dia mau kasih hadiah ke
kita. Kira-kira hadiahnya apa, ya?” tanya Halimah penasaran.
“Kamu minta hadiah apa, Halimah?” sahut Agus. Salah
satu pria remaja yang berjalan di belakang Halimah dan Anjani.
“Memangnya boleh minta?” tanya Halimah.
“Kata Ustadz Zuhri, kita boleh minta apa aja.” Ibrahim
menimpali.
“Iya juga, ya?” ucap Halimah sambil mengetuk-ngetuk
dagunya. “Minta apa ya kira-kira?”
“Kamu sudah bisa semua, Halimah?” tanya Ihsan yang
juga ada di sana.
“Sudah, dong. Aku mau kasih tahu Ustadz Zuhri hari ini
supaya aku bisa minta hadiah dari dia,” sahut Halimah sambil tersenyum ceria.
“Mau minta hadiah apa, Halimah?” tanya Anjani lembut.
“Halimah pasti minta hadiah dilamar sama Ustadz
Zuhri,” sahut Ibrahim.
“Iih … Ibrahim apa-apaan, sih!?” sahut Halimah
tersipu.
“Nggak usah sok jaim depan kita, Halimah. Kelihatan
mukamu merah banget kayak gitu. Kamu ‘kan naksir sama Ustadz Zuhri. Iya ‘kan?”
ucap Ihsan sambil memainkan alisnya.
Halimah tersenyum sambil menyentuh kedua pipinya yang
menghangat. “Kelihatan banget, ya? Jangan bilang-bilang ke Ustadz Zuhri, loh!
Ntar aku malu. Kalau dia sudah punya calon istri, gimana?”
“Kayaknya belum. Katanya Ustadz Zuhri nggak pernah
pacaran dan nggak punya calon istri, Halimah,” ucap Agus.
“Sok tahu. Tahu dari mana?” dengus Halimah.
“Yee … Agus gitu loh. Tahu, dong. Apa yang Agus nggak
tahu,” sahut Agus sambil menepuk dadanya dengan bangga.
Halimah tersenyum malu sambil merangkul lengan Anjani.
“Semoga aja Ustadz Zuhri memang belum punya calon istri. Kalau udah punya, aku
bakal patah hati banget. Cuma bisa jadi penggemarnya aja.”
“Kamu beneran suka sama Ustadz Zuhri, Halimah?” tanya
Anjani.
Halimah mengangguk. “Dia ganteng banget, pintar, baik
hati, sholeh. Pokoknya, dia itu cowok idaman banget! Gimana menurutmu, Anjani?
Aku cocok nggak sama dia?”
“Eh!?” Anjani melongo menatap wajah Halimah yang
sedang bermanja-manja di pundaknya itu. “Cocok, kok. Cocok,” ucapnya sambil
meringis.
“Cocok banget, Halimah. Ganteng sama cantik. Kalau
punya anak, anaknya pasti kayak barbie,” sambar Ihsan sambil mengacungkan
jempolnya.
“Kalau anaknya laki-laki, gimana?” sahut Halimah
sambil memutar kepalanya menatap Ihsan.
“Kalau laki-laki … dia ganteng kayak Nabi Yusuf,”
jawab Ihsan.
“Aamiin.” Halimah tersenyum lebar. Ia terlihat sangat
bersemangat setiap kali ingin pergi belajar agama dan mengaji di kampung
sebelah. Meski harus berjalan kaki selama satu jam lebih, ia tidak pernah
merasa lelah jika itu untuk bertemu Ustadz Zuhri. Sosok pria idaman yang sangat
ia kagumi dan ia inginkan menjadi imam di masa depannya.
[[Bersambung …]]
Ini akan jadi Prekuel untuk novel "Assalamualaikum, Ya Habib!" yang ada di aplikasi Fizzo.
Terima kasih buat kalian yang udah bersedia baca di blog aku ini!
Jangan lupa share ke temen kalian, biar makin banyak yang baca dan authornya makin semangat nulis setiap hari!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
Monday, September 12, 2022
Perayaan Kehadiran Mangkuk Ayam Jago Lampang Jadi Doodle Google Hari Ini | 12 September 2022
Kaget banget dong saat melihat Google Doodle tiba-tiba sudah berubah jadi gambar ayam jago yang udah nggak asing lagi di mataku. Pagi-pagi banget, Mangkuk Ayam Jago ini sudah ada di trending topiknya google, loh. Kira-kira, kenapa ya Ayam Jago ini jadi salah satu logo moment dari google?
Aku ikut penasaran juga, dong. Apa sih yang bikin Mangkuk Ayam Jago ini jadi topik pembicaraan di seluruh dunia?
Karena aku sendiri udah familier banget sama mangkuk ini. Bahkan, mangkuk ini udah ada di rumah sebelum aku lahir ke dunia, eeaak. Jadinya penasaran banget, dong. Kira-kira apa ya yang bikin Mangkuk Ayam Jago legendaris yang biasa meramaikan warung-warung bakso & mie ayam ini ... tiba-tiba jadi trend di google?
Yuk, ikuti dulu beberapa tulisan yang udah menuliskan tentang sejarah Mangkuk Ayam Jago ini!
Menurut en.wikipedia.org Mangkuk Ayam Jago (Rooster Bowl) berasal dari China lebih dari ratusan tahun yang lalu. Mangkuk Ayam Jago dibuat oleh masyarakat Hakka di Provinsi Guangdong, China.
Guangdong adalah sebuah provinsi yang ada di pesisir tenggara Republik Rakyat Tiongkok. (wikipedia.org)
Awalnya, mangkuk ayam jago adalah mangkuk putih tanpa gambar apa pun. Setelah selesai dibuat, mangkuk buatan masyakarat Hakka ini dikirim ke Phang Key untuk pewarnaan. Di sinilah gambar ayam jago dibuat. Ayam jago ini kemudian diwarnai dengan warna merah pada bagian leher dan jenggernya. Berwarna hitam pada bagian ekor dan kakinya. Juga diberi hiasan rumput dan pohon di dekatnya. Sepertinya setiap produsen membubuhkan gambar berbeda untuk menjadi ciri khas. Karena mangkuk yang aku punya adalah produksi "Fine China" yang hanya ada gambar ayam jago dan bunga sepatu di hadapannya seperti gambar yang sedang aku posting ini.
Kualitas mangkuk ayam jago sangat tahan lama. Bahannya tebal dan kuat, jauh berbeda dengan mangkuk-mangkuk zaman sekarang yang kalau kena senggol aja, udah pecah. Soal kualitas, mangkuk ayam jago tidak salah jika menjadi salah mangkuk standar Cina.
Mangkuk Ayam Jago memiliki beberapa ukuran: lebar 5", 6", 7" dan 8" dengan kedalaman 8". Ukuran lebar 5-6 inchi biasanya digunakan untuk rumah tangga dan restoran. Sedangkan ukuran 7-8 inchi untuk pekerja karena mereka makan lebih banyak.
Kalau kalian, suka pakai Mangkuk Ayam Jago yang ukuran berapa, nih? Kalo aku, biasa pakai 6 inchi karena aku makannya nggak banyak, hehehe.
Oh ya, menurut wikipedia juga, nih ... sebelum perang dunia ke-2, pedangan Cina di Jalan Song Wat, Bangkok memesan mangkuk-mangkuk Ayam Jago untuk mereka jual karena saat itu harganya sangat murah. Selama perang Cina-Jepang, mereka kekurangan pasokan dan harga meningkat. Karena itu, Thailan memproduksi Mangkuk Ayam Jago untuk pertama kalinya. Perusahaan pertama yang memproduksi Mangkuk Ayam Jago berada di Ratchathewi district, Bangkok, oleh masyarakat Hakka.
Sekitar tahun 1957, orang Tionghoa yang ada di Thailan pindah ke Provinsi Lampang untuk mendirikan pabrik yang memproduksi Mangkuk Ayam Jago karena Distrik Chae-Hom (Lampang) memiliki ketersediaan kaolin yang paling cocok untuk memproduksi Mangkuk Ayam Jago. [en.wikipedia.org]
Pada 12 September 2013, Mangkuk Ayam Lampang didaftarkan sebagai kekayaan intelektual di Department of Intellectual Property, Ministry of Commerce, Thailand.
12 September menjadi hari perayaan kehadiran alat makan tradisional tersebut. Itulah sebabnya, kenapa Google Doodle menjadikan Mangkuk Ayam Lampang sebagai ikon hari ini.
So, kalian ada yang ikut merayakan hari Mangkuk Ayam Jago Lampang ini juga atau nggak, sih? Share dong cerita kalian kalau kalian juga ikut merayakan Hari Mangkuk Ayam Jago ini. Kalau aku sih ... udah ikut merayakannya dengan cara makan mie instan pakai mangkuk ini, hehehe.
Cukup di sini aja tulisan dari aku, ya!
Jangan lupa komen dan share kalau kalian ingin berbagi cerita sama author!
Much Love,
Rin Muna
Menjahit Bendera Merah Putih untuk HUT Ke-77 RI Desa Beringin Agung
Wednesday, August 17, 2022
Novel "Menikahi Lelaki Brengsek" karya Vella Nine FULL VERSION
Hidup Roro Ayu yang awalnya indah dan baik-baik saja, tiba-tiba berubah jadi malapetaka ketika Nanda (sahabat baik pacarnya) menghamilinya. Persahabatan yang terjalin erat selama bertahun-tahun, berubah jadi permusuhan.
Roro Ayu ditimpa masalah bertubi-tubi. Keluarga yang awalnya harmonis, tiba-tiba dipenuhi api amarah yang tak kunjung padam. Nanda yang tidak pernah bersikap baik pada Roro Ayu, membuat Sonny tak rela melepaskan wanita itu meski sudah menjadi istri dari sahabat baiknya.
Bagaimana Roro Ayu bisa terlepas dari masalahnya? Akankah ia mempertahankan rumah tangganya bersama Nanda atau kembali pada Sonny yang masih sangat ia cintai?
Follow ig : @vellanine.tjahjadi for spoiler
Bab 2 : Bayi yang Tak Diinginkan
Bab 5 : Menolak Pernikahan Kontrak
Bab 6 : Hari Pertama Jadi Mantu
Bab 10 : Nyaman Bersama Mantan
Bab 13 : Pembalasan dari Roro Ayu
Bab 17 : Kerja Keras untuk Cinta
Bab 19 : Tak Mau Melepaskan Dia
Bab 20 : Bolehkah Aku Benci Anak Ini?
Bab 22 : Terancam Direbut Galaxy
Bab 25 : Awal Penderitaan Nanda
Bab 26 : Can't Love, But I Need Him
Bab 29 : Bantuan dari Keluarga Hadikusuma
Bab 30 : The Power of Nyonya Ye
Bab 32 : Dihantui Kenangan Masa Lalu
Bab 38 : Bangkit dari Rasa Sakit
Bab 39 : I am Savage and I Change
Bab 43 : Harapan Besar yang Sirna
Bab 44 : Saran dari Okky dan Nadine
Bab 50 : Menyamar Jadi Pelayan
Bab 51 : Trik Menyelamatkan Ayu
Bab 52 : Hukuman Pertama untuk Ayu
Bab 58 : Perseteruan Nanda dan Andre
Bab 63 : Jarak dan Waktu yang Merenggang
Bab 66 : Pertemuan yang Menyesakkan
Bab 72 : Tantangan untuk Nanda
Bab 73 : Saat Tak Punya Apa-Apa
Bab 74 : Kesalahanmu itu Rindu
Bab 78 : Cinta Adalah Tentang Rasa Takut
Bab 79 : Kehangatan Malam Pengantin
Bab 80 - I Do
Hari-hari berikutnya, Nanda dan
Ayu menjalani hari-harinya dengan bahagia. Setiap hari, Nanda melakukan
rutinitas kesehariannya di kantor. Sementara, Ayu mengisi waktu luangnya dengan
menyibukkan diri menjadi dosen di salah satu universitas ternama di kota
Surabaya.
“Selamat sore, Ibu Dosen ...!
Sudah mau pulang?” sapa Nanda sambil tersenyum manis saat Ayu keluar dari
kelasnya di fakultas bisnis dengan perut yang sudah membesar.
“Sore ...!” balas Ayu dengan
senyum merekah di bibirnya.
Nanda langsung melingkarkan lengannya
di belakang pinggang Ayu. “Gimana kelasmu hari ini? Asyik?”
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis.
“Nggak ada mahasiswa yang
godain kamu ‘kan?” bisik Nanda.
Ayu menggeleng. “Mereka hanya
bercanda sesekali. Nggak godain serius,” jawab Ayu.
“Hmm ... aku nggak mau kalau
harus bersaing sama mahasiswa S2 kamu, ya!”
“Bersaing apaan? Aku ini sudah
bersuami, mana ada mahasiswa yang mau bersaing sama suami sepertimu,” sahut
Ayu.
“Hahaha. Baguslah. Aku sudah
buat janji dengan Nadine sore ini USG. Kita lihat, calon anak kita mukanya
gimana. Kalo cowok, pasti ganteng kayak papanya,” ucap Nanda sambil menggiring
tubuh Ayu ke parkiran dan membawanya masuk ke mobil.
Ayu mengangguk sambil
tersenyum. Sejak dulu, ia ingin memeriksakan kehamilannya bersama Nanda. Namun,
keinginan itu tak pernah tercapai sampai ia melahirkan anak pertamanya. Kali
ini, Nanda yang selalu berinisiatif untuk membawanya pergi ke dokter. Bahkan,
jadwal kontrol kesehatannya pun, tak lepas dari perhatian pria ini.
Beberapa menit kemudian, mobil
Nanda sudah terparkir dengan baik di depan sebuah klinik bersalin milik Dokter
Nadine. Dokter muda yang selalu menjadi favorite para ibu hamil karena terkenal
dengan keramahannya. Selain dinas resmi di salah satu rumah sakit di Semarang,
Dokter Nadine juga membuka praktik dokternya di kota Surabaya. Membuat wanita
itu harus bolak-balik Semarang-Surabaya setiap harinya dan hanya bisa ditemui
sejak sore hingga malam hari jika para ibu hamil kota Surabaya ingin
memeriksakan kehamilannya.
“Selamat sore, Dokter Nadine
...!” sapa Nanda sambil tersenyum ramah.
“Hei ...! Sore ...!” sapa
Dokter Nadine sambil tersenyum manis. Karena Nanda memiliki VIP Card, ia dan
istrinya tak perlu mengambil antrian untuk melakukan pemeriksaan kandungan.
“Gimana kabarnya Ibu Hamil ...?” serunya sambil mengelus-elus perut Ayu yang
sudah membesar.
“Baik. Baik banget,” jawab Ayu
sambil tersenyum manis.
“Udah enam bulan, mau jalan
tujuh bulan, ya?” tanya Nadine sambil memerintahkan asistennya untuk menyiapkan
kebutuhannya.
Ayu mengangguk.
“Kita lihat keadaannya dan
jenis kelaminnya sekaligus, ya! Semoga nggak mirip Nanda, ya!” ucap Nadine
sambil tertawa kecil.
Nanda mendengus kesal ke arah
Nadine. “Anakku ini, Nad! Anakku! Gimana ceritanya nggak boleh mirip aku?”
Nadine terkekeh geli. Mereka
bertiga terus bercanda tawa sembari memeriksa kondisi kandungan Ayu.
Setelah selesai memeriksakan
kandungannya, Nanda mengajak Ayu untuk bersantai di sekitar Pantai Kenjeran
sembari menikmati matahari tenggelam.
Nanda tersenyum sambil menatap
potret bayi perempuan yang ada di dalam perut istrinya. Ia mengambil ponsel,
memotret hasil USG itu dengan latar perut istrinya. Kemudian, memasangnya di
media sosial dengan caption “Always happy until the end, My World”.
“Main medsos?” tanya Ayu sambil
memeluk tubuh Nanda dan menatap layar
ponsel pria itu.
“Hanya posting momen-momen
penting. Supaya bisa diingat lima puluh tahun lagi kalau kita terserang
alzheimer,” ucap Nanda sambil merangkul pundak Ayu.
Ayu tersenyum menatap wajah
Nanda. “Nggak mau fotoin muka aku? Takut fans kamu hilang?”
Nanda terkekeh geli. “Fans
apaan? Nggak ada. Mantan pacar banyak yang stalking. Nanti, mereka sakit hati
kalau aku pasang foto kamu.”
Ayu mengerutkan wajah sambil
menyubit perut Nanda. “Alasan! Bilang aja kalau nggak bisa speak-speak mantan!”
“Hahaha. Nggaklah. Aku nggak
kayak gitu. Ya udah, ayo foto!” ajak Nanda sambil mengarahkan kameranya ke
wajah mereka.
Cekrek!
Nanda mengecup pipi Ayu.
Cekrek!
Nanda mengecup perut Ayu yang
sudah membesar.
Cekrek!
Nanda tersenyum lebar menikmati
potret-potret yang baru saja ia ambil. “Kamu nggak mau pasang di akun media
sosial kamu?”
Ayu menggeleng.
“Kenapa? Kamu culas, hah!?
Kenapa nggak mau pasang?” seru Nanda sambil menggelitiki perut Ayu.
Ayu menggeleng sambil menahan
tawa. “Aku malu sama mahasiswa-mahasiswi aku. Badanku kayak gajah gini.
Menuh-menuhin kamera. Lagian, aku nggak pernah posting kehidupan pribadi. Cuma
materi kuliah doang.”
“Alasan. Bilang aja kalau kamu
takut nggak bisa speak-speak mahasiswa kamu yang ganteng-ganteng?” dengus Nanda
sambil meletakkan keningnya ke kening Ayu.
Ayu tertawa kecil. Ia
mengalungkan lengannya ke leher Nanda dan mengecup lembut bibir pria itu. “Kamu
takut bersaing sama mahasiswa ganteng?”
Nanda menganggukkan kepala.
“Mereka nggak banyak duit kayak
kamu. Mana mungkin aku bisa lebih tertarik sama mereka,” ucap Ayu sambil
menahan tawa.
Nanda mengernyitkan dahi.
“Waktu aku nggak punya apa-apa, kamu tetep mau sama aku karena aku ganteng
‘kan? Bisa aja kamu tertarik sama yang lebih ganteng lagi. Iya ‘kan?”
“Hahaha. Masa aku mau sama
berondong, sih? Nggaklah. Aku tetep sayang sama kamu. Nggak ada yang bisa
gantikan kamu karena aku bukan sekedar sayang, aku juga butuh kamu ada di
sisiku,” ucap Ayu sambil menyentuh lembut pipi Nanda.
Nanda tersenyum sambil mengecup
bibir Ayu berkali-kali. “Janji? Nggak akan ada cowok lain selain aku?”
Ayu mengangguk. “Harusnya aku
yang tanya seperti itu ke kamu. Bukannya kamu yang selalu gonta-ganti pasangan,
hah?”
“Aku sudah tobat, Ay. Lebih
baik jadi mantan anak nakal daripada malah jadi mantan anak baik. Iya, kan?”
“Memang harus tobat karena kamu
akan menjadi seorang ayah dari anak perempuan. Tugas kita jauh lebih berat
untuk mendidik dan merawat dia. Aku yang sudah dilindungi begitu kuat oleh
orang tuaku saja, masih bisa dilahap oleh predator sepertimu,” ucap Ayu sambil
menatap wajah Nanda.
Nanda melebarkan kelopak
matanya. “Kamu ngatain aku predator, hah!? Bukan salahku kalau aku melakukan
itu. Kamu yang terlalu cantik dan seksi, Ay.”
“Aku nggak pernah berpakaian seksi
seperti yang lain, Nan.”
“Kamu tidak pakai pakaian seksi
saja sudah membangkitkan gairahku, Ay. Apalagi pakai yang seksi,” sahut Nanda
sambil menatap gemas ke arah wajah Ayu yang terlihat lebih chubby dan
menggemaskan saat hamil seperti ini.
Ayu terkekeh mendengar ucapan
Nanda. “Kenapa bisa seperti itu?”
“Nggak tahu. Mungkin, karena
Tuhan hanya meletakkan satu orang wanita dari milyaran wanita di dunia ini yang
bisa menggetarkan hatiku,” jawab Nanda.
Ayu tersenyum bahagia sambil
menatap lekat mata Nanda. “Nan, andai apa yang terjadi padaku di masa lalu ...
terjadi juga pada puteri kita di masa depan. Apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku akan membunuh laki-laki
yang sudah menyakiti puteri kita!” sahut Nanda tegas.
“Ayah Edi tidak melakukan itu
padamu.”
“Eh!? Itu karena kamu
mencintaiku sejak awal. Iya ‘kan?” tanya Nanda penuh percaya diri.
Ayu tertawa kecil menanggapi
pertanyaan Nanda. “Jadi, kalau puteri kita mencintai pria yang salah ... apa
kita akan membiarkannya hidup dengan pria itu?”
“Ay, aku tahu kamu dosen. Tapi
jangan kasih aku pertanyaan yang susah dijawab, dong!” pinta Nanda sambil
menatap payah ke arah Ayu.
Ayu tertawa kecil dan
menyandarkan kepalanya di pundak Nanda. “Nan, kamu tahu ... ada hal-hal yang
terkadang tidak bisa diterima nalar. Terkadang aku berpikir, bagaimana aku bisa
mencintaimu yang begitu brengsek. Menyakitiku berkali-kali, tapi aku tidak
pernah bisa benar-benar pergi. Dan aku baru sadar bahwa cinta bukan sekedar
menerima kekurangan. Tapi bagaimana kita tetap bertahan, meski harus menahan
jutaan rasa sakit.”
Nanda tersenyum dan membenamkan
bibirnya ke pelipis Ayu. “Maafkan aku, Ay! Aku janji, tidak akan pernah
menyakitimu lagi. Kalau aku melakukannya, kamu boleh bunuh aku saat itu juga.”
“Mati itu terlalu mudah untuk
kamu yang sudah menyakitiku. Kamu harus tetap hidup dan menebus kesalahanmu
sampai mati!” tegas Ayu sambil menatap wajah Nanda.
Nanda mengangguk. “I do,”
ucapnya sambil merangkul pundak Ayu. Menikmati indahnya mentari yang perlahan
kembali ke tempat peristirahatannya. Ia berharap, bisa menjadi pria yang selalu
mencintai Ayu. Melindungi wanita ini dan keluarga kecil yang ia bangun.
Memberikan mereka nafkah, cinta, pendidikan dan jaminan masa depan yang baik.
Sebab, dunianya yang pernah liar adalah bola besar yang ia genggam untuk
menjadi pelindung keluarganya di masa depan.
Hal buruk yang terjadi di masa
lalu adalah pelajaran paling berharga agar kita lebih berhati-hati dalam
bertindak dan mengambil sebuah keputusan. Sebab, ada banyak nasihat di dunia
ini agar kita tidak menyesal. Tapi, penyesalan itu tetap ada dan tidak ada satu
pun manusia yang tidak memiliki penyesalan dalam hidupnya. Kata sesal adalah
sebuah pelajaran paling berharga dalam kehidupan dan mengendalikan tindakan
kita di masa depan.
-TAMAT-
Terima kasih sudah menjadi
sahabat setia bercerita!
Jadikan tulisan ini sebagai
pelajaran hidup bahwa seburuk-buruk manusia, akan ada titik yang akan
membalikkan dan mengubah hidupnya. Dan tidak semua orang memiliki kesempatan
ini. Maka, selagi ada kesempatan ... tanamlah benih kebaikan meski hanya
sebutir benih padi.
Sampai ketemu lagi di
cerita-cerita selanjutnya ...!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi