Thursday, January 23, 2025

Bab 22 - Perayaan Kecil Bersama Sahabat

 


“Kayaknya, besok harus ke rumah Jheni, deh,” tutur Yuna sambil menatap tubuhnya di depan cermin usai mandi dan berganti pakaian.

“Kenapa?” tanya Yeriko yang baru keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk.

“Eh!?” Yuna langsung menutup wajahnya melihat Yeriko bertelanjang dada. “Nggak papa. Aku tunggu di bawah ya!” Ia langsung menyambar tas dan bergegas keluar dari kamar.

Yeriko tersenyum kecil melihat wajah Yuna yang canggung setiap kali melihat tubuhnya yang tidak mengenakan pakaian. “Ayuna ... Ayuna ...!” Yeriko menggeleng-gelengkan kepala. Ia membuka lemari pakaian, memilih pakaian yang ingin ia kenakan.

Yeriko berjalan perlahan menuruni anak tangga setelah selesai berganti pakaian. Ia menghentikan langkahnya saat mendengar Yuna sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang.

“Jhen, besok kamu di rumah?” tanya Yuna lewat telepon.

“Kenapa?” tanya Jheni.

“Aku mau ambil baju. Baju yang kupake cuma ini-ini aja. Bosen kan lihatnya. Apalagi, Yeriko ngajak aku keluar. Malu kalo pake baju ini lagi ... ini lagi.”

Jheni tergelak dari balik telepon. “Aku di rumah sore. Pulang kerja ya!”

Yuna mengangguk. “Oke. Pulang kerja, aku ke rumah kamu deh.”

“Kamu beneran mau pindahan?”

“Jhen, aku kan udah nikah. Nggak mungkin tinggal sama kamu terus. Nggak enak sama suami aku. Lagian, pakaianku juga nggak banyak-banyak amat. Cuma satu koper itu doang yang aku bawa dari Melbourne.”

“Iya ... iya. Yang sekarang udah punya suami, lupa sama temen. Kalo baju kamu nggak di rumah aku, pasti nggak bakal ke sini kan?”

“Ya ampun, Jheni. Kamu itu my best friend forever. Kalau nggak ada kamu, aku udah beneran jadi gelandangan. Jangan ngomong gitu, dong! Aku jadi ngerasa bersalah banget,” ujar Yuna. Mereka pun tergelak.

Yeriko tersenyum mendengar pembicaraan Yuna dan sahabatnya. Ia langsung menghampiri Yuna.

“Udah kelar?” tanya Yuna sambil menatap Yeriko dan menjauhkan ponsel dari telinganya. “Jhen, aku pergi dulu ya! Ntar aku telepon lagi. Bye!” Yuna langsung mematikan panggilan teleponnya.

“Telepon sama siapa?” tanya Yeriko sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna.

“Jheni,” jawab Yuna tegang. Ia tertegun mendapati tatapan Yeriko yang begitu dekat.

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Kita berangkat sekarang!” pintanya sambil mengecup bibir Yuna.

Pipi Yuna terasa begitu hangat setiap kali Yeriko memberikan kecupan manis di bibirnya. Ia tak bisa menahan bibirnya untuk tersenyum.

Yeriko meraih jemari tangan Yuna dan membawa gadis itu keluar dari rumah. Ia membukakan pintu mobil untuk Yuna dan menutupnya kembali setelah memastikan Yuna duduk dengan baik.

Yeriko mengitari mobil, ia membuka pintu dan duduk di belakang kemudi. Yeriko menyalakan mesin mobil dan bergegas keluar dari halaman rumahnya.

“Kalau kamu mau undang temen kamu ke rumah, nggak papa, kok,” tutur Yeriko.

“Eh!?” Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko.

“Lusa aku dinas ke Jakarta. Kamu boleh minta temen kamu buat nemenin di rumah.”

“Serius?” Mata Yuna berbinar.

“Kamu boleh ngelakuin apa aja yang kamu suka. Jalan-jalan dan bersenang-senang. Tapi ingat, nggak boleh menginap di tempat lain. Selarut apa pun, kamu harus kembali ke rumah! Kalau ada aku, kamu nggak boleh keluar rumah tanpa aku.”

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

Yeriko melajukan mobilnya menuju Shangri-La Hotel.

Yuna menarik napas dalam-dalam begitu mobil Yeriko terparkir di Parking Area.

“Aku nervous. Harus ngomong gimana sama mereka kalau ketemu?”

Yeriko tertawa kecil menatap Yuna. “Mereka udah jadi saksi pernikahan kita. Udah pernah ketemu sebelumnya, kan? Mereka sahabat dekat aku. Kamu nggak perlu khawatir!”

“Iya, tapi ...” Yuna meremas jemari tangannya sendiri.

“Sudah deh. Ayo!” Yeriko keluar dari mobil dan mengulurkan tangannya ke hadapan Yuna.

Yuna tersenyum, ia menyambut uluran tangan Yeriko dan langsung keluar dari mobil.

Yeriko tersenyum. Ia menggenggam erat tangan Yuna dan masuk ke salah satu privat room.

“Hai ...!” sapa Yeriko begitu masuk ke dalam ruangan.

“Hai…! Ayo, duduk!” ajak Lutfi.

Yuna dan Yeriko langsung duduk berdampingan. Yeriko tidak melepaskan genggaman tangannya.

“Ciyee ... pengantin baru. Romantis amat!” celetuk Lutfi sambil menatap tangan Yeriko yang tidak mau melepaskan Yuna.

Yeriko hanya tersenyum menatap Lutfi.

“Kalian mau minum apa?” tanya Chandra.

“Eh, iya. Mau minum apa? Aku sama Chandra udah pesen makanan. Kamu mau makan apa?” tanya Lutfi.

“Daftar menunya mana?” tanya Yeriko.

Chandra langsung menyodorkan buku menu ke arah Yeriko.

Yeriko menerima daftar menu dari tangan Chandra dan mulai membuka. “Kamu mau makan apa?” tanyanya pada Yuna.

Yuna meringis. “Apa aja deh.”

Lutfi dan Chandra menahan tawa mendengar dialog Yuna dan Yeriko.

“Kalian ngetawain apa!?” dengus Yeriko sambil memukul pundak Lutfi menggunakan buku menu yang ada di tangannya.

“Nggak papa. Kakak Ipar, nggak usah malu-malu sama kita berdua. Pesen aja semua makanan yang Kakak Ipar mau. Kasihan kan kalau duitnya Yeriko nggak habis-habis,” tutur Lutfi sambil menahan tawa.

Chandra ikut tertawa kecil menanggapi ucapan Lutfi.

“Eh, gimana kalau aku aja yang pesan menu malam ini? Kamu yang bayar!” tutur Lutfi sambil menunjuk Yeriko.

Yeriko hanya tertawa kecil. “Terserah kamu.”

Lutfi langsung menyambar buku menu dari tangan Yeriko. “Kakak Ipar, mau jus apa?” tanyanya sambil menatap Yuna.

“Jus Mangga aja.”

“Minum wine nggak?” tanya Lutfi.

Yuna menganggukkan kepala.

“Aha ... kalo gitu aku pesen ... eh, panggilin pelayan!” perintah Lutfi sambil menoleh ke arah Chandra.

Chandra bangkit dari tempat duduk. Ia langsung keluar dan memanggil pelayan masuk ke dalam private room mereka.

“Mbak, saya pesen ini ya!” Lutfi menunjuk gambar yang ada di daftar menu. “Jus mangga satu, wine tiga botol, sate ayam, udang goreng, udang saus tiram, dimsum, hotpot. Mmh ... apa lagi ya?”

Yuna melebarkan kelopak matanya melihat Lutfi yang berdiri di depannya. “Heh, kamu kesurupan? Pesen makan banyak banget!” tutur Yuna sambil menatap Lutfi. “Beneran mau ngabisin duitnya suamiku?” batin Yuna kesal.

Lutfi tertawa kecil menatap Yuna. “Eh, di luar ada menu apa lagi?” tanya Lutfi pada pelayan restoran.

“Ada kepiting saus tiram, rawon, rendang ...”

“Stop!” Lutfi menyodorkan telapak tangannya ke wajah pelayan tersebut. “Bawa semua ke sini!” pintanya.

“Eh, kamu gila ya!” Yuna langsung bangkit dari tempat duduk. “Kamu mau nguras dompet suamiku?”

Lutfi tertawa kecil menatap Yuna. “Kakak Ipar, dompetnya dia itu nggak pernah bisa kosong. Restoran dan hotel ini bisa dia beli dalam semalam.”

Yuna menoleh ke arah Yeriko.

Yeriko hanya tersenyum kecil menanggapi tatapan Yuna. Ia menarik lembut jemari tangan Yuna dan mengajak gadis itu duduk kembali.

“Oke. Itu aja. Cepet ya!” pinta Lutfi pada pelayan.

Pelayan tersebut mengangguk dan bergegas pergi.

“Eh, Kakak Ipar. Nama kamu siapa ya?” tanya Lutfi.

“Ayuna,” jawab Yuna.

“Ayuna ... nama yang cantik, kayak orangnya.” Lutfi tersenyum menatap Yuna.

Yuna balas tersenyum.

Yeriko merapatkan bibirnya sambil menatap tajam ke arah Lutfi.

“Kenapa?” tanya Lutfi sambil menatap Yeriko.

“Kamu mau godain dia? Nggak lihat aku di sini?” tanya Yeriko.

“Idih ... nggak mungkin lah aku ngerebut Kakak Ipar. Cemburuan amat sih!?” sahut Lutfi. Ia berbisik ke telinga Chandra, kemudian tertawa kecil.

Yeriko langsung bangkit dan menjepit leher Lutfi menggunakan lengannya. “Ngomongin apa!?”

“Nggak ngomong apa-apa,” jawab Lutfi sambil berusaha melepaskan diri.

Yeriko makin mengeratkan jepitannya.

“Yer, mati aku kalau kamu peteng kayak gini!” seru Lutfi.

Yeriko tak menghiraukan.

“Kakak Ipar, tolong!” Lutfi memohon ke arah Yuna.

Yuna tertawa kecil melihat Lutfi dan Yeriko bergulat di depannya. Ia merasa kalau Lutfi sangat lucu dan menyenangkan. Berbeda dengan Yeriko dan Chandra yang tidak banyak bicara.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


Bab 21 - Si Kecil Pemberani

 


“Aku akan lapor ke atasan kalau ada karyawan baru yang ngelawan aku.”

 

“Oh ya?” Yuna tersenyum sambil menunjukkan rekaman suara yang ada di ponselnya.

 

Bellina membelalakkan mata dan berusaha merebut ponsel Yuna.

 

“Eits!” Yuna menarik tangannya, menjauhkan ponselnya dari tangan Bellina dan menyimpannya ke dalam saku roknya. “Kalo kamu berani macem-macem sama aku. Aku bakal bikin semua orang tahu, siapa kamu sebenernya,” tutur Yuna sambil tersenyum ke arah Bellina.

 

Bellina mengeratkan gigi-giginya, menahan emosi menghadapi Yuna yang semakin berani melawan dirinya.

 

Yuna menjulurkan lidah dan langsung membuka pintu. Ia bergegas keluar dari ruangan Bellina.

 

Yuna mengerjapkan mata saat mendapati beberapa karyawan sudah berkumpul di depan pintu ruangan Bellina. “Ada apa?” tanya Yuna.

 

“Mmh ... kami denger suara ribut dari dalam. Kamu nggak papa?” tanya Selma.

 

“Nggak papa,” jawa Yuna sambil tersenyum. “Biasa lah. Aku kan karyawan baru. Dimarahin sama atasan, itu hal biasa,” lanjutnya sambil meringis.

 

Selma menghela napas. “Syukurlah!”

 

“Semuanya bubar ya! Silakan kembali ke meja kerja masing-masing!” pinta Yuna sambil tersenyum manis.

 

Bellina makin geram dengan sikap Yuna. Ia bangkit dari lantai, berjalan tertatih menuju kursi kerjanya. “Kurang ajar! Tunggu pambalasanku!”

 

Bellina melangkah perlahan, mengambil kotak P3K yang ada di sudut ruangannya. Ia mengambil alkohol dan kapas untuk membersihkan luka di lututnya. Kemudian membalutnya dengan perban yang telah diberi antiseptic.

 

Bellina kembali duduk di meja kerjanya. Ia masih merasa sangat kesal dengan sikap Yuna yang terus melawannya. “Kamu kira, karena udah jadi istri orang kaya, kamu bisa seenaknya aja!?” maki Bellina.

 

Bellina meraih kopi yang ada di atas meja dan langsung menyesapnya.

 

“Uweeek ...!” Bellina langsung memuntahkan isi mulutnya saat mendapati rasa mustard ada di dalam Capuccino Coffee miliknya.

 

Bellina mengeratkan gigi-giginya sambil mengepalkan tangan. “AYUUUNAAA ...!!!” Suara Bellina menggelegar ke seluruh ruangan.

 

Semua orang saling pandang, kemudian menatap Ayuna yang menahan tawa mendengar teriakan Bellina.

 

“Kopinya aku kasih mustard. Hahaha.” Yuna tertawa penuh kemenangan. Ia tak terus memegangi perutnya yang menggelitik.

 

“Ckckck, cuma kamu satu-satunya karyawan yang berani ngerjain Bu Belli.” Pak Tono mengacungkan dua jempol ke arah Yuna.

 

Yuna terkekeh geli. Ia membayangkan wajah Bellina yang sedang marah di ruangannya karena meminum mustard di kopinya.

 

“Kamu nggak takut dipecat? Kamu baru magang dua hari di sini,” tanya Selma.

 

Yuna mengedikkan bahunya. “Lihat aja nanti! Dia bakal mecat aku atau nggak?”

 

“Ckckck.” Selma geleng-geleng kepala melihat sikap Yuna yang terlihat santai setelah berhasil mengerjai Bellina.

 

“Aku pikir, kamu itu polos. Nggak bakal ngelawan balik dikerjain sema Bu Belli. Ternyata ... jagoan juga,” tutur Bagus.

 

“Kalo nggak salah, nggak ada yang perlu ditakutkan.” Yuna tersenyum ke arah Bagus.

 

“Iya, sih.” Bagus menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian berbalik dan kembali menghadap komputernya.

 

Yuna terus tersenyum sembari melanjutkan pekerjaannya.

 

“Yun, ke kantin yuk!” ajak Selma dan Bagus saat jam makan siang. Yuna mengangguk.

 

Yuna dan dua rekan kerja seruangannya langsung bergegas ke kantin yang ada di lantai bawah. Mereka memesan beberapa makanan dan duduk di satu meja.

 

“Yun, aku boleh nanya sesuatu?” tanya Selma berbisik.

 

“He-em, tanya aja!” jawab Yuna sambil mengunyah makanan di mulutnya.

 

“Apa bener gosip yang beredar kalau Pak Lian itu ... mantan pacar kamu?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Selma dan Bagus saling pandang. “Pantes aja dia sentimen banget sama kamu.”

 

Bener kalau kamu sudah nikah?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Selma dan Bagus saling pandang.

 

“Kenapa? Kalian juga mikir kalau aku ini istri simpanannya Oom-Oom kaya?”

 

“Mmh ... bukan gitu maksud kami. Cuma ...” Selma tak bisa melanjutkan ucapannya.

 

Yuna tertawa kecil. “Kalau aku jadi istri simpanannya Oom-Oom kaya. Aku nggak akan ada di sini dan ketemu sama kalian.”

 

“Hmm ... iya juga, sih,” sahut Bagus.

 

“Tapi ... setiap kali kamu berantem sama Bellina, dia sering ngatain kamu istrinya Oom-Oom kaya.”

 

Yuna tertawa kecil. “Biarlah dia mau ngomong apa. Kenyataannya nggak kayak gitu.”

 

“Terus ... suami kamu ... bukan laki-laki tua yang kaya raya?” tanya Bagus.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Mmh ... nggak tua-tua banget sih. Cuma selisih empat tahun sama aku.”

 

“Umur kamu sekarang berapa?”

 

“Dua puluh empat.”

 

“Jadi, dia baru umur dua puluh delapan?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Yaelah, itu sih masih muda!” seru Selma.

 

“Eh, yang ngurusin soal produktivitas tenaga kerja siapa ya?” tanya Yuna, ia mengubah topik pembicaraan mereka.

 

“Aku.” Bagus menunjuk dirinya sendiri.

 

“Dia.” Selma menunjuk Bagus bersamaan.

 

“Abis jam istirahat, kamu ajari aku ya!” pinta Yuna.

 

“Ajari apa?”

 

“Ya itu ... laporan kamu soal produktivitas tenaga kerja.”

 

“Bukannya itu di luar jobdesc kamu?”

 

“Iya, aku juga tahu. Tapi si Nenek Lampir itu nyuruh aku pelajari soal kerjaan kamu. Katanya, semuanya ada keterkaitannya.” Mereka pun beranjak dari kantin dan kembali bekerja.

 

Ponsel Yuna tiba-tiba berdering. Yuna langsung menoleh ke arah ponselnya yang berdering di atas meja kerjanya.

 

“Halo ...!” sapa Yuna begitu panggilan teleponnya tersambung.

 

“Pulang kerja jam berapa?”

 

Yuna menoleh ke arah jam dinding yang ada di ruangan tersebut. “Setengah jam lagi. Kenapa?”

 

“Aku jemput kamu.”

 

“Oke.” Yuna tersenyum mendengar ucapan Yeriko.

 

“Oke. Bye!” Yeriko langsung mematikan sambungan teleponnya.

 

Yuna tersenyum sambil meletakkan ponsel di dadanya.

 

“Ciyee ... telepon dari siapa? Senyum-senyum sendiri,” goda Selma.

 

“Dari suami tercintaaah!” sahut Yuna sambil tersenyum gembira. Ia kembali menghampiri Bagus dan melanjutkan pekerjaannya mempelajari laporan-laporan yang dikerjakan oleh Bagus.

 

Beberapa menit kemudian, jam kerja usai. Yeriko sudah tiba di lobby kantor Yuna.

 

Yeriko membukakan pintu untuk Yuna dari dalam, ia enggan turun dari mobil dan menunjukkan diri di depan banyak orang.

 

Yuna langsung masuk dan menutup kembali pintu mobil. “Udah lama nunggunya?” tanyanya sambil memasangkan safety belt ke pinggangnnya.

 

“Nggak. Baru aja sampai, kok.”

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Oh ya, Riyan mana?”

 

“Masih di kantor.”

 

“Kamu nyuruh dia lembur?”

 

Yeriko tak menjawab.

 

“Riyan itu anak yang baik dan lucu. Kamu jangan menindas dia! Lagian, udah beberapa hari ini aku nggak ada lihat dia.”

 

“Kenapa? Kangen sama dia?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna. Ia menahan mulutnya untuk bicara. “Kamu itu istri aku, bisa-bisanya ngangenin cowok lain terang-terangan?” batin Yeriko sambil mencengkeram setir dan menambah kecepatan mobilnya.

 

“Kenapa? Kamu cemburu?” tanya Yuna sambil tertawa kecil menatap Yeriko.

 

“Eh!? Enggak.” Yeriko menggelengkan kepala.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Yeriko.

 

Ponsel Yeriko tiba-tiba bergetar dan mengeluarkan nada dering ‘Sencha’ yang khas.

 

“Halo ...!”

 

“Halo ... ntar malam jadi, Yer?”

 

“Jadi.”

 

“Oke. Aku tunggu di tempat biasa.”

 

“He-em.” Yeriko langsung mematikan sambungan teleponnya.

 

“Ada janji sama temen kamu?”  tanya Yuna

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Kita pulang dulu, mandi dan langsung nyusul mereka.”

 

“Kita?”

 

“Iya, kita.”

 

“Itu ... yang telepon siapa?”

 

“Lutfi.”

 

“Temen baik kamu itu?”

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Kenapa?”

 

“Nggak papa. Aku ... nggak usah ikut ya? Aku malu ketemu sama mereka.”

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Malu kenapa? Aku ngajak mereka ketemu, sengaja pengen kenalin kamu ke mereka.”

 

Yuna meringis, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

“Nggak usah malu! Cuma Chandra sama Lutfi doang. Nggak ada yang lain.”

 

“Serius?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko. Ia tak bisa menolak permintaan Yeriko. “Nggak papa deh kalau cuma dua orang aja,” bisiknya dalam hati.

 

Yeriko tersenyum menatap  Yuna. Ia mempercepat laju mobilnya agar bisa sampai rumah secepatnya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi



 

 

 

 

 

 

Bab 20 - Serangan Balik

 


Bellina melihat Yuna turun dari mobil Land Rover putih milik Yeriko. “Yuna ...!” teriaknya. Ia kesal melihat Yuna diantar dengan mobil mewah oleh suaminya.

 

Yuna langsung menoleh ke arah Bellina dan bergegas menghampirinya.

 

“Cepet masuk kerja! Udah jam berapa ini?”

 

Yuna menganggukkan kepala. Suasana hatinya sedang baik dan ia tidak ingin berdebat dengan Bellina.

 

“Belikan aku Capuccino, antar ke ruanganku!” perintah Bellina sambil berlalu pergi.

 

Yuna menghela napas sambil memutar bola matanya. Ia bergegas ke kantin terlebih dahulu untuk memesan kopi. Kemudian, ia naik ke atas sambil membawakan secangkir kopi capuccino untuk Bellina.

 

“Pagi ...!” sapa Yuna saat masuk ke ruangannya.

 

“Pagi juga!” sahut teman-teman seruangannya secara serentak.

 

“Eh, pagi-pagi udah beli kopi aja nih,” celetuk Selma.

 

“Pesenannya Bu Bos,” sahut Yuna.

 

“Bellina?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Dia itu aneh. Dikira kamu OB apa ya? Setiap hari suruh bawain kopi ke ruangannya.”

 

Yuna tersenyum. Ia meletakkan tasnya ke atas meja dan melangkah pergi. “Tenang aja! Dia nggak bakal betah ngerjain aku terus-terusn.”

 

Selma, Bagus, dan Pak Tono menatap Yuna yang keluar dari ruangannya.

 

“Eh, kamu yakin si Yuna bakal betah kerja di sini kalau dia digituin terus sama Bu Belli?” tanya Bagus.

 

Selma mengedikkan bahunya. “Kita lihat aja nanti!”

 

“Dia itu polos, baik, dan rajin juga. Kenapa Bellina sampai segitu bencinya sama Yuna? Ckckck,” sahut Pak Tono.

 

“Takut kalah saing mungkin,” tutur Bagus sambil cekikikan.

 

“Kalah saing gimana?” tanya Selma sambil membenarkan posisi kacamatanya.

 

“Yuna itu kan cantik banget. Siapa tahu aja dia takut tersaingi. Kemarin, aku lihat mereka berdebat di depan Pak Lian,” tutur Bagus.

 

“Serius!?”

 

Bagus menganggukkan kepala.

 

“Pak Lian belain siapa?”

 

“Ya pasti belain pacarnya,” jawab Bagus.

 

“Eh, tapi ... aku denger-denger ... si Yuna ini mantan pacarnya Pak Lian, loh.”

 

“What!? Serius!?”

 

Selma menganggukkan kepala.

 

“Berarti, kemungkinan besar memang ada dendam pribadi antara Bu Belli dan Yuna.”

 

“Sudah, kerja, kerja! Jangan gosipin orang terus!” sergah Pak Tono.

 

Selma dan Bagus menahan tawa. Mereka kembali fokus bekerja dengan pikirannya masing-masing.

 

Sementara itu, Yuna melangkah dengan pasti memasuki ruangan Bellina. Ia tidak akan membiarkan Bellina terus menindas dan mempermalukan dirinya. Berkat Yeriko, ia memiliki keberanian lebih untuk melawan Bellina.

 

“Permisi ...!” Yuna membuka pintu ruangan Bellina. Ia tersenyum manis sambil melangkahkan kaki mendekati meja Bellina. Ia langsung meletakkan kopi yang ia bawa ke atas meja kerja Bellina.

 

“Makasih!” tutur Bellina ketus tanpa menoleh ke arah Yuna.

 

“Syukur deh kalo dia lagi sibuk, mudahan lupa,” batin Yuna sambil berbalik dan melangkah perlahan.

 

“Tunggu!” seru Bellina.

 

Yuna menghentikan langkah sambil menghela napas. Ia berbalik dan tersenyum ke arah Bellina. “Ada apa, Bu?” tanyanya sambil tersenyum manis.

 

“Nggak usah pura-pura manis di depanku!” sentak Bellina. “Duduk!” perintahnya sambil menunjuk kursi yang ada di depannya menggunakan dagu.

 

Yuna tersenyum kecut. Ia langsung duduk di kursi yang ditunjuk Bellina. “Ini yang namanya kursi panas? Udah kayak lagi di dalam studio Who Wants to Be a Millionare aja,” batin Yuna. Jantungnya berdegup kencang, namun ia tetap berusaha bersikap santai.

 

“Tugas yang kemarin aku suruh sudah dikerjain?” tanya Bellina.

 

“Sudah.”

 

“Soal Job Description kamu, sudah dihafalin?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“PPH 21 perhitungannya gimana?”

 

“PKP Setahun setelah dikurangi PTKP dikali lima persen, dibagi dua belas bulan,” jawab Yuna.

 

Bellina menatap Yuna. Ia tidak menyangka kalau Yuna bisa menjawab pertanyaannya dengan mudah. Ia mengajukan beberapa pertanyaan lagi dan bisa dijawab dengan lancar oleh Yuna.

 

“Gimana cara menghitung produktivitas tenaga kerja?” tanya Bellina.

 

“Eh!?” Yuna menggaruk kepalanya. “Bukannya itu nggak masuk di job aku?”

 

“Semuanya saling berkaitan. Kamu bikin perhitungan tunjangan, premi dan potongan upah karyawan. Pastinya pengaruh ke produktivitas tenaga kerja, dong.”

 

Yuna menggigit bibir bawahnya. Ia hanya fokus mempelajari job description pekerjaannya saja dan belum sempat mempelajari job description rekan kerja yang lain.

 

“Kamu nggak serius mau kerja di sini? Masih banyak main-main!” sentak Bellina.

 

Yuna menahan amarah, ia menatap Bellina kesal.

 

“Oh ... aku tahu, pasti karena sekarang sudah jadi istri mudanya sugar daddy, makanya kamu nggak serius mau kerja di sini.”

 

“Aku nggak pernah bilang begitu,” sahut Yuna. “Lagian, aku baru dua hari masuk kerja. Wajar kalau aku emang belum tahu kerjaan yang lainnya.”

 

Bellina tersenyum sinis menatap Yuna. “Alasan! Kamu pikir, aku percaya gitu aja sama kamu? Aku juga nggak bakalan takut sama kamu meskipun kamu diantar pakai mobil mewah ke kantor. Mobil itu, pasti punya laki-laki tua yang kaya raya itu kan? Kamu sengaja minta antar ke kantor biar semua orang tahu kalau kamu orang kaya!?”

 

Yuna merapatkan bibir dan langsung menggebrak meja Bellina. “Heh! Kalo ngomong jangan sembarangan ya! Aku memang bukan orang kaya. Tapi aku nggak se-matre kamu!” sentak Yuna. “Kamu deketin Lian, bahkan sampe rela ngasih tubuh kamu ke dia juga karena uang yang dia punya kan? Kalau Lian bukan pewaris Wijaya Group, apa kamu mau tidur sama dia, hah!?”

 

“Kamu juga mau nikah sama Oom-Oom kaya demi duit kan? Masih mending Lian kali. Daripada nikah sama laki-laki tua bangka. Apa kata dunia? Kelihatan banget kalo kamu cuma mau duitnya aja!” sahut Bellina.

 

Yuna memainkan bibirnya mengikuti ucapan Bellina.

 

“Seenggaknya, aku nggak tidur sama pacar orang!” sahut Yuna. “Kasihan banget sih kamu. Cuma demi harta, kamu rela ngasih tubuh kamu ke pacarnya orang lain. Udah gitu, pacar adik sepupu kamu sendiri? Kenapa? Nggak laku sama yang lain? Masih mending cewek-cewek di Dolly, mereka masih lebih laku daripada kamu!”

 

“Kamu ...!?” Bellina menunjuk wajah Yuna. “Bener-bener nggak tahu diri!”

 

“Kamu yang nggak tahu diri!” sahut Yuna. Ia makin membusungkan dada melawan Bellina. “Udah ngambil pacar orang, masih aja nggak ngerasa bersalah sama sekali. Dasar Pelakor!”

 

“Kamu!? Bener-bener udah berani sama aku, hah!?” Bellina melayangkan tangannya ke wajah Yuna.

 

Dengan cepat, Yuna menahan tangan Bellina dan mencengkeram sangat erat. “Jangan macam-macam sama aku! Kamu tahu kan, aku ini istrinya orang yang kaya raya. Perawatan kulitku mahal banget,” tutur Yuna sambil tersenyum. Membuat Bellina semakin emosi menatap Yuna.

 

(( Bersambung ... ))

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas