Labels
Monday, November 22, 2021
Wednesday, November 17, 2021
Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan
Satu bulan kemudian ...
Ayu menatap dua garis merah pada testpack di tangannya dengan tubuh gemetaran. Dia adalah gadis yang belum menikah dan tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengan Sonny yang telah menjadi tunangannya setelah berpacaran selama tujuh tahun.
“Aku harus gimana?” tubuh Ayu merosot ke lantai seiring dengan air matanya yang jatuh berderai membasahi pipinya. Ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kesucian cintanya dengan baik. Rasa bersalah pada tunangannya, keluarganya dan sahabatnya ... kini telah menjadi selimut kelam yang akan mengawali penderitaan hidupnya.
Ayu berusaha untuk bangkit dari lantai kamar mandi setelah air matanya nyaris habis dan tidak bisa keluar lagi. Ia menyiram seluruh tubuhnya dengan air di kamar mandi. Membersihkan setiap inchi tubuhnya yang kini terasa sangat kotor. Ia terus menangis setiap kali menggosok tubuhnya yang begitu menjijikkan.
Ayu segera mengganti pakaiannya begitu ia sudah selesai mandi. Memoles wajahnya dengan make-up tipis dan bergegas keluar dari dalam kamarnya.
“Roro Ayu , mau ke mana malam-malam begini?” tanya Bunda Rindu yang melihat puterinya buru-buru melangkah keluar dari rumah.
“Eh!? Ada urusan, Bunda. Mau ketemu sama temen. Bahas kerjaan,” jawab Ayu berdalih. Ia segera berpamitan dan keluar dari dalam rumahnya.
Ayu mengendarai mobilnya perlahan menuju ke Virgina Regency. Ia langsung memarkirkan mobilnya begitu ia sampai di mansion milik keluarga Nanda.
“Malam, Tante ...!” sapa Ayu begitu seorang pelayan membukakan pintu untuknya. Ia langsung menghampiri Tante Nia, mama Nanda.
“Hei, Roro Ayu ...!? Gimana kabarnya? Sudah lama nggak main ke sini. Mau cari Nanda?”
Ayu mengangguk. “Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama dia.”
“Nanda masih di atas. Jam segini, biasanya dia lagi siap-siap mau kencan sama pacarnya. Datengin aja ke kamarnya!”
“Tapi ...” Ayu menggigit bibir sambil menatap lantai dua rumah tersebut.
“Nggak papa. Keburu dia berangkat, nggak sempat bicara lagi sama Nanda. Dia suka marah kalau waktu kencannya diganggu.”
Ayu mengangguk. Ia melangkah perlahan menaiki anak tangga dan menghampiri pintu kamar Nanda. Nanda adalah sahabat baik Sonny. Berteman sejak kelas satu SMA hingga mereka bekerja, tentunya Ayu sudah sangat hafal dengan keadaan rumah pria itu karena sering berkumpul di sini setiap kali Sonny pulang dari Jakarta.
Tok ... tok ... tok ...!
KLEK!
Nanda tertegun saat melihat Ayu tiba-tiba sudah ada di depan kamarnya. Ia langsung tersenyum sambil melipat kedua tangan dengan tubuh bersandar di bibir pintu. “Tumben ke sini? Kangen sama aku? Pengen main lagi kayak malam itu? Ketagihan? Enak mana, punyaku atau punya Sonny?”
Ayu menatap kesal ke arah Nanda. “Sonny bukan cowok brengsek kayak kamu!”
Nanda manggut-manggut. “Iya. Aku percaya. Dia memang alim. Mau apa ke sini? Aku mau jalan sama Lita.” Ia menarik gagang pintu dan menutup pintu kamarnya dari luar.
Ayu memundurkan langkahnya agar Nanda tidak terlalu dekat dengannya. “Aku mau ngomong penting sama kamu.”
“Ngomong aja! Kamu punya waktu dua menit buat ngomong.” Ia menatap arloji di tangan kirinya.
“Nggak perlu selama itu. Aku cuma mau bilang kalau aku ... hamil.”
“Hahaha. Kamu hamil? Buat apa laporan ke aku? Emangnya aku dokter kandungan?” sahut Nanda sambil tertawa lebar.
“Ini anak kamu, Nan.”
Seketika, Nanda menghentikan tawanya. “Anakku?”
Ayu mengangguk.
Nanda menahan tawa sambil menatap wajah Ayu. “Udah banyak cewek yang ngaku-ngaku hamil anakku. Bisa aja, itu anak dari cowok lain. Kamu itu tunangannya Sonny. Mana ada yang bakal percaya kalau itu anakku. Kamu mau buat lelucon?”
“Aku nggak pernah ngelakuin hubungan seperti itu sama siapa pun selain kamu, Nan.”
“Kamu kira, aku percaya? Udahlah, nggak usah bikin lelucon di hadapanku. Nggak lucu, Ay! Kamu jangan pura-pura jadi cewek polos buat dapetin seorang Ananda Putera Perdanakusuma. Cowok paling ganteng, paling kaya dan paling populer di negeri ini. Siapa yang nggak mau jadi pasanganku, hah!? Jangan pakai trik bayi untuk mendapatkanku! Aku masih terlalu muda untuk jadi seorang ayah,” ucap Nanda penuh percaya diri. Ia langsung melangkah melewati tubuh Ayu begitu saja.
“Kamu nggak mau ngakuin anakmu sendiri, Nan?” seru Ayu .
Nanda memutar kepalanya menatap Ayu . “Aku ini masih muda. Nggak mungkin jadi ayah. Kalau memang dia anakku. Gugurkan aja! Toh, kita juga punya pasangan masing-masing,” sahutnya. Ia segera menuruni anak tangga dan bergegas keluar dari rumah karena sudah memiliki janji kencan dengan Arlita, kekasihnya yang juga sahabat baik Roro Ayu .
DEG!
Jantung Ayu berhenti berdetak begitu mendengar kalau Nanda justru memintanya menggugurkan kandungannya. Hatinya yang sudah luka, kini kembali dilukai oleh pria itu. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini. Bayi di dalam perutnya butuh seorang ayah, tapi ia tidak mungkin meminta pertanggungjawaban pada tunangan yang tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengannya.
Ayu kembali menitikan air mata sambil melangkah perlahan menuruni anak tangga rumah mewah tersebut.
“Ay, kamu kenapa?” tanya Tante Nia sambil menatap Ayu yang melangkah perlahan sambil menitikan air mata. “Nanda menyinggung kamu?”
“Eh!?” Ayu buru-buru mengusap air matanya. “Nggak papa, Tante. Ayu pamit pulang dulu!” Ia langsung berlari keluar dari dalam rumah tersebut dan masuk ke mobilnya.
Ayu menggenggam setir dan menjatuhkan kepalanya, kemudian terisak kembali karena Nanda tidak mau mengakui jika bayi yang ada di dalam perutnya adalah darah dagingnya. “Aku harus gimana?”
“Ayu , kamu kuat! Kamu kuat! Kalau Nanda nggak mau bertanggung jawab, nggak papa. Kamu punya pekerjaan, kamu nggak akan kesulitan menghidupi anakmu,” tutur Ayu mencoba menyemangati dirinya sendiri.
“Tapi gimana dengan keluargaku? Gimana kalau bunda dan ayah tahu kalau aku hamil? Aku harus gimana menghadapinya? Aku nggak mungkin bisa menyembunyikan kehamilanku ini terus-menerus,” gumam Ayu . Haruskah ia menggugurkan kandungannya sendiri?
Ayu menarik napas dalam-dalam dan menjalankan mobilnya perlahan tanpa arah hingga larut malam. Ia benar-benar menyesal telah pergi ke pesta ulang tahun Nanda malam itu. Jika waktu bisa diputar, ia ingin berdiam diri di rumah. Menghabiskan waktu untuk bercerita bersama Sonny meski hanya lewat panggilan video.
***
Satu minggu setelahnya ...
“Roro, bunda pinjam pemotong kuku kamu. Bunda lupa taruh punya bunda di mana.” Bunda Rindu masuk ke dalam kamar Ayu.
“Ambil aja di laci nakas!” sahut Ayu yang sedang bercermin sambil menyisir rambutnya.
Bunda Rindu langsung melangkah menghampiri meja nakas dan menarik laci tersebut. Ia mencari pemotong kuku di dalamnya. Namun, matanya tiba-tiba tertuju pada pregnancy test strips bergaris dua merah di sana. Ia meraih benda kecil itu dengan tangan gemetar.
Ayu melebarkan kelopak matanya saat ia teringat kalau ia juga meletakkan testpack ke dalam laci nakas. Ia buru-buru memutar tubuhnya dan berlari menuju ke sana untuk mencegah bundanya mendapatkan benda paling keramat yang ada di kamarnya saat ini.
DEG!
Terlambat. Bunda Rindu sudah memegang testpack itu di tangannya dengan tangan gemetar seperti terserang tremor.
“Bunda, aku ...”
“Kamu hamil?” tanya Bunda Rindu lirih.
“Bunda, aku bisa jelasin semuanya. Aku ...”
“KAMU HAMIL!?” Nada suara Bunda Rindu meninggi karena Ayu berusaha untuk berdalih dan tidak menjawab pertanyaannya.
Ayu terdiam dan menundukkan kepala. Ia meremas jemari tangannya sambil mengangguk kecil.
“Anak siapa? Sonny?” tanya Bunda Rindu.
Ayu tidak menjawab pertanyaan bundanya.
“Jawab, Ro! Kenapa kamu menyembunyikan kehamilan kamu? Kamu dan Sonny sudah bertunangan. Bukannya kalian sendiri yang sepakat untuk tidak menikah sebelum Sonny menyelesaikan koasnya?”
Ayu menundukkan kepala sambil menitikan air mata. Ia tidak sanggup mengungkapkan kebenaran di hadapan orang tuanya sendiri.
“Sonny tahu soal ini?”
Ayu menggeleng.
“Biar bunda yang ngomong langsung sama Sonny. Kalian harus menikah secepatnya!” tutur Bunda Rindu sambil melangkah keluar dari kamar Roro Ayu .
Ayu buru-buru mengejar langkah bundanya. Ia tidak ingin kalau bundanya meminta pertanggungjawaban pada Sonny dan membuat pria itu membencinya. “Bunda, tunggu ...!”
“Bunda, bunda ...! Dengerin Roro dulu! Ini bukan anaknya Sonny.”
“APA!?” Bunda Rindu menghentikan langkahnya. Tubuhnya seakan tersambar petir ribuan volt saat mendengar kalau bayi yang dikandung oleh Roro Ayu bukanlah anak dari tunangannya. Ia selalu berusaha menjadi orang tua yang baik untuk puterinya. Ia benar-benar merasa gagal saat mengetahui kalau puteri kebanggaannya telah melakukan perbuatan yang begitu hina. Sudah bertunangan, tapi malah hamil dengan pria lain.
“BUNDA ...!” seru Ayu saat tubuh Bunda Rindu tiba-tiba merosot ke lantai. Ia langsung menangkap tubuh bundanya sambil menangis. “Maafin Ay, Bunda ...!” bisiknya lirih sambil menitikan air mata.
“Tell me ...! Siapa ayah dari anak ini?” tanya Bunda Rindu di sisa-sisa tenaganya yang nyaris sirna karena pukulan yang begitu besar dari puteri semata wayangnya.
Ayu terisak sambil memeluk tubuh bundanya. Ia tidak sanggup mengatakan siapa ayah dari bayi yang sedang ia kandung saat ini karena Nanda pun sudah menolak kehadirannya. “Aku nggak tahu, Bunda ...!” lirihnya penuh luka.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!
Tunggu kelanjutannya di postingan selanjutnya ya...
MuchLove,
@vellanine.tjahjadi
DAFTAR BACAAN :
Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan
Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak
Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu
______________________
Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.
©Copyright www.rinmuna.com
BAB 1 - Pesta Malapetaka
Ayu melangkahkan kaki perlahan menghampiri Arlita yang sedang duduk di salah satu bar sambil menikmati vodka. Dentuman musik menggema di seluruh ruangan yang sengaja di-booking untuk Birthday’s Party Ananda Putera Perdanakusuma, kekasih dari Arlita Holsler sekaligus sahabat baik Sonny Pratama.
Ayu sengaja datang untuk mewakili Sonny karena tunangannya itu masih berada di kota Jakarta. Pekerjaannya sebagai dokter muda, membuat Sonny tak bisa kembali ke Surabaya dan memberikan selamat pada sahabat baiknya yang sedang merayakan ulang tahun ke-24.
“Lit, Nanda mana ya?” tanya Ayu sambil membawa kotak kado di tangannya. Ia sudah celingukan sejak masuk ke bar tersebut. Tapi tak menemukan sosok Nanda, pria yang sedang merayakan ulang tahun di bar yang ada di salah satu hotel ternama di pusat kota Surabaya.
“Nanda? Lagi main sama temen-temennya kali. Coba aja tanya ke yang lain!”
“Kamu ini pacarnya, kenapa nggak tahu ke mana perginya Nanda?”
“Emangnya aku disuruh ngintilin Nanda dua puluh empat jam? Yang ada, dia eneg dan sebel sama aku. Kayak nggak tahu Nanda aja. Dia mana mau diganggu kalau lagi sama temen-temennya,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. “Minum dulu, Ay!”
Ayu melirik arloji di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Andai ia tidak dipaksa lembur oleh atasannya, ia tidak mungkin tiba semalam ini. Untungnya, pesta ulang tahun Nanda memang dibuat sampai pagi. Jadi, ia masih punya waktu untuk memberikan hadiah yang sudah ia pilih bersama Sonny.
“Minum dulu, Ay! Nanda marah loh kalau kamu nggak menghargai dia. Pesta semewah ini, harus kamu nikmati!” Arlita merangkul tubuh Ayu sambil menyodorkan segelas vodka.
Ayu tersenyum kecil. Ia meletakkan kotak kado yang ia bawa ke atas meja dan meminum segelas vodka yang disodorkan Arlita. “Lit, aku nggak bisa lama-lama. Ini udah malem banget. Kamu tahu, aku nggak nyaman ada di pesta kayak gini.”
Ayu mengedarkan pandangannya. Semua orang di sana menari bebas sambil minum alkohol. Terlihat sangat bahagia dan riang gembira. Bahkan, ada beberapa wanita yang dengan bangga memperlihatkan tubuhnya yang dirayapi oleh tangan-tangan nakal para pria yang ada di sana.
“Ay, kamu ini udah dewasa. Kenapa sih masih kuno aja? Eh, Sonny juga nggak datang ke kota ini ‘kan? Kamu pilih satu cowok yang ada di sini dan bersenang-senang!” pinta Arlita. “LDR itu nggak enak. Apa enaknya pacaran cuma lewat video call doang?”
Ayu mengedikkan bahunya. “Nggak, Lit. Aku harus ngantor lagi besok pagi. Nggak bisa tidur terlalu larut.”
“Hei, kamu pemburu dollar banget, sih? Besok hari Minggu, Sayang. Buat apa sih kerja terus?”
“Ini last month, Lit. Di kantor selalu sibuk untuk closing data bulanan. Bos nyuruh aku lembur,” jawab Ayu .
“Hmm ... iya, deh. Kalau bisa, kamu cari pacar yang banyak duitnya dan royal kayak Nanda. Nggak perlu kerja keras. Kamu bisa bersenang-senang setiap hari pakai uang pacar kamu!”
Ayu tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada aja. Aku masih setia sama Sonny. He is a best man for me.”
“Hahaha. Iya, iya. Tujuh tahun LDR, masih setia aja. Kalo aku, udah punya banyak selingkuhan, Yu,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. Ia kembali menyodorkan satu gelas vodka ke arah Ayu . “Minum lagi!”
“Aku nggak bisa minum banyak. Aku cari Nanda dulu, ya! Mau kasih kado ini untuk dia. Soalnya, Sonny nggak bisa balik. Aku harus kasih hadiah ini secara langsung ke dia.”
“Minum sekali lagi, Yu! Aku udah capek nuangin minuman ini buat kamu. Kamu nggak menghargai kerja kerasku?” sahut Arlita.
Ayu menghela napas. Ia meraih gelas vodka dan langsung menenggak habis minuman tersebut.
“Wah ...! Ayu keren! Lagi! Lagi!” seru beberapa wanita yang muncul di belakang tubuh Arlita.
Ayu menggelengkan kepalanya. Meski ia sudah mengenal Arlita sejak duduk di bangku SMP, tapi ia tidak begitu dekat dengan wanita itu. Gaya hidup Arlita yang suka mabuk-mabukkan, membuatnya tak nyaman. Ia selalu mengingat pesan bundanya untuk menjaga jarak dengan Arlita meski mereka berteman sangat lama.
“Aku pergi dulu, Lit!” pamit Ayu . Ia buru-buru menyambar kotak kado yang ia letakkan di bar table. Kemudian bergegas pergi. Menyelinap di antara keramaian untuk mencari keberadaan Nanda sambil menahan pening di kepalanya karena reaksi vodka yang ia minum.
“Angga, kamu lihat Nanda?” tanya Ayu sambil menghampiri Angga dan beberapa teman sepergaulan Nanda yang sedang berkumpul di salah satu meja.
“Nanda? Lagi ke kamar hotel. Katanya mau ganti baju karena ketumpahan bir,” jawab Angga sambil mengacungkan jarinya ke atas. Bar tersebut memang berada di salah satu hotel. Tak heran jika Nanda juga menginap di hotel tersebut.
“Tahu nomor kamarnya?” tanya Ayu .
“Kamar tiga dua empat,” jawab Angga sambil menatap tubuh Ayu yang berdiri di hadapannya.
“Makasih, Ngga!” Ayu berbalik. Ia buru-buru melangkahkan kakinya keluar dari bar tersebut. Waktu sudah semakin malam, ia harus bergegas pulang ke rumah dan beristirahat. Ia tidak ingin pergi ke kantor dengan mata panda karena kurang tidur.
“Ngga, itu ceweknya si Sonny ‘kan?” tanya salah seorang pria yang bersama Angga.
Angga mengangguk.
“Cantik banget, Ngga. Kenapa mau sama Sonny yang biasa aja?”
Angga mengedikkan bahu. “Mereka udah pacaran lama banget. Roro Ayu itu bukan cuma cantik, tapi juga kaya raya dan baik hati. Dari Sonny nggak punya apa-apa sampai bisa jadi dokter, dia selalu nemenin cowok itu berjuang. Beruntung banget si Sonny dapetin dia.”
“Emang bener, sih. Cewek baik emang untuk cowok yang baik. Nggak mungkin cewek baik-baik mau sama cowok bajingan kayak kita-kita. Hahaha.”
“Stok cewek baik di dunia ini makin menipis. Andai aja si Roro mau sama aku, udah aku jadikan istri. Nggak perlu jadi pacar,” sahut Angga.
“Hahaha. Jangan ngimpi!”
Sementara itu, Roro melangkahkan kakinya menyusuri koridor hotel sambil menghafal nomor kamar yang disebutkan oleh Angga. Begitu sampai di kamar yang dengan nomor yang tepat, ia langsung mengetuk pintu.
Tok ... tok ... tok ...!
Ayu menghela napas sambil menunggu Nanda membukakan pintu untuknya. Ia melangkah mondar-mandir, memutar tubuhnya dengan gelisah karena Nanda tak kunjung membukakan pintu. Sementara, ia sudah ingin pulang ke rumahnya.
Tok ... tok ... tok ...!
Ayu kembali mengetuk pintu tersebut.
“Apa Nanda sudah tidur? Ini Birthday Party dia. Nggak mungkin tidur ‘kan?” gumam Ayu .
KLEK!
“Aargh ...!” teriak Ayu saat Nanda menyambar pergelangan tangannya dan menarik paksa untuk masuk ke dalam kamar tersebut.
“Sst ...! Jangan teriak!” bisik Nanda sambil menekan tubuh Ayu di balik pintu yang sudah tertutup rapat.
“Nan ... Da ...!” Suara Ayu tercekat saat melihat mata Nanda yang tepat berada di hadapannya. Mata itu menatap tajam ke arahnya. Ia bisa melihat dengan jelas meski lampu ruangan itu sangat redup. Hanya lampu tidur di sudut ruangan yang menyala dan membuatnya tidak bisa melihat semua sudut ruangan itu dengan baik.
“I’m waiting you, Baby.” Nanda menangkup wajah Ayu dan menghisap kuat bibir wanita itu.
Ayu langsung menjatuhkan kotak kado yang sedari tadi ia genggam erat di tangannya. Ia berusaha mendorong tubuh Nanda yang menciumnya paksa.
“Kamu ...!?” Nanda sangat kesal saat ia mendapat penolakan. Ia kembali menekan tubuh wanita itu dan mencium paksa. Semakin gadis itu memberontak, gairahnya semakin tidak terkendali.
“Nanda ...! Aku Ayu , bulan Arlita ...!” seru Ayu sambil mendorong tubuh Nanda.
“Ayu ?” Nanda terdiam sesaat. Ia mengerjapkan mata sambil memukul pelan keningnya yang berdenyut. Kepalanya terasa pening karena alat vitalnya sudah berada dalam mode on sejak ia menarik paksa gadis yang ada di hadapannya itu.
Tiga puluh menit lalu, ia baru saja menghisap permen yang mengandung epimedium. Membuatnya sangat bergairah. Terlebih, ia sengaja memasang aroma therapi yang dapat membangkitkan gairah seksualnya karena ia ingin menikmati malam yang indah bersama kekasihnya, Arlita.
“Nan, aku ke sini untuk kasih hadiah dari aku dan Sonny. Sonny nggak bisa ke sini. Jadi, aku yang antar langsung. Sorry! Aku udah ganggu kamu. Aku pulang dulu!” pamit Ayu sambil meraih gagang pintu dan bersiap untuk pergi.
“Aargh ...!” Ayu kembali berteriak saat Nanda menarik pergelangan tangannya dengan kasar.
Nanda menarik paksa tubuh Ayu dan menghempaskannya ke atas tempat tidur. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mendengar suara Ayu yang begitu lembut dan sensual, membuatnya tak bisa menahan diri.
“Nan, kamu mau apa?” Ayu menatap Nanda dengan tubuh gemetaran. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. Berusaha bergerak mundur untuk menghindari Nanda yang sedang menatapnya seperti Singa kelaparan.
“Kamu yang ngantar dirimu sendiri ke sini,” ucap Nanda sambil tersenyum menatap Ayu . Ia segera melepas kemejanya. Memperlihatkan dadanya yang kekar dengan kotak-kotak teratur di perutnya.
GLEG!
Ayu menelan ludah melihat tubuh Nanda yang terekspose di hadapannya. Delapan tahun berpacaran dengan Sonny, ia bahkan tidak pernah melihat tubuh pria itu secara langsung. Bagaimana bisa ia menodai matanya sendiri dengan pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat?
“Nanda ... jangan, Nan!” seru Ayu saat Nanda melepas gesper yang melingkar di pinggangnya. Ia bergerak mundur dan terduduk di pojok ranjang hingga terdesak pada headboard. Matanya menatap tubuh Nanda yang sudah berhasil melepas seluruh pakaiannya. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas bagian inti kelelakian Nanda yang sudah menegang sempurna.
Nanda langsung menangkap pergelangan kaki Ayu dan menyeretnya.
“Jangan, Nan! Please ...!” pinta Ayu sambil berpegangan kuat pada ujung kasur agar tubuhnya tidak tertarik.
Nanda semakin kesal karena Ayu terus memberontak. Ia naik ke atas ranjang berukuran King sambil menyingkap dress yang dikenakan oleh Ayu . Dengan cepat, ia menurunkan hot pant yang membalut string yang dikenakan oleh Ayu .
“Nanda, kamu jangan gila! Kita bukan ... mmh ... mmh ...” Ayu menghentikan ucapannya saat telapak tangan Nanda membungkam mulutnya. Ia berusaha menguasai kesadarannya meski ia sendiri dipengaruhi oleh alkohol.
Ayu menitikan air matanya saat Nanda duduk di atas tubuhnya yang menelungkup. Pria itu membungkam mulut Ayu dengan telapak tangan kirinya. Sementara, tangan kanannya melingkar erat di tubuh Ayu hingga ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
“Nanda, jangan lakuin ini ...!” lirih Ayu dalam hati sambil terus menitikan air mata. Bayangan wajah Sonny yang selalu menjaga dan menyayanginya dengan tulus, tiba-tiba terlintas di pelupuk mata. Bagaimana jika Sonny tahu kalau ia kehilangan keperawanan di tangan sahabat baiknya sendiri? Ia langsung diselimuti rasa bersalah pada kekasihnya saat Nanda berubah menjadi penguasa tak terkalahkan di ruangan yang hanya disinari lampu tidur warna biru di sudut ruangan.
“Aargh ...! Nan ... don’t touch me!” seru Ayu saat Nanda melepaskan telapak tangan dari wajahnya.
Nanda semakin tak sabar mendengar teriakan Ayu . Kepalanya semakin pusing dan kesal saat ia kesulitan melakukan penyatuan dengan Ayu .
“Nan, aku ....” Ayu tak sanggup berkata-kata lagi saat Nanda membenamkan tubuhnya dan berubah menjadi penguasa atas semua yang ia miliki. Merenggut hal paling berharga yang seharusnya ia berikan pada pria yang sangat ia cintai dan sedang berjuang bersama menyusun rencana masa depannya.
Air mata Roro Ayu menetes dan semua rasa persahabatannya kini berubah jadi kebencian. Nanda telah menghancurkan semuanya detik itu juga. Yang lebih kejamnya lagi, ia tidak berdaya karena Nanda menganggapnya sudah sering melakukan hal seperti dengan tunangannya.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!
Tunggu kelanjutannya di postingan selanjutnya ya...
MuchLove,
@vellanine.tjahjadi
DAFTAR BACAAN :
Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan
Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak
Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu
Bab 10 - Nyaman Bersama Mantan
______________________
Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.
©Copyright www.rinmuna.com
______________________
Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.
©Copyright www.rinmuna.com
Senangnya Hadir di Klinik Belajar Tugas dan Ujian Universitas Terbuka
Sunday, November 7, 2021
Self Love
Mainan Buatan Si Mbah
Friday, October 1, 2021
Novel Baru "I am Here Mr. Rich" karya Vella Nine
SPOILER BAB 1 - KEJUTAN ULANG TAHUN TERKEJAM
“Pak
... pak ... Pak Tirta! Dengerin saya dulu!” Rose berusaha mengejar langkah Tirta,
asisten pribadi pemilik PT. Galaxy Future yang mengurus pembangunan proyek
hotel dan apartemen di ibukota. Ini kesempatan terakhirnya untuk mendapatkan
kembali kontrak kerja yang diputus hanya karena masalah kecil. Terlambat sehari
dalam menjalankan proyek pembangunan apartemen dan tidak ada toleransi sedikit
pun.
“Keputusan
bos kami tidak bisa diganggu gugat. Kontrak dibatalkan!” tegas Tirta sambil
menghentikan langkahnya sejenak.
“Saya
bisa ketemu sama bos kalian? Saya akan bertanggung jawab. Saya perlu bicara
dengan pimpinan kalian. Please ...!” pinta Rose memohon.
“Bos
kami di luar negeri. Tidak bisa ditemui.” Tirta melanjutkan langkahnya.
Meninggalkan Rose begitu saja.
Rose
menghela napas kecewa. Ia tertunduk lemas saat kembali gagal mendapatkan proyek
perusahaannya. “Mampus kamu, Rose! Mampus! Siap-siap jadi pengangguran abadi!
Kawin aja biar nggak hidup susah! Huuaaa ... Sandi ...! Buruan kawinin aku!”
“Bukannya
kamu bakal nikah sama Sandi dua bulan lagi? Oke. Tarik napas, Rose! Selamat
berjuang!” serunya menyemangati diri sendiri.
Rose
melangkahkan kakinya tak bersemangat. Ia langsung kembali ke kantor perusahaan
begitu ia mendapatkan penolakan mentah-mentah dari Galaxy Future.
“Kenapa,
Rose? Gagal lagi?” sapa salah seorang karyawan begitu melihat Rose memasuki
lobi kantor dengan wajah tak bersemangat.
Rose
mencebik ke arah karyawan tersebut. Ia termasuk karyawan terbaik di perusahaan
tersebut. Selalu melakukan pekerjaan dengan baik hingga membuat bosnya sangat
senang. Tapi tidak dengan beberapa bulan terakhir. Ia selalu saja ditimpa
kesialan setiap kali menjalankan proyek. Galaxy Future adalah perusahaan ketiga
yang membatalkan kontrak karena ia tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi.
“Siang,
Pak ...!” sapa Rose sambil masuk ke dalam ruang kerja pimpinannya.
“Siang,
Rose ...! Ambil ini!” tutur Indra, CEO PT. Julian Karya yang menjadi atasan
Rose.
“Pak,
ini ...?”
“Tuntutan
dari Galaxy sangat tinggi. Risiko pelanggaran kontrak kita sangat besar. Kamu
tahu persis berapa kerugian perusahaan. Surat ini untuk menyelamatkan kamu dari
jeratan hukum. Ambillah!” perintah Indra sambil menyodorkan amplop di atas
mejanya agar lebih dekat dengan Rose.
Rose
berusaha meraih amplop tersebut dengan tangan gemetar. Kontrak dengan Galaxy
adalah kontrak besar. Melanggar perjanjian kontrak, kerugian perusahaan juga
sangat besar. Mungkin surat ini bisa membuatnya terbebas dari jeratan hukum
sebagai penanggungjawab proyek. Tapi bisa saja surat itu malah menjerat
lehernya sampai mati mengenaskan.
“Mulai
hari ini, kamu sudah bisa bersantai di rumah. Nggak perlu kembali ke perusahaan
lagi!” perintah Indra.
Rose
menghela napas sambil membuka amplop berisi surat pemutusan hubungan kerja.
Lebih parahnya lagi, ia juga harus menanggung denda separuhnya dari kerugian
perusahaan. Benar saja, surat itu memang sedang mencekiknya agar mati lebih
cepat daripada harus hidup dalam penjara.
“Pak, saya udah dipecat dari sini, gimana
saya bisa bayar denda? Dapet uang dari mana?” tanya Rose.
“Itu
bukan urusan saya lagi. Kamu pikirkan sendiri!” sahut Indra dingin.
“Gaji
terakhir saya nggak dikasih? Uang pesangon?” tanya Rose. Ia tetap harus
berusaha mendapatkan haknya. Setidaknya, bisa ia gunakan untuk membayar denda
perusahaan, juga bertahan hidup selama menjadi pengangguran.
“Denda
yang tertulis di situ sudah dipotong gaji terakhir dan pesangon kamu. Jangan
ditanyakan lagi!” jawab Indra. “Sudah salah, masih minta pesangon lagi,”
celetuknya kesal.
Rose
mendengus kesal. Ia menahan sesak dan perih di dadanya. Hari ini, menjadi hari
tersial dalam hidupnya. Setelah satu tahun bekerja sebagai Kepala Bagian
Proyek, ia malah dipecat karena kesalahan yang tidak disengaja. Sialnya,
kesalahan tidak disengaja itu sudah terjadi tiga kali dan semua orang
menganggap kalau kesalahan itu disengaja oleh Rose untuk merugikan perusahaan.
“Kamu
boleh keluar dari sini!” perintah Indra.
Rose
mengangguk. Ia menunduk hormat ke hadapan bosnya itu. “Baik, Pak. Terima kasih
atas ilmu dan kerjasamanya selama ini!” ucapnya sambil menitikan air mata.
Kemudian, ia bergegas keluar dari ruangan tersebut.
“Rose,
kamu dipecat? Akhirnya ... kesayangan bos ini dipecat juga. Sok-sok’an sih jadi
orang. Kalau bikin rugi perusahaan, trik menggoda atasan nggak akan berlaku,”
tutur salah seorang karyawan saat melihat Rose keluar dari dalam ruang CEO
sambil memegang amplop.
Rose
tersenyum sambil menatap beberapa karyawan yang ada di sana. Semua sudah tahu
kesalahannya yang nyaris membuat perusahaan bangkrut dan mereka akan kehilangan
pekerjaan. Itulah sebabnya, mereka sangat senang ketika Rose diberhentikan dari
perusahaan.
“Masih
bagus Pak Bos nggak bawa kasus ini ke penjara. Kalau dipenjara, mau gimana
nasibnya? Wajah cantik dan sok pintarnya ini langsung hilang di balik jeruji
besi. Hahaha.”
“Untungnya
dia cepat dipecat. Kalo nggak, kita yang jadi gelandangan karena kehilangan
pekerjaan. Kamu cukup tahu diri juga, Rose.”
Rose
terus tersenyum saat semua karyawan terus mencacinya. “Udah selesai menghinanya?”
Semua
orang terdiam mendengar pertanyaan Rose.
“Surat
ini adalah surat yang akan bikin hidupku lebih baik dari kalian! Ingat itu!”
tutur Rose sambil mengangkat amplop surat yang ada di tangannya. Kemudian, ia
bergegas pergi dari kantor tersebut.
“Pembualan,
Rose! Paling hidupmu makin melarat. Hahaha.”
“Rosemini
... Rosemini ... besok, ganti nama jadi Rosebig biar keberuntunganmu big juga!”
seru yang lainnya.
Rose
menarik napas dalam-dalam. Ia berlari keluar dari kantor tersebut dengan
perasaan tak karuan. Begitu ia berhasil masuk ke mobilnya, air matanya langsung
mengalir deras.
“Rose
... kamu akan baik-baik aja. Masih banyak pekerjaan lain. Semangat!” seru Rose
menyemangati dirinya sendiri sambil mengusap pipinya yang basah. Ia menyalakan
mesin mobil dan bergegas pergi.
Rose
membuka ponsel dan menelepon nomor Sandi, tunangannya. Hari ini adalah hari
ulang tahun Rose yang ke-25. Mereka biasa merayakannya bersama. Untuk
menghilangkan kesedihannya, lebih baik ia pergi merayakan ulang tahun bersama tunangannya
itu. Toh, dua bulan lagi mereka akan segera melangsungkan pernikahan.
“San,
kenapa nomor kamu nggak aktif, sih?” gumam Rose setelah ia mencoba menghubungi
nomor Sandi beberapa kali. “Jangan-jangan ... dia lagi nyiapin pesta kejutan
ulang tahun buat aku? Lebih baik, aku pulang dulu!”
Rose
menyunggingkan senyuman sambil menatap potret kebersamaan ia dan Sandi yang ia
gantung di atas dashboard mobilnya. Selama lima tahun ini, ia sudah menjalani
banyak hal bersama Sandi. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
Meski sedih karena kehilangan pekerjaan, tapi hatinya tetap bahagia memiliki
tunangan seperti Sandi. Pria yang sangat lembut, perhatian, tampan dan mapan.
Pria impian semua orang dan dia sudah berhasil mendapatkannya.
Beberapa
menit kemudian, Rose sudah memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Ia langsung
tersenyum saat melihat mobil Sandi sudah ada di sana.
“La
... la ... la ... la ...!” Rose melenggang santai memasuki pintu rumahnya yang
terbuka. Semua orang sudah berkumpul di sana. Ada keluarganya, juga keluarga
Sandi.
Rose
langsung tersenyum saat melihat orang tua Sandi. Ia pikir, semua orang
berkumpul untuk merayakan hari ulang tahunnya seperti biasa.
“Siang,
Ma ...!” sapa Rose sambil merengkuh tubuh calon mertuanya itu. Menyalami pipinya
seperti biasa dan tersenyum manis. “Mama tumben main ke sini siang-siang gini,
mau rayain ulang tahun aku, ya?”
Hilda
langsung tersenyum hangat menatap Rose. “Kamu ulang tahun hari ini?” Ia hampir
lupa kalau tunangan puteranya itu sedang berulang tahun.
Rose
mengangguk. “Aku traktir kalian semua makan enak malam ini. Gimana?”
Semua
orang saling pandang. Tidak ada satu pun yang berani menjawab pertanyaan Rose.
Bahkan Sandi hanya menundukkan kepala
sejak Rose masuk ke dalam rumah tersebut.
Pandangan
mata Rose langsung tertuju pada Risma. Adiknya yang sedang duduk di sofa sambil
menutup wajah menggunakan scraf yang ada di tangannya.
“Ini
ada apa?” tanya Rose kebingungan. “Risma, kamu nangis? Kenapa?”
Risma
menggeleng sambil terisak kembali.
“Rose,
duduk dulu!” pinta Hilda sambil merangkul tubuh Rose. “Mama sekeluarga mau
minta maaf sama kamu.”
“Maaf
kenapa, Ma?” tanya Rose.
“Maafkan
keluarga kami kalau ada salah sama Rose. Mmh ...” Hilda tak sanggup melanjutkan
kalimatnya. Ia menatap Sandi yang masih menundukkan kepalanya.
Rose
menatap semua orang yang ada di sana selama beberapa saat.
“Pa,
Ma ...! Ini ada apa? Kenapa Risma nangis?” tanya Rose pada orang tuanya
sendiri.
Yulia
menghela napas sambil menatap wajah Rose. “Risma hamil.”
Rose
langsung memutar kepalanya menatap Risma. Ia tercengang mendengar dua kata yang
keluar dari mulut ibunya. Bagaimana bisa adiknya itu hamil? Bukankah Risma masih
kuliah dan tidak punya pacar.
“Bener,
Ris?” tanya Rose. Ia bangkit dan beringsut ke hadapan Risma.
“Hiks
... hiks ... hiks ...!” Risma hanya terisak mendengar pertanyaan Rose.
“Jangan
nangis! Jangan nangis! Laki-laki itu pasti mau tanggung jawab ‘kan?” tanya
Rose.
Risma
semakin terisak mendengar pertanyaan Rose. “Maafin Risma! Maafin Risma!”
Rose
menangkup wajah Risma dan mengusap air mata gadis itu. “Bilang ke aku! Siapa
yang sudah hamilin kamu? Aku bakal cari laki-laki itu. Kalau dia nggak mau
tanggung jawab. Aku bakal bunuh dia!”
Sandi
langsung memutar kepalanya menatap Rose dan Risma.
Risma
terisak sembari melirik Sandi yang duduk di seberangnya. Ia tidak berani
mengatakan apa pun di hadapan kakaknya. Meski menyebalkan, tapi Rose sangat
menyayangi dirinya. Ia benar-benar merasa bersalah karena ia sudah hamil tiga
bulan.
“Bilang
ke aku, siapa yang sudah hamilin kamu, Ris?” tanya Rose dengan nada lebih
tinggi. Ia sangat kesal karena adiknya yang pendiam dan selalu bersikap baik,
tiba-tiba hamil. “Sudah berapa bulan?”
“Tiga
bulan,” jawab Yulia, ibu kandung Risma.
“Tiga
bulan? Kita harus cari pelakunya, Ma? Apa laki-laki itu nggak mau tanggung
jawab?” tanya Rose kesal. “Sudah hamilin adikku, terus lari? Aku nggak akan
pernah maafin orang itu!”
“Sandi,”
tutur Yulia sambil menatap wajah Rose yang sedang menahan amarahnya.
“Sandi?
Namanya Sandi? Sama dengan tunanganku? Oke. Aku akan cari orang itu. Kamu kasih
tahu ke aku, seperti apa orangnya! Biar aku yang cari dia dan
mempertanggungjawabkan perbuatannya!”
Risma
tidak bisa berkata-kata. Ia terus terisak melihat sikap kakaknya itu.
“Orangnya
sudah ada di sini. Nggak perlu kamu cari!” sahut Yulia sambil menunjuk Sandi
dengan dagunya.
DEG!
Jantung
Rose berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ia memutar kepalanya menatap Sandi
yang hanya menundukkan kepala. Dadanya sangat sesak saat pria itu bahkan tak
berani menatap wajahnya. Ia ingin menangis. Tapi rasa sakit yang mengejutkan,
justru membuat air matanya tak sanggup untuk jatuh. Ia terkulai lemas sambil
menatap lantai kosong.
“Rose
...!” Hermanto, ayah kandung Rose mencoba mengangkat tubuh Rose yang terduduk
lemas di lantai dengan tatapan kosong.
Rose
langsung menepiskan tangan Hermanto dengan kasar. Ia menatap Sandi dan
menggeser tubuhnya ke hadapan tunangannya itu.
“San,
semua ini nggak bener ‘kan?” Rose menengadahkan kepalanya menatap Sandi. Air
mata yang sejak tadi tertahan oleh luka, akhirnya jatuh berderai di depan wajah
pria itu.
“BILANG KE AKU KALAU SEMUA INI NGGAK BENER,
SAN!” teriak Rose histeris karena Sandi masih saja bergeming.
((Bersambung...))
Download dulu aplikasinya di Playstore atau Appstore kalau kalian belum punya.
MuchLove,
@rin.muna