Nanda tersenyum sambil
mengendus dua mangkuk mie instan yang ia buat. Ia tersenyum lebar sambil
menggosok kedua telapak tangannya. Hawa di kota ini terlalu dingin untuk dia
yang terbiasa tinggal di negara tropis.
“Nan, kamu buat dua porsi?”
tanya Ayu sambil melangkah menghampiri Nanda.
Nanda langsung menoleh ke arah
Ayu yang baru saja keluar dari kamarnya sembari mengikat rambutnya asal-asalan.
Wanita itu tak lagi mengenakan kacamata dan terlihat sangat cantik.
“Kamu bilang, cuma mau masakin
aku doang. Terus pergi, kan? Pergi sana!” pinta Ayu sambil menarik mangkuk yang
jaraknya berjauhan dan menjadikannya berhimpitan. Ia duduk di kursi sambil
memeluk dua mangkuk mie yang dibuat oleh Nanda.
“Ay, aku juga laper. Aku
seharian nyari kamu dan belum makan apa-apa. Kamu nggak kasihan sama aku?”
tutur Nanda sambil memasang wajah memelas.
“Nggak percaya! Kamu masih kuat
masakin aku, nggak mungkin nggak makan seharian,” sahut Ayu.
“Serius, Ay. Aku belum makan.
Suer!” tutur Nanda lagi sambil mengacungkan dua jarinya.
“Kamu banyak duit. Beli makan
di luar sana!” sahut Ayu ketus.
“Jam segini masih ada yang
jualan?” tanya Nanda.
“Banyak restoran dua puluh
empat jam,” sahut Ayu.
“Aku nggak punya uang Pound
Sterling. Nggak bisa jajan di sini, Ay. Boleh pinjam uang kamu?” tanya Nanda
sambil memainkan matanya.
Ayu memutar bola matanya.
“Sejak kapan kamu jadi kayak gini?”
“Sejak kamu pergi ninggalin aku
tanpa pesan,” jawab Nanda.
Ayu menatap kesal ke arah
Nanda. “Pergi dari sini!” pintanya sambil bangkit dari kursi dan mendorong
tubuh Nanda agar pergi dari sana.
“Ayu, apa nggak ada kesempatan
lagi buat aku?” tanya Nanda. Ia berusaha keras agar tidak keluar dari flat
milik Ayu meski hanya sejengkal saja.
“Nggak ada!” tegas Ayu sambil mendorong
tubuh Nanda dengan susah payah.
“Ay, jangan usir aku! Aku bisa
jadi gelandangan di kota ini. Aku nggak punya uang. Pinjamkan aku uang!” pinta
Nanda berdalih. Ia ingin mengatakan semua kalimat yang ada di dunia ini selama
Ayu masih mau mendengarkannya dan membuatnya tetap tinggal di sisi wanita itu.
“Oke. Aku kasih kamu uang. Tapi
setelahnya, kamu pergi dari sini!” pinta Ayu. Ia bergegas masuk ke kamar.
Nanda bergegas mengikuti
langkah Ayu ke dalam kamar.
“Kamu!? Ngapain ikut masuk ke
dalam sini? Kamu ini mesumnya nggak hilang-hilang, ya!?” seru Ayu sambil
menatap kesal ke arah Nanda.
“Keluar dari sini! KEL—” Ucapan
Ayu terhenti saat telapak tangan Nanda tiba-tiba membungkam mulutnya.
“Jangan teriak-teriak, Ay! Ini
sudah tengah malam dan ganggu tetangga. Flat di sini cuma dibatasi dinding
‘kan?” pinta Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.
“Kamu ...!?” dengus Ayu dalam
hati sambil berusaha melepaskan tangan Nanda dari wajahnya. Ia berusaha
memberontak agar Nanda segera melepaskannya. Namun, kekuatan yang ia miliki tak
sebanding dengan kekuatan yang dimiliki pria itu.
Nanda terus menekan tangannya
agar Ayu tidak berteriak di tengah malam seperti ini hingga membuat kedua kaki
Ayu terbentur oleh ranjang tidurnya dan membuat wanita itu terjatuh ke atas
kasur. Tubuh Nanda pun ikut jatuh tepat di atas tubuh wanita itu.
Ayu menahan napas ketika wajah
Nanda berada tepat di atasnya. Mata pria itu seolah mengunci tubuhnya hingga ia
tidak bisa bergerak dan kesulitan untuk bernapas.
Jemari tangan Ayu mencengkeram
selimut yang ada di bawahnya dan napasnya begitu memburu.
Nanda tersenyum dalam hati
sambil melirik tangan Ayu yang mencengkeram selimutnya. Tanpa pikir panjang, ia
langsung membenamkan bibirnya di bibir wanita itu.
Ayu melebarkan kelopak mata
saat Nanda tiba-tiba menciumnya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh Nanda
agar menyingkir dari tubuhnya. Tapi pria itu malah mengecupnya semakin dalam
hingga membuat aliran darahnya berjalan tak karuan. Otaknya tiba-tiba kacau dan
ia malah menikmati bibir Nanda yang begitu hangat mengulumnya.
“Ergh!” Ayu langsung mendorong
dada Nanda dengan kedua telapak tangannya dan membuang pandangannya ke samping.
Dadanya terlihat tegas bergerak naik turun seiring dengan perasaannya yang tak
karuan ketika Nanda menyentuhnya.
“You still love me?” bisik
Nanda sambil menatap wajah Ayu. Ia mengusap lembut rambut wanita itu dengan
siku bertumpu pada kasur yang ada di sebelah pundak Ayu.
Ayu bergeming. Kelopak matanya
memanas dan semua rasa sakit tiga tahun lalu, membayangi pelupuk matanya.
“I’m sorry ...! Maafin aku yang
dulu! Bisakah kamu kasih aku kesempatan sekali lagi?” bisik Nanda sambil
menatap wajah Ayu yang ada di bawahnya.
Ayu masih bergeming dan enggan
menatap wajah Nanda yang ada di atasnya. Tapi ia bisa merasakan embusan napas
Nanda yang jatuh tepat di telinganya.
“Ay ... meski pengadilan telah
menyetujui pembatalan pernikahan kita. Aku tetap menganggapmu sebagai istriku.
Bisakah kita berbaikan dan kembali seperti dulu?” tanya Nanda lagi.
Ayu memejamkan matanya sambil
berpikir. Sudah begitu lama dan begitu jauh ia pergi meninggalkan Nanda.
Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba ada di hadapannya dan mengatakan kalau ia
masih istrinya? Tak cukupkah pria ini menghancurkan seluruh hidupnya tiga tahun
lalu?
“Ay, give me one word! Aku
masih ingin memperjuangkan pernikahan kita,” ucap Nanda sambil bangkit dari
tubuh Ayu.
Ayu menghela napas lega saat
Nanda sudah beranjak dari tubuhnya.
Nanda tersenyum kecil sambil
mengeluarkan buku kecil dari saku celananya. “Ini buku pernikahan kita. Meski
milikmu sudah diambil pengadilan, tapi buku yang ini masih ada di tanganku. Aku
nggak pernah melepaskan buku ini, Ay,” ucapnya sambil menunjukkan buku
nikahnya.
Ayu langsung menatap buku nikah
yang dipegang oleh Nanda. Begitu kuatnya pria brengsek ini mengikat hatinya hingga ia tidak
sanggup melepaskan diri dan berlari selamanya.
Nanda menatap Ayu dengan mata
berkaca-kaca. “Ay, pernikahan kita dibatalkan oleh keluargamu saat kamu dalam
keadaan koma. Kamu dibawa berobat ke luar negeri tanpa sepengetahuanku. Saat
hal itu terjadi, aku sedang melaksanakan upacara pemakaman anak kita. Aku
berhari-hari berlutut di depan keluargamu, memohon agar mereka memaafkan aku
dan memberi aku kesempatan menjaga dan merawatmu. Tapi mereka malah masukin aku
ke penjara dan mengambil alih saham keluargaku,” ucapnya sambil menitikan air
mata.
Ayu terdiam mendengar ucapan
Nanda. Ia langsung bangkit dari kasur dan duduk menatap wajah Nanda.
Perasaannya semakin tak karuan saat melihat air mata pria itu. Ia tidak ingin
percaya pada ucapan Nanda. Tapi mata pria itu seolah menyiratkan sebuah
kebenaran yang selama ini tidak ia ketahui.
“Di sini yang kejam itu aku
atau kamu, Ay? Aku tahu semuanya salahku. Aku mengakui semua itu dan aku
berusaha bertanggung jawab. Aku berusaha menebus semua kesalahanku. Tapi kamu
dan keluargamu ... begitu kejam dan sama sekali tidak peduli bagaimana
penderitaanku selama tiga tahun ini,” tutur Nanda sambil menatap Ayu penuh
luka.
Ayu tertegun sambil menatap
wajah Nanda. Ia tidak tahu bagaimana penderitaan Nanda saat ini. Nanda juga
tidak tahu bagaimana penderitaan yang ia alami saat ini. Mereka berdua
sama-sama menderita karena keegoisan masing-masing. Karena keegoisan keluarga
Ayu. Karena martabatnya yang begitu tinggi sebagai keturunan keraton
kesultanan. Karena ia tidak bisa berbesar hati memaafkan kesalahan Nanda.
Andai ia bisa seperti
wanita-wanita lain, mungkin ia tidak akan membuat lebih banyak orang menderita
karenanya. Ia tidak akan membuat keluarganya dan keluarga Nanda ikut menjadi
korban ketidakberdayaannya.
“Hiks ... hiks ... hiks ...!”
Ayu menutup wajah dengan
telapak tangannya seiring dengan tangisnya yang pecah seketika. Ia benar-benar
menyesal. Mengapa ia tidak bisa menanggung rasa sakit dan penderitaannya
seorang diri? Andai ia bisa, tentu hanya dia yang akan menderita, tidak ada
orang lain lagi.
Nanda langsung merengkuh kepala
Ayu ke dalam pelukannya. “Ay, kita sama-sama menderita. Bisakah kita saling
memaafkan dan membuka pintu baru untuk masa depan kita? Apa pun syaratnya, akan
aku penuhi asal kamu bisa memaafkan dan kembali ke sisiku lagi,” pintanya
lirih.
Ayu tak bisa berkata-kata. Ia
benar-benar tidak mengetahui kalau ayahnya begitu kejam. Bahkan tidak
memberitahukan perihal ia yang dibawa ke luar negeri bertepatan dengan
pemakaman puteri mereka. Ayu terlalu mempercayai ayahnya hingga ia memilih
untuk pergi jauh dari sisi pria yang ternyata sedang memperjuangkannya hingga
saat ini.
Nanda menangkup wajah Ayu dan
menatap lekat mata itu. “Jangan sedih lagi, ya! Kamu laper ‘kan? Makan dulu
mie-nya. Kalau udah dingin, nggak enak,” pintanya sembari mengusap air mata
yang membasahi pipi Ayu.
Ayu mengangguk kecil. Ia
melangkah menuju meja makan yang ada di dapurnya dan mulai menikmati semangkuk
mie buatan Nanda tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Saat ini, ia tidak tahu
bagaimana perasaannya sendiri. Ia tidak bisa menerima kehadiran Nanda yang
begitu tiba-tiba, tapi juga tak bisa menolaknya.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita dan selalu menghargai karya-karya author ...!
Semoga, tulisan-tulisanku bisa
bermanfaat dan bisa memberikan pelajaran hidup yang berarti.
Tidak ada manusia yang tidak
pernah menyesal dalam hidupnya. Yang harus kita perhatikan bukanlah penyesalannya,
tapi apa yang akan kita lakukan setelah kata penyesalan itu.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi