Wednesday, August 17, 2022

Bab 52 - Hukuman Pertama untuk Ayu

 


Ayu melangkahkan kakinya perlahan menuju ke arena terbuka, tempat di mana dia akan menjalani hukuman pertamanya. Di sebelah kirinya, ada seorang pelayan yang biasa mendampinginya. Di sebelah kanan, ada Nanda yang menjadi pelayan baru di kediaman tersebut.

Ayu langsung duduk bersimpuh di tengah lapangan. Tepat di tribun yang ada di hadapannya, Sri Sultan dan seluruh keluarga keraton sudah berkumpul untuk menyaksikan penebusan dosa yang telah dilakukan oleh Roro Ayu.

Nanda terus berdiri di belakang Ayu. Sementara, pelayan yang satunya lagi sudah melangkah mundur.

“Mas, Ayo pergi!” pinta pelayan itu berbisik di telinga Nanda. “Nanti kamu ketahuan kalau terlalu lama di dekat Tuan Puteri!”

Nanda mengikuti pelayan yang menariknya. Kedua matanya tetap mengawasi Ayu yang masih duduk bersimpuh di sana sambil memberi hormat kepada seluruh keluarganya, juga pada semua keluarga bangsawan yang diundang ke acara tersebut.

Nanda langsung diajak bergabung dengan pelayan-pelayan yang ada di sana.

“Saya belum pernah melihatmu. Pelayan baru?” tanya seorang pelayan sambil menatap wajah Nanda.

Nanda tersenyum dan menganggukkan kepala.

“Nama kamu siapa?” tanya pelayan lainnya.

“Nindi,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

“Nindi? Nama yang cantik. Kamu beruntung sekali bisa langsung mendampingi Tuan Puteri meski baru bekerja,” sahut pelayan lainnya.

Nanda hanya tersenyum saja mendengar pembicaraan semua pelayan yang ada di sana.

“Tidak semua pelayan diizinkan melayani Tuan Puteri. Hanya pelayan-pelayan tertentu saja.”

“Oh ya?” sahut Nanda sambil tersenyum bangga.

“He-em. Katanya, Tuan Puteri itu anak yang baik. Sejak kecil, dia selalu berprestasi. Bahkan, saat diasingkan dan tidak boleh masuk istana, Tuan Puteri menulis banyak buku,” tutur pelayan lain.

“Tuan Puteri itu tidak benar-benar diasingkan. Kalau diasingkan, mana mungkin dia bisa lanjut sekolah sampai ke Inggris. Dia hanya tidak dibolehkan masuk ke Istana. Kata diasingkan itu hanya untuk menutupi martabat keluarga ini dari keluarga bangsawan lain,” tutur pelayan yang ada di sana.

“Iya. Benar, benar.”

Semua pelayan yang ada di sana sibuk membicarakan kebaikan Roro Ayu dan terus memojokkan Nanda. Mereka semua menganggap kalau pria yang telah menodai Roro Ayu adalah pria yang sangat kejam karena membuat Roro Ayu harus menjalani hukuman leluhur yang sangat berat.

Karena sibuk bergosip dengan para pelayan, Nanda sampai tak menyadari jika hakim pengadilan keraton tersebut sudah mulai membacakan pasal-pasal aturan yang dilanggar oleh Ayu dan bersiap melakukan eksekusi yang disaksikan oleh semua keluarga bangsawan di negeri tersebut.

Satu orang algojo, sudah berdiri tegak di belakang Ayu dengan cambuk besar di tangannya.

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari ...! Apakah Ananda siap menjalani hukuman?” Suara Edi Baskoro terdengar menggelegar.

“Siap, Romo!” sahut Ayu sambil menangkup telapak tangan di depan wajah dan membungkuk hormat. Ia melirik ke algojo yang ada di belakangnya dan bernapas lega saat tahu kalau tali pecut itu terlihat lebih besar dari biasanya. Hal ini, bisa mengurangi rasa sakit di tubuhnya. Ia tidak menyangka kalau keluarganya juga memikirkan untuk memberi tali pecut yang lebih besar.

Edi Baskoro menghela napas. Ia duduk kembali di kursinya dan memerintahkan algojo memulai hukuman untuk puterinya.

TAR ...!!!

Ayu menahan napas saat pecut itu menyambar punggungnya. Nanda yang memiliki ilmu beladiri, sudah mengajarinya cara bertahan agar tubuhnya tidak mudah tumbang saat mendapatkan hantaman. Menahan napas adalah bagian dari cara mempertahankan tubuhnya dari rasa sakit.

Nanda ikut menahan napas ketika di dalam dua manik matanya terlukis tubuh Ayu yang sedang dihukum begitu kejam oleh pengadilan keluarga besarnya. Tangannya mengepal erat-erat sembari menghitung jumlah cambukan yang menyambar tubuh Ayu.

“Tiga puluh ...”

“Empat puluh ...”

“Empat puluh delapan ...”

“Empat puluh sembilan ...”

Nanda langsung melangkahkan kakinya, ia berlari menuju ke tengah area dan langsung menangkap tubuh Ayu yang sudah terkulai lemas menahan rasa sakit di tubuhnya.

“Ay, bertahanlah! Kamu akan baik-baik aja,” bisik Nanda sambil menitikan air mata.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Terima kasih ...! Sudah mengajariku cara untuk bertahan,” ucapnya lirih sambil berusaha menyentuh pipi Nanda perlahan.

Nanda tertegun saat telapak tangan Ayu begitu susah payah mencapai pipinya. Ia berusaha mendekatkan pipinya ke telapak tangan wanita itu, tapi tangan itu malah jatuh terkulai begitu saja ke tanah.

“Tuan Puteri ...!” Pelayan-pelayan yang lain ikut menghampiri tubuh Roro Ayu. “Bawa ke kamar! Dia harus segera diobati,” seru mereka.

Nanda langsung mengangkat tubuh Ayu, ia segera menggendong wanita itu dan berlari secepatnya menuju ke kamar milik Ayu agar wanita itu bisa segera mendapatkan pengobatan.

Di atas tribun, Bunda Rindu hanya bisa menyaksikan puterinya dihukum dengan berderai air mata. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa Ayu ingin masuk kembali ke keluarga itu dan menjalani hukuman berat dari keluarganya. Ia sendiri, tidak bisa menyelamatkan puterinya karena nama baik keluarga besarnya juga sedang dipertaruhkan.

“Nggak perlu menangisi Ayu! Hukuman ini adalah pilihan dia sendiri,” tutur Edi sambil menggenggam tangan Bunda Rindu.

Bunda Rindu mengusap air mata dan berusaha bangkit dari tempat duduknya.

“Jangan pergi sebelum tamu-tamu kita pulang!” perintah Edi Baskoro.

Bunda Rindu terdiam dan mengurungkan niatnya untuk pergi melihat Ayu. Ia harap, semua pelayan di keraton tersebut bisa mengurus puterinya dengan baik.

Di sudut lain, sepasang mata milik seorang pria terus mengawasi jalannya acara tersebut. Ia adalah tamu bangsawan yang diundang hadir bersama keluarganya dan tidak menyangka jika puteri yang menjadi pembicaraan di seluruh negeri adalah wanita yang ia kenal.

Begitu sampai di kamar Ayu, Nanda langsung mengunci rapat kamar tersebut. Ia tidak memperbolehkan siapa pun masuk ke dalam kamar Ayu kecuali dokter yang sudah ia siapkan satu jam sebelum prosesi hukuman itu terjadi.

“Dokter, gimana keadaan istri saya?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa denyut jantung Ayu.

“Dia akan baik-baik saja. Hanya butuh istirahat karena harus menahan rasa sakit yang begitu banyak. Ini ... saya berikan obat anti nyeri dan obat luar untuk lukanya,” jawab dokter itu.

Nanda mengangguk. “Terima kasih, Dokter!”

Dokter itu mengangguk. “Saya akan pasangkan infus untuk dia untuk menstabilkan keadaannya.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum lega. “Dokter, di keraton ini tidak ada yang boleh menggunakan ponsel. Bisakah dokter bantu saya?”

“Saya pasti akan membantu semampu saya,” tutur Nanda. “Istrimu adalah sahabat baik Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Saya pasti akan menghormati pertemanan kalian.”

Nanda tersenyum lega. “Mmh ... Ayu masih harus menjalani rangkaian hukuman lain. Dia masih harus berendam di danau selama tujuh hari tujuh malam. Bisakah dokter bantu saya mencarikan obat atau apa pun yang bisa menjaga tubuhnya tetap hangat dan bertahan di dalam air?” tanya Nanda.

Dokter itu berpikir sejenak. “Kemungkinan obat itu ada. Biasanya digunakan oleh tim penyelam agar tubuhnya tetap bisa bertahan di suhu yang dingin selama berjam-jam. Tapi, obat itu susah dicari dan harganya sangat mahal.”

“Soal harga, dokter tidak perlu khawatir! Berapa pun itu akan saya bayar,” ucap Nanda sambil menatap wajah dokter tersebut.

“Baiklah. Akan segera saya carikan obatnya. Dua hari lagi, saya akan ke sini untuk mengecek keadaan istri Anda.”

Nanda mengangguk. “Dokter bisa jaga rahasia kami ‘kan? Jangan sampai ada yang tahu kalau aku adalah suami Ayu. Mereka semua hanya tahu kalau aku pelayan.”

Dokter itu mengangguk sambil tertawa tanpa suara.

“Panggil saya Nindi, Dokter! Jangan sampai keceplosan panggil Nanda!” pinta Nanda.

Dokter itu mengangguk sambil tersenyum manis. “Baik, Mbak Nindi!”

Nanda tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya. “Terima kasih, Dokter! Salam untuk Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Sampaikan rasa terima kasih saya kepada mereka.”

Dokter itu mengangguk. Ia langsung berpamitan dan segera keluar dari dalam kamar Ayu setelah selesai melakukan tindakan pengobatan.

Nanda langsung duduk di tepi ranjang Ayu. Ia meraih tangan wanita itu dan menciumi punggung tangannya. “Ay, kamu harus bertahan, ya! Aku tidak akan membiarkan kamu menjalaninya sendirian. Maafkan aku yang dulu! Maafkan aku yang sudah membuatmu harus menderita seperti ini!” ucapnya sambil menitikan air mata.

Tok ... tok ... tok ...!

Nanda mengusap air mata dan menoleh ke arah pintu. Ia langsung menatap pelayan yang membuka pintu kamar Ayu dan masuk ke dalam.

“Ada Raden Mas dari keraton lain yang ingin mengunjungi Tuan Puteri,” ucap pelayan itu sambil menatap wajah Nanda dan Ayu yang terbaring di ranjangnya.

“Raden Mas?” Nanda mengernyitkan dahi. “Siapa?”

“Dari keraton Yogyakarta. Katanya, ingin menjenguk Tuan Puteri,” jawab pelayan itu.

“Apa dia pangeran di keraton itu?” tanya Nanda dengan suara wanita dan gaya centilnya yang dibuat-buat.

“Iya.”

Nanda terdiam sejenak. Ia langsung mengintip ke luar pintu. “Apa aku masih punya saingan cinta lagi? Gawat kalau sainganku pangeran keraton,” gumamnya dalam hati.

“Kita hanya pelayan. Tidak boleh membatasi Tuan Puteri. Apalagi menyinggung pangeran dari keraton lain,” tutur pelayan itu sambil menarik lengan Nanda dan mengajaknya duduk di lantai yang ada di sisi ranjang Ayu saat seorang pria muda dan tampan dengan pakaian mewah memasuki ruangan itu.

“Ayu, kenapa kamu jadi seperti ini?” tanya pria itu sambil duduk di tepi ranjang Ayu dan mengusap lembut pipi wanita itu.

Nanda mengernyitkan dahi melihat sikap pria itu. Ia menahan rasa kesal di dalam dadanya sambil berusaha memperhatikan wajah pria yang terlihat sangat familier itu. Ia sibuk mengumpat di dalam hati saat melihat pria dari keraton lain tiba-tiba menghampiri Ayu dan mendapatkan akses khusus untuk masuk ke dalam keraton tersebut. Ia yang memiliki status sebagai suami Ayu saja, tidak pernah diizinkan masuk ke dalam keraton ini hingga membuatnya harus menyamar. Ia harus memikirkan cara untuk membuat pria-pria bangsawan lain tidak mendekati Ayu lagi.

“Minta pihak keraton untuk menyiapkan tempat tinggal untuk saya. Saya akan menginap di sini sampai hukuman Roro Ayu selesai,” perintah pria itu sambil menatap salah satu pengawalnya.

“Maaf, Raden Mas! Tuan Puteri dilarang untuk bertemu dengan pria yang bukan mahrom dia selama masa hukuman. Tolong, jangan menyulitkan puteri kami!” pinta pelayan yang ada di sana sambil membungkuk hormat.

“Aku tahu aturan keraton. Kamu tidak perlu mengajariku!” sahut pria itu. “Setidaknya, aku bisa melihat dia baik-baik saja meski dari kejauhan.”

Pelayan itu langsung menundukkan kepala tanda mengerti. Tidak ada satu pun yang berani bersuara hingga pria itu keluar dari dalam kamar Ayu.

Nanda menghela napas lega saat pria itu sudah keluar dari dalam kamar Ayu. “Bukankah Tuan Puteri tidak boleh bertemu dengan pria? Kenapa dia diizinkan masuk ke kamar Tuan Puteri?”

“Peraturan itu tidak akan berlaku untuk keluarga bangsawan. Mereka juga masih memiliki ikatan keluarga,” jawab pelayan lain.

“Maksudnya? Mereka bersaudara?”

“Saudara, meski sangat jauh,” jawab pelayan yang ditanya.

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perasaannya semakin terganggu mendengar ucapan pelayan yang bersamanya. “Saudara sepupu saja masih boleh menikah, gimana dengan hubungan saudara yang lebih jauh?” gumamnya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

 

[Menikahi Lelaki Brengsek karya Vella Nine]

 

 


Bab 51 - Trik Menyelamatkan Ayu

 



Nanda melambaikan telapak tangannya di depan wajah Ayu. “Kamu nggak ngenalin aku?”

Ayu memperhatikan wajah wanita cantik yang ada di hadapannya. “Kamu ...!? Nanda?” serunya.

Nanda tersenyum manis sambil menganggukkan kepala. Ia menyodorkan keranjang susu yang ada di tangannya. “Susu untuk Tuan Puteri,” ucapnya.

Ayu tertawa kecil sambil menatap wajah Nanda. “Kamu kenapa pakai pakaian kayak gini?”

“Sst ...! Cuma cara ini yang bisa aku pakai untuk masuk ke sini,” jawab Nanda sambil mengajak Ayu duduk di kursi panjang yang ada di sisi tempat tidur Ayu.

“Kenapa kamu nekat? Kalau ketahuan, gimana?” tanya Ayu sambil menatap pilu ke arah Nanda.

“Aku akan menanggungnya,” jawab Nanda sambil tersenyum manis. “Kamu sudah makan?"

Ayu menggeleng.

“Kamu harus makan yang banyak, ya!” pinta Nanda sambil meraih satu buah apel dan mengupasnya perlahan untuk Ayu.

Ayu terus tertawa menatap wajah Nanda. “Kamu cantik banget, sih?”

Nanda tersenyum sambil memainkan matanya. “Aku cocok jadi perempuan?”

Ayu langsung tergelak menatap sikap Nanda yang begitu menggelikan baginya.

Nanda tersenyum lega saat melihat Ayu tetap ceria meski wanita itu akan segera menjalani hukuman dari keluarganya. Ia langsung menyuapkan potongan apel di tangannya ke mulut Ayu.

“Ay, kenapa kamu mau menjalanin hukuman seperti ini? Nggak masuk ke keluarga ini, masih bisa hidup bebas di luar sana,” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu. “Aku janji, nggak akan menyia-nyiakan kamu. Kita bisa bahagia meski tanpa keluargamu yang kejam ini.”

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Karena aku lahir sebagai puteri mahkota di keraton ini. Karena aku memang sudah seharusnya menjunjung tinggi dan taat dengan aturan leluhurku. Kalau aku terus melawan takdir, dinasti keluargaku akan semakin hancur, Nan. Aku harus bertanggung jawab dengan apa yang aku perbuat di luar sana.”

“Ini salahku, Ay. Kenapa kamu yang harus menanggungnya? Aku dengar, nggak ada puteri yang masih hidup saat menjalani hukuman ini. Kamu pilih mati daripada hidup sama aku?” tanya Nanda lagi.

“Iya,” jawab Ayu sambil menahan senyuman menatap wajah Nanda.

“Kamu!?” Nanda mendelik ke arah Ayu. “Aku nggak lagi bercanda, Ay.”

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Aku nggak akan mati kalau malaikat maut belum jemput aku.”

“Tapi menahan lima puluh cambukan, apa kamu bisa bertahan hidup?” tanya Ayu.

Ayu mengangguk. “Kamu nggak perlu khawatir! Aku pasti baik-baik saja.”

Nanda menatap nanar ke arah Ayu. Ia menarik tubuh wanita itu ke dadanya. Mendekap hangat wanita itu dan tidak ingin melepaskan ia untuk selamanya. Di saat ia ingin membuat Ayu hidup bahagia bersamanya, ia malah harus melihat Ayu menderita demi mendapatkan pengakuan statusnya kembali di keluarganya sendiri.

 

 

...

Nanda terus membolak-balikkan tubuhnya saat ia sudah berbaring di atas kasur yang dikhususkan untuk pelayan yang ada di sana. Ia benar-benar tidak bisa tidur karena keesokan harinya Ayu akan menjalani hukuman cambuk dari keluarganya. Ia terus memikirkan cara untuk membebaskan wanita itu atau membuat Ayu tetap bertahan meski menerima begitu banyak cambukan.

“Ay ...! Kenapa kamu harus pilih jalan kayak gini, sih? Kenapa aku juga nggak berdaya? Kalau ketahuan sama orang keraton aku ada di sisi Ayu. Aku akan lebih menyulitkan Ayu,” tutur Nanda sambil menyentuh lembut kasur busa yang ia kenakan.

Nanda melebarkan kelopak mata sambil menepuk kasur di bawahnya. Ia bangkit dari kasur dan menarik kain kasur yang sedikit robek. Ia langsung merobek semua kain lapisan kasur itu dan mengeluarkan lembaran busa dari dalamnya.

“Semoga ... ini bisa membantu Ayu menahan sakit,” ucap Nanda sambil memasukkan busa-busa itu ke dalam tas kain yang ada di kamar pelayan dan bergegas pergi dari sana.

Kumandang suara azan, membuat Nanda tahu kalau hari sudah pagi. Ia mempercepat langkahnya menuju kediaman milik Ayu dan mengetuk pintu wanita itu.

“Siapa?” seru Ayu dari dalam kamarnya.

“Pelayan, Tuan Puteri,” jawab Nanda sambil menjepit suaranya agar menyerupai suara wanita.

“Masuklah!” perintah Ayu. Dua  orang pelayan yang sedang bersamanya, langsung membukakan pintu untuk Nanda.

“Ada apa?” tanya seorang pelayan yang ada di sana.

“Bolehkah saya membantu memandikan dan menggantikan baju Tuan Puteri?” tanya Nanda pada pelayan yang membukakan pintu untuknya.

Ayu melebarkan kelopak matanya mendengar pertanyaan Nanda.

Nanda langsung mengerdipkan sebelah matanya ke arah Ayu.

Ayu menghela napas. “Kalian berdua keluarlah! Biar dia yang melayaniku.”

“Baik, Tuan Puteri!” Dua pelayan itu bergegas keluar dari kamar Ayu dan mempersilakan Nanda untuk masuk ke sana.

Nanda menghela napas lega. Ia segera mengunci pintu dan menghampiri Ayu yang ada di sana.

“Kamu mau apa? Mau mandiin aku? Udah tahu kita lain mahrom. Masih aja mau cari masalah, hah!?” dengus Ayu sambil menendang kaki Nanda.

“Kita suami-istri, Ay. Aku punya alasan sendiri kenapa aku mau bantu gantikan bajumu. Ini,” jawab Nanda sambil mengeluarkan kain busa yang ia bawa.

“Buat apa bawa beginian?” tanya Ayu sambil mengerutkan keningnya.

“Buat ... lapisin tubuhmu supaya nggak luka saat kena pecut,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar.

“Eh!?” Ayu mengernyitkan dahi. “Memangnya berfungsi? Cara pakainya gimana?”

“Kamu udah mandi?” tanya Nanda sambil memperhatikan tubuh Ayu yang hanya mengenakan bathrobe.

“Udah. Baru kelar mandi.”

“Kalau gitu, pakai ini dulu!” tutur Nanda sambil mengeluarkan busa-busa di tangannya.

Ayu langsung menyilangkan kedua tangan ke dadanya. “Kamu mau melecehkan aku?”

Nanda menghela napas. “Mana bisa dibilang melecehkan kalau lagi genting seperti ini.”

Ayu terdiam sejenak mendengar ucapan Nanda. Ia menurunkan lengannya dan pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh mantan suaminya itu.

“Nan, jangan terlalu tebal! Kalau ketahuan, hukumanku bisa ditambah,” tutur Ayu sambil memperhatikan busa yang dipasang Nanda di  tubuhnya.

“Nggak, Ay. Ini nggak tebal, kok. Aku akan buat semuanya terlihat sealami mungkin. Tadinya, aku berpikir menggunakan besi atau aluminium untuk menutupi punggungmu. Tapi pasti akan langsung ketahuan saat dicambuk dan berbunyi. Aku baru terpikirkan barang ini pagi ini,” ucapnya sambil merapikan busa-busa yang sudah tertanam di punggung Ayu dengan peniti dan plester yang ada di tangannya.

“Nan, apa ini nggak terlalu jahat? Kita sedang menipu keluarga sendiri,” tanya Ayu sambil melirik ke arah punggungnya.

“Keluargamu itu yang jahat. Ini sudah zaman apa? Di luar sana, ada banyak wanita yang melahirkan anak tanpa menikah dan mereka tetap punya hak untuk hidup. Kenapa aturan keluargamu sangat tidak manusiawi seperti ini?” tanya Nanda sambil meraih kemben yang sudah ia siapkan dan memasangkan ke tubuh Ayu.

“Hukuman itu untuk kontrol sosial. Terlebih, aku adalah puteri mahkota di sini. Aku bertanggung jawab bukan hanya diriku sendiri, tapi seluruh generasiku. Betapa mudahnya orang yang terlahir di keluarga biasa.”

Nanda terdiam mendengar ucapan Ayu. Ia langsung menangkup wajah Ayu dan menatap lekat mata itu. “Kalau nanti kita lahir di kehidupan selanjutnya, kita minta untuk lahir di keluarga biasa aja, ya! Kita bisa tinggal di pinggiran kota. Menjadi petani, memelihara ternak, melakukan banyak hal bersama tanpa rasa khawatir! Tidak akan ada yang mengusik hidup kita jika kita jadi orang biasa seperti mereka. Asalkan itu bersamamu ... itu udah bahagia buatku, Ay,” ucapnya lirih.

Ayu menatap Nanda dengan mata berkaca-kaca. “Apa di kehidupan selanjutnya ... kita masih akan bertemu?”

Nanda mengangguk sambil menatap mata Ayu. “Kita harus bertemu. Aku akan cari kamu sampai ketemu, Ay.”

Ayu tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke dada Nanda. “Kalau kehidupan selanjutnya itu ada ... aku ingin kamu mencintaiku sejak pandangan pertama,” ucapnya lirih.

Nanda mengangguk sambil memeluk erat tubuh Ayu. “Aku akan mencintaimu sejak aku dilahirkan,” ucapnya. Ia membenamkan bibirnya ke kening Ayu dan terus memeluk tubuh dingin wanita itu penuh kehangatan.

 

((Bersambung...))

Mohon maaf karena weekend selalu ada kegiatan di luar, waktu nulis author jadi berkurang banyak! Efek pandemi yang udah mulai longgar, kegiatan sosial makin banyak dan sering dipanggil ke sana ke mari. Maklum, aku kan cewek panggilan, hahaha.

Dimaafin, yak! Semoga kalian selalu sabar menunggu karya-karya dariku.

Terima kasih banyak sudah mendukung aku untuk terus berkarya selama ini!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 50 - Menyamar Jadi Pelayan

 


Nanda mondar-mandir di depan pintu utama keraton kesultanan dengan perasaan tak karuan. Ia sudah berusaha menerobos penjaga tempat itu agar bisa masuk, tapi tetap tak bisa melakukannya. Ia juga tidak bisa meminta bantuan dari siapa pun karena aturan keluarga keraton tidak bisa dicampuri oleh tangan orang lain, bahkan presiden sekali pun.

Meski ia tahu kalau ia dilarang masuk, tapi ia masih berusaha menerobos tempat itu agar bisa bertemu dengan Roro Ayu. Wanita yang harus menjalani serangkaian hukuman mengerikan karena perbuatan darinya. “Harusnya aku yang dihukum. Bukan Ayu. Istana ini isinya orang gila semua!?” serunya kesal.

Nanda mengedarkan pandangannya. Ia terus menyusuri pagar tinggi yang mengelilingi istana itu dan mencoba mencari celah untuk masuk ke sana.

“Aku dengar, Puteri Mahkota keraton sudah kembali masuk ke sini dan dua hari lagi akan menjalani hukuman,” tutur salah seorang wanita yang mengenakan pakaian pelayan dan berjalan di sekitar pagar keraton tersebut. Ia terdengar menggunakan bahasa jawa yang khas.

“Hukuman mengerikan itu benar-benar ada?” tanya pelayan yang lainnya lagi.

Nanda langsung menyembunyikan wajahnya ke tembok dan memasang telinga dengan baik agar ia bisa mendengarkan pembicaraan wanita-wanita yang ada di sana.

“Beneran ada. Sudah ratusan tahun tidak pernah ada puteri mahkota yang melanggar peraturan seperti ini. Aku dengar, ini kedua kalinya. Puteri mahkota yang pertama kali menjalani hukuman, sudah meninggal lebih dahulu sebelum hukuman dia selesai,” jawab wanita pelayan yang lain lagi.

Nanda melebarkan kelopak matanya saat ia mendengar desas-desus tentang peraturan keluarga keraton yang begitu mengerikan itu. “Gimana caranya menyelamatkan Ayu? Apa harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk diterima di keluargamu lagi? Ini salahku, Ay. Bukan salahmu,” batinnya sambil menitikan air mata.

Nanda memukul-mukul dinding yang ada di hadapannya.

“Aargh ...!” Tiba-tiba seorang pelayan yang tertinggal seorang diri, terjatuh tak jauh di belakang Nanda.

“Kenapa, Mbak?” tanya Nanda sambil membantu pelayan itu bangkit dari tanah.

“Nggak papa, Mas. Cuma terkilir saja. Terima kasih!” jawab pelayan itu sambil menatap buah-buahan yang jatuh berserakan di sekitarnya.

Nanda buru-buru membantu memungut buah-buahan tersebut dan mengumpulkannya kembali ke dalam keranjang yang dibawa oleh pelayan tersebut. “Kamu kerja di keraton ini?”

“Iya, Mas.”

“Kamu tahu soal puteri mahkota yang akan menjalani hukuman di dalam sana?” tanya Nanda.

Pelayan itu mengangguk sambil mengusap air matanya yang basah.

“Kenapa nangis?” tanya Nanda sambil menatap wajah wanita itu.

“Saya nggak tega lihat Tuan Puteri dihukum seperti itu, Mas. Sejak kecil saya sudah mengenal tuan puteri dan selalu melayani dia jika dia kembali ke keraton. Dia wanita baik-baik, kenapa harus menerima hukuman seperti ini. Pria yang menodai dia sangatlah kejam,” jawab pelayan itu sambil mengusap air matanya yang berderai.

“Pria yang kamu maksud itu aku,” tutur Nanda sambil menatap wajah pelayan itu.

“Ha!?” Pelayan itu menutup mulutnya yang ternganga lebar. “Maafkan kelancangan saya, Tuan Muda!” ucapnya sambil membungkuk hormat di hadapan Nanda.

“Nggak papa. Saya memang bersalah dan pantas menerima semua hinaan ini. Aku sangat mencintai Roro Ayu. Bisakah kamu membantuku menyelamatkan tuan puterimu?” tanya Nanda penuh harap.

Pelayan itu sontak menengadahkan kepala menatap Nanda. “Maaf, Tuan Muda ...! Saya tidak berani,” jawabnya sambil menunduk hormat. Ia memundurkan lututnya dan bangkit dari tanah dengan susah payah.

“Kamu tidak perlu melakukan apa pun. Kamu hanya perlu bantu aku masuk ke dalam kediaman. Aku hanya ingin memastikan kalau Roro Ayu baik-baik saja di dalam sana,” tutur Nanda sambil menghadang pelayan itu.

Pelayan itu terdiam. Ia terus menundukkan kepala dengan perasaan tak karuan.

“Aku tahu, kamu pasti sangat menyayangi dan mempedulikan majikan kamu itu ‘kan? Kamu mau kalau dia mati di dalam sana karena nggak ada yang nolong dia?” tanya Nanda.

Pelayan itu terdiam sambil menggigit bibir bawahnya.

“Bantu aku masuk ke istana ini. Aku janji, tidak akan melibatkan kamu. Aku akan melindungimu dari siapa pun,” tutur Nanda lagi. Ia sangat berharap, pelayan kecil ini bisa membantunya.

“Ikut saya!” pinta pelayan kecil itu sambil melangkahkan kakinya menuju ke suatu tempat yang ada di halaman belakang keraton tersebut.

“Mas, tunggu di sini ya!” pinta pelayan itu sambil masuk ke dalam pintu kecil yang ada di hadapannya.

Nanda mengangguk. Ia segera duduk di salah satu pot besar yang ada di sana.

Beberapa menit kemudian, pelayan kecil itu keluar dari sana sambil membawa tottebag di tangannya. “Mas pakai ini dan silakan masuk ke kediaman tuan puteri. Kepala pelayan memerintahkan untuk mengambil susu di peternakan sapi perah dan membawanya untuk tuan puteri. Mas bisa masuk lewat pintu ini karena pintu ini khusus untuk pelayan dan ada penjaga di dalamnya. Pelayan dilarang masuk lewat pintu depan. Lakukan dengan baik!” ucap pelayan itu buru-buru dan kembali masuk ke dalam pintu khusus yang diperuntukkan bagi pelayan-pelayan di sana.

Nanda mengangguk. “Terima kasih, Mbak!”

Pelayan kecil itu mengangguk dan segera masuk kembali ke pintu kecil yang ada di sana.

Nanda tersenyum melihat tottebag yang ada di tangannya. Ia pikir, pelayan itu sedang memberinya seragam pelayan pria atau pengawal keraton tersebut. Tapi saat ia mengeluarkan kain yang ada di dalamnya, ia menghela napas lemas. “Aku disuruh pakai baju pelayan? Nggak salah?” Ia mengernyitkan dahi menatap gaun khas pelayan keraton tersebut.

Nanda menghela napas. Ia bangkit sambil melangkah perlahan menuju ke mobilnya yang terparkir di salah satu halaman gedung yang ada di seberang keraton tersebut. “Nggak papalah jadi banci demi Ayu. Daripada nggak bisa masuk sama sekali,” gumamnya.

Nanda segera mencari peternakan sapi perah yang dimaksud oleh pelayan kecil itu. Berbekal sifatnya yang ramah dan sok kenal, membuatnya begitu mudah mendapatkan informasi langganan peternakan sapi perah keraton tersebut.

Nanda segera mengenakan pakaian pelayan sebelum ia keluar dari dalam mobil. Ia memperhatikan bagian tubuhnya sebelum ia keluar dari mobil. “Kayak ada yang kurang?” gumamnya sembari memperhatikan wajahnya sendiri.

“Cewek harus pakai make-up ‘kan? Gimana caranya?” tanya Nanda pada dirinya sendiri.

Nanda membuka ponsel miliknya dan mencari salon kecantikan yang ada di tempat itu. Ia memilih salon kecantikan tersebut untuk mengubah wujudnya menjadi lebih sempurna dan mengajarinya cara menggunakan make-up yang baik. Banyaknya wanita cantik di sekelilingnya yang suka berdandan, membuatnya tidak asing dengan alat-alat rias khas wanita.

Setelah memastikan penampilannya sempurna, Nanda langsung keluar dari salon tersebut dan kembali ke peternakan sapi perah. Pakaian khas pelayan keraton, membuatnya langsung disambut dengan baik oleh pemilik usaha susu tersebut.

“Saya baru lihat ada pelayan secantik ini di keraton. Pelayan baru?” tanya pengusaha susu tersebut sambil menatap wajah Nanda.

Nanda mengangguk sambil tersenyum sinis. Ia kesulitan mengatur bicaranya agar bisa menyerupai suara wanita.

“Ini susu pesanan untuk tuan puteri. Sudah lama dia tidak terdengar berada di kediaman karena sekolah di luar negeri. Sudah pulang ke sini?”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum manis ke arah pengusaha tersebut. “Terima kasih, Pak! Saya harus segera kembali.”

Pengusaha itu mengangguk. “Bergegaslah! Jangan sampai terlambat! Tuan Puteri sangat menyukai susu yang masih segar.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Baik, Pak. Permisi ...!” ucapnya sambil membungkuk sopan dan segera masuk ke dalam mobilnya.

“Tumben pelayan naik mobil? Biasanya jalan kaki? Aturan di keraton sudah mulai modern juga?” gumam pengusaha itu sambil menatap tubuh Nanda yang sudah bergerak pergi meninggalkan pelataran tokonya.

Nanda menarik napas dalam-dalam. Ia segera kembali ke halaman belakang keraton tersebut dan mengetuk pintu belakang yang terkunci rapat.

Tok ... tok ... tok ...!

Pintu besi itu terbuka dan seorang pengawal langsung menatap ke arah Nanda. “Bawa susu untuk tuan puteri?”

Nanda mengangguk.

“Cepat! Dari tadi sudah ditanya kepala pelayan!” perintah pengawal itu.

Nanda mengangguk. Ia berjalan menundukkan kepala sembari memperbaiki selendang yang menutupi bagian lehernya. Ia bergegas mengikuti langkah pengawal yang ada di hadapannya dan segera masuk ke gedung yang ditinggali oleh Ayu.

“Sumpah, aku ngerasa kayak balik ke zaman kerajaan Majapahit. Tempat kayak gini beneran masih ada?” batin Nanda sambil memperhatikan arsitektur tempat itu yang begitu menakjubkan. Bahkan, pilar-pilar bangunan tersebut dihiasi oleh emas asli.

“Bawa masuk ke dalam kamar Ndoro Puteri! Dia belum makan dari pagi dan besok harus menjalani hukuman. Bujuk dia supaya mau minum susu dan makan!” perintah kepala pelayan yang sudah menunggu pelayannya mengambilkan susu untuk Roro Ayu.

Nanda mengangguk sambil melangkah masuk ke pintu yang sudah ada di hadapannya. Ia segera menutup pintu berbahan kayu ulin megah itu dan menghampiri Ayu yang sedang duduk berdiam diri di dekat jendela.

“Ay ...!” panggil Nanda berbisik sambil menghampiri Ayu.

Ayu langsung memutar kepala begitu ia mendengar suara Nanda. Ia mengernyitkan dahi menatap wajah pelayan yang tersenyum manis ke arahnya. “Kenapa aku denger suara Nanda? Apa aku berhalusinasi? Apa aku terlalu kangen sama dia? Jangan-jangan aku udah mau mati?” batinnya.

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat berkarya!

Jangan lupa, bantu promosiin juga, yak! Biar makin banyak yang bisa nikmati cerita dari author.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 


Bab 49 - Penebusan Dosa

 


Nanda menarik napas dalam-dalam saat ia sudah berada di halaman keraton Kesultanan Surakarta. Ia menggenggam erat tangan Ayu yang ada di sebelahnya dan menoleh ke arah beberapa anak buah yang ada di belakangnya.

“Kalian pulanglah! Aku ada urusan pribadi. Kalau mama tanya, katakan saja jika aku sedang berada di keraton untuk mengambil istri,” perintah Nanda.

“Baik, Tuan!”

Semua orang yang ada di belakang Nanda, langsung bergegas pergi meninggalkan atasan mereka.

Ayu tersenyum kecil. Ia melangkahkan kaki perlahan dengan tubuh gemetaran. Perasaannya bergejolak dan tak karuan. Ia sudah melanggar aturan suci keraton tersebut dan tidak tahu bagaimana harus menebus semua kesalahannya itu.

“Ndoro Puteri ...! Apakah Ndoro Puteri ingin masuk ke Istana?” salah seorang abdi dalem keraton tersebut terlihat terburu-buru menghampiri Ayu.

Ayu menghentikan langkah kakinya saat ia sudah berada di depan pintu gerbang yang dijaga oleh dua prajurit keamanan tempat tersebut. Ia langsung menoleh ke arah pria itu dan menganggukkan kepala.

“Maaf, Ndoro ...! Ndoro Puteri dilarang masuk ke istana.”

Ayu terdiam sejenak sambil menelan saliva dengan susah payah. Ia berusaha mengumpulkan keberanian yang selama ini sudah tercerai-berai entah ke mana. “Aku akan laksanakan upacara kesucen,” ucapnya dengan bibir gemetar.

Abdi dalem itu terlihat sangat gelisah mendengar ucapan Ayu.

“Kenapa? Apa aku masih belum bisa melakukan upacaranya?” tanya Ayu.

“Bi-bisa, Ndoro. Tapi ... ada beberapa syarat yang masih harus dipenuhi.”

“Katakan! Apa saja syaratnya?” perintah Roro Ayu.

“Mari, ikut saya dulu!” pinta abdi dalem yang ada di sana sambil mempersilakan Ayu dan Nanda penuh rasa hormat.

Nanda dan Ayu melangkahkan kaki mengikuti abdi dalem yang ada di hadapannya hingga sampai ke salah satu kediaman yang biasa digunakan untuk menyambut tamu luar.

“Tunggu di sini! Saya akan panggilkan Kanjeng Sultan untuk menemui kalian.”

Ayu mengangguk. Ia meletakkan tas tangannya ke atas meja dan duduk bersimpuh di lantai, tepat di hadapan kursi singgasana yang ada di sana.

“Ay, harus berlutut kayak gini?” tanya Nanda.

Ayu langsung menarik tangan Nanda agar segera duduk di sampingnya. “Ikuti saja peraturannya!”

Nanda langsung duduk bersila di samping Ayu.

“Duduknya jangan kayak gitu!” pinta Ayu. “Kakinya dilipat ke belakang.”

“Eh!?” Nanda memperhatikan cara duduk Ayu. Ia langsung memperbaiki posisi duduknya. “Ay, susah duduk kayak gini. Burungku kejepit,” bisiknya.

Ayu mendelik sambil menyikut tubuh Nanda. “Jangan bercanda terus di sini!” pintanya berbisik.

“Nggak boleh, ya?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya. Di tempat itu, tidak hanya mereka berdua. Ada beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri di sana, tapi semuanya hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan, napas mereka saja tidak sampai terdengar di telinga Nanda.

Tiga puluh menit kemudian ...

Nanda mulai gelisah karena orang yang akan ia temui, tak kunjung muncul di hadapannya. Duduk dengan kaki terlipat di bawahnya, membuatnya sudah merasakan nyeri dan kebas. “Ay, masih lama?” bisiknya lagi.

“Tunggu saja!” sahut Ayu. Wanita itu tetap terlihat tenang meski sudah duduk bersimpuh selama tiga puluh menit.

“Aku boleh duduk sila sebentar? Keram banget kakiku, Ay,” tanya Nanda.

“Nan, seriuslah! Kita datang untuk meminta pengampunan dan menebus kesalahan kita,” pinta Ayu.

“Kakimu nggak sakit?” tanya Nanda. “Kita bisa lumpuh kalau terlalu lama duduk di sini.”

Ayu menggeleng.

Nanda menghela napas. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia tahu, saat ini Ayu sedang menderita, tapi tidak mau menunjukkan penderitaan di hadapannya.

“Apa yang membuatmu kembali ke sini?” tanya seorang pria tua yang dituntut untuk duduk di singgasananya. Di belakangnya, juga sudah ada beberapa orang dengan pakaian kebesaran. Kedua orang tua Ayu, juga ada di sana untuk menyambut kedatangan puteri mereka.

“Kenapa kamu membawa pria ini lagi?” seru Edi saat melihat Nanda sudah duduk di samping Ayu.

“Seret pria ini keluar dari sini ...!” perintah Edi pada penjaga yang ada di sana.

Dua orang penjaga, langsung menarik lengan Nanda dengan cepat.

Nanda tersentak mendengar perintah Edi yang begitu cepat membuatnya diseret keluar. Ia berusaha mempertahankan diri agar tidak dibawa pergi dari sana. Seharusnya, ia membawa semua anak buahnya ke tempat ini agar keluarga ini tidak bersikap semena-mena terhadap dirinya.

“Ayah ...! Jangan usir Nanda dari sini!” pinta Ayu sambil memegangi tubuh Nanda. Ia langsung menatap dua pengawal yang memegangi tubuh Nanda. “Lepaskan dia!” perintahnya.

Pengawal yang ada di sana terlihat kebingungan karena semua keluarga keraton adalah majikan bagi mereka.

“Bajingan ini nggak pantas masuk ke keluarga kita. Kamu tahu apa yang sudah dia lakukan dulu dan kamu masih membawanya kemari?” seru Edi sambil menatap tajam ke arah Ayu.

“Ayah, semua orang punya kesalahan dalam hidupnya. Nanda sudah minta maaf, sudah menebus semua kesalahannya. Apa masih belum cukup?” tanya Ayu sambil menatap wajahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu ...!? Ke sini mau melawan ayahmu, hah!?” seru Edi.

“Mas, jangan emosi! Kasihan Ayu,” bisik Bunda Rindu sambil berusaha menenangkan emosi suaminya.

“Edi, apa kamu tidak melihat keberadaanku? Kamu bisa sesukanya memarahi Roro Ayu dan tamu yang dia bawa?” tanya seorang pria tua yang duduk di singgasana besar itu.

“Maaf, Romo ...!” Edi langsung membungkuk dan memberi hormat pada pria nomor satu di keraton tersebut.

Sri Sultan Pakubuwono tersebut langsung menatap wajah Nanda. “Lepaskan dia!” perintahnya pada pengawal yang memegangi Nanda".

Nanda menghela napas lega saat dua pengawal itu  sudah melepaskannya. Ia kembali berlutut di belakang Ayu sambil menengadahkan kepala menatap Sri Sultan yang duduk di atas singgasananya. “Saya datang ke sini untuk meminta maaf dan ingin kembali mengambil Roro Ayu sebagai istri saya!” ucapnya tegas.

“Kamu tahu apa yang kamu lakukan tiga tahun lalu?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Nanda.

Nanda mengangguk.

“Kami tidak melarang Roro Ayu menikah dengan siapa pun. Hanya saja, dia tidak boleh menginjakkan kakinya ke istana karena seorang puteri mahkota telah melanggar peraturan yang mencoreng nama baik keluarga besar keraton kesultanan,” ucap Sri Sultan sambil menatap wajah Nanda.

“Eyang, saya akan lakukan upacara kesucen untuk bisa masuk ke istana lagi. Saya ingin mendapatkan restu pernikahan dari Eyang dan semua keluarga keraton,” tutur Ayu sambil menitikan air mata menatap Sri Sultan yang juga kakeknya sendiri.

Sri Sultan menatap serius ke arah Ayu. “Syarat untuk melakukan upacara mensucikan diri tidaklah mudah. Kamu tidak akan sanggup menjalaninya, Roro Ayu.”

“Saya akan menjalaninya, Eyang. Apa pun syaratnya, akan saya penuhi. Asalkan Eyang mengizinkan aku kembali ke istana ini,” sahut Ayu sambil memberi hormat kepada Sri Sultan yang ada di hadapannya.

Sri Sultan menganggukkan kepala. Ia langsung menoleh ke arah salah satu staff administrasi kesultanan. “Bacakan persyaratan yang harus dilakukan Roro Ayu agar dia bisa melakukan upacara mensucikan diri dengan baik!”

Pria yang ditunjuk oleh Sri Sultan, mengangguk dan segera membuka dekrit keraton yang sudah menjadi aturan turun-menurun selama ratusan tahun.

“Tujuh syarat upacara menyucikan diri yang harus dipenuhi oleh Raden Roro Ayu Rizki Prameswari selaku puteri mahkota. Karena telah melanggar aturan besar, mencemarkan nama baik dan merusak moral keluarga ... maka, Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus menjalani hukuman pengasingan selama minimal satu tahun. Dilarang masuk ke Istana sebelum melakukan upacara pensucian,” tutur staff administrasi kesultanan dengan suara tegas.

Ayu menundukkan kepala sambil menitikan air mata. Seharusnya, ia diadili sejak empat tahun lalu. Karena permohonan penangguhan dari kedua orang tuanya dengan alasan janin dalam perut Ayu, membuatnya hanya menjalani hukuman pengasingan dan dilarang masuk ke istana kesultanan sebelum ia melakukan upacara penyucian diri. Lahir di dalam keluarga keraton memang tidak mudah. Tidak ada hukum negara yang bisa menyentuh apa yang sudah ditentukan oleh adat nenek moyang mereka. Sebagai puteri mahkota yang hamil di luar nikah, dia harus menjalani hukuman yang sangat berat.

“Pertama ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus mendapatkan lima puluh cambukan. Kedua ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus melakukan kungkum [baca; berendam] selama tujuh hari tujuh malam. Ketiga ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari tidak boleh keluar dari tempat ibadah dan wajib menjaga kebersihan tempat ibadah setiap harinya selama tiga puluh hari.”

Nanda melebarkan kelopak mata mendengar tiga syarat pertama yang harus dipenuhi oleh Ayu. Dadanya sangat sesak dan matanya ikut berkaca-kaca saat melihat air mata Ayu jatuh berderai ke pangkuannya. “It’s Crazy ...! Ayu nggak mungkin sanggup menahan hukuman seorang diri,” batinnya.

“Keempat ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib memberi makan anak yatim selama empat puluh hari. Kelima ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib berpuasa selama sembilan puluh hari. Keenam ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari dilarang bertemu dengan orang yang bukan mahrom-nya selama menjalani hukuman. Ketujuh ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib memberikan karya penebusan yang dipersembahkan untuk leluhur,” lanjut staff administrasi itu. Kemudian, menutup dokumen yang ada di tangannya setelah selesai membaca syarat-syarat yang harus dijalani Roro Ayu.

“Raden Roro Ayu Riski Prameswari, apakah kamu bersedia memenuhi syarat hukuman untuk penyucian diri?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

“Bersedia, Eyang,” jawab Ayu sambil menangkup kedua tangan dan menunduk hormat kepada Sri Sultan.

Nanda melebarkan kelopak matanya. Ia menengadahkan kepala menatap Sri Sultan. “Kanjeng Sultan, biar aku saja yang menggantikan Roro Ayu menjalani hukumannya!” pintanya.

“Roro Ayu adalah puteri mahkota keraton ini. Kedudukannya tidak bisa digantikan kecuali dia mati. Hukuman untuk dia juga tidak bisa digantikan oleh siapa pun,” jawab Sri Sultan sambil menatap Nanda.

Nanda menatap wajah Sri Sultan dengan perasaan tak karuan. Ia langsung menghadapkan tubuhnya ke arah Ayu yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Ay, kamu nggak perlu menjalani hukuman ini untuk bisa menikah denganku. Aku nggak mau menyakiti kamu, Ay. Kita bisa tetap saling mencintai tanpa menikah.”

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Aku menjalani hukuman bukan untuk menikah denganmu, Nan. Tapi untuk diterima kembali di keluargaku sendiri.”

“Tell me! Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua ini? Apa yang harus aku lakukan supaya kamu tidak perlu menjalani hukuman ini, Ay?” tanya Nanda dengan mata berkaca-kaca.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Jangan temui aku dulu sebelum aku menyelesaikan hukumanku. Tunggu aku!” pintanya lirih.

Nanda menggelengkan kepala. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat dengan singgsana Sri Sultan. “Ayu tidak melanggar aturan keluarga kalian. Aku yang telah melakukan kesalahan. Ini semua bukan kesalahan Ayu. Biar aku yang menanggungnya!” pintanya penuh harap. “Apa pun syaratnya akan aku penuhi asalkan kalian bisa menerima Ayu di keluarga ini lagi tanpa harus menjalani hukuman.”

Sri Sultan tersenyum ke arah Nanda. “Kalian saling mencintai?”

Nanda dan Ayu mengangguk bersamaan.

“Kalau begitu, jalani hukuman sesuai dekrit! Tidak ada yang berubah. Kamu ... tidak boleh menemui Roro Ayu selama dia menjalani hukumannya!” perintah Sri Sultan.

Nanda tertunduk lemas. Dunianya seakan runtuh saat ia mengetahui kalau apa yang dia lakukan terhadap Ayu, ternyata menimbulkan masalah besar baginya. Ia benar-benar menyesal karena tidak bisa menyelamatkan Ayu dan tidak bisa melawan saat pengawal istana tersebut menyeretnya keluar dari sana.

“AYU ...! Harusnya aku yang dihukum, bukan kamu ...!” teriak Nanda sambil menatap punggung Ayu yang semakin jauh dan menghilang di balik pintu besar yang sudah tertutup rapat untuknya.

 

 

((Bersambung...))

 

Apa yang akan dilakukan Nanda selanjutnya? Bermasalah dengan keluarga bangsawan memang nggak mudah, ya? Semangat untuk pasangan ini!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 48 - Back to Indonesia

 




“Ay, aku boleh nginap di sini?” tanya Nanda saat ia sudah mengantarkan Ayu kembali ke flat miliknya.

“Nggak boleh.”

“Jujur banget?”

“Kita belum nikah, mana boleh tinggal bareng,” sahut Ayu sambil masuk ke dalam flat miliknya.

“Udah. Aku pegang buku nikahnya,” sahut Nanda sambil mengeluarkan marriage book dari dalam saku jaketnya. “Kalau kamu ngusir aku, aku tinggal tunjukin buku nikah ini dan bilang kalau kamu istri yang kejam karena sudah mengusir suami sendiri.”

“Kamu ...!?” Ayu mendengus ke arah Nanda. “Kenapa kamu masih pegang buku nikah? Padahal pernikahan kita udah dibatalkan.”

“Ini bukti kalau orang tuamu membatalkan pernikahan kita secara sepihak. Mereka pakai sistem cerai ghaib, loh. Makanya, buku nikah ini masih ada sama aku,” jawab Nanda sambil tersenyum menatap wajah Ayu.

Ayu menghela napas. Ia melangkah begitu saja menuju sofa mungil rumahnya. “Tidur di sofa!”

“Ay, kita ini masih suami-istri, loh. Buku nikahnya ada, Ay,” tutur Nanda sambil mengikuti langkah Ayu menuju ke kamarnya.

“NANDA ...! Aku baru baik sama kamu. Mau kalau aku marah lagi?” seru Ayu kesal.

“Iya, iya. Aku tidur di sofa. Tapi temenin, ya!” pinta Nanda.

“Minta temenin sama TV. Aku capek,” jawab Ayu sambil masuk ke dalam kamar dan mengunci rapat pintu kamar tersebut.

Nanda gelagapan sambil menatap pintu kamar Ayu yang sudah tertutup rapat. Ia menjatuhkan keningnya ke daun pintu kamar tersebut. “Ay, kalau aku nggak boleh masuk. Kamu yang keluar, dong!” rengeknya.

“Nan, aku capek. Mau tidur. Kamu tidur, gih!” sahut Ayu yang sudah membaringkan tubuhnya di atas kasur.

“Ay, aku nggak bisa tidur,” ucap Nanda sambil terus bergerak gelisah. Ia menyandarkan punggungnya ke daun pintu. Telapak tangannya terus mengetuk-ngetuk pintu kamar Ayu.

“Iih ... Nanda ...! Kamu ini ngriseli banget, sih!?” Ayu langsung bangkit dari kasur dan membuka pintu kamarnya.

Nanda langsung tersenyum lebar dan berbalik menatap wajah Ayu. “Aku belum ngantuk. Kita nonton, yuk!”

“Nonton apaan?” tanya Ayu.

“Film, dong. Masa nontonin tetangga lagi main di sebelah,” jawab Nanda sambil memainkan alisnya.

Ayu memutar bola mata. Ia meraih remote televisi dan duduk di sofa. “Mau nonton film apa?”

“Ini bisa streaming ‘kan? Redtube bisa, nggak?” tanya Nanda sambil duduk di samping Ayu dan tersenyum lebar.

“Redtube gundulmu!” dengus Ayu sambil menoyor bantal sofa yang ada di tangannya.

“Eh, serius. Di sini nggak usah pake VPN untuk akses situs-situs dewasa ‘kan?” tanya Nanda sambil merebut remote dari tangan Ayu.

“Nggak boleh! Udah kena karma, masih nggak tobat juga!?” dengus Ayu.

Nanda terkekeh. Ia memeluk tubuh Ayu dan melingkarkan kedua kakinya di pinggang wanita itu. “Tobat, Ay. Jangan dikasih karma lagi!” pintanya. “Disayang, ya!”

Ayu melirik wajah Nanda sambil menahan tawa. “Kenapa kamu jadi manja gini?”

“Karena aku  kangen banget sama kamu,” jawab Nanda sambil bergelayut manja di tubuh Ayu.

Ayu tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak usah kayak anak kecil gini, deh! Kamu nginap di hotel mana di kota ini?”

“Nggak tahu,” jawab Nanda.

Ayu mengernyitkan dahi sambil menatap wajah Nanda. “Kamu udah berapa hari nggak mandi? Badanmu bau, Nan.”

“Eh!? Serius?” tanya Nanda sambil mengendus tubuhnya sendiri. “Aku belum mandi dari pagi.”

“Mandi, gih!” perintah Ayu.

“Dingin, Ay. Ini England, bukan Indonesia. Badanku nggak bau-bau banget, kok,” ucap Nanda sambil mengendus tubuhnya sekali lagi. Ia mengubah posisinya dan memilih membaringkan tubuhnya di sofa tersebut. Kepalanya berada tepat di pangkuan Ayu.

“Ay, aku mau tidur di pangkuanmu malam ini. Mandinya besok pagi aja, ya! Dingin banget,” ucap Nanda sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Ayu tersenyum sambil membelai lembut rambut Nanda. “Besok kita terbang ke Indonesia. Kita langsung ke rumah eyang. Gimana?”

Nanda langsung menatap wajah Ayu yang ada di atasnya. “Serius!? Beneran besok? Aku suruh asistenku siapin tiket.”

“Nggak usah. Aku udah urus tiket untuk pulang ke sana.”

“Serius!?” tanya Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

Ayu mengangguk.

Nanda tersenyum bahagia. Ia menarik kepala Ayu dan menciuminya berkali-kali. “Sebelum ke rumah eyang kamu ... kita ke makam Axel dulu, ya!”

Ayu mengangguk setuju. Ia memeluk lembut kepala Nanda yang masih berbaring di pangkuannya sembari menikmati film romance yang terputar di televisi miliknya. Bisa menikmati banyak waktu bersama orang dicintai adalah hal yang paling membahagiakan.

Meski saat ini Nanda terkesan manja, tapi ia tidak mempermasalahkannya. Mungkin sudah terlalu banyak penderitaan yang ditanggung Nanda karena keegoisan keluarganya, juga karena keegoisan dirinya sebagai seorang wanita.

 

...

 

Sepanjang perjalanan ke Indonesia, Nanda tak pernah melepaskan genggaman tangan Ayu. Kecuali saat ia pergi ke toilet.

Sesuai dengan jadwal perjalanan yang sudah dipilih oleh Ayu, mereka berdua akan tiba di Bandara Juanda, tepat jam satu siang waktu setempat.

Ayu mengedarkan menengadahkan kepala sambil memutar tubuhnya saat ia sudah berada di pintu kedatangan Bandara Internasional Juanda, kota Surabaya. Tak banyak hal yang berubah sejak ia pergi tiga tahun lalu. Kota ini tetap menjadi kenangan masa-masa remajanya dan begitu ia rindukan. Ada bahagia, sedih, sakit, kecewa dan harapan di dalamnya.

“Selamat siang, Tuan Presdir ...!” sapa salah seorang pria berjas sambil menghampiri Nanda yang baru saja melewati pintu keluar.

“Siang,” balas Nanda sambil melepas koper di tangannya dan membiarkan orang-orangnya mengambil alih koper tersebut. Ia langsung menggandeng masuk tubuh Ayu, masuk ke dalam mobil yang telah disediakan untuknya.

“Kamu lagi pamer kesuksesan kamu di depanku, Nan? Pakai acara disambut pakai anak buah segala?” tanya Ayu sambil mengerutkan wajahnya.

“Aku nggak tahu. Fasilitas dari perusahaan,” jawab Nanda. “Jalan, Pak!” perintahnya pada supir yang duduk di belakang kemudi.

“Ke makam putera saya,” jawab Nanda.

“Baik, Pak!”

“Mampir ke toko bunga dulu seperti biasa!” perintah Nanda lagi.

“Siap, Pak!”

Beberapa menit kemudian, mobil yang membawa Nanda dan Ayu berhenti di salah satu toko bunga yang ada di tepi jalan.

“Kamu mau kasih bunga apa untuk Axel?” tanya Nanda sambil menajak Ayu masuk ke dalam toko bunga tersebut.

“Biasanya kamu kasih apa?” tanya Ayu sambil mengedarkan pandangannya, memindai bunga-bunga yang tersedia di toko bunga tersebut.

“Aku kasih kaktus,” jawab Nanda sambil meraih pot mungil berisi bunga kaktus.

“Kaktus?”

Nanda mengangguk. “Ini lebih sederhana untuk pria seperti Axel,” jawabnya sambil tersenyum.

“Masuk akal,” tutur Ayu sambil mengangguk. Ia mengendus aroma mawar putih yang kebetulan berada di hadapannya.

“Mau bunga mawar?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggeleng. “Aku ambil bunga ini saja untuk Axel,” ucapnya sembari meraih bunga lili warna kuning. “Aku nggak pernah mengantarkan Axel ke peristirahatan terakhirnya. Ini pertama kalinya aku mengunjungi dia. Semoga dia suka dengan bunga pilihanku.”

Nanda tersenyum sambil merangkul dan mengecup pelipis Ayu. “Dia pasti senang dengan apa pun pemberian ibunya.”

Ayu mengangguk. Ia tersenyum manis sambil menatap bunga lily yang ada di tangannya. Ia tidak bisa membayangkan wajah puteranya. Sebab, ia tidak pernah mengetahui bagaimana wajah Axel setelah dilahirkan. Kedua orang tuanya pun tidak memiliki potret putranya itu. Kalau dia masih hidup, sudah pasti akan setampan wajah papanya.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua sudah berpindah ke area pemakaman elite yang ada di kota tersebut.

Ayu terus melangkahkan kakinya mengikuti Nanda. Ia tertegun ketika sampai di pusara puteranya dan menatap wajah mungil Axel yang seharusnya ia lihat sejak dilahirkan.

“Anakku ...!” Ayu langsung memeluk pusara dan potret Axel kecil yang ada di sana sambil menangis. Ia terus menciumi potret Axel. Putera kecil yang ia lahirkan dan tidak pernah ia lihat, apalagi ia sentuh tubuhnya. Di tengah hujan air matanya, bibir Ayu terus menyunggingkan senyuman sambil memeluk bingkai foto Axel. Rasanya, ia ingin berlama-lama ada di sana dan enggan pergi dari pusara puteranya itu.

“Nak, bisakah kamu turun lagi ke dunia dan tetap menjadi anak kami?” bisik Ayu sambil mengusap lembut pusara Axel Noah. Ia sangat berharap, bisa menggendong bayinya seperti yang selalu ia impikan tiga tahun lalu.

 

 

((Bersambung ...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

 

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas