Wednesday, August 17, 2022

Bab 37 - Hukuman untuk Nanda

 



Nanda melangkahkan kakinya perlahan memasuki kediaman depan keraton. Ia baru bisa memasuki keraton setelah mempelajari rentetan syarat dan aturan yang harus ia terapkan ketika ingin memasuki tempat tersebut. Ia hanya boleh memasuki area yang sudah ditunjukkan oleh abdi dalem di istana tersebut dan diawasi oleh dua pengawal di kanan dan kirinya.

“Selamat sore, Raden Mas ...! Saudara Ananda Putera Perkasa ingin menghadap,” sapa seorang abdi dalem sambil menangkup kedua tangannya dan membungkuk sopan.

Edi langsung mengangguk kecil dan menatap tubuh Nanda yang sudah membungkuk sopan di belakang abdi dalem keraton tersebut. Ia memberi isyarat pada semua orang-orangnya untuk meninggalkan ia dan Nanda berdua saja.

“Ada perlu apa cari saya?” tanya Edi sambil duduk santai di pendopo yang ada di sana. Ia masih membiarkan Nanda berdiri di bawah teriknya matahari sore.

Nanda menarik napas dalam-dalam dan menatap wajah Edi Baskoro. “Ayah ... tolong maafkan aku! Di mana aku bisa menemukan istriku?”

Edi langsung melemparkan dokumen ke hadapan Nanda begitu saja.

Nanda menatap kop dokumen yang menunjukkan logo dan tulisan nama pengadilan agama setempat. Tangannya bergetar ketika ia ingin meraih dokumen yang tergeletak di lantai di bawahnya.

“Itu surat pembatalan pernikahan dari pengadilan agama. Dia bukan istrimu lagi. Tidak perlu tahu di mana keberadaan Roro Ayu!” tegas Edi sambil menyesap teh hangat yang disiapkan untuknya.

Nanda menjatuhkan lututnya yang melemas. Surat pembatalan pernikahan begitu cepat keluar dari pengadilan. Ia tidak menyangka jika ayah mertuanya tetap bersikeras memisahkan mereka.

“Kamu tidak perlu takut soal harta keluargamu. Sebelum Roro Ayu masuk rumah sakit, dia sudah mengirim surat permohonan untuk meringankan tuntutan terhadapmu. Berterima kasihlah karena puteriku masih mengasihanimu. Sekarang, kamu bukan suaminya lagi dan tidak perlu mencari keberadaan dia,” tutur Edi sambil melirik tubuh Nanda.

Nanda menarik napas dalam-dalam. Ia mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi ayah mertuanya itu. “Ayah ... Roro Ayu masih koma. Aku ingin menjaga dia.”

“Tidak perlu! Kami bisa menjaga dan merawat dia!” tegas Edi.

“Tapi ...”

“Pulanglah! Meski kamu berlutut di halaman ini selama tujuh hari tujuh malam, aku tidak akan memberitahukan di mana keberadaan puteriku. Urus saja perempuan-perempuan gilamu itu dan tidak perlu muncul di hadapan puteriku lagi!” perintah Edi.

“Ayah ... kasih aku kesempatan sekali lagi! Aku mohon ...!” pinta Nanda.

“Kamu minta setengah kesempatan saja, aku tidak akan memberikannya. Apalagi sekali. Tidak ada orang lain yang bisa mencintai puteriku melebihi aku. Aku tidak akan percaya kata-katamu. Sekali kamu menyakiti puteriku, aku akan menghancurkanmu berkali-kali. Kalau kamu tidak segera pergi dari keluarga kami, aku akan mengajukan tuntutan yang lebih berat pada keluargamu!” sahut Edi.

“Aku akan berikan apa pun yang Anda mau asalkan aku bisa bertemu dengan Ayu,” ucap Nanda sambil menatap wajah Edi.

Edi tersenyum miring. “Kalau kamu mencintai puteriku, kamu akan menemukan dia dengan caramu sendiri.”

Nanda terdiam sambil berusaha mencerna kalimat terakhir dari mulut Edi.

Suasana tiba-tiba hening untuk beberapa saat hingga Edi bangkit dari duduknya. “Pergilah! Seluruh hidup dan harta keluargamu, tidak akan cukup untuk menggantikan penderitaan puteriku. Kalau bukan karena kebaikan Roro Ayu, aku sudah membunuhmu!” tegasnya sambil melangkah pergi meninggalkan Nanda seorang diri.

Nanda terduduk lemas di pelataran pendopo keraton tersebut. Ia sudah menunggu selama dua hari untuk bertemu dengan Ayah Edi dan ia masih tidak bisa mendapatkan informasi keberadaan Roro Ayu.

Nanda berusaha bangkit dari tanah dan melangkah perlahan meninggalkan keraton tersebut. Ia benar-benar tidak tahu lagi harus ke mana ia pergi mencari Roro Ayu. Ia benar-benar tidak menyangka jika keluarga keraton itu menyembunyikan istrinya yang sedang dalam keadaan koma. Lebih sulitnya lagi, aturan sakral keraton kesultanan, membuatnya tidak berdaya.

Nanda masuk ke dalam mobil. Tapi enggan menyalakan mesin mobil tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya sembari terus berpikir. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan data ke mana jet pribadi yang membawa tubuh istrinya itu. Jika keluarganya tidak membuka akses untuknya, maka ia harus mencari jalan sendiri.

“Jet pribadi dikuasai sama keluarga Hadikusuma. Aku harus ke sana!” ucap Nanda setelah ia berpikir selama beberapa saat. Ia segera menyalakan mesin mobil dan bermanuver dengan cepat untuk kembali ke kota Surabaya.

Beberapa jam kemudian, Nanda sudah sampai di kota Surabaya. Ia langsung menuju kediaman besar keluarga Hadikusuma yang ada di wilayah Virginia.

“Nan, tumben ke sini?” tanya Rocky yang kebetulan sedang melangkah keluar dari rumahnya.

“Orang tuamu ada?” tanya Nanda.

“Baru aja berangkat ke Washington,” jawab Rocky. “Ada perlu?”

“Aku mau tanya soal ... jet pribadi keluargamu. Apa ada yang sewa dua hari terakhir ini?” tanya Nanda.

“Setiap hari ada yang sewa. Kecuali jet yang dipakai Ayah Ye. Ada masalah?” tanya Rocky.

Nanda langsung menceritakan kesulitannya dan meminta bantuan pada Rocky untuk menemukan di mana keberadaan Roro Ayu.

“Bentar, aku tanya orang yang urus di airport,” ucap Rocky sambil membuka ponselnya. “Aku kirim dalam lima menit. Aku buru-buru, ada masalah di bengkel,” ucapnya sambil membuka pintu mobilnya.

Nanda mengangguk. “Thank’s, Ky!”

Rocky mengangguk. “Kalau perlu bantuan, calling aja! Aku urus bengkel aku dulu!”

Nanda mengangguk. Ia melambaikan tangan ke arah mobil Rocky yang mulai meninggalkan halaman rumah tersebut.

Nanda tersenyum lega saat Rocky mengirimkan file ke ponselnya. “Britania Raya?” Ia buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan bergegas pergi ke rumah untuk menyiapkan semua keperluannya.

Drrt ... drrt ... drrt ...!

Nanda mengernyitkan dahi saat ada panggilan telepon dari papanya. Ia tahu, sang papa hanya akan meneleponnya jika ada masalah penting saja. Nanda segera mengunci pintu rumah, menarik koper miliknya menuju mobil sembari menjawab panggilan telepon dari papanya.

“Ada apa, Pa?”

“Kamu di mana?” tanya Andre.

“Di rumah.”

“Roro Ayu sudah ketemu?”

“Dibawa ke Inggris. Aku mau nyusul ke sana.”

“Tahu rumah sakitnya?” tanya Andre.

“Belum, Pa. Aku akan cari setelah sampai di sana,” jawab Nanda sambil memasukkan koper ke dalam bagasi mobilnya.

“Sepertinya kamu nggak bisa keluar dari Indonesia.”

“Kenapa?” tanya Nanda.

“Ada surat panggilan dari kepolisian. Ini panggilan kedua, Nan. Datanglah! Jangan menyulitkan papa lagi!” pinta Andre.

“Panggilan apa?”

“Roro Ayu masih belum menarik tuntutannya.”

“Pa, ada pengacara ‘kan? Kenapa mereka nggak bisa atasi?” sahut Nanda. Ia benar-benar kesal dengan dirinya sendiri karena masalah bertubi-tubi menimpanya dan tidak bisa ia hentikan.

“Sudah, Nan. Jalani dulu tanggung jawabmu! Roro Ayu dibawa ke luar negeri untuk berobat. Kalau hari ini kamu tidak kooperatif dan datang ke kantor polisi, kamu akan dijemput paksa dengan cara tidak terhormat,” tutur Andre.

“Pa, Papa tega biarin aku masuk penjara di saat kayak gini?” tanya Nanda dengan perasaan tak karuan.

“Bertanggungjawablah! Semua media sudah mengangkat beritamu, Nan. Saham perusahaan kita sedang dalam bahaya. Jalani hukumanmu! Belajarlah bertanggung jawab. Maafkan Papa karena tidak bisa melindungimu.”

Tubuh Nanda merosot ke lantai begitu saja. Ia benar-benar tidak menyangka kalau hidupnya akan seberantakan ini. Dalam diamnya, Roro Ayu telah mengumpulkan banyak bukti untuk menuntutnya dengan pasal berlapis. Pasal pelecehan seksual, pernikahan paksa dan perselingkuhan. Membuatnya harus menghadapi tuntutan pidana dan perdata, harus berhadapan dengan komnas perlindungan anak dan perempuan. Juga masih harus menjalani tuntutan hukum adat dari keluarga keraton.

Bermasalah dengan keluarga bangsawan, benar-benar menghancurkan hidupnya dan membuatnya harus mendekam di penjara. Tidak ada yang bisa mencabut tuntutan itu selain Roro Ayu sendiri, sayangnya wanita itu sedang dalam keadaan koma dan Nanda tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memohon. Dia ... harus menebus kesalahan yang ia lakukan pada Ayu.

 

 

((Bersambung...))

 

 

[Semua perbuatan, harus dipertanggungjawabkan. Itulah yang harus dilakukan Nanda saat ini. Menebus semua kesalahannya pada Roro Ayu. Wanita yang sudah ia lukai mental dan masa depannya]

Baca terus kisah seru selanjutnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 36 - Dipisahkan

 

 


Nanda tertunduk lesu sambil memeluk pusara bertuliskan  Axel Noah Perdanakusuma, sang putera yang tidak sempat ia dengar tangis dan tawanya ketika terlahir ke dunia.

“Nan, kita pulang! Udah sore,” bisik Nia di telinga Nanda yang masih enggan pergi dari sana.

“Aku masih mau temenin dia, Ma. Dia masih kecil,” ucap Nanda.

“Nan, anakmu sudah nggak ada. Sadarlah! Hidupmu masih harus berjalan. Ada Roro Ayu yang membutuhkanmu. Jangan sampai kamu menyesal lagi,” bisik Nia.

Nanda terdiam. Ia langsung menoleh ke arah Nia begitu ia mendengar nama Roro Ayu disebut oleh wanita itu. Ia langsung bangkit dari tanah. “Roro Ayu?” Ia bergegas melangkah pergi dari tempat tersebut dan memacukan mobilnya menuju ke rumah sakit, tempat istrinya itu mendapatkan perawatan.

Beberapa menit kemudian, Nanda sudah sampai ke rumah sakit. Ia langsung menuju ke ruang VVIP, tempat Roro Ayu mendapatkan perawatan.

Nanda mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang kosong. Ranjang tidur yang tadinya terisi oleh tubuh Roro yang dilengkapi peralatan medis, kini sudah terlihat rapi. Bahkan, tak ada barang satu pun yang tertinggal di sana.

“Ayu, kamu di mana?” gumam Nanda. Ia langsung berlari keluar ruangan dan menghampiri petugas yang berjaga.

“Suster, istri saya di mana?” tanya Nanda sambil menghampiri perawat yang ada di sana.

“Istri Anda atas nama siapa?” Perawat itu balas bertanya.

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari,” jawab Nanda lengkap.

“Oh. Puteri keraton itu, ya? Sudah dipindahkan, Mas.”

“Dipindahkan? Dipindahkan ke mana?” tanya Nanda.

“Saya kurang tahu, Mas. Katanya mau dipindahkan ke rumah sakit lain. Kalau mau lebih jelasnya, bisa tanyakan ke bagian administrasi saja,” jawab perawat tersebut.

“Makasih, Sus!” ucap  Nanda. Ia segera berlari menuju ke bagian administrasi yang tidak jauh dari lobi.

“Suster!” panggil Nanda sambil menghampiri petugas yang sedang berjaga.

“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau tahu ke mana istri saya dipindahkan dan siapa yang memindahkan dia!” pinta Nanda.

“Atas nama siapa?”

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”

“Keluarganya yang memindahkan dia, Mas.”

“Oh ya? Dipindahkan ke mana?” tanya Nanda.

“Ke salah satu rumah sakit yang ada di luar negeri,” jawab perawat itu.

“Rumah sakit apa, Suster?”

“Maaf, Mas. Kami nggak tahu kalau soal itu,” jawab suster tersebut.

Nanda terdiam selama beberapa saat. Beberapa jam lalu, ayah mertuanya masih mengikuti acara pemakaman puteranya. Jika mereka membawa Roro Ayu pergi, tentunya belum pergi jauh. Hanya saja, waktu untuk mencapai bandara hanya tiga puluh menit saja. Artinya, Roro Ayu bisa saja sudah berada di perjalanan yang entah ke mana.

Nanda segera berlari keluar dari rumah sakit sambil meletakkan ponsel di telinganya. Ia berusaha menghubungi nomor Bunda Rindu dan Ayah Edi, tapi nomor keduanya tidak bisa dihubungi.

Dengan cepar, Nanda masuk ke dalam mobil dan menekan nomor ponsel mamanya.

“Ma, angkat dong!” pintanya lirih setelah beberapa kali men-dial nomor ponsel mamanya, tapi tak mendapatkan jawaban.

Nanda menghela napas sejenak sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia menatap nomor ponsel papanya. Ia sudah mengecewakan papanya berkali-kali. Kali ini, apa yang dia lakukan tidak akan pernah bisa termaafkan. Tidak tahu bagaimana cara mengatakan pada papanya tentang hal ini. Mungkinkah papanya masih sudi membantunya saat ia sudah membuat kondisi keluarganya berantakan?

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menekan panggilan ke nomor papanya. Ia harap, papanya bisa membantunya menemukan Roro Ayu.

“Halo ...!” sapa Andre dari seberang sana.

“Pa, Nanda boleh minta bantuan?” tanya Nanda pelan. Meski masa remajanya sangat nakal, pembuat onar, suka tawuran dan beberapa kali ditahan polisi karena terlibat balapan liar, ia tidak pernah sekalipun meminta bantuan dari papanya. Ia lebih sering menanggungnya seorang diri dan tetap terlihat santai menjalaninya. Ia harap, sang papa mau memberikan bantuan untuknya.

“Apa?”

Satu kata yang keluar dari bibir Andre, membuat Nanda bisa bernapas lega. Artinya, papanya bersedia membantunya meski suaranya terdengar sangat dingin.

“Roro Ayu dibawa pergi ke luar negeri. Ayah Edi dan Bunda Rindu juga tidak bisa dihubungi,” ucap Nanda dengan bibir gemetar.

“APA!? Sekarang, kamu di mana?” Suara Andre terdengar sangat terkejut.

“Masih di parkiran rumah sakit, Pa.”

“Kamu pergi ke bandara! Papa akan minta bantuan temen papa untuk mendapatkan data penumpang penerbangan hari ini,” perintah Andre.

“He-em.” Nanda mengangguk. “Makasih, Pa!”

“Ya.” Andre segera mematikan panggilan telepon dari Nanda.

Nanda menghela napas lega. Ia segera menjalankan mobilnya perlahan menuju bandara yang letaknya tak jauh dari rumah sakit tersebut. Ia langsung berlari melangkahkan kakinya perlahan memasuki bandara tersebut.

TING!

Nanda langsung membuka pesan yang masuk dari papanya.

[Daftar penumpang penerbangan Internasional]

[Nan, Roro Ayu pergi bersama tim dokter. Kedua orang tuanya tidak ada dalam daftar penerbangan mana pun. Mereka sewa jet pribadi. Lokasi tujuannya, papa tidak mendapatkan informasi. Datangi mertuamu dan memohonlah! ]

Nanda terdiam selama beberapa saat ketika membaca pesan dari papanya. Ia berusaha menelan salivanya yang tercekat. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh papa mertuanya hingga membawa Roro Ayu pergi jauh dengan cara seperti ini.

“Aku harus temukan Ayu!” ucap Nanda sambil melangkahkan kakinya keluar dari bandara tersebut. Ia segera mengendari mobilnya menuju rumah mertuanya.

Beberapa menit kemudian, Nanda sudah sampai di kediaman Edi Baskoro. Ia langsung menekan bel karena pagar rumah tersebut tertutup rapat, tak seperti biasanya.

“Mas Nanda?” Seorang pria yang bekerja di rumah tersebut, langsung membukakan pintu untuk Nanda. “Nyari siapa?”

“Bunda dan ayah ada di rumah?” tanya Nanda.

“Nggak ada, Mas. Lagi ke Solo.”

“Solo?”

“Iya. Lagi ke keraton, Mas. Katanya ada urusan.”

“Keraton yang ...?”

“Keraton Surakarta cuma satu, Mas,” sahut pria paruh baya itu sambil tersenyum lebar.

Nanda segera berbalik dan masuk kembali ke dalam mobilnya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh mertuanya itu. Menjauhkan Ayu darinya?

Nanda terus melajukan mobilnya menuju ke kota Solo sambil menekan nomor ponsel Sonny. Beberapa kali menelepon, ia masih belum mendapatkan jawaban. “Aargh ...! Shit! Anak ini pasti tahu ke mana perginya Ayu,” ucapnya kesal.

Empat jam kemudian, Nanda sudah memarkirkan mobilnya di pelataran keraton kesultanan Surakarta. Ia menatap bangunan keraton yang sering ia lihat, tapi ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke sana meski menjadi bagian dari keluarga besan keraton tersebut.

Nanda langsung melangkah menuju pintu keraton dan disambut oleh empat orang penjaga yang berdiri di sana.

“Orang luar dilarang masuk keraton!” tegas penjaga pintu itu sambil menyilangkan pedang di tangannya, menghalau tubuh Nanda.

Nanda melebarkan kelopak matanya menatap dua pedang yang menyilang tepat di hadapannya. “Ini asli?” gumamnya sambil memperhatikan mata pedang yang berkilauan. Ia langsung memundurkan langkahnya menjauhi pedang tersebut.

“Kalian kenal sama Raden Roro Ayu Rizky Prameswari?” tanya Nanda sambil menatap empat penjaga pintu yang ada di sana.

Empat penjaga pintu itu saling pandang.

“Sampeyan siapanya Ndoro Puteri?” tanya salah satu penjaga yang ada di sana.

“Aku ... eh, saya suaminya,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar.

Empat penjaga itu kembali saling pandang.

“Tunggu di sini!”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum lega sambil menegakkan tubuhnya. Menunggu dengan cemas dan berharap ia mendapatkan akses ke dalam keraton tersebut.

Beberapa menit kemudian, seorang abdi dalem datang bersama penjaga pintu yang tadi.

“Selamat malam, Mas! Mohon maaf, keraton inti tidak menerima tamu saat malam hari. Silakan berkunjung lagi besok pagi!”

“Tapi ... saya suaminya Roro Ayu,” ucap Nanda.

“Ndoro Puteri sedang menjalani hukuman dan dilarang menginjakkan kaki ke keraton, termasuk suaminya. Setelah menjalani upacara kesucen, barulah Ndoro Puteri bisa masuk kembali ke keraton.”

“Apakah Pak Edi Baskoro ada di dalam?” tanya Nanda.

“Ada, Mas. Raden Mas ada di kediamannya.”

“Gimana caranya saya bisa ketemu beliau? Beliau tidak bisa saya telepon.”

“Raden Mas sedang melakukan rapat tertutup dengan keluarga. Tidak bisa menggunakan handphone. Sampeyan bisa kembali lagi besok pagi, saya akan sampaikan ke beliau agar menemui Mas ... siapa namanya?”

“Ananda Putera.”

“Oh. Iya. Besok pagi datang lagi ke sini!”

“Besok pagi ... apa sudah pasti bisa ketemu dengan Ayah Edi?”

“Saya belum tahu, Mas. Akan saya tanyakan ke beliau.”

Pikiran Nanda semakin tidak karuan karena ia tidak mendapatkan akses masuk ke dalam keraton tersebut. Apakah ia harus melompat pagar atau memanjat atap keraton ini supaya dia bisa bertemu dengan Ayah Edi? Melihat empat penjaga di pintu utama saja, ia tidak bisa mengatasinya. Kalau dia memaksa diri menerobos masuk di sana, mungkin saja kepalanya akan terpisah dari tubuhnya hanya dalam hitungan detik.

“Oh, God! Help me! Aku ingin menebus kesalahanku. Tidak adakah kesempatan untukku ... sekali lagi?” batin Nanda dengan perasaan tak karuan.

 

((Bersambung...))

 

Mohon maaf kalau lambat update karena sekeluarga sedang sakit dan papaku harus diisolasi (positif covid-19). Mohon doanya semoga author dan keluarga cepet sehat, bisa berkarya lagi dengan tenang dan bahagia.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 35 - Pukulan Terbesar

 



Nanda mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, dokter terpaksa harus mengambil tindakan operasi untuk menyelamatkan ibu dan bayinya.

Di kursi tunggu yang ada di sebelahnya, kedua orang tua dan mertuanya juga ikut menunggu dengan cemas.

“Nan, kenapa kamu tidak pernah memperlakukan Ayu dengan baik? Padahal, dia sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu. Kenapa kamu nyakitin Ayu terus sampai kayak gini? Berapa kali kamu hutang nyawa ke dia? Nggak punya hati!” ucap Sonny sambil menunjuk dada Nanda.

“Aku tahu aku salah, Son. Semua orang sudah menghakimi aku. Tuhan juga sedang menghakimiku. Cukup, Son!” pinta Nanda lirih sambil menatap pilu ke arah Sonny.

Sonny menatap manik mata Nanda. Bayangan persahabatan mereka selama dua puluh lima tahun, terlintas di pelupuk mata dan membuat perasaannya sangat terluka. Satu-satunya teman yang tumbuh bersamanya sejak kecil, menjalani banyak hal bersama seperti saudara kandung, malah merenggut semua hal yang sangat ia cintai. Perasaannya berkecamuk. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Ia ingin marah, tapi juga tidak tahan melihat sahabatnya sendiri terluka. Ia benar-benar tidak menyangka jika hari ini akan dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit.

Andai Nanda bisa membahagiakan wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya, mungkin ia lebih mudah menerima kenyataan kalau Roro Ayu bukanlah miliknya lagi. Tapi melihat sahabatnya itu memperlakukan Roro Ayu begitu buruk, membuatnya tidak tahan dan tidak rela melepaskan wanita yang paling ia cintai untuk sahabatnya itu.

“Roro Ayu sedang berjuang di dalam sana. Bisakah kalian berdamai dan mendoakan keselamatan dia? Kalau ada waktu untuk berdebat, tentunya kalian punya waktu untuk mendoakan dia,”  tutur Andre sambil menarik lengan Sonny perlahan dan membawa pria muda itu duduk bersamanya.

Sonny terdiam. Ia terus mengawasi Nanda dari sudut matanya. Ia benar-benar tidak bisa bersikap bijak dalam keadaan seperti ini.

“Dokter, gimana keadaan puteri dan cucu saya?” Edi langsung menghampiri pintu ruang operasi yang baru saja terbuka.

“Gimana keadaan istri dan anak saya, Dokter?” Nanda tak mau kalah menghampiri dokter yang ada di sana.

Edi menyeringai kesal ke arah Nanda yang berdiri di sampingnya.

Dokter yang ada di sana, menghela napas sambil melepas masker yang ia kenakan. “Kami sudah berusaha keras. Tuhan belum mengizinkan dia melihat dunia,” ucapnya lirih.

DEG!

Ucapan dokter itu bagaikan petir ribuan voltase yang sedang menghujam jantung Nanda. Membuatnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Membuat pikirannya tiba-tiba kosong hingga telinganya tak mampu mendengar teriakan histeris dari keluarga besarnya.

“Cucu kami nggak bisa diselamatkan, Dok?” tanya Nia sambil menitikan air mata. Ia langsung terisak di pelukan Andre. Mereka tidak menyangka jika impiannya melihat cucu pertama mereka, sirna begitu saja.

Dokter itu menggeleng. “Dia tidak bisa bertahan dan ...” Ia mengedarkan pandangannya menatap semua orang yang terlihat sangat terpukul karena kehilangan keluarga yang dicintai. Namun, sebagai seorang dokter, ia harus menyampaikan berita tentang pasiennya, dalam keadaan apa pun itu.

“Ada apa, Dokter? Puteri saya baik-baik aja ‘kan?” tanya Bunda Rindu yang menyadari wajah dokter itu terlihat tak biasa.

“Sel darah merahnya pecah dan trombositnya sangat rendah. Pembuluh darah ke otaknya mengalami masalah yang menyebabkan kelumpuhan. Saat ini ... dia koma,” jawab dokter tersebut.

“APA!?”

Semua orang terkejut mendengar penuturan dokter tersebut. Begitu juga dengan Nanda. Pukulan-pukulan ini bertubi-tubi menghujam dirinya dan membuat ia tidak sanggup berkata-kata.

“Semua ini gara-gara kamu, Nan ...!” seru Sonny sambil berlari  ke arah Nanda dan bersiap menghujani pukulan ke arah pria itu.

“Son, sabar! Ini rumah sakit!” seru Andre sambil menghalau tubuh Sonny agar tidak memukuli puteranya lagi.

Sonny menatap wajah Nanda dengan rahang mengeras. Kedua tangannya mengepal erat dan urat-urat di wajahnya terlihat jelas.  

“Kalau kamu mau marah, pukul Oom saja! Jangan pukul Nanda lagi!” seru Andre sambil menatap wajah Sonny.

Sonny langsung melonggarkan kepalan tangannya.

“Oom Andre yang salah karena tidak bisa mendidik Nanda dengan baik. Pukul Oom saja!” pinta Andre sambil menarik lengan Sonny agar memukulnya.

“Ndre, aku tidak akan mengotori tanganku untuk menghukum kalian. Kalian sudah menyerang mental puteriku dan menghancurkannya masa depannya. Apa yang terjadi pada puteriku, keluarga Perdanakusuma harus mempertanggungjawabkannya. Aku tidak peduli pada orang-orang besar yang melindungi keluarga kalian. Demi puteriku, aku akan mencari keadilan untuk dia!” tegas Edi sambil menatap Andre penuh kebencian.

Andre terdiam sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa melawan jika Edi sudah bicara. Bukan karena takut, tapi karena ia merasa ikut bertanggung jawab atas kelakuan puteranya. Apa yang dilakukan seorang anak, orang tua akan ikut menanggungnya. Ia tidak akan berlari karena ia terlalu memanjakan Nanda hingga puteranya itu tidak pernah mengerti arti tanggung jawab pada keluarganya. Kesalahan Nanda adalah kesalahannya mendidik seorang anak.

Bunda Rindu terus menitikan air mata saat mengetahui keadaan puterinya. Di saat bersamaan, Bunda Yuna dan Yeriko juga datang menghampiri keluarga tersebut. Mereka terkejut mendengar hal buruk yang terjadi pada Roro Ayu dan bayinya.

“Nan, anak Bunda salah apa sama Nanda? Kenapa Nanda tidak mau memperlakukan dia dengan baik. Kalau dia salah, kamu bilang ke bunda supaya bunda yang menegur dia dan memperbaiki dirinya. Kenapa kamu lakuin ini ke Ayu. Dia puteriku satu-satunya, Nan. Kenapa harus Ayu? Dia anak baik. Tidak bisakah kamu bersikap baik dan mencintai puteri Bunda? Kekurangan dia, katakan ke Bunda saja!” pinta Bunda Rindu sambil menatap wajah Nanda yang masih mematung di hadapannya.

“Nan ...!” panggil Bunda Rindu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nanda. Ia langsung merosot ke  lantai dan berlutut di bawah kaki Nanda. “Maafin Ayu kalau dia tidak menjadi istri yang patuh dan berbakti padamu! Maafin Ayu kalau dia punya banyak kesalahan selama menjadi istrimu. Kalau kamu tidak mencintai Ayu, tolong jangan sakiti dia!” pintanya sambil berlinang air mata.

“Dik, kamu nggak pantas berlutut di depan pria bajingan ini!” ucap Edi sambil merengkuh pundak Bunda Rindu dan menarik tubuhnya untuk bangkit dari lantai.

“Mas, Roro gimana? Dia dosa apa sampai harus menanggung beban seperti ini? Kenapa nggak aku aja yang gantiin dia, Mas?” seru Bunda Rindu sambil menangis histeris dalam pelukan suaminya.

Yuna menutup mulutnya yang menganga lebar. Ia ikut menitikan air mata melihat Bunda Rindu yang sangat terluka melihat keadaan puterinya. Sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan perasaan yang begitu sakit ketika puterinya dipermainkan seperti ini oleh seorang pria. Roro Ayu yang terlihat baik-baik saja di luar, tidak tahu bagaimana keadaan mental yang sesungguhnya. Suami adalah tempat paling dekat dan harusnya bisa menjadi sandaran, tapi Nanda justru menjadi tekanan bagi Roro Ayu tanpa diketahui oleh semua orang.

Di dinding koridor, Nanda menyandarkan punggungnya. Tubuhnya merosot perlahan dan pikirannya terus hampa. Ia benar-benar tidak menyangka jika perkelahian beberapa jam lalu menyebabkan istri dan anaknya terluka seperti ini.

“Nan, kamu laki-laki. Harus kuat!” pinta Yeriko sambil mengulurkan tangannya ke hadapan pria muda itu agar segera bangkit dari sana. “Kamu harus bangkit! Antarkan anakmu ke peristirahatan terakhirnya! Rawat istrimu dengan baik sampai dia bangun dari komanya. Roro Ayu akan kuat jika kamu juga bisa dengan gigih menjaganya.”

Nanda menengadahkan kepalanya menatap wajah Yeriko. Ia menarik napas dalam-dalam sambil mengusap air matanya  dan menyambut uluran tangan Yeriko. Ia mengumpulkan kekuatan untuk bangkit dari lantai.

“Dia tidak perlu mengurus anak dan cucuku! Aku masih bisa melakukannya!” tegas Edi dengan nada penuh emosi.

Yeriko langsung memutar kepalanya menatap wajah Edi. “Anak itu darah daging Nanda dan dia punya hak penuh atas anaknya. Bijaklah menjadi orang tua! Anak kalian sama-sama tertekan karena kalian tidak pernah peduli dengan hubungan mereka!” Suara bariton pria itu menguasai lorong koridor meski terdengar tidak begitu keras.

Edi terdiam sambil menatap tajam mata Yeriko. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak lagi peduli dengan bisnis yang ia bangun bertahun-tahun. Tak peduli dengan Yeriko yang memiliki kekuatan besar untuk melindungi keluarga Nanda. Ia hanya ingin keadilan untuk puterinya yang telah dirampas dengan paksa kesuciannya, mental dan masa depannya.

 

 

((Bersambung...))

Semua orang tua sudah merasa benar dalam mendidik anak dengan caranya masing-masing. Tapi terkadang, kesalahan tetaplah hinggap dan membuat kita merasa gagal menjadi orang tua.

Semoga kita bisa menjadi orang tua yang bisa membuat anak-anak mengerti akan tanggung jawab dan cara mencintai keluarga.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 34 - Aku Butuh Kalian

 



Ayu menarik lengan Nanda dan membawa pria itu masuk ke dalam kamarnya. “Nan, kamu ini kenapa? Datang ke sini langsung marah-marah. Kamu nggak lihat ada Sonny, ada orang tuaku? Bisa sopan dikit?”

Nanda terdiam sambil menahan kesal di dadanya. Ia sudah tidak memikirkan hal lain lagi saat melihat istrinya itu sedang asyik bercanda dengan mantan kekasihnya. Meski ia tidak mencintai Ayu, tapi ia tetap tidak rela membiarkan istrinya bermesraan dengan pria lain.

“Kamu pergi dari rumah dan mesra-mesraan sama cowok lain. Sadar nggak kalau kamu sudah bersuami?” sahut Nanda kesal.

“Kamu juga sadar atau nggak kalau sudah beristri?” sahut Ayu tak mau kalah.

“Sadar, Ay.”

“YA BERUBAH, DONG!” seru Ayu.

“Gimana aku mau berubah kalau kamu kayak gini! Bukannya berbakti, malah main gila sama cowok lain saat suamimu sakit!” sahut Nanda tak mau kalah.

“Kamu yang mulai duluan, Nan. Ingat, ya! Istri itu akan memperlakukan suami sebagaimana dia diperlakukan. Aku pernah nggak baik sama kamu? Pernah nggak melayani apa yang kamu butuhkan? Pernah bohongi kamu? Aku ketemu sama Sonny di tempat umum dan nggak berdua doang. Apa yang bisa kami lakuin di tempat seperti itu? Sedangkan kamu, kamu nemuin Lita di hotel tengah malam, berduaan doang, mesra-mesraan. Kamu pernah pikirin perasaanku, hah!?” seru Ayu sambil mendorong dada Nanda hingga tubuh pria itu menghantam pintu kamarnya.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu dengan perasaan tak karuan. Ia dan Ayu memang sering berdebat, tapi baru kali ini ia mendengar Ayu bicara dengan nada yang lebih tinggi darinya. Bahkan menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kebencian.

“Apa yang terjadi sama kamu saat ini, harusnya bisa bikin kamu sadar. Tapi kamu nggak pernah menyadari kesalahanmu, Nan. Nggak malu sama penampilan kamu sekarang? Udah pake baju koko, pake sarung kayak gini ... Tuhan lagi tegur kamu dan kamu masih belum sadar juga. Ingat, karma itu nggak pernah salah tempat! Kamu yang udah hancurin seluruh hidupku dan aku lebih bahagia lihat kamu mati!” seru Ayu sambil berlinang air mata.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu. Ia benar-benar sulit mengakui kesalahannya. Meski hatinya ingin sekali meminta maaf, tapi pikirannya tetap saja kacau setiap kali berhadapan dengan wanita ini.

“Aargh ...!” Ayu langsung berpegangan ke dinding, tangan satunya memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa sangat nyeri.

“Ay, kamu kenapa?” tanya Nanda sambil merengkuh tubuh Ayu.

“Nggak usah pedulikan aku!” sahut Ayu sambil menepis tangan Nanda dan berjalan merayap ke arah pintu kamarnya. Ia langsung membuka pintu tersebut.

“SON, SONNY ...! AYAH ...! BUNDA ...!” seru Ayu sambil menahan napas dan rasa sakit di perutnya.

Sonny yang duduk di sofa ruang tamu, buru-buru berlari menaiki anak tangga saat mendengar teriakan Ayu.

“Mas, itu si Roro kenapa?” tanya Bunda Rindu yang sedang di dapur bersama suaminya.

“Nggak tahu. Lagi sama Nanda di kamarnya.”

“Berantem?”

Edi menghela napas. “Aku kasihan sama puteri kita kalau setiap hari tidak bahagia dengan suaminya. Lebih baik mereka bercerai saja. Aku tidak akan menuntut Nanda dan keluarganya asal Ayu bisa hidup bahagia. Sonny juga masih mau menerima puteri kita. Dia jauh lebih baik dari anaknya Andre yang brengsek itu.”

“Nggak boleh bicara seperti itu, Mas. Roro menyayangi Nanda. Kalau tidak, dia tidak mungkin memilih bertahan. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik untuk Roro. Aku rasa, Roro Ayu sudah mulai menyukai Nanda. Walau bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari bayi yang dikandung Roro. Mereka jelas punya ikatan, Mas,” ucap Bunda Rindu sambil tersenyum menatap kue ulang tahun yang ia siapkan untuk puterinya dan melangkah keluar dari dapur bersama suaminya itu.

“Ay, kamu kenapa!?” Sonnya langsung menghampiri Ayu yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

“Tolong aku, Son! Perutku sakit banget.”

“Kita ke rumah sakit!” ajak Sonny sambil merangkul tubuh Ayu dan memapahnya.

“Biar aku yang bawa Ayu!” pinta Nanda sambil menepis tangan Sonny dari tubuh Ayu.

“Nan, kamu jauh-jauh dari aku!” pinta Ayu sambil mendorong tubuh Nanda.

Sonny tersenyum miring ke arah Nanda. “Ayu nggak mau sama kamu. Biar aku yang urus dia!” pintanya sambil merangkul tubuh Ayu kembali dan memapahnya menuruni anak tangga.

“Son, Ayu kenapa!?” seru Bunda Rindu saat melihat Ayu berjalan sambil menahan sakit.

“Perut aku tiba-tiba sakit, Ma,” jawab Ayu lirih.

“Ini ...!? Ini baru tujuh bulan. Belum waktunya lahiran,” ucap Bunda Rindu. Ia segera memberikan kue ulang tahun ke tangan Edi dan menghampiri puterinya.

“Nggak tahu, Bunda. Sakit banget!” jawab Ayu sambil menitikan air mata.

“Nan, kamu gendong Ayu, deh! Biar cepet!” pinta Bunda Rindu.

“Nggak boleh! Nanda nggak boleh gendong Ayu! Sonny aja!” sahut Ayah Edi.

“Mas, Nanda itu suaminya Ayu! Kalau Sonny bukan!” sahut Bunda Rindu.

“Aku lagi kesakitan. Kalian sempat-sempatnya berdebat?” tanya Ayu sambil menahan nyeri di perutnya.

Nanda langsung menarik tubuh Sonny agar menjauh dari istrinya. Ia merangkul pundak wanita itu dan menggendongnya. Ia mempercepat langkahnya dan membawa tubuh Ayu masuk ke dalam mobil miliknya.

“Nan, aku mau pergi sama Sonny atau ayah aja,” pinta Ayu lirih sambil menahan rasa nyeri yang semakin menyiksa.

“Kamu udah kesakitan gini, masih sempat ngajak aku berdebat?” sahut Nanda. Ia segera menutup pintu mobil dan bergegas membawa Ayu ke rumah sakit terdekat.

Beberapa menit kemudian, Ayu sudah sampai di IGD rumah sakit. Ia terus merintih kesakitan sambil memanggil nama bundanya.

“Dokter, istri saya kenapa?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa kondisi istrinya.

“Kami periksa dulu, ya! Dampingi istrinya, Mas! Kasih minum teh hangat!” jawab dokter yang ada di sana.

Nanda mengangguk. Ia ingin beranjak dari sisi Ayu, tapi wanita itu mencengkeram kuat lengannya dan membuatnya tidak bisa pergi dari sana.

“Bunda ...! Bunda ...!” Ayu terus memanggil nama bundanya sambil menahan sakit di perutnya.

“Bunda masih di jalan. Sebentar lagi pasti sampai.” Nanda berbisik di telinga Ayu.

Ayu menitikan air mata sambil menatap wajah Nanda. “Sakit, Nan.”

“Dok, tolong istri saya, dong!” seru Nanda. Pikirannya semakin tak karuan saat wajah Ayu semakin pucat.

“Sus, udah pembukaan?” tanya dokter yang ada di sana.

“Baru pembukaan satu, Dokter.”

“Dok, istriku mau melahirkan?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang ada di sana. “Kandungannya baru tujuh bulan, Dok.”

“Kita tunggu dulu sampai pembukaan berikutnya, ya!” jawab dokter itu sambil tersenyum.

“Dok, istriku ini udah kesakitan! Masa masih disuruh nunggu? Kalian bisa jadi dokter atau nggak, sih!?” sentak Nanda kesal. “Lihat! Istriku udah lemes kayak ini!”

“Kami sudah biasa menangani ibu melahirkan. Kontraksi seperti ini sudah biasa,” jawab dokter itu. Ia menoleh ke arah salah satu perawat yang ada di sana. “Pasang jarum infus untuk jaga-jaga!” perintahnya.

“Baik, Dokter!”

“Detak jantung ibunya melemah, Dokter!” seru perawat yang lainnya.

Dokter dan beberapa perawat yang ada di sana sigap mengambil tindakan untuk menstabilkan kondisi kesehatan Ayu.

“Ayu ...! Kamu bakal baik-baik aja ‘kan? Kamu kuat, Yu. Harus kuat! Demi anak kita. Aku sayang sama kalian,” bisik Nanda dengan mata berkaca-kaca. Ia meletakkan dahinya ke kening Ayu. “Aku sayang kalian. Aku butuh kalian,” bisiknya lagi.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda yang menempel di wajahnya. Ia berusaha menyentuh pipi pria itu. Tapi rasa kantuk yang menyerangnya semakin menjadi-jadi dan membuat lengannya jatuh terkulai begitu saja seiring dengan matanya yang terpejam sempurna.

“AYU ...!”

“AY ...!”

“AYU BANGUN!”

“DOKTER ...!”

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat berkarya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 33 - Nanda Cemburu

 


“Pagi, calon bunda ...!”

Ayu yang sedang menyiram tanaman di depan rumah, langsung memutar kepala ke belakangnya. “Sonny ...!? Kamu lagi di sini?”

Sonny mengangguk  sambil tersenyum manis. Ia mengeluarkan bucket bunga dari belakang punggungnya dan mengulurkan ke hadapan Ayu. “Hadiah buat kamu. Happy birthday ...!”

Ayu langsung menatap wajah Sonny dengan mata berkaca-kaca. “Kamu masih ingat hari ulang tahunku?”

“Aku nggak akan pernah lupa,” jawab Sonnya sambil menatap wajah Ayu. “Maaf! Aku nggak bisa jadi orang pertama yang ngucapin ulang tahun ke kamu tahun ini.”

Ayu menggeleng pelan sambil menitikan air mata. “You’re first.”

“Hah!? Serius!? Nanda nggak ucapin happy birthday buat kamu?” tanya Sonny.

Ayu menggeleng pelan.

“Nggak usah sedih! Terima bunga ini! Anggap aja ini hadiah persahabatan buat kita,” ucap Sonny sambil tersenyum manis.

“Beneran persahabatan?”

Sonny mengangguk sambil tersenyum manis.

Ayu langsung meraih bucket dari tangan Sonny dan tersenyum manis. “Makasih ya, Son!”

Sonny mengangguk. “Bunda sama ayah ada di rumah?”

“Ada. Mereka di dalam.”

“Aku boleh masuk?”

“Masuk aja!” sahut Ayu sambil tertawa. Tanpa ia sadari, ia merangkul lengan Sonnya seperti biasa dan melenggang masuk ke dalam rumah tersebut dengan ceria.

Edi yang sedang bersantai dengan istrinya, langsung tertegun melihat Ayu yang begitu ceria merangkul lengan Sonny.

Ayu buru-buru melepaskan tangannya dari lengan Sonny saat ia menyadari kalau ia sudah menjadi istri orang lain. Mungkin, ia terlalu bahagia dengan kedatangan pria ini hingga tidak menyadari kalau ia sudah menjadi seorang istri dengan perut membesar.

“Selamat pagi, Ayah ... bunda ...!” sapa Sonny sambil menunduk sopan.

“Pagi ...!” balas Ayah Edi dan Bunda Rindu bersamaan.

“Tumben ke sini pagi-pagi?” tanya Bunda Rindu. “Dari Semarang jam berapa?”

“Udah dari kemarin sore, Bunda.”

“Oh.” Bunda Rindu mengangguk-anggukkan kepala dan menoleh ke arah bucket yang digendong oleh Ayu dengan satu tangannya.

“Mmh ... aku ke sini buat ngucapin ulang tahun ke Roro Ayu,  Bunda,” ucap Sonny seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Bunda Rindu.

“Astaga ...! Kamu hari ini ulang tahun? Bunda lupa, Ro!” Bunda Rindu langsung bangkit dari sofa.

“Kamu ini gimana? Ulang tahun anak sendiri, kok lupa? Anak kita ini cuma satu. Gimana kalau punya anak lima?” tanya Ayah Edi.

“Ayah nggak usah bawel, deh! Emangnya ayah ingat kalau hari ini ulang tahun Ayu?” sahut Bunda Rindu.

Ayah Edi gelagapan mendengar pertanyaan dari Bunda Rindu. “Ayah ingat. Cuma pura-pura lupa aja. Biar bunda bisa kasih surprise ke Roro Ayu.”

“Halah, bohong!” dengus Bunda Rindu.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah kedua orang tuanya. “Kalian nggak usah berdebat! Aku bukan anak kecil yang harus ngerayain ulang tahun,” pintanya.

“Mmh ... bener juga, sih. Tapi kami harus siapkan hadiah untukmu tahun ini. Kamu mau hadiah apa?” tanya Bunda Rindu sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu menggeleng. “Ayu pengen ... lihat bunda dan ayah sehat selalu. Makin romantis, makin harmonis dan saling menyayangi sampai kalian tua nanti.”

“Aamiin,” sahut Edi.

“Aamiin. Kalau soal itu, kami juga menginginkannya!” ucap Bunda Rindu sambil merangkul lengan Edi dan menyandarkan kepalanya di pundak pria itu.

Ayu tersenyum bahagia melihat kedua orang tuanya yang terlihat begitu saling mencintai dan hidup harmonis. Ia juga menginginkan rumah tangganya bisa berjalan sebaik ini.

“Son, kamu mau minum apa?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah Sonny.

“Eits! Kamu ini lagi ulang tahun. Nggak boleh melayani siapa pun. Harus dilayani. Biar bunda yang buatkan minum untuk Sonny. Kamu duduk manis di sini! Temani Sonny dan papa kamu ngobrol. Oke?”

Ayu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia duduk bersama Sonny dan papanya untuk membicarakan beberapa hal tentang pekerjaan dan kegiatan mereka akhir-akhir ini.

Ting ... Tong ...!

Ayu langsung menoleh ke arah pintu. “Ayah ada janji sama orang?”

Edi menggelengkan kepala. “Temen bunda kali. Kalo nggak, paling Kang Paket,” jawabnya santai sambil bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu rumahnya.

Sonny dan Ayu tertawa kecil sambil menggeleng bersamaan.

“Bundamu masih demen belanja online?” tanya Sonny.

Ayu mengangguk sambil tertawa kecil.

“Kamu sendiri?”

Ayu menggeleng. “Kamu yang demen belanja online ‘kan? Kenapa malah nanyain aku? Harusnya, pertanyaan itu ditujukan ke kamu!” ucapnya sambil menoyor pundak Sonny.

Sonny tertawa kecil. “Masih demen aku belanja online. Enak aja. Praktis dan cepet. Waktu itu aku pernah mau cari barang ke pasar. Karena udah biasa belanja online, aku nyasar. Udah gitu, barang yang mau aku cari nggak dapet-dapet. Aku malah muter-muter di dalam pasar itu. Nggak bisa keluar.”

“HAHAHA.” Ayu tergelak mendengar cerita yang keluar dari bibir Sonny. “Seriusan nggak bisa keluar?”

“Iya, serius. Aku tanya ke pedagang A-B-C, malah menyesatkan. Dari pagi sampe sore aku dipasar itu dan barang yang aku cari nggak dapet. Mana aku waktu itu lagi koas dan harus balik cepet. Menderita banget kalau belanja offline. Enak online, sih. Tinggal scroll-scroll doang, nggak perlu nyasar,” ucap Sonny.

“Hahaha ... hihihi ...” Ayu terus tertawa mendengar cerita Sonny.

Di saat bersamaan. Edi menarik gagang pintu rumah tersebut dan membukanya.

“Pagi, Ayah ...!” sapa Nanda sambil menatap wajah Edi. Kedua mata dan telinganya langsung menangkap suara Ayu dan Sonny yang sedang asyik bercanda di dalam sana.

“Pagi,” balas Edi dingin. Ia menatap Nanda dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Pria muda yang biasanya terlihat urakan itu, tiba-tiba muncul di hadapannya dengan baju koko dan sarung.

“Roro Ayu ada?” tanya Nanda sambil menahan perasaan takut di dadanya. Ia jarang sekali bicara dengan ayah mertuanya dan membuat ia sangat canggung.

“Ada.”

“Saya boleh masuk?” tanya Nanda canggung.

Edi langsung menoleh ke arah Sonny dan Ayu. “Boleh. Masuklah!” Ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk Nanda.

Nanda terdiam saat melihat Ayu sedang tertawa lepas bersama Sonny. Jakunnya naik-turun seiring dengan perjuangannya menelan saliva dengan susah payah. Hatinya tiba-tiba merasa nyeri ketika melihat Roro Ayu bisa tertawa bahagia bersama Sonny di depan sana. Bukankah Roro Ayu masih sah menjadi istrinya? Kenapa malah bersama dengan pria lain? Lebih parahnya lagi, mertuanya membiarkan istrinya itu bercanda tawa dengan pria lain yang bukan suaminya.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil melangkahkan kakinya perlahan menghampiri Ayu.

Ayu menghentikan tawanya seketika. Ia mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang sudah tak asing lagi di telinganya. “Nanda?”

“Kamu ngapain berduaan sama Sonny di sini?” tanya Nanda.

“Kami nggak berduaan. Ada bunda dan ayah juga,” jawab Sonny santai.

Nanda menatap kesal ke arah Sonny. “Aku belum bikin perhitungan ke kamu, Son. Gara-kara kamu, aku jadi kayak gini!”

“Kamu itu udah kena karma, masih nggak mau tobat, Nan? Harusnya, kamu introspeksi diri tanpa menyalahkan orang lain,” sahut Sonny.

“Kamu ...!?” Nanda menatap geram ke arah Sonny. “Kamu juga harusnya introspeksi diri, dong! Ayu itu istriku! Kamu masih aja deketin dia!”

“Kamu juga suaminya Ayu. Kamu masih aja bisa bawa perempuan lain ke kamar hotel,” sahut Sonny.

“Kamu nggak usah ikut campur rumah tanggaku! Pasti kamu yang udah pengaruhi Ayu sampai dia pergi ninggalin aku!” seru Nanda.

“Nggak perlu aku pengaruhi, Nan. Perempuan mana pun tidak akan betah kalau punya suami bajingan kayak kamu!”

“Anjing kamu, Son!” Nanda langsung menyambar kerah baju Sonny.

“Nan, jangan main kekerasan!” pinta Ayu sambil menarik lengan Nanda dan membawanya pergi dari sana. Ia benar-benar kesal dengan sikap Nanda yang terlalu impulsif dan temperamental. Bisa-bisanya Nanda masih ingin berkelahi dengan Sonny di hadapan kedua orangtuanya. Pria ini benar-benar membuat perasaannya tak karuan setiap hari.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas