Kemerdekaan Ada di Setumpuk Buku
Lusuh Itu dan Mungkin Juga di Dada
Kita
Oleh: Imas Hanifah N
Aku menatap sepatu butut yang selalu kupakai sebelum berangkat ke
sekolah dengan perasaan sedih. Abah sudah bilang akan membelikanku sepatu baru,
tapi perkataannya tidak juga menjadi kenyataan hingga sekarang. Aku tahu Abah
belum punya uang lebih. Kaki Abah sakit sejak minggu lalu, makanya ia tidak banyak
bergerak dan belum bisa bekerja jadi kuli bangunan lagi.
Aku menyingkirkan sepatu butut itu, melepaskan tas, lalu ke dapur,
menemui Abah yang sedang sarapan singkong rebus.
"Bah, Agus mau kerja bantu Abah saja hari ini. Agus tidak akan
berangkat ke sekolah, ya."
Abah berhenti mengunyah singkong. Ia seakan tidak percaya dengan apa
yang kukatakan barusan. Namun sejurus kemudian, ia pun tersenyum dan berkata,
"Lho, kenapa tidak sekolah? Kalau Agus mau bantu, Agus bisa bantu Abah
setelah pulang sekolah. Agus sudah kelas enam, masa mau bolos. Nanti kalau
tidak lulus, bagaimana?"
Aku terdiam. Sebenarnya, ingin kujawab dengan sejujur-jujurnya kalau
tujuanku membantu Abah, agar uang untuk membeli sepatu lekas terkumpul, tapi
aku tidak berani bicara untuk saat ini.
"Abah akan tawarkan singkong ke Pak Jumadi, teman di kampung
sebelah. Katanya suka bikin keripik, jadi kamu sekolah saja, ya. Uang bekal
hari ini masih ada, kok. Ini," ucap Abah sambil mengeluarkan uang lima
ribu dari sakunya. Aku pun menerimanya dengan sedikit ragu.
"Abah ke sana naik apa? Ada ongkos buat ke kampung sebelah?"
"Itu perkara nanti. Abah bisa nebeng
ke tetangga. Mang Yosep juga kalau tidak salah ada urusan mau ke
sana."
Aku mengangguk-angguk. Memang Abah ini orangnya mudah akrab. Tidak
heran kalau Abah punya banyak kenalan yang suka membantu. Memikirkan itu, aku
jadi sedikit lega. Walaupun keinginanku untuk membeli sepatu baru belum tentu
terlaksana, setidaknya ada kemungkinan kami bisa makan nasi dengan lauk yang
lebih layak besok. Semoga saja, singkong Abah banyak yang membeli.
Aku melangkah keluar dari rumah. Sepatu butut yang saat ini kukenakan
sangatlah tidak nyaman. Sudah bolong-bolong bagian bawahnya. Kalau misal kena
genangan air, otomatis kena kaus kakinya juga. Lalu setelah itu, bau busuk yang
tercium dari kaus kakiku itu sudah tentu tidak dapat lagi dihindari. Baunya
menyengat dan mungkin bisa membuat orang pingsan. Aku saja tidak sanggup kalau
lama-lama mencium baunya.
Di tengah perjalanan menuju ke sekolah, tidak disangka aku malah
ditahan di warung Mang Kumara.
"Agus, ke sini dulu sebentar!" teriak Mang Kumara.
Aku menurut saja. Sepertinya ini masih terlalu pagi untuk sampai ke
sekolah, jadi aku merasa masih punya waktu.
"Duduk dulu. Ada yang mau kuberikan," katanya lagi.
"Baik, Mang," jawabku seraya duduk di kursi panjang
warungnya Mang Kumara. Tidak lama kemudian, saat Mang Kumara kembali ke dalam
rumahnya entah untuk mengambil apa, datanglah beberapa pelanggan yang
sepertinya sudah biasa ada di warung Mang Kumara.
"Sebentar lagi, tujuh belasan. Hari kemerdekaan. Halah, hukum di
negeri kita aja masih ruwet begini. Bisa dibeli dengan uang, masyarakat masih
banyak yang sengsara, makan pun masih ada yang cuma sekali sehari. Merdeka dari
mananya negeri kita ini?"
Salah satu pelanggan itu bicara dengan nada berapi-api. Aku pun mau
tidak mau ikut menyimaknya.
"Betul, sih. Hukum dibeli, rakyat banyak yang sengsara, memang
sebenarnya kemerdekaan kita ini palsu. Capek hidup di negeri ini."
Pelanggan yang lainnya menimpali dengan pendapat serupa. Pembicaraan
mengenai pemerintah dan kondisi rakyat yang menyedihkan terus berlangsung. Aku
terus mendengarkan pembicaraan tentang kemerdekaan yang bagi mereka palsu itu,
sebelum akhirnya Mang Kumara menepuk pundakku. "Maaf lama, Gus. Ini, ada
sedikit makanan untuk kamu makan di sekolah. Kemarin abahmu bantu Amang di ladang,
bantu mengusir ular. Kalau tidak ada abahmu, bisa saja Amang sudah mati."
Aku mengangguk, menyambut riang bungkusan beraroma harum itu. Aku
yakin isinya nasi goreng dengan suwiran daging ayam. Aroma daging yang menyatu
dengan kecap, bawang goreng, dan bumbu lainnya begitu jelas. Sungguh pastilah
ini akan jadi nasi goreng paling nikmat di dunia.
"Terima kasih, Mang."
"Iya, sudah sana. Nanti kamu kesiangan."
Aku kembali berjalan menuju ke sekolah. Padahal tadi sudah makan
singkong rebus untuk sarapan, sekarang aku sudah lapar lagi. Ya, karena aroma
nasi goreng ini yang amat menggoda, tapi aku akan menahan keinginanku untuk
memakannya. Aku akan makan ketika waktu istirahat nanti.
Sesampainya di sekolah, aku segera masuk ke kelas. Pelajaran pertama
dimulai setelah beberapa menit kemudian. Sebelum memulai pelajaran, Pak Candra
membagikan buku sejarah yang sudah lusuh kepada murid-murid.
"Dalam rangka menyambut hari kemerdekaan, sebelum memulai
pelajaran pertama hari ini, seperti yang sering kita lakukan setiap tahun, hari
ini pun Bapak akan kembali menceritakan sejarah Indonesia saat berjuang meraih
kemerdekaan. Pasti sebenarnya kalian sudah tahu dan sudah sering mendengar,
tapi Bapak tetap akan menceritakannya."
Begitulah Pak Candra. Sejak ia menjadi guru sejarah di sekolah kami
setahun yang lalu, tepat saat aku naik ke kelas enam, ia selalu bersemangat
kalau bercerita tentang sejarah Indonesia, salah satunya tentang bagaimana
Indonesia meraih kemerdekaan. Pak Candra selalu menerangkan dengan penuh penghayatan,
bahkan ada saat ketika ia menjelaskan tentang detik-detik proklamasi
berkumandang, Pak Candra menyeka ujung matanya yang basah. Oh, tentulah aku dan
murid lain ikut tersentuh, seolah-olah kami memang dekat sekali dengan
peristiwa itu.
Hari ini pun, kami akan mengulangi hal yang sama. Kami akan mulai
membuka halaman demi halaman buku sejarah yang sudah lusuh dan berdebu, lalu
Pak Candra pasti akan menangis lagi ketika berbicara tentang beratnya
perjuangan bangsa Indonesia meraih merdeka. Perasaan kagum dan haru, akan kami
rasakan kembali.
***
Usai jam sekolah berakhir, aku pulang. Masih dengan sepatu butut yang
memang satu-satunya kumiliki, aku terus melangkah melewati jalanan beraspal
yang panas. Tiba-tiba terngiang di kepalaku kata-kata yang sempat diucapkan
pelanggan-pelanggan warung Mang Kumara. Tentang kemerdekaan yang palsu, tentang
hukum yang bisa dibeli, tentang rakyat yang sengsara.
Kalau kupikir lagi, mungkin semua itu memang benar adanya. Aku
berpikir apakah kemerdekaan yang dimiliki rakyat negeri ini palsu?
Rasanya itu pun tidak bisa dikatakan benar. Di buku sejarah yang sudah
kubaca berulang kali, di setiap cerita yang selalu Pak Candra sampaikan soal
kemerdekaan, perjuangan Indonesia untuk meraih kebebasan dari tangan penjajah
itu benar adanya. Bukan kebohongan, bukan tipuan. Semuanya sudah terbukti.
Bangsa ini sudah tidak lagi dijajah. Sudah merdeka. Sudah bebas.
Jadi, sebenarnya mana yang benar? Apakah untuk orang susah sepertiku,
orang susah seperti Abah, kemerdekaan itu tidak ada?
Aku membawa pertanyaan itu ke hadapan Abah. Ia tengah menggali
singkong di ladang. Aku menghampirinya, dengan masih memakai seragam sekolah,
tas, dan tentunya sepatu butut.
"Bah, kapan kita merdeka?" tanyaku sambil tidak ragu duduk
di tanah. Mungkin Abah akan merasa aneh karena pertanyaanku yang tiba-tiba itu,
tapi aku benar-benar ingin tahu jawaban Abah.
Abah yang sedang menggali singkong, berhenti sejenak. Aku mengalihkan
pandangan dari tatapannya dan mulai memainkan daun-daun singkong yang
berserakan.
"17 Agustus, tahun 1945. Kamu sedang main tebak-tebakan atau
bagaimana? Masa kamu tidak tahu soal itu?"
"Bukan, Bah. Menurut Abah, kita ini sudah merdeka atau
belum?"
"Sudah. Sudah tidak ada yang menjajah kita. Kita sudah tidak
dijajah lagi oleh negara lain."
"Bukan itu, Bah."
Lalu Abah malah mendekat, menghampiriku.
"Apa kalau gitu?"
"Tadi, di warungnya Mang Kumara, Agus disuruh mampir sebentar,
Mang Kumara memberi nasi goreng buat makan siang di sekolah."
"Alhamdulillah. Bagus kalau begitu. Baik memang dia."
"Ya, karena Abah baik juga, bukan? Bantu dia usir ular."
"Iya-iya."
"Tapi bukan itu, Bah. Bukan soal itu."
"Terus, soal apa?"
"Ada Bapak-Bapak yang berkumpul di warungnya Mang Kumara tadi.
Mereka berbicara soal kemerdekaan Indonesia."
"Wah, bagus. Mungkin karena menjelang 17 Agustus, ya."
Aku mengangguk. "Tapi kata mereka, negara kita belum merdeka,
Bah."
"Kenapa?"
"Karena hukum bisa dibeli, rakyat masih banyak yang sengsara,
kurang lebih begitu, Bah. Kata-kata mereka itu. Menurut Abah bagaimana?
Sepertinya memang apa yang mereka katakan itu benar ya, Bah?"
"Bisa benar, bisa tidak. Abah bukan orang pemerintahan, tidak
tahu soal hukum yang dibeli, tapi bisa saja itu terjadi. Kalau soal rakyat masih
banyak yang sengsara, itu juga mungkin benar. Tapi bukan berarti kita belum
merdeka."
"Jadi, kita sudah merdeka, tapi walaupun sudah merdeka, tetap
saja sengsara?"
Abah diam sebentar. Melihat sekeliling ladang, lalu menjawab,
"Kamu merasa sengsara?"
"Sekarang, Bah?"
"Iya, apa sekarang kamu merasa sengsara? Sedih?"
"Iya, Bah."
Akhirnya aku katakan sebuah kejujuran.
"Kenapa?"
"Ya, kalau kita kaya, Agus bisa beli sepatu baru, Bah."
Aku menatap kedua kakiku sendiri, kedua kaki yang dibalut dengan sepatu
tak layak pakai.
"Maafkan Abah, ya. Lusa kita beli sepatu baru. Pak Jumadi mau
borong singkong kita katanya."
Seketika aku merasa bahagia. Harapan punya sepatu baru pun semakin
dekat untuk menjadi kenyataan. Seakan tidak percaya, aku bertanya lagi untuk
memastikan, "Betul, Bah? Agus bakalan punya sepatu baru?"
"Betul!"
Setelah itu, Abah pun bangkit, dengan langkah kaki yang tertatih,
karena mungkin masih sakit. Ia kembali mencabuti singkong. Aku membuka
sepatuku, mencoba membantu Abah.
Kemudian kami tertawa ketika aku hampir terjengkang karena berusaha
mencabut batang singkong dengan sekuat tenaga.
Aku melihat kebahagiaan di mata Abah saat ia melihatku tertawa. Aku
melihat bagaimana ia begitu bersemangat mengatakan tentang rencana membeli
sepatu baruku nanti.
Namun ….
"Abah, bagaimana kalau uangnya kita pakai berobat kaki Abah saja?
Sepatu Agus, nanti saja lagi," kataku saat kami hampir selesai
mengumpulkan singkong yang hendak dijual.
Abah mengelus kepalaku dengan lembut. "Kaki Abah akan segera
sembuh. Kakimu jangan terluka, ya. Kita akan tetap beli sepatu baru yang
bagus."
Aku hanya mengangguk. Aku menyadari satu hal paling penting hari ini.
Abah punya hati yang sepenuhnya sudah merdeka. Merdeka dari rasa benci dan
mungkin sejuta prasangka. (*)
Tasikmalaya, 15 Agustus 2023
Tentang Penulis
Imas Hanifah N. Lahir dan tinggal di Tasikmalaya. Merupakan salah satu
admin di lokerkata.com. Ia aktif menulis di beberapa platform kepenulisan.
Sebagian karyanya sudah dimuat di media online maupun media cetak. Antologi
terbarunya berjudul Jejak Mengabur terbit pada Juni 2023, berisi kumpulan
cerpen bersama penulis lain di Amateur Writer Indonesia.