Labels
Akrostik
Artikel
Belajar Bahasa Inggris
Belajar Nulis
Berita
Biografi
Cerpen
Daily
Dongeng
Ekonomi & Bisnis
English Course
Esai
Fashion
Fizzo
Kegiatan
Kompetisi Menulis
Kuliner
Literature
Materi Nulis
My Experience
Novel MLB
Novel ILY Ustadz
Novelme
Opini
Pendidikan
Prestasi
Puisi
Ranting Ranti
Review Aplikasi
Review Drama
Review Novel
Rumah Literasi Kreatif
Sastra
Social and Humanity
Wisata
Saturday, April 28, 2018
Tuesday, April 24, 2018
Sunday, December 24, 2017
Thursday, November 30, 2017
Pameran Karya "Kolektif Membentuk Pasar" Balikpapan
https://www.youtube.com/edit?o=U&video_id=Or7YcatCBmM
Kegiatan dari Fokus ( Forum Kreatif Usaha Sama-Sama) tanggal 25 Oktober 2017 ini di selenggarakan pertama kali di dalam Hotel Royal Suite Balikpapan. Banyak pengkarya yang ikut hadir dalam acara ini. Bagaimana memadukan antara seni musik, seni kriya dan seni rupa.
Friday, November 10, 2017
JURUS JITU MENCEGAH LUKA BAKAR
Hai... readers! Terutama buat
para ibu-ibu yang doyan masak dan berkutat di dapur nih. Pernah nggak sih
ngerasain kena minyak panas waktu goreng makanan? Atau kena air panas waktu
ngerebus sesuatu? Atau kadang nggak sengaja tangan kita kena panci panas yang
masih di atas kompor menyala? Apa sih yang pertama kali kalian lakukan kalau
misalnya itu terjadi? Ambil odol ( pasta gigi ) atau ambil es batu supaya nggak
panas? Kebanyakan orang sih biasanya pake odol atau pasta gigi supaya nggak
panas ya? Bahkan sejak aku sekolah, terkenalnya sih pakai odol kalau kena air
panas atau minyak panas. Emang sih bikin nggak panas. Tapi, bekas kena minyak
atau air panas itu tetap melepuh juga walaupun sudah dikasih odol. Kalian juga
ngerasain hal yang sama nggak sih? Udah dilumuri odol banyak tapi setelah 1
atau 2 jam masih melepuh juga? Ada juga beberapa tips yang menggunakan masker
timun atau kentang untuk mengobati luka bakar. Mengobati ya? Bukan mencegah
luka bakar itu terjadi.
Pernah nggak sih kalian ngerasain
kena minyak panas yang cukup besar dan nggak ada bekas luka sama sekali?
Apalagi ngerasain luka itu sudah melepuh dan berair. Nunggu pembengkakan itu
pecah bisa sampai 2 atau 3 hari loh. Saat udah pecah dan kering, kulit akan
mengelupas dan meninggalkan bekas berwarna putih atau berbeda dengan kulit asli
kita.
Ini pengalaman aku dan tips dari
nenek aku. Dulunya aku lebih percaya sama tips beberapa orang kalau kena panas
diobatin aja pakai odol. Dan hasilnya masih sama, selalu melepuh setelahnya.
Akhirnya aku cobain deh tips dari nenek aku ini. Tipsnya sangat sederhana
sekali dan nggak perlu repot. Sudah pasti ada di dapur kita setiap harinya.
Tipsnya saat terkena percikan minyak panas atau air panas yaitu dengan melumuri
kulit yang terkena dengan menggunakan GARAM atau MINYAK TANAH. Kalau pakai
minyak tanah, zaman sekarang mungkin nggak semua orang punya ya? Soalnya masaknya
kan udah pakai gas elpiji. Nah, kalau yang satunya? Si Garam yang ajaib? Pasti semua
orang punya garam dong di rumahnya setiap hari. Coba deh lumuri pakai garam
pada kulit yang terkena air panas atau minyak panas. Nggak akan ada luka bakar yang berbekas
apalagi melepuh. Ini bener pengalaman aku. Awalnya sih aku pikir karena
cipratannya sedikit makanya nggak ada bekasnya. Tapi, lama-lama aku ngerasain
kejadian yang lebih banyak lagi. Saat aku lagi goreng jeroan ayam, si minyak
panas tiba-tiba meletup dan tepat membanjiri pipi kiri sampai daguku. Yang kerasa
panas banget sih di dagu. Cepat-cepat deh aku ambil garam dan kugosokkan
perlahan di area yang terkena minyak panas. Alhasil, beneran nggak ada bekas
luka, nggak melepuh dan kulitku seperti kecipratan air saja. Saat itu aku masih
ragu juga loh. Aku berpikir mungkin yang diwajahku itu sedikit saja makanya
tidak meninggalkan bekas? Sampai kejadian 2 hari yang lalu bikin aku yakin
kalau emang Si Garam ini beneran ajaib loh. Saat aku goreng tahu isi, minyaknya
kan rada banyak tuh. Aku rada keras membalikkan tahu isi yang di goreng dan
alhasil minyak panas itu membanjiri kaki kiriku. Yah, nggak banyak sih. Hanya
terkena tiga jari kakiku dan diatas jari kira-kira 3 cm. Buat aku sih lumayan
besar ya? Soalnya dulu sering kena percikan sedikit aja udah melepuh saat aku
kasih odol. Cepet-cepet deh aku ambil garam dan kugosokkan ke kakiku. Rada
pesimis sih? berhasil nggak ya? Karena ini pertama kalinya ngerasain dan lihat
area kulit yang terkena minyak panas cukup lebar. Rasanya perih campur panas
dan seperti dikerumuti sama ribuan semut. Masih terus kuperhatikan kakiku? Melepuh
nggak ya? Sampai keesokan harinya area yang terkena percikan nggak melepuh sama
sekali. Terlihat baik-baik saja sampai sekarang. Nggak perlu dikasih krim luka
bakar atau apalah. Cukup dikasih garam aja dan semua baik-baik saja. Itu untuk
luka dalam skala kecil, kalau luka bakar yang kulitnya sudah terkelupas
sepertinya tidak akan berhasil? Aku juga belum pernah nyobain sih, hehehe. Kita
tidak perlu mengobati luka bakar, karena bisa mencegah luka bakar itu terjadi. Kamu
boleh coba deh tips dari aku saat terkena minyak panas atau air panas. Selamat
mencoba tips dari aku ya! Semoga berhasil juga.
Thursday, November 9, 2017
Cerpen "Casual Love"
Aku duduk di salah satu meja restoran. Restoran yang terletak di pusat perbelanjaan ini sangat ramai dikunjungi orang. Bahkan aku bisa dengan jelas melihat orang yang berlalu-lalang untuk berbelanja atau hanya sekedar jalan-jalan saja. Aku perhatikan gadis-gadis yang lewat atau bahkan yang duduk di restoran itu juga. Zaman sekarang ini, banyak perempuan yang mengumbar auratnya, bahkan terkadang membuat bulu kudukku berdiri ketika melihat seorang wanita berpakaian super seksi. Hal yang normal untuk seorang laki-laki. Namun perasaan itu segera kutepiskan. Ada juga wanita yang berhijab tapi makeupnya menor banget, dengan alis cetar membahana seperti menggunakan spidol dan bibir merah merona. Dan masih banyak lagi kulihat wanita-wanita yang sedang ngikuti tren masa kini. Tren yang semakin gila kurasa. Kemudian, pandanganku tertuju pada salah satu meja panjang. Beberapa wanita baru saja duduk memesan makanan. Di saat semua sibuk dengan smartphone-nya. Salah satu wanita kulihat tidak memegang handphone. Dia hanya memperhatikan ke enam temannya yang sibuk sendiri dengan handphone. Sambil sesekali melihat ke arah meja resepsionis atau melihat ke sekeliling restoran. Bahkan pandangan mata kami sempat bertemu dalam sepersekian detik.
Aku heran, ternyata masih ada gadis sesederhana dia? Bahkan ketika semua sibuk dengan gadget, dia asyik menikmati sekitarnya tanpa memegang gadget. Penampilannya juga sederhana, hanya dengan celana jeans warna biru dan kaos oblong putih yang sedikit longgar alias tidak ketat di badannya. Rambutnya lurus terurai hingga bahunya. Wajahnya terlihat alami tanpa make up. Memang dia tidak secantik teman-temannya yang menggunakan make up. Tapi, kesederhanaannya lah yang membuat hatiku terenyuh dan bahkan aku tidak mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Ku perhatikan setiap gerakannya, bahkan senyumnya yang sangat manis ketika menanggapi candaan teman-temannya. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak begitu mendengarnya karena jarak kami lumayan jauh. Ku lihat matanya memperhatikan sekeliling dan kali ini tepat bertatapan dengan mataku. Aku yang duduk sendirian di meja paling pojok. Tiba-tiba jantungku seolah berhenti berdetak, apa benar dia melihatku juga? Cukup lama dia tidak mengalihkan pandangannya. Dan itu membuatku jadi salting. Kemudian aku berpura-pura menyerutup minuman yang tersaji di atas meja untuk mengalihkan rasa saltingku. Tak berapa lama aku meliriknya kembali dan dia sedang menempelkan sebuah smartphone iphone 6s di telinganya. Sepertinya dia menerima telepon dari seseorang. Kemudian dia letakkan kembali smartphone itu ke dalam tasnya. Aku pikir dia sendiri yang tidak main handphone karena tidak punya. Ternyata dia punya lebih mahal dari teman-temannya yang hanya menggunakan smartphone android merk biasa. Wanita itu membuatku kagum dengan kesederhanaannya. Ah, entah kenapa aku jadi penasaran ingin mengenalnya atau sekedar menyapanya. Tapi, jantungku justru berdegup kencang. Telapak tanganku berkeringat, padahal aku masih duduk diam dan baru berniat untuk menyapanya. Perasaan apa ini? Aku belum pernah merasakannya. Aku yang biasanya begitu mudah menaklukan para gadis. Sekarang jadi tak berdaya. Apa aku jatuh cinta? Oh tidak! Tidak mungkin aku jatuh cinta dengan seorang gadis yang biasa saja. Bahkan menyapanya saja aku belum pernah. Aku mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jemariku untuk menghilangkan rasa grogiku. Tak lama kemudian gadis itu bergegas pergi seorang diri dan meninggalkan teman-temannya. Aku pun segera menuju kasir untuk membayar makananku dan mengikuti langkahnya dengan santai agar tidak ada yang curiga kalau aku membuntutinya. Kulihat dia berjalan kaki keluar dari tempat parkir. Artinya dia pasti tidak naik kendaraan pribadi. Aku bergegas menstarter motorku dan mengejar langkahnya.
"Mba mau ke mana?" tanyaku setelah berada tepat di sisinya
yang sedang menunggu kendaraan umum melintas.
"Mau pulang Mas." jawabnya.
"Mau saya antarkan?" tanyaku kemudian.
"Nggak usah Mas. Saya naik angkot aja." jawabnya sambil
memberhentikan salah satu angkot yang kebetulan sedang melintas.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dan membiarkannya pergi begitu
saja. Entahlah, aku tak bisa mengendalikan jantungku yang berdegup sangat
kencang ketika berbicara dengannya. Tak seperti biasanya yang dengan mudahnya
merayu perempuan dan bikin mereka klepek-klepek. Kali ini dia sangat cuek,
sepertinya dia sama sekali tidak tertarik dengan ketampananku ataupun dengan
kendaraan yang kubawa. Biasanya nih, kalau cewek lihat cowok ganteng pake motor
Ninja udah histeris duluan minta diboncengin. Tapi, kali ini perempuan yang aku
temui cuek-cuek aja. Sepertinya dia tidak begitu tertarik denganku. Apa karena
dia sudah punya pacar ya? Ah, pikiranku semakin kacau balau. Aku memacu motorku
dan bergegas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah aku merebahkan diri ke atas tempat tidur. Sambil
menatap langit-langit kamar, kubayangkan wajah dan senyumannya dari kejauhan.
Pemandangan di restoran siang tadi terus terbayang di wajahku. Ah, tidak
mungkin aku suka pada gadis yang biasa saja, gadis yang sangat casual. Semua
perempuan yang aku kenal memiliki selera tinggi dan penampilan yang sangat
menarik. Kenapa aku justru tertarik pada gadis yang biasa saja? Aku berjalan
menuju balkon. Melihat beberapa orang lalu lalang membeli sate yang sedang
ngetem tepat si seberang rumahku. Mataku kemudian tertuju pada seorang gadis
yang baru keluar dari pintu rumah seberangku dengan mengenakan jaket warna
hijau lumut. Itukan gadis yang aku temui tadi siang? Dia tetanggaku? Ternyata
sangat dekat sekali.
“Emang kalau jodoh nggak kemana.” Celetukku sambil bergegas turun dari
kamar dan langsung keluar rumah.
“Paklek, kenal nggak sama cewek yang barusan pake jaket hijau lumut?”
tanyaku pada Paklek Sate langganan komplek.
“Oh,,, yang barusan beli sate?” tanya Paklek.
“Iya Paklek.”
“Lah kok tumben nanyain? Biasanya makan sate bareng di sini nggak
pernah nanya.” Tanya Paklek heran.
Hah? Aku makin melongo. Apa iya gadis itu sering makan di sini juga?
Apa aku yang nggak begitu perhatikan ya?
“Duduk aja dulu Mas, saya bikinkan satenya. Sebentar lagi gadis itu
pasti ke sini lagi. Soalnya dia kalo beli di bawa pulang itu buat ibunya. Kalo
dia pasti makannya langsung di sini.” Tutur Paklek.
Belum lima menit gadis itu benar-benar keluar dari rumahnya dan duduk
tepat di sampingku, memesan satu porsi sate ayam. Kuperhatikan wajahnya dari
dekat, aku seperti pernah melihatnya. Wajahnya familiar di ingatanku tapi aku
tetap tidak tahu dia ini siapa. Atau memang aku yang sudah terlalu silau dengan
penampilan wah seorang perempuan sehingga aku tidak pernah memperhatikannya.
“Mas, kok lihatin saya seperti itu?” tanya gadis itu.
“Eh,,, Nggak papa. Kamu tinggalnya di sini? Kok baru lihat ya?” tanyaku
gugup.
Gadis itu tertawa. “Mas Aryo... Sering banget saya lihat Mas Aryo makan
di sini. Bahkan di tempat makan yang lain juga. Ya nggak lihat lah orang Mas
Aryo kalau makan kan sudah ada yang nemenin, cantik-cantik pula.”
“Ah masa sih? Kamu juga cantik kok.”
“Iya, karena aku kan perempuan. Kalau laki-laki pasti ganteng.”
Sahutnya sambil meraih seporsi sate yang ia pesan.
“Serius. Kamu itu cantiknya alami.”
Gadis itu hanya tersenyum.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanyaku penasaran.
“Tetangga bertahun-tahun masa nggak ingat sama aku. Aku Sonya.” Jawab
gadis itu.
“Hah!? Kamu beneran Sonya?” tanyaku kaget. Yang aku tahu Sonya itu
tomboi, pake kacamata dan rambutnya selalu pendek seperti laki-laki. “Aku pikir
kamu sepupu atau sodaranya Sonya, soalnya Sonya yang aku kenal nggak kayak
gini.” Tuturku sambil memperhatikan setiap detil perubahan yang terjadi
padanya. Dan kami pun asyik bercerita tentang banyak hal.
Hari-hari berikutnya aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sonya.
Dia perempuan yang sederhana, kami punya waktu bersama untuk jogging, makan
siang bareng ataupun sekedar menemaninya pergi latihan. Sekali saja dia tidak
pernah mengajakku ke mall. Belanja apa yang dia inginkan seperti
perempuan-perempuan lain yang pernah kudekati. Beberapa panggilan telepon, sms,
whatsapp dan sejenisnya dari wanita-wanita yang pernah kudekati tak lagi
kuhiraukan. Ada yang marah-marah tanpa sebab karena sekian banyak chat hanya
kubaca. Aku mulai malas meladeni mereka. Bukan pacar, hanya dekat saja. Tapi
sering kali mengajakku jalan ke mall atau ke salon. Benar-benar dunia perempuan
yang membosankan.
Aku lebih nyaman jalan dengan Sonya. Penampilannya simpel, sangat
casual. Tidak pernah merengek dan bermanja-manja. Selalu ceria setiap
bersamanya. Bahkan aku sama sekali tidak pernah mendapat telepon atau sms dari
dia saat kami sedang tidak bersama. Justru tanganku yang gatal ingin terus
meneleponnya. Terkadang dia marah saat menjelang tidur dan aku masih
mengganggunya. Atau saat dia sedang jam belajar dan aku sibuk menelepon atau
sms. Aku sering senyum-senyum sendiri mengingat wajah manyunnya saat ketemu
sambil mengomel ‘Jangan telepon aku di jam belajar!’ atau ‘Jangan ganggu aku
malam-malam!’. Sederhana sekali, tapi aku tidak pernah bisa melupakannya walau
hanya sedetik.
“Son, kamu mau nggak temenin aku nonton? Ada film baru.” Ajakku
memberanikan diri. Ini bukan pertama kalinya aku mengajaknya nonton. Selama 6
bulan kedekatan kami, dia selalu menolak jika ku ajak nonton atau sekedar makan
malam di luar.
“Nggak ah, aku nggak suka nonton di bioskop.” Jawab Sonya.
“Jadi sukanya nonton di mana?” tanyaku.
“Nggak di mana-mana. Aku nggak tertarik nonton film, menghabiskan waktu
2 jam hanya untuk duduk manis mantengin layar film. Buat aku itu membosankan
banget.” Celetuknya.
Aku terdiam sejenak. Berpikir. Apa yang disukai Sonya? Apa cuma makan
malam di kedai sate keliling di depan rumah? Kan nggak keren banget kalau aku
nyatain perasaanku di sini. Nggak romantis. Kira-kira ke mana ya Sonya mau
kuajak jalan? Tempat yang tidak membosankan? Tempat yang selalu bikin ceria.
“Kamu pengen banget ya nonton film itu?” tanya Sonya yang menyadari
lamunanku.
“Eh,,, nggak juga sih.” Jawabku sambil melahap sate yang sudah lama
terhidang di depanku.
“Trus?”
“Aku pengen aja sekali-kali jalan bareng sama kamu. Nonton film, makan
malam atau jalan-jalan ke tempat yang romantis.” Jawabku.
“Seperti cewek-cewek yang selalu kamu dekati? Aku bukan mereka Mas. Aku
nggak suka pergi nonton, aku nggak suka makan malam berdua, aku nggak suka
menghabiskan waktu jalan-jalan berdua aja. Sementara kita cuma diam. Cuma
saling pandang kayak drama sinetron. Aku tipe orang yang suka keramaian.
Ngumpul sama keluarga besar, sama teman-teman. Sekedar barbeque atau
seru-seruan yang lain. Aku lebih senang jalan ke pasar malam, ke pantai, ke
tempat outbond atau ....” ucapan Sonya terhenti saat aku dengan cepat meraih
tangannya.
“Kenapa?”
“Kamu suka pasar malam kan? Ayo kita ke sana!” ajakku bergegas.
“Nggak sekarang juga, ini udah malam.”
“Baru juga jam tujuh.” Seretku sambil berlalu pergi. Tak lupa aku
tinggalkan uang untuk bayar 2 porsi sate yang sudah kami makan.
“Kembaliannya Mas!” teriak Paklek.
“Ambil aja.”
Aku bergegas masuk ke halaman rumah untuk mengambil mobil.
“Nggak usah pake mobil Mas. Kan pasar malam dekat aja di lapangan
komplek. Kita jalan kaki aja lebih seru.” Ucap Sonya saat aku memintanya naik
ke mobil.
Aku melongo mendengar ucapan Sonya. Bergegas aku kembalikan mobil ke
garasi dan berlari masuk rumah untuk mengambil kunci. Mama dan Papa sempat
bertanya karena aku terlihat terburu-buru.
“Pa, aku pinjem jaket Papa.” Aku langsung meraih jaket Papa yang ia
letakkan di atas kursi ruang keluarga.
“Kamu kenapa kok terburu-buru begitu?” tanya Papa.
“Mau jalan Pa sama Sonya.”
“Tapi kenapa harus lari-lari gitu. Badan kamu kan bisa berkeringat.
Masa jalan sama cewek badannya keringatan kan bau.” Celetuk Mama.
Aku mencium kedua ketiakku bergantian untuk memastikan badanku tidak
bau. “Masalahnya Sonya ngajak jalan kaki aja. Nggak mau pake mobil atau motor.
Tadi sudah ambil mobil dan harus Aryo balikin lagi ke garasi.” Aku langsung
bergegas pergi setelah jaket papa terpasang di tubuhku.
“Lama ya?” tanyaku pada Sonya yang masih menunggu di pekarangan rumah.
Sonya menggeleng. Kami segera bergegas menuju lapangan komplek
perumahan yang sedang ada pasar malam. Pasar malam ini selalu berpindah.
Terkadang beberapa bulan lagi baru ada di komplek kami. Dan lamanya hanya
seminggu. Aku lihat dia sangat asyik mencoba beberapa kuliner sambil terus
minta di foto. Juga mencoba semua permainan yang ada. Ini kali pertama aku ke
pasar malam lagi setelah 15 tahun tidak pernah menginjakkan kaki di pasar
tradisional penuh keceriaan ini. Ini juga pertama kalinya aku merasa sangat
bahagia. Tertawa dan berteriak sepuasnya. Bahkan tanpa sadar kami saling
berangkulan dan bergandengan tangan dengan asyiknya. Mungkin Sonya tidak sadar
karena saking senangnya. Biasanya ia paling tak mau aku menyentuh tangannya,
apalagi sampai bergandengan dan berangkulan seperti ini.
“Capek banget.” Tutur Sonya saat kami berjalan pulang. Ia duduk di
trotoar sambil meminum es cendol.
“Masih kuat jalan?” tanyaku yang melihat napasnya tersengal.
“Masih lah. Bentar aku habisin amunisiku dulu.” Tuturnya sambil
menyerot es cendol sampai habis dan segera berdiri kembali.
“Aku bahagia banget malam ini. Makasih ya!” ucap Sonya memegang
pundakku sambil berjalan beriringan.
“Iya sama-sama. Aku juga bahagia bisa ngabisin waktu malam ini sama
kamu dan lihat kamu bahagia banget.”
Sonya tertawa kecil. “Aouw...!” aku terkejut mendengar teriakan Sonya
yang terjerembab di selokan. Selokan ini sudah ditutupi dengan besi sehingga
bisa dipakai untuk berjalan. Tapi, ada beberapa besi yang sudah patah dan
membuat berlubang. Kaki kiri Sonya tepat masuk ke dalam sela-sela besi yang
rusak. Aku bergegas menarik kakinya keluar dari selokan. “Sakit.” Ucapnya
kemudian setelah ku lihat beberapa goresan di kakinya. Sepertinya besi-besi selokan
yang rusak melukai kakinya.
“Bisa berdiri?” tanyaku sambil memapahnya untuk berdiri.
“Bisa kayaknya, cuma lecet-lecet aja kok.” Jawab Sonya sambil berusaha
berdiri. “Aduh, sepertinya kaki kanan aku yang keseleo saat nahan tadi.”
Tuturnya kemudian.
“Ya udah sini aku gendong.” Tuturku sambil berjongkok menawarkan
punggungku.
“Nggak usah. Kaki kiri aku masih bisa dipakai jalan kok, cuma
lecet-lecet aja.”
“Udah, cepet naik! Kalau jalan sendiri nanti lama sampe rumahnya. Ini
udah jam setengah 12 loh. Nanti Mama sama Papa kamu marah pulangnya kemalaman.”
Tanpa protes lagi Sonya langsung naik ke punggungku. Aku berjalan
perlahan, tubuh Sonya semakin lama semakin berat.
“Kamu berat banget sih.” Celetukku. Tidak ada respon dari Sonya.
Ternyata dia tertidur, mungkin karena kelelahan.
“Kalian darimana?” orang tua Sonya sudah menunggu dan panik karena
sudah malam mereka belum pulang juga.
“Tadi Sonya pengen ke pasar malam tante. Jadi saya ajak ke sana jalan
kaki.” Jawabku sambil menidurkan Sonya di sofa ruang tamu.
“Itu kenapa kaki Sonya berdarahan?” tanya Papa Sonya.
“Tadi dia terjerembab di selokan Om. Kakinya lecet kena besi selokan
yang rusak.” Jawabku.
“Kok bisa? Kamu ngajak jalan anak saya nggak bisa jaga dia.” Sentak
Papa Sonya.
“Sudah Pa, jangan di marahin!” pinta Mama Sonya.
“Yo, tolong pindahin Sonya ke kamarnya ya di lantai dua. Soalnya tante
sama Om pasti nggak kuat gendong dia lagi.” Pinta Mama Sonya. “Bi, bawakan air
hangat sama handuk ke kamar Sonya ya!” pintanya kemudian pada asisten rumah
tangga mereka.
Aku bergegas membawa Sonya yang masih tertidur ke kamarnya diikuti
dengan langkah Bibi Sarti.
“Ini Mas air sama handuknya.” Bibi Sarti menyodorkan ember kecil berisi
air hangat setelah aku selesai meletakkan tubuh Sonya di atas kasur.
“Ada obat bi?” tanyaku sambil membersihkan luka di kaki kiri Sonya.
Bibi Sarti mengangguk dan bergegas pergi mengambil obat.
“Aouw..!” teriak Sonya terbangun. “Perih.” Katanya saat aku menempelkan
handuk hangat untuk membersihkan lukanya.
“Aku kok sudah di sini?” tanyanya sambil mengangkat tubuhnya untuk
duduk.
“Kamu tadi ketiduran. Capek banget ya? Tidurnya sampai ngorok loh.”
Ucapku bercanda.
Sonya hanya tersenyum menganggapi candaanku. Aku masih terus
membersihkan kaki Sonya dengan teliti. Bibi Sarti sudah kembali dengan membawa
kotak obat dan berlalu pergi lagi. Sonya meringis menahan sakit saat aku
memberikan cairan iodine pada lukanya.
“Aku nggak bisa urut kaki kanan kamu. Nggak ngerti caranya. Besok aku
panggilkan tukang urut buat urut kaki kamu yang keseleo ya.” Tuturku kemudian.
“Makasih ya Mas.”
“Aku yang makasih sama kamu. Karena malam ini adalah malam paling
bahagia yang aku punya seumur hidupku.”
“Gombal.”
“Kok Gombal sih?”
“Iya, bukannya bahagia itu kalau makan malam romantis sama cewek-cewek
cantik di kota ini? Setiap jalan sama cewek selalu bilang hal yang sama.”
“Suer deh, baru sekali ngomong gini sama kamu doang.”
“Kenapa cuma sama aku doang? Bukannya Mas Aryo sudah...” ucapan Sonya
terhenti ketika dengan spontan aku meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
“Karena kamu beda. Gayamu yang casual, hari-harimu yang casual, hidupmu
yang casual dan selera casual kamu bikin aku bener-bener jatuh cinta sama kamu.
Bisa saja aku jatuh cinta sama Shinta, cewek yang super cantik bak model dengan
dandanan yang supermodis. Tapi itu tidak terjadi. Tuhan menjatuhkan cintaku
sama kamu. Cewek casual yang bikin aku gelisah dan uring-uringan setiap hari.
Aku tau ini bukan tempat yang tepat untuk nyatain perasaan aku. Aku nggak
pernah berhasil ngajak kamu makan di restoran yang romantis. Tapi ini saat yang
tepat untuk aku tau gimana perasaan kamu sama aku. Kamu mau kan jadi ...”
ucapanku terhenti. Aku bingung harus bilang apa. Jadi pacar? Jadi istri? Jadi
pendamping hidup? Jadi teman hidup? Atau apa ya yang keren dan mengesankan.
“Jadi apa Mas?” tanya Sonya sambil memandangi wajahku.
Aku gugup untuk mengatakannya. “Aku bingung jadi apa ya?” kataku
nervous. “Kalau jadi istri nggak mungkin, kamu kan masih kuliah. Kalau jadi
pacar, rasanya aneh karena aku sudah dewasa. Kata pacar kan cocoknya buat anak
remaja. Kalau jadi pendamping hidup, nggak keren. Bibi Sarti pun bisa dampingin
hidup aku dari kecil sampai sekarang. ...” Kataku terus nyerocos.
Sonya tertawa mendengar pernyataanku.
“Kok malah tertawa?”
“Lucu aja. Mas Aryo yang terkenal playboy
dan don juan nggak ngerti nyatain
cinta kayak gimana?” katanya sambil tertawa.
“Lah, kamu cinta nggak sama aku?” tanyaku kemudian.
“Nggak tau.”
“Kok, nggak tau?”
“Yah, kan tadi Mas Aryo belum selesaikan pertanyaan yang pertama? Aku
mau dijadikan apa? Dijadikan pembantu kayak Bi Sarti?” tanyanya.
Aku menggeleng. Menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kali ini aku
benar-benar keki. Sonya memang tidak suka basa-basi. Selalu to the point dan
bikin aku salting nggak karuan. Aku masih berpikir sampai dapat kata-kata yang
tepat untuk kukatakan.
“Jadi?” tanya Sonya lagi.
Aku menggenggam kedua tangan Sonya sambil menarik napas sebelum aku
akhirnya mengatakan “Kamu mau kan jadi satu-satunya wanita yang aku cintai
seumur hidupku?”
Sonya tersenyum “Kalau itu aku mau.” Jawabnya kemudian.
“Beneran?” tanyaku kegiarangan sampai-sampai tak sengaja aku menyenggol
kaki Sonya dan membuatnya mengaduh kesakitan.
“Sampai ketemu besok ya. Tidur yang nyenyak! Aku pulang dulu,” ucapku
sambil bergegas pergi meninggalkan rumah Sonya dengan senyum sumringah yang
tidak dapat kusembunyikan dari siapapun.
______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.
Thursday, November 2, 2017
Cerpen "Surya Kemerdekaan"
CERPEN
“SURYA KEMERDEKAAN”
Karya : Rin Muna
Surya
berlari kecil menuju rumahnya, dia sudah berteriak-teriak memanggil Mamaknya
sebelum masuk ke dalam rumah.
“Mak,
kata Bapak kepala sekolah. Dua minggu lagi Tujuh belas agustus, Surya akan jadi
pasukan pengibar bendera di kantor kecamatan.” Teriak Surya penuh semangat.
“Oh ya?”
Mamak Widuri
tersenyum bangga sambil mengelus rambut Surya. Walau dalam hatinya masih
digelayuti perasaan yang tak menentu. Dia teringat akan mendiang suaminya yang
selalu menanamkan jiwa patriotisme kepada Surya. Mengajarkan kepada Surya
bagaimana mencintai tanah airnya. Kalau beliau masih hidup, pasti beliau bangga
sekali anaknya bisa menjadi seorang pengibar bendera pusaka yang selalu ia
agung-agungkan itu.
Menjadi seorang pengibar bendera di kota kecamatan bukan
perkara mudah bagi Mak Widuri. Mengingat perjalanan ke sana sangat jauh dan
sulit, harus melewati tiga desa yang jalannya masih tanah. Kalau hujan, sudah
pasti ojek tidak dapat menembus sulitnya medan yang berlumpur. Andai saja
suaminya masih hidup, mungkin tidak seberat ini dia memikirkannya. Belum lagi
memikirkan bekal yang harus dibawa anaknya, tidak mungkin ia membiarkan Surya
pergi jauh tanpa membawa uang sepeserpun.
Dengan penghasilan Mak Widuri yang
tak menentu. Jangankan untuk ongkos ke kota, untuk membeli beras saja masih
senin kamis. Ia lebih sering mengkonsumsi singkong rebus yang ia tanam sendiri di
pekarangan rumahnya.
“Tapi
Mamak ragu kamu bisa ikut Nak.” Tutur Mak Widuri lirih.
“Kenapa
Mak?”
“Kamu
tidak punya seragam Paskibraka.” Jawab Mak Widuri lesu. Melihat seragam merah
putih milik surya saja wajah Mak Widuri sudah merasa iba. Seragam surya tak
lagi putih bersih, banyak hiasan benang benang jahitan. Andai saja punya uang,
seharusnya seragam Surya diganti dengan seragam baru.
Surya
terduduk lemas memandangi lantai rumah yang masih beralas tanah. “Andai saja
Bapak masih hidup. Pasti Surya dibelikan seragam paskibraka sama Bapak ya Mak.”
Celetuk Surya.
Mak
Widuri merengkuh tubuh Surya sambil menahan air matanya jatuh. Ia tak tega melihat
impian putra kecilnya itu kandas begitu saja. “Kamu tidak perlu bersedih, Mamak
akan tetap berusaha membelikan kamu seragam. Yang penting kamu benar-benar giat
berlatih, supaya saat upacara nanti kamu tidak salah-salah. Jangan bikin malu
Mamak dan sekolah kamu!” kata Mak Widuri mencoba memperbaiki suasana.
“Iya
Mak, nanti Surya juga akan bantu Mamak cari uang,” tutur Surya.
“Tidak
usah Nak! Lebih baik kamu banyak berlatih saja, daripada waktumu terbuang
sia-sia. Kamu juga harus banyak beristirahat, supaya saat upacara nanti fisik
kamu tetap sehat dan kuat. Jangan sampai saat puncak upacara kamu justru
kelelahan dan pingsan,” tutur Mak Widuri.
Surya
manggut-manggut saja menuruti perintah Mamaknya. Dengan penuh semangat Surya
berlatih paskibraka setiap pulang sekolah. Tak peduli terik matahari menyengat
kulitnya atau gerimis hujan yang membasahi tubuhnya, Ia sangat senang bisa
menjadi pasukan pengibar bendera pusaka saat upacara di kota kecamatan nanti.
Pak
Jarwo sebagai kepala sekolah juga sangat bangga dengan semangat Surya. Andai
saja semua murid-muridnya seperti Surya, tidak hanya pandai tapi juga memiliki
semangat yang tinggi untuk belajar dan berlatih apapun. Bahkan mempelajari hal
yang sederhana saja, semangat Surya tetap menggebu-gebu.
Mak
Widuri juga terus berjuang sekuat tenaga agar dapat membelikan seragam paskibraka
untuk Surya. Mak Widuri hanya seorang buruh tani, ia tidak mendapatkan hasil
apapun bila tak ada petani yang menyuruhnya membantu mengolah sawah. Sudah
beberapa hari tidak ada yang memburuhkan keringatnya.
Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, Mak Widuri berjualan tapai singkong keliling. Hasilnya memang
tidak seberapa, tapi mampu membuatnya bertahan hidup. Mak Widuri berjalan kaki
dari rumah ke rumah untuk menawarkan tapai singkong buatannya sendiri. Lelah
sudah tak dirasanya lagi. Bahkan Mak Widuri sampai menjajakan tapainya ke
kampung sebelah. Sudah jelas jaraknya tidak dekat, sehingga Mak Widuri baru
sampai di rumah selepas sholat isya’. Seringkali ia pulang dan mendapati Surya sudah
tertidur pulas karena lelah berlatih seharian.
Surya anak yang pandai dan rajin
membantu orangtuanya sejak kecil. Sepulang berlatih paskibra, ia membereskan
rumahnya. Mengambil air ke sungai untuk kebutuhan memasak tanpa harus
diperintah oleh Mamaknya. Seringkali ia sudah menyiapkan singkong rebus dan
kopi hangat untuk Mamaknya. Walau terkadang sudah dingin saat Mamaknya sudah
sampai rumah. Karena lelah menunggu Mamaknya pulang, ia sering ketiduran di
dipan.
Sebenarnya Mak Widuri tak pernah memerintahkan dia untuk mengerjakan
pekerjaan rumah. Surya sendirilah yang merasa kasihan melihat Mamaknya berjuang
seorang diri agar bisa membelikan seragam untuknya. Mak Widuri segera mandi ke
sumur walau hari sudah petang. Setelahnya ia bergegas makan singkong rebus dan
kopi yang sudah disiapkan Surya di meja dapur. Mak Widuri mengeluarkan kantong
kecil dari keranjang dagangannya. Hanya dengan penerangan dari ublik saja, Mak
Widuri menghitung hasil jualan hari ini.
“Alhamdulillah… Hasilnya lumayan,
semoga besok bisa lebih lagi dan aku bisa membelikannya seragam baru,” tuturnya
sambil menghela nafas lega.
Tanpa berlama-lama lagi Mak Widuri langsung
bergegas ke dapur, mengambil beberapa ranting kayu bakar untuk memasak singkong
yang akan dibuat tapai. Setiap sebelum tidur ia terlebih dahulu sibuk
menyiapkan semuanya. Ditinggalnya tidur sejenak dan melanjutkannya kembali
seusai sholat subuh. Sebelum menjajakan tapainya dari rumah ke rumah, Mak
Widuri terlebih dahulu mengambil singkong dari kebun dan membersihkannya. Sehingga
saat pulang jualan, hanya tinggal mengukus dan mengolahnya.
Beberapa
hari kemudian, uang yang terkumpul dirasa cukup untuk membeli seragam
paskibraka. Mak Widuri mengajak Surya ke pasar untuk membeli seragam
paskibraka. Jarak dari rumah ke pasar sekitar 4 kilometer dan mereka harus
menempuhnya dengan berjalan kaki. Karena mereka tak punya cukup uang untuk naik
ojek.
Sesampainya di pasar, Surya dan Mak Widuri berkeliling kios satu persatu
menanyakan seragam paskibraka. Tapi tak ada satupun yang menjualnya di pasar.
Katanya harus ke kota kecamatan untuk membeli seragam tersebut. Atau dengan
memesan pada tukang jahit, tapi tidak bisa juga langsung jadi dalam waktu
dekat.
Karena di kampung itu hanya ada satu orang tukang jahit yang alat
jahitnya pun sudah sering ngadat termakan usia. Wajah Surya sudah terlihat
sangat sedih. Ia meneteskan air mata sambil berjalan pulang. Ia takut tak bisa
ikut upacara nanti hanya karena dia tak punya seragam.
“Bagaimana
ini Nak?” tanya Mak Widuri kebingungan.
“Kalau
ke kota kan lama Mak. Masih sangat jauh dari sini. Kalau berjalan kaki 3 hari
baru bisa sampai di sana. Berarti Surya tidak akan bisa ikut upacara nanti.”
Jawab Surya sambil menangis.
“Sudahlah,
tidak usah bersedih seperti itu. Besok saja kita ke kota kecamatan. Mamak cari
uang ongkos dulu untuk ke sana, kita bisa ikut menumpang menuju ke sana, jadi
kita tidak perlu berjalan kaki.” Tutur Mak Widuri.
“Bener
Mak?” tanya Surya mengusap air matanya.
Mak
Widuri mengangguk dan dengan berat hati mereka kembali ke rumah dengan tangan
kosong. Tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan,hanya mendapat lelah
berjalan kaki berkilo-kilo meter.
“Mak… dari
mana saja? Saya tadi pagi ke sini tidak ada orang.” sapa Pak Jarwo ketika Mak
Widuri dan Surya baru sampai di halaman rumah.
“Kami dari
pasar Pak. Ada keperluan apa ya Pak? Mari masuk dulu!” Kata Mak Widuri
mempersilahkan.
“Tidak usah lah Mak. Saya juga masih banyak
keperluan yang lain. Saya hanya ingin memberikan ini.” Tutur Pak Jarwo sambil
menyerahkan 1 kantong kresek hitam kepada Mak Widuri. Surya hanya memandang
dengan rasa penasaran.
“Apa ini
Pak?” tanya Mak Widuri.
“Ini
seragam paskibraka untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
Mak
Widuri dan Surya saling bertatapan dan tersenyum girang. “Ini benar untuk Surya
Pak?” tanya Mak Widuri masih tak percaya.
“Iya
benar. Itu untuk Surya. Kan Surya mau jadi pengibar bendera di kota kecamatan,
jadi saya belikan ini untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
“Alhamdulillah…!”
teriak Mak Widuri dan Surya bersamaan.
“Kami
baru saja dari pasar untuk mencari seragam paskibraka Pak, tapi kami tidak
mendapatkannya. Kata orang-orang harus ke kota kecamatan. Di sana tidak ada
yang menjual seragam paskibraka, kalau mau pesan di tukang jahit sudah tidak
sempat lagi Pak.” Tutur Mak Widuri.
“Astagfirullah…!”
kata Pak Jarwo sambil menepuk jidatnya.
“Ada apa
Pak?” tanya Mak Widuri bingung.
“Saya
lupa kasih informasi ke Surya dan Mak Widuri, kalau seragam paskibraka sudah
disiapkan oleh pihak sekolah. Jadi, Mak Widuri tidak perlu repot membelikan
seragam baru untuk Surya. Mak juga tak perlu khawatir, selama lima hari di sana
akan ada uang saku untuk Surya.” Tutur Pak Jarwo kemudian.
“Alhamdulillah…”
kata Mak Widuri lega. “Apa Pak? Lima hari!?” Mak Widuri sedikit tersentak
ketika menyadari ucapan Pak Jarwo.
“Iya,
karena Surya juga harus ikut berlatih dahulu dengan tim paskibraka dari sekolah
lain di sana.” Jawab Pak Jarwo.
“Surya
tidak bilang begitu. Katanya hanya upacara saja.”
“Maafin
Surya Mak. Kalau surya bilang sama Mamak lebih dulu, pasti Mamak tidak akan
mengijinkan Surya pergi ke sana.” Tutur Surya lirih.
“Kata
siapa Mamak tidak izinkan? Pasti Mamak beri izin. Menjadi paskibraka bukan
hanya impian kamu, tapi juga impian almarhum ayah kamu.” Sentak Mak Widuri.
Pak
Jarwo dan Surya saling memandang dengan senyum sumringah.
“Kalau
begitu, besok pagi Surya sudah harus siap-siap! Kita akan berangkat besok.”
Tutur Pak Jarwo.
“Apa?
Besok Pak!? Cepat sekali.” tutur Mak Widuri terkejut.
“Iya
Benar. Persiapkan diri ya Surya!” pinta Pak Jarwo.
“Siap
Pak!” jawab Surya dengan sikap hormat dan suara lantangnya.
Pak
Jarwo membalas hormat Surya dan segera berpamitan.
Keesokan
harinya, Surya sudah siap untuk berangkat pagi-pagi sekali. Semua perlengkapan
sudah ia masukkan ke dalam tas sejak semalam. Bahkan semalaman Surya tidak
dapat tidur nyenyak karena membayangkan ingin ke kota kecamatan. Mobil Jeep
yang dikendarai oleh wakepsek sudah terparkir di depan rumah Mak Widuri tepat
saat jam tujuh pagi. Pihak sekolah sudah siap mengantarkan Surya menuju ke kota
kecamatan.
“Kamu
baik-baik di sana. Tidak boleh nakal, tidak boleh berkelahi dengan teman di
sana. Latihan yang giat supaya jadi pasukan yang gagah.” Tutur Mak Widuri. “Ini
untuk bekal kamu di sana, gunakan dengan baik dan jangan boros!” pinta Mak
Widuri sambil menyelipkan beberapa lembar uang ke saku baju Surya.
Surya
mengangguk, mencium tangan dan kedua pipi Mamaknya. Kemudian bergegas menaiki mobil
Jeep yang dikendarai oleh Pak Wakepsek. Ada Pak Jarwo juga yang sudah duduk
manis di samping Wakepsek. Surya melambaikan tangan kepada Mak Widuri. Begitu
pula dengan Mak Widuri, terus melambaikan tangan sampai mobil yang dinaiki Surya
tak terlihat lagi. Tanpa disadari Mak Widuri meneteskan air mata melepas
keberangkatan Surya ke kota kecamatan. Ingin sekali ia ikut ke sana dan melihat
langsung putranya menjadi seorang pengibar bendera pusaka.
Sesampainya
di kota kecamatan, Surya langsung berbaur dan berkenalan dengan peserta
paskibraka dari sekolah lain. Mereka semua berlatih dengan baik dan penuh
semangat. Anak-anak seperti mereka memang semangatnya masih tinggi. Surya terpilih
menjadi penarik bendera dan Ia memanfaatkan waktu latihan dengan baik.
Tibalah
saatnya upacara bendera yang tepat pada tanggal 17 Agustus. Surya memandangi
tubuhnya di cermin yang sudah terbalut rapi dengan seragam paskibraka.
Upacara berjalan dengan penuh khidmat. Surya
menitikan air matanya ketika sangsaka merah putih tepat berada di ujung tiang
bendera. Ini adalah hari kemerdekaan baginya, hari kemerdekaan bagi seluruh
bangsa Indonesia. Impian Surya sederhana, hanya ingin mengibarkan merah putih. Tanpa
harus memikirkan bagaimana ia berjuang untuk bertahan hidup bersama Mamaknya.
Seperti
pesan almarhum ayahnya, merah putih harus terus berkibar. Sekalipun keringat
dan darah jadi penghiasnya. Surya tahu, ayahnya akan lihat apa yang sekarang
dia lakukan. Surya melihat bayangan Sang Ayah yang sedang hormat dan tersenyum
bangga padanya ketika ia menatap Sangsaka Merah Putih yang sudah ada di ujung
tiang bendera. Baginya, ayahnya tetap hidup dalam hatinya, dalam jiwa dan pikirannya.
Kemerdekaan Surya adalah ketika ia bisa menghantarkan Sangsaka merah putih ke
tempat tertinggi.
Cerpen ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam antologi cerpen berjudul "Syair Tujuh Belas Agustus"
_______________________________________________________
----------------------------------------------------------------------------------
🅒 Copyright.
Karya dilindungi undang-undang.
Dilarang copy paste atau menyebarluaskan cerita ini tanpa mencantumkan nama penulisnya.
Cerpen "Ikhtiar Cinta"
CERPEN
“IKHTIAR CINTA”
Karya : Rin Muna
Sudah 6 bulan
ini perasaan hatiku tak karuan. Entah apa yang ada di dalam hatiku sehingga selalu
bergetar ketika aku melihat Lisa, bahkan memandangnya dari kejauhan. Dia
satu-satunya wanita yang tak pernah bergeming saat yang lain asyik bersorak
memberi semangat ketika sedang bermain basket di lapangan sekolah ataupun saat
aku menunjukkan aksiku bernyanyi di atas panggung.
Dia adalah satu-satunya
wanita yang aku kagumi keindahan dan kesederhanaannya. Tubuhnya yang tinggi
semampai, kulitnya yang putih dan wajahnya yang cantik alami, semakin cantik
dalam balutan hijab. Sangat sederhana dibanding perempuan-perempuan lain di
sekolah ini, tapi dia terlihat istimewa.
Saat semua cewek sekolah sibuk
berteriak histeris memanggil namaku dalam pertandingan basket, dia hanya lewat
tanpa menoleh sedikitpun, bahkan sepertinya dia tidak tertarik dengan
keramaian. Sejak ia muncul dari ujung koridor utara hingga hilang di koridor
selatan, ia sama sekali tak menoleh sedikitpun. Justu aku yang tidak fokus saat
latihan atau pertandingan jika dia melintas di sisi lapangan.
Beberapa teman
selalu menepuk bahuku, mungkin mereka tersadar dengan lamunan atau pandanganku
yang tak ingin lepas dari gerak-gerik Lisa. Sudah lama sekali aku
memperhatikannya, dia gadis yang sangat berbeda. Pakaiannya santun, tidak
seperti anak-anak lain yang terlihat heboh dan berlebihan.
Setiap jam istirahat
makan siang, aku selalu mendapatinya berjalan menuju musholla, melaksanakan
sholat dzuhur dan kemudian menghampiri teman sekelasnya di kantin untuk makan
siang.
Terkadang ia terlihat duduk manis di antara rak-rak buku perpustakaan.
Aku ingin sekali bisa menyapanya, berkenalan dengannya, dan bisa mendengar
suaranya dari dekat. Tapi aku tidak punya keberanian untuk itu, jangankan untuk
menyapa, mendekatinya saja aku tak punya kekuatan.
Seperti biasa,
aku selalu ada di kursi kantin paling pojok agar aku bisa bebas memandang Lisa
dari kejauhan. Beberapa temanku sudah mengetahui perubahan yang
terjadi padaku dan kali ini mereka ada di meja bersamaku.
Aku tak bisa
menyembunyikan apa yang terjadi dalam hatiku, bahkan aku tak bisa mengalihkan
pandanganku dari Lisa. Walau kami asyik bercanda bersama, tapi sesekali mataku
tertuju pada Lisa yang sedang asyik makan bakso.
Terkadang Lisa terlihat lucu,
bibirnya merah merona alami karena kepedasan dan dia terlihat semakin cantik. Alisnya
yang rapi bak semut beriring, alami tanpa harus menggunakan pensil alis. Matanya
bulat indah dengan bulu mata yang lentik dan tebal alami, seperti gadis di anime
Jepang. Dia terlihat sempurna, bahkan mungkin satu sekolah akan memuji
kecantikannya.
“Ardi...!”
teriak Bayu tepat di telingaku.
“Woii,,, sakit
kupingku, kayak Jakarta-Bandung aja pake teriak-teriak segala.” Spontan aku
terkejut dengan kelakuan Bayu.
“Kamu kenapa
dari tadi kita ajak ngomong gak dengerin?” tanya Bayu kemudian.
“Eh...oh...eh....
denger kok aku.” Jawabku gugup.
“Apa kalau
dengar?” tanya Reno.
Aku berpikir
dan keki, karena sebenarnya aku tidak mendengarkan apa yang mereka ceritakan. Aku
sibuk mengagumi Lisa dari kejauhan.
“Sepertinya
dia sedang jatuh cinta pada gadis manis berhijab pink rawis itu.” Celetuk Andra
sok puitis.
Aku hanya diam
dan tersipu malu, entah apa yang ingin kukatakan. Berbohongpun aku tak bisa,
karena aku yakin mereka sudah memperhatikan apa yang selama ini kuperhatikan.
“Kenapa gak
kamu samperin aja, Di?” tanya Bayu.
“Gak berani,” jawabku singkat sambil memainkan sedotan di dalam gelas minumku.
“Hahahaha...” Tiba-tiba tawa keras Bayu, Reno dan Andra membuat gaduh suasana kantin dan
semua mata memandang ke arah kami.
“Ssst...
jangan keras-keras ketawanya!” pintaku sambil melihat ke arah Lisa. Dan untuk
pertama kalinya Lisa juga menengok ke arah kami. Dia teapt memandangku dan
kedua mata kami bertemu. Hanya dalam hitungan detik saja dia kembali
mengalihkan pandangannya, beranjak dari tempat duduk dan pergi meninggalkan
kantin.
“Nah,,, pergi
kan dia. Kalian sih ribut!” sentakku sebal.
Sementara Bayu
masih terus tertawa kaku sambil memegangi perutnya. “Hahaha... akhirnya ketahuan
juga kalau kamu beneran lagi perhatiin dia.” Ucap Bayu sambil menahan tawanya.
“Sejak kapan seorang Ardi, seorang kapten basket, ketua osis yang don juan
takut buat deketin cewek.” Celetuknya kemudian.
Aku langsung
bergegas pergi meninggalkan kantin tanpa sepatah kata yang ku ucapkan pada
teman-temanku. Bahkan aku tak peduli mereka masih bergumam dan menertawakanku.
Mereka tidak mengerti bagaimana perasaaan hatiku, mungkin inilah perasaan yang
sebenarnya. Alamiah dan datang begitu saja tanpa aku memintanya.
“Ardi....! Di
panggil Kepsek ke ruangannya.” Sapa salah satu teman sekelas dan seketika
membuyarkan lamunanku.
Tanpa banyak
bertanya aku langsung bergegas menuju ruang Kepala Sekolah. Aku tahu Kepala
Sekolah memanggilku hanya untuk hal-hal penting saja. Sebagai Ketua Osis yang
masih aktif, aku punya tanggung jawab terhadap semua kegiatan murid di sekolah
ini. Aku duduk di kursi tepat di hadapan meja kepala sekolah. Kemudian, dia
mulai mengajakku berbincang-bincang basa-basi sebelum ke pokok permasalahan
utama yang akan dia utarakan.
“Begini,
sekolah kita diminta untuk mengirimkan putra-putri berprestasi diajang
kompetisi siswa teladan antar sekolah dan antar provinsi. Saya ingin mengirim
kamu dan salah satu adik kelasmu yang sangat berprestasi di sekolah ini sebagai
kandidat untuk mewakili sekolah kita. Kamu bersedia?” tanya Pak Kepala Sekolah
kemudian.
“Saya
siap-siap saja Pak, kira-kira apa saja yang harus saya persiapkan untuk
mengikuti kompetisi itu?” tanyaku penasaran.
“Sebentar,
kita tunggu dulu dia datang ke sini. Nanti akan saya jelaskan detilnya saat dia
sudah di sini. Agar saya tidak perlu menjelaskan ulang. Kalian harus
bekerjasama dengan baik, karena di sini bukan kompetisi individual. “ ujar Pak
Kepala Sekolah.
Tak lama
kemudian terdengar pintu kepala sekolah yang diketuk. Kepala sekolah
mempersilahkan masuk dan aku sangat terkejut ketika melihat siapa yang datang.
“Akhirnya
datang juga, kenapa lama sekali Lisa?” tanya Kepala Sekolah.
“Maaf Pak,
tadi saya masih sholat dzuhur terlebih dahulu.” jawabnya dengan suara yang
lembut.
“Oh... oke.” kata
Pak Kepala Sekolah sambil memperbaiki posisi kacamatanya. “Silahkan duduk!”
perintahnya pada Lisa.
Lisa duduk
tepat di kursi sebelahku. Untuk pertama kalinya aku berada dekat dengan dia,
wanita yang selama ini begitu ku kagumi. Perasaanku semakin tak karuan, tubuhku
keringat dingin dan aku merasa gugup.
Bapak Kepala Sekolah menjelaskan panjang
lebar tentang kompetisi yang akan kami hadapi berdua. Sejak saat itu, aku dan
Lisa lebih sering bertemu untuk belajar bersama. Bukan hanya teori yang kami
pelajari, tapi juga ada beberapa praktikum yang akan jadi kompetisi.
Aku bahkan
tidak pernah menyangka kalau aku bisa sedekat ini dengan Lisa. Dia gadis yang
ceria, cerdas dan bijaksana. Tak jarang kami berdebat mempertahankan pendapat
masing-masing. Saling bercanda dan tertawa bersama. Dan kami bisa lebih sering
menikmati makan siang bersama.
Aku juga mulai belajar untuk dapat beribadah dan
menjadi imam di musholla sekolah. Banyak teman-teman yang heran dengan
perubahanku, tapi aku tidak malu karena aku berubah menjadi lebih baik. Seperti
apa yang pernah diucapkan Lisa padaku “Jangan pernah malu bila kita melakukan
hal yang baik!”.
Sampai
kompetisi berakhir dan kami berhasil menjadi juara kebanggan sekolah. Aku masih
belum punya keberanian untuk menyatakan perasaanku. Hingga aku naik ke kelas 3
dan dinyatakan lulus.
Aku masih memendam perasaanku, sampai ucapan salah satu
teman menyadarkanku apa arti kejujuran hati. Diterima atau tidak, setidaknya
aku bisa tahu bagaimana perasaan Lisa padaku. Di penghujung acara perpisahan
sekolah, aku mencoba menyatakan perasaanku pada Lisa. Aku menghampirinya dengan
perasaan gugup, tubuh yang keringat dingin.
“Lisa...!”
sapaku ketika sudah berada di sisinya.
“Ya Kak.”
Jawabnya dengan nada lembut.
“Kakak mau
bilang sesuatu sebelum Kakak pergi dari sekolah ini. Ini adalah hari terakhir
Kakak ada di sekolah ini. Kakak akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi dan kita tidak akan bisa bertemu setiap hari lagi.” Ucapku lirih.
“Iya, aku tahu
kok Kak. Semoga saja di kampus nanti Kakak tetap jadi mahasiswa yang
berprestasi. Dan jangan lupakan sholat ya!” tutur Lisa sambil memandang ke arah
panggung pensi.
“Aku cinta
kamu, Lisa,” celetukku tiba-tiba.
Lisa terdiam
tak berkata sedikitpun, tidak juga menoleh ke arahku. Jantungku semakin tak
karuan ketika aku tahu bahwa dia tak punya perasaan apa-apa. Bahkan setelah
beberapa detik, dia tidak merespon ucapanku.
Lima detik, sepuluh detik, lima
belas detik, tiga puluh detik dan dia masih diam.
Aku berharap dia menjawab
perasaanku, tapi dia tidak bergeming dan seolah-olah tak menganggap aku ada di
sisinya.
Aku membalikkan tubuhku dan pergi meninggalkan Lisa penuh kekecewaan.
Lisa memang tak seperti gadis lain, dia lebih sibuk dengan buku-bukunya.
Dia
tak mau disibukkan dengan perasaan cinta, baginya itu hanya akan mengganggu
kegiatan belajarnya. Aku berjalan menghampiri teman-temanku yang sedang asyik
membicarakan universitas yang akan mereka masuki setelah lulus SMA.
Tiga puluh
menit kemudian aku berpamitan kembali ke kelas untuk mengambil tas dan pulang
ke rumah. Ini terkahir kalinya aku pandangi kelasku beberapa menit, banyak hal
yang akan kurindukan dari kelas dan sekolah ini, terutama Lisa.
“Ah, aku harus
segera melupakannya. Dia tak menyukaiku sama sekali, apalagi berharap membalas
cintaku”. Batinku sambil menuju ke meja mengambil tas yang aku sandarkan di
kursi tempat dudukku. Aku terkejut mendapati ada amplop merah jambu yang ada di
mejaku bertuliskan ‘Untuk Kak Ardi’, aku segera membuka dan membacanya.
“Maaf bila aku belum bisa membalas perasaan cintamu.
Bahkan aku sendiri belum tahu apa itu cinta, aku sendiri belum yakin apakah aku
mencintaimu atau tidak. Bila tiba waktunya, kita akan dipertemukan kembali."
"Tuhan
menciptakan dua hati yang berbeda untuk saling mencintai, perasaan itu datang
tanpa aku memintanya. Tapi, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku masih
punya banyak hal yang harus kuperbaiki, aku belum jadi wanitamu yang baik,
belum pantas hadir dalam kehidupanmu."
"Aku tahu kamu sudah berusaha untuk
menjadi yang terbaik, bahkan saat aku tidak pernah memintanya. Maka, jadilah
yang terbaik untukku. Tuhan pasti akan mempersatukan bila hati kita berjanji
untuk tidak menghianati. Aku akan menunggu kamu mengucapkannya lagi ketika kita
sudah sama-sama dewasa dan siap berikrar di hadapan Tuhan. Aku hargai ikhtiar
cintamu dan aku akan menunggumu menikahiku.” –Lisa-.
-Selesai-
Cerita ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku Antologi Cerpen berjudul "Puppy Love"
______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.