Iwan adalah salah satu aktivis pecinta alam. Kali ini, Iwan dan teman-temannya memilih menginap di daerah batu dinding demi bisa menikmati indahnya sunrise dari ketinggian.
Tenda-tenda kemah telah mereka persiapkan di kaki bukit batu dinding.
"Wan... cari air dulu ya!" salah satu temannya menyodorkan dua buah jerigen lima liter. Mereka harus mencari air untuk memasak malam ini.
"Bentar. Sama siapa?" Iwan sibuk menyiapkan kamera DSLR -nya, bersiap membidik setiap moment yang ada di depan matanya.
"Sendiri. Yang lain belum kelar bikin tenda."
"Ah, nggak mau kalau sendiri!" Iwan menolak tanpa basa-basi.
"Nggak masak kita ini. Nggak ada air Wan!"
"Ogah bawa-bawa air jerigen beratnya gitu. Suruh yang lain aja!" Iwan ngeloyor pergi meninggalkan teman-temannya yang sedang sibuk mempersiapkan tenda.
Iwan melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, membidik setiap objek yang menarik perhatiannya.
Waktu terus bergulir, sore berganti malam.
"Wan... mau minum?" Risa menyodorkan segelas kopi hangat.
"Makasih." Iwan meraih gelas yang diberikan Risa tanpa menoleh sedikitpun.
"Belum ngantuk?" tanya Iwan.
Risa menggeleng. "Terlalu berharga saat ini untuk di lewati. Semakin malam, tempat ini semakin indah." Risa berdiri di tepi batu dinding. Dengan ketinggian kurang lebih 500 meter, ia bisa melihat dengan jelas taburan bintang-bintang yang menghiasi angkasa. Sungguh pemandangan yang langka. Yang tak pernah ia saksikan di perkotaan.
Risa menarik napas panjang. Memejamkan matanya, merasakan desir angin yang menggelayut manja menyentuh rambutnya.
"Suka bintang?" Iwan tiba-tiba sudah berdiri di sisinya.
"Iya. Aku suka banget sama bintang. Terutama rasi bintang scorpio."
"Kamu tahu mana rasi bintang scorpio itu?" Iwan mengangkat satu alisnya menatap wajah Risa.
"Tahu. Itu!" Risa menunjuk kumpulan bintang yang membentuk rasi bintang scorpio.
"Alasan kamu suka rasi scorpio apa?" tanya Iwan.
"Ya, karena aku lahir di bulan november dan zodiak aku scorpio."
"Oh ya? Kalau rasi bintang Aries yang mana?"
"Hmm..." Risa menatap langit dengan seksama. Matanya memburu rasi bintang aries. "Nah... itu dia! Sangat simple."
Iwan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Bintangmu Aries?" tanya Risa.
Iwan mengangguk.
"Hmm... memang sangat cocok denganmu."
Mereka bergeming selama beberapa menit. Membiarkan angin yang menyapa dan mengajak mereka bercanda. Tak ada kata satupun yang keluar dari mulutnya.
Risa asyik menikmati jutaan bintang yang bertaburan di atas kepalanya. Ia merasa sedang menari dengan jutaan bintang-bintang. Melayang bersama kebahagiaan. Ia ingin malam ini tak berakhir. Tak peduli dengan Iwan yang diam-diam membidiknya dengan kamera. Ia lebih memilih menikmati waktu bersama bintang-bintang. Melupakan sejenak rasa cinta yang ia pendam. Iwan tak pernah menerima perhatian yang Risa berikan. Itu sudah cukup membuat hati Risa mantap melupakan Iwan. Melupakan semua perasaannya, melupakan semua harapan-harapan tentangnya.
* * *
Tiga Tahun kemudian...
Risa melangkahkan kakinya menyusuri gedung pameran photography. Satu per satu menikmati indahnya hasil jepretan kamera profesional para photographer.
Matanya tertuju pada sebuah foto berukuran 200x200. Foto yang indah... seorang gadis berambut panjang di bawah taburan bintang-bintang. Ia terlalu familiar dengan gambar itu. Ya, itu potret diri Risa tiga tahun lalu di atas batu dinding.
Risa membaca sebuah note yang tertera di bawah foto. Judul "Rasi Bintang Risa". Karya : "WanRis"
Lama Risa berdiri mematung di depan potret dirinya sendiri. Bergeming. Bibirnya beku. Air mata menetes mengingat masa di mana ia begitu mencintai Iwan. Jauh di dalam lubuk hati, ia masih sangat mencintai Iwan. Satu-satunya pria yang mempu merebut perhatiannya. Gayanya yang dingin membuat Risa semakin ingin mendekatinya. Namun, Iwan terlalu dingin untuknya, hatinya terlalu beku. Risa tak berhasil mencairkan hati Iwan.
Tapi, hari ini waktu berkata lain. Jika Iwan tak menganggapnya. Kenapa ada foto ini? Kenapa namanya berubah menjadi WanRis? Apakah itu singkatan Iwan dan Risa?
"Ris... maafkan aku!" Suara Iwan mengejutkan Risa. Risa membalikkan tubuhnya, menatap tubuh Iwan yang telah jauh berubah. Rambutnya gondrong dengan kumis yang menghiasi wajahnya. Moment di atas batu dinding itu adalah saat perpisahan mereka. Sejak itu, mereka tak pernah bertemu selama tiga tahun.
"Iwan..." Mata Risa berkaca-kaca menatap tubuh Iwan yang tegap. Ingin rasanya memeluk pria itu dan mengatakan kalau Ia mencintainya.
"Aku terlalu naif untuk menunjukkan perasaanku sendiri."
"Lupakan saja! Waktu tidak pernah bisa kembali lagi. Aku telah memutuskan melupakanmu. Aku telah memutuskan untuk berhenti mencintaimu. Kini aku telah termiliki, kuharap kamu mengerti. Biarkan kisah kita jadi kenangan!" Risa meninggalkan Iwan yang mematung.
Ada rasa sesal dalam hati Iwan. Andai saja ia bisa membalas perhatian Risa tiga tahun lalu. Mungkin saat ini hatinya tak selalu gelisah merindukan gadis cantik yang berhasil mengganggu hatinya.