Ayu melangkahkan kakinya
perlahan menuju ke arena terbuka, tempat di mana dia akan menjalani hukuman
pertamanya. Di sebelah kirinya, ada seorang pelayan yang biasa mendampinginya.
Di sebelah kanan, ada Nanda yang menjadi pelayan baru di kediaman tersebut.
Ayu langsung duduk bersimpuh di
tengah lapangan. Tepat di tribun yang ada di hadapannya, Sri Sultan dan seluruh
keluarga keraton sudah berkumpul untuk menyaksikan penebusan dosa yang telah
dilakukan oleh Roro Ayu.
Nanda terus berdiri di belakang
Ayu. Sementara, pelayan yang satunya lagi sudah melangkah mundur.
“Mas, Ayo pergi!” pinta pelayan
itu berbisik di telinga Nanda. “Nanti kamu ketahuan kalau terlalu lama di dekat
Tuan Puteri!”
Nanda mengikuti pelayan yang
menariknya. Kedua matanya tetap mengawasi Ayu yang masih duduk bersimpuh di
sana sambil memberi hormat kepada seluruh keluarganya, juga pada semua keluarga
bangsawan yang diundang ke acara tersebut.
Nanda langsung diajak bergabung
dengan pelayan-pelayan yang ada di sana.
“Saya belum pernah melihatmu.
Pelayan baru?” tanya seorang pelayan sambil menatap wajah Nanda.
Nanda tersenyum dan
menganggukkan kepala.
“Nama kamu siapa?” tanya
pelayan lainnya.
“Nindi,” jawab Nanda sambil
tersenyum manis.
“Nindi? Nama yang cantik. Kamu
beruntung sekali bisa langsung mendampingi Tuan Puteri meski baru bekerja,”
sahut pelayan lainnya.
Nanda hanya tersenyum saja
mendengar pembicaraan semua pelayan yang ada di sana.
“Tidak semua pelayan diizinkan
melayani Tuan Puteri. Hanya pelayan-pelayan tertentu saja.”
“Oh ya?” sahut Nanda sambil
tersenyum bangga.
“He-em. Katanya, Tuan Puteri
itu anak yang baik. Sejak kecil, dia selalu berprestasi. Bahkan, saat
diasingkan dan tidak boleh masuk istana, Tuan Puteri menulis banyak buku,”
tutur pelayan lain.
“Tuan Puteri itu tidak benar-benar
diasingkan. Kalau diasingkan, mana mungkin dia bisa lanjut sekolah sampai ke
Inggris. Dia hanya tidak dibolehkan masuk ke Istana. Kata diasingkan itu hanya
untuk menutupi martabat keluarga ini dari keluarga bangsawan lain,” tutur
pelayan yang ada di sana.
“Iya. Benar, benar.”
Semua pelayan yang ada di sana
sibuk membicarakan kebaikan Roro Ayu dan terus memojokkan Nanda. Mereka semua
menganggap kalau pria yang telah menodai Roro Ayu adalah pria yang sangat kejam
karena membuat Roro Ayu harus menjalani hukuman leluhur yang sangat berat.
Karena sibuk bergosip dengan
para pelayan, Nanda sampai tak menyadari jika hakim pengadilan keraton tersebut
sudah mulai membacakan pasal-pasal aturan yang dilanggar oleh Ayu dan bersiap
melakukan eksekusi yang disaksikan oleh semua keluarga bangsawan di negeri
tersebut.
Satu orang algojo, sudah
berdiri tegak di belakang Ayu dengan cambuk besar di tangannya.
“Raden Roro Ayu Rizky
Prameswari ...! Apakah Ananda siap menjalani hukuman?” Suara Edi Baskoro
terdengar menggelegar.
“Siap, Romo!” sahut Ayu sambil
menangkup telapak tangan di depan wajah dan membungkuk hormat. Ia melirik ke
algojo yang ada di belakangnya dan bernapas lega saat tahu kalau tali pecut itu
terlihat lebih besar dari biasanya. Hal ini, bisa mengurangi rasa sakit di
tubuhnya. Ia tidak menyangka kalau keluarganya juga memikirkan untuk memberi
tali pecut yang lebih besar.
Edi Baskoro menghela napas. Ia
duduk kembali di kursinya dan memerintahkan algojo memulai hukuman untuk
puterinya.
TAR ...!!!
Ayu menahan napas saat pecut
itu menyambar punggungnya. Nanda yang memiliki ilmu beladiri, sudah
mengajarinya cara bertahan agar tubuhnya tidak mudah tumbang saat mendapatkan
hantaman. Menahan napas adalah bagian dari cara mempertahankan tubuhnya dari
rasa sakit.
Nanda ikut menahan napas ketika
di dalam dua manik matanya terlukis tubuh Ayu yang sedang dihukum begitu kejam
oleh pengadilan keluarga besarnya. Tangannya mengepal erat-erat sembari
menghitung jumlah cambukan yang menyambar tubuh Ayu.
“Tiga puluh ...”
“Empat puluh ...”
“Empat puluh delapan ...”
“Empat puluh sembilan ...”
Nanda langsung melangkahkan
kakinya, ia berlari menuju ke tengah area dan langsung menangkap tubuh Ayu yang
sudah terkulai lemas menahan rasa sakit di tubuhnya.
“Ay, bertahanlah! Kamu akan
baik-baik aja,” bisik Nanda sambil menitikan air mata.
Ayu tersenyum sambil menatap
wajah Nanda. “Terima kasih ...! Sudah mengajariku cara untuk bertahan,” ucapnya
lirih sambil berusaha menyentuh pipi Nanda perlahan.
Nanda tertegun saat telapak tangan
Ayu begitu susah payah mencapai pipinya. Ia berusaha mendekatkan pipinya ke
telapak tangan wanita itu, tapi tangan itu malah jatuh terkulai begitu saja ke
tanah.
“Tuan Puteri ...!”
Pelayan-pelayan yang lain ikut menghampiri tubuh Roro Ayu. “Bawa ke kamar! Dia
harus segera diobati,” seru mereka.
Nanda langsung mengangkat tubuh
Ayu, ia segera menggendong wanita itu dan berlari secepatnya menuju ke kamar
milik Ayu agar wanita itu bisa segera mendapatkan pengobatan.
Di atas tribun, Bunda Rindu
hanya bisa menyaksikan puterinya dihukum dengan berderai air mata. Ia
benar-benar tidak mengerti mengapa Ayu ingin masuk kembali ke keluarga itu dan
menjalani hukuman berat dari keluarganya. Ia sendiri, tidak bisa menyelamatkan
puterinya karena nama baik keluarga besarnya juga sedang dipertaruhkan.
“Nggak perlu menangisi Ayu!
Hukuman ini adalah pilihan dia sendiri,” tutur Edi sambil menggenggam tangan
Bunda Rindu.
Bunda Rindu mengusap air mata
dan berusaha bangkit dari tempat duduknya.
“Jangan pergi sebelum tamu-tamu
kita pulang!” perintah Edi Baskoro.
Bunda Rindu terdiam dan
mengurungkan niatnya untuk pergi melihat Ayu. Ia harap, semua pelayan di
keraton tersebut bisa mengurus puterinya dengan baik.
Di sudut lain, sepasang mata
milik seorang pria terus mengawasi jalannya acara tersebut. Ia adalah tamu
bangsawan yang diundang hadir bersama keluarganya dan tidak menyangka jika
puteri yang menjadi pembicaraan di seluruh negeri adalah wanita yang ia kenal.
Begitu sampai di kamar Ayu,
Nanda langsung mengunci rapat kamar tersebut. Ia tidak memperbolehkan siapa pun
masuk ke dalam kamar Ayu kecuali dokter yang sudah ia siapkan satu jam sebelum
prosesi hukuman itu terjadi.
“Dokter, gimana keadaan istri
saya?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa denyut jantung
Ayu.
“Dia akan baik-baik saja. Hanya
butuh istirahat karena harus menahan rasa sakit yang begitu banyak. Ini ...
saya berikan obat anti nyeri dan obat luar untuk lukanya,” jawab dokter itu.
Nanda mengangguk. “Terima
kasih, Dokter!”
Dokter itu mengangguk. “Saya
akan pasangkan infus untuk dia untuk menstabilkan keadaannya.”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum lega. “Dokter, di keraton ini tidak ada yang boleh menggunakan
ponsel. Bisakah dokter bantu saya?”
“Saya pasti akan membantu
semampu saya,” tutur Nanda. “Istrimu adalah sahabat baik Dokter Nadine dan
Dokter Sonny. Saya pasti akan menghormati pertemanan kalian.”
Nanda tersenyum lega. “Mmh ...
Ayu masih harus menjalani rangkaian hukuman lain. Dia masih harus berendam di
danau selama tujuh hari tujuh malam. Bisakah dokter bantu saya mencarikan obat
atau apa pun yang bisa menjaga tubuhnya tetap hangat dan bertahan di dalam
air?” tanya Nanda.
Dokter itu berpikir sejenak.
“Kemungkinan obat itu ada. Biasanya digunakan oleh tim penyelam agar tubuhnya
tetap bisa bertahan di suhu yang dingin selama berjam-jam. Tapi, obat itu susah
dicari dan harganya sangat mahal.”
“Soal harga, dokter tidak perlu
khawatir! Berapa pun itu akan saya bayar,” ucap Nanda sambil menatap wajah
dokter tersebut.
“Baiklah. Akan segera saya carikan
obatnya. Dua hari lagi, saya akan ke sini untuk mengecek keadaan istri Anda.”
Nanda mengangguk. “Dokter bisa
jaga rahasia kami ‘kan? Jangan sampai ada yang tahu kalau aku adalah suami Ayu.
Mereka semua hanya tahu kalau aku pelayan.”
Dokter itu mengangguk sambil
tertawa tanpa suara.
“Panggil saya Nindi, Dokter!
Jangan sampai keceplosan panggil Nanda!” pinta Nanda.
Dokter itu mengangguk sambil
tersenyum manis. “Baik, Mbak Nindi!”
Nanda tersenyum lebar dan
mengacungkan jempolnya. “Terima kasih, Dokter! Salam untuk Dokter Nadine dan
Dokter Sonny. Sampaikan rasa terima kasih saya kepada mereka.”
Dokter itu mengangguk. Ia
langsung berpamitan dan segera keluar dari dalam kamar Ayu setelah selesai
melakukan tindakan pengobatan.
Nanda langsung duduk di tepi ranjang
Ayu. Ia meraih tangan wanita itu dan menciumi punggung tangannya. “Ay, kamu
harus bertahan, ya! Aku tidak akan membiarkan kamu menjalaninya sendirian.
Maafkan aku yang dulu! Maafkan aku yang sudah membuatmu harus menderita seperti
ini!” ucapnya sambil menitikan air mata.
Tok ... tok ... tok ...!
Nanda mengusap air mata dan
menoleh ke arah pintu. Ia langsung menatap pelayan yang membuka pintu kamar Ayu
dan masuk ke dalam.
“Ada Raden Mas dari keraton
lain yang ingin mengunjungi Tuan Puteri,” ucap pelayan itu sambil menatap wajah
Nanda dan Ayu yang terbaring di ranjangnya.
“Raden Mas?” Nanda
mengernyitkan dahi. “Siapa?”
“Dari keraton Yogyakarta.
Katanya, ingin menjenguk Tuan Puteri,” jawab pelayan itu.
“Apa dia pangeran di keraton
itu?” tanya Nanda dengan suara wanita dan gaya centilnya yang dibuat-buat.
“Iya.”
Nanda terdiam sejenak. Ia
langsung mengintip ke luar pintu. “Apa aku masih punya saingan cinta lagi?
Gawat kalau sainganku pangeran keraton,” gumamnya dalam hati.
“Kita hanya pelayan. Tidak
boleh membatasi Tuan Puteri. Apalagi menyinggung pangeran dari keraton lain,”
tutur pelayan itu sambil menarik lengan Nanda dan mengajaknya duduk di lantai
yang ada di sisi ranjang Ayu saat seorang pria muda dan tampan dengan pakaian
mewah memasuki ruangan itu.
“Ayu, kenapa kamu jadi seperti
ini?” tanya pria itu sambil duduk di tepi ranjang Ayu dan mengusap lembut pipi
wanita itu.
Nanda mengernyitkan dahi melihat
sikap pria itu. Ia menahan rasa kesal di dalam dadanya sambil berusaha
memperhatikan wajah pria yang terlihat sangat familier itu. Ia sibuk mengumpat
di dalam hati saat melihat pria dari keraton lain tiba-tiba menghampiri Ayu dan
mendapatkan akses khusus untuk masuk ke dalam keraton tersebut. Ia yang
memiliki status sebagai suami Ayu saja, tidak pernah diizinkan masuk ke dalam
keraton ini hingga membuatnya harus menyamar. Ia harus memikirkan cara untuk
membuat pria-pria bangsawan lain tidak mendekati Ayu lagi.
“Minta pihak keraton untuk
menyiapkan tempat tinggal untuk saya. Saya akan menginap di sini sampai hukuman
Roro Ayu selesai,” perintah pria itu sambil menatap salah satu pengawalnya.
“Maaf, Raden Mas! Tuan Puteri
dilarang untuk bertemu dengan pria yang bukan mahrom dia selama masa hukuman.
Tolong, jangan menyulitkan puteri kami!” pinta pelayan yang ada di sana sambil
membungkuk hormat.
“Aku tahu aturan keraton. Kamu
tidak perlu mengajariku!” sahut pria itu. “Setidaknya, aku bisa melihat dia
baik-baik saja meski dari kejauhan.”
Pelayan itu langsung
menundukkan kepala tanda mengerti. Tidak ada satu pun yang berani bersuara
hingga pria itu keluar dari dalam kamar Ayu.
Nanda menghela napas lega saat
pria itu sudah keluar dari dalam kamar Ayu. “Bukankah Tuan Puteri tidak boleh
bertemu dengan pria? Kenapa dia diizinkan masuk ke kamar Tuan Puteri?”
“Peraturan itu tidak akan
berlaku untuk keluarga bangsawan. Mereka juga masih memiliki ikatan keluarga,”
jawab pelayan lain.
“Maksudnya? Mereka bersaudara?”
“Saudara, meski sangat jauh,”
jawab pelayan yang ditanya.
Nanda menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. Perasaannya semakin terganggu mendengar ucapan pelayan yang
bersamanya. “Saudara sepupu saja masih boleh menikah, gimana dengan hubungan
saudara yang lebih jauh?” gumamnya dalam hati.
((Bersambung...))
[Menikahi Lelaki Brengsek karya Vella Nine]