Wednesday, August 17, 2022

Bab 28 - Aku Butuh Kamu [ Novel Menikahi Lelaki Brengsek : Vella Nine]

 



Seminggu kemudian, Nanda sudah diizinkan pulang ke rumah. Ayu dengan telaten merawat luka bekas operasi suaminya itu.

“Nan, karena lukamu udah sembbuh, aku punya hadiah buat kamu,” ucap Ayu sambil tersenyum manis ke arah Nanda.

“Sembuh apanya? Barangku nggak bisa bangun gini. Kedutan dikit aja udah sakit,” sahut Nanda sambil merintih menahan bagian inti tubuhnya yang masih terasa nyeri setiap kali ia mencoba untuk memunculkan hasrat kelelakiannya.

“Setidaknya, kamu sudah bisa jalan, Nan. Orang lain nggak perlu tahu kalau barangmu nggak bisa bangun,” sahut Ayu sambil tersenyum manis. Ia mengambil sebuah amplop dari dalam tas tangannya dan menyodorkan ke hadapan Nanda.

“Apa ini?” tanya Nanda saat manik matanya langsung menangkap logo institusi kepolisian yang sangat khas. “Kasus penganiayaan terhadapku tetep dilanjutkan? Baguslah. Ini nggak seberapa kalau dibandingkan dengan kehancuran masa depanku,” ucapnya.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Papamu sudah resmi mencabut tuntutannya ke Sonny dan menyelesaikan semua dengan cara kekeluargaan.”

“Serius!? Sonny bisa bebas gitu aja?”

Ayu mengangguk. “Papamu sudah mengeluarkan uang untuk membebaskan dia.”

“Hah!? Ini aku yang bego atau gimana? Aku yang dipukulin sampai masuk rumah sakit. Kenapa papaku yang harus ngeluarin uang untuk bebasin Sonny. Ini nggak bener, Ay!” sahut Nanda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Yang nggak bener itu kamu, Nan,” batinnya.

“Rekaman CCTV itu udah jelas kalau Sonny mukulin aku, Ay! Masa dibebasin gitu aja, sih? Mukaku hancur, masa depanku, apalagi,”  ucap Nanda sambil melirik ke arah senjata andalan yang ada di bawah pusarnya.

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Nanda. “Kamu nggak mau baca ini surat apa?”

Nanda mendengus kesal dan merobek ujung amplop tersebut, kemudian mengambil surat dari dalam amplop tersebut dan membacanya. Ia menelan saliva dengan susah payah saat membaca surat panggilan dari kepolisian dan statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pelecehan seksual, penelantaran keluarga dan perselingkuhan, juga kasus perkelahian.

“Ay, kamu nuntut aku? Buat apa kamu baik-baik sama aku kalau di belakang, kamu nusuk aku?” seru Nanda kesal sambil melemparkan surat itu ke lantai begitu saja.

“Gimana rasanya? Kecewa? Sakit?” tanya Ayu. “Itu yang aku rasain saat kamu bersikap baik sama aku, tapi kamu tega selingkuh di belakangku.”

“Aku nggak selingkuh, Ay! Arlita itu ...” Nanda menghentikan ucapannya dan menatap serius ke arah Ayu. “Kamu tahu aku nggak pernah serius sama perempuan. Aku nggak bisa cinta sama kamu, Ay. Aku nikahin kamu cuma sebatas tanggung jawab. Nggak bisa semudah itu aku berpindah hati. Nggak masuk di logikaku, Ay!”

“Sama. Aku juga nggak bisa semudah itu berpindah hati. Kalau boleh milih, aku nggak akan pernah terlibat dengan pernikahan bedebah ini!” sahut Ayu.

Nanda menghela napas sambil menggaruk alisnya yang tidak gatal. “Kita nggak usah berdebat, Ay! Aku akan kasih semuanya buat kamu. Asal nggak gini caranya. Kamu tega mau penjarain suamimu sendiri?”

“Iya.”

“Terus, gimana sama masa depan anak kita, Ay? Aku butuh cari nafkah untuk menghidupi kalian. Gimana perasaan anak kita nanti kalau tahu papanya narapidana?” tanya Nanda.

“Aku akan menghadapinya. Memang seperti itu adanya kamu. Aku sudah berusaha memberimu kesempatan untuk berubah, Nan. You wanna be Daddy! Tapi kamu nggak bisa jadi contoh yang baik buat keluarga kecil kita! Aku ... lebih baik merawat dan membesarkan anakku sebagai single mom daripada harus mendidik dia dalam rumah tangga yang toxic!” sahut Ayu sambil menatap Nanda dengan tatapan berapi-api.

“Ya kamu yang bikin semuanya jadi ruyam dan toxic!” ucap Nanda tak mau kalah.

“Aku?” Ayu tertawa kecil. “Kamu ini beneran nggak bisa sadar, ya? Yang salah itu kamu, Nan! Dari awal, kamu yang salah! Kamu yang udah merenggut semua impianku, masa depanku dan semua kebahagiaan yang aku miliki,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Nanda terdiam sesaat menatap wajah Ayu. “Ay, jangan nangis!” pintanya sembari meraih tangan Ayu dan menggenggamnya. “Kita baikan lagi, ya! Aku capek berantem sama kamu. Kamu mau apa? Aku akan berusaha penuhi semua keinginan kamu.”

“Yang aku mau sejak dulu cuma satu, Nan.”

“Apa?”

“Melihatmu hancur,” jawab Ayu sambil menatap lekat mata Nanda.

DEG!

Nanda membeku menatap Ayu yang ada di hadapannya. Ia tidak menyangka jika gadis yang begitu lembut dan tenang ini menyimpan kebencian yang begitu dalam untuknya. “Ay, aku tahu kamu lagi emosi. Kita baikan, ya! Demi anak kita. Jangan penjarain aku, Ay!” pintanya lirih.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata saat Nanda memilih menurunkan nada suaranya. Pikirannya semakin tidak karuan karena sikap Nanda yang tidak bisa ia baca ketulusan hatinya.

“Ay, please ...! Kita baikan lagi, ya!” pinta Nanda sambil meremas jemari tangan Ayu. Ia menarik tubuh wanita itu perlahan dan memeluk perut Ayu yang sudah membesar. “Aku sayang dia, Ay. Kamu juga ‘kan?”

“Kalau kamu sayang, kamu nggak akan pergi sama wanita lain, Nan. Aku nggak akan kasih dua mama untuk anakku!”

“Ay, aku sama Arlita nggak ngapa-ngapain,” tutur Nanda.

“Tapi mau ngapa-ngapain ‘kan?”

“Ck. Pikiranmu terlalu negatif, Ay!” Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan terus berusaha mencari cara agar Ayu bersikap baik dan menarik semua tuntutan hukum terhadapnya.

“Terus, ngapain janjian ketemu di hotel tengah malam? Kamu kira aku bego apa?” sahut Ayu. “Aku diam, bukan berarti aku nggak tahu apa-apa!”

“Aku baru sampai di pintu hotel karena Arlita memang kebetulan nginap di sana. Sonny yang tiba-tiba mukul aku tanpa kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya,” ucap Nanda.

Ayu menggeleng-geleng heran menatap wajah Nanda. “Kamu keluar diam-diam dari rumah tengah malam, kamu salah. Menemui Arlita di hotel, jauh lebih salah lagi! Dari semua kesalahan yang kamu buat, kamu pernah minta maaf ke aku dengan tulus? Nggak ‘kan? Kamu malah sibuk nyari kesalahan orang lain!”

Nanda menghela napas. “Aku minta maaf, Ay!” ucapnya lirih.

“Maafku saat ini sudah habis. Nggak bisa kamu minta.”

“Ck. Salah lagi ‘kan? Ayolah! Kita baikan seperti biasanya, ya!” pinta Nanda sambil memainkan alisnya menatap Ayu.

Ayu mengangguk kecil. Ia lelah jika setiap hari harus bertengkar di dalam rumah sendiri. “Sikap baikku ke kamu, tidak akan mengubah proses hukum yang sedang berjalan. Ayah tidak akan mencabut tuntutannya, Nan.”

“Ck. Terserah kamu, deh! Yang penting, kita baikan. Oke?” pinta Nanda sambil tersenyum menatap wajah Ayu. Ia memeluk tubuh wanita itu dan terus menciumi perut Ayu. Kepalanya terus memikirkan cara agar Ayu dan keluarganya menarik tuntutan terhadapnya. Yang harus ia lakukan saat ini adalah bersikap baik pada Roro Ayu agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya dalam keadaan sakit seperti ini.

Ayu menarik napas dalam-dalam. Hatinya bergejolak. Ia tidak ingin berubah menjadi jahat seperti ini. Tapi ia juga tidak tahan hidup dalam rumah tangga yang penuh kepalsuan seperti ini. Mereka hanya berpura-pura cinta, tapi hati mereka sama-sama berada di tempat lain.

“Ay, jangan marah lagi, ya! Aku janji, aku akan memperlakukan kamu dengan baik.”

“Setiap hari kamu sudah memperlakukan aku dengan baik, Nan. Aku berterima kasih untuk itu. Hanya saja ... tidak ada cinta dalam keluarga ini. Kamu tidak bisa mencintaiku meski aku sudah berusaha jadi istri yang baik. Daripada kita tidak pernah bahagia selamanya, bagaimana kalau kita bercerai saja?” ucap Ayu lirih sambil menahan perih di matanya.

Nanda terdiam dan menengadahkan kepalanya menatap Ayu. “Why? Kenapa kamu bilang kayak gini? Aku nggak akan menceraikan kamu, Ay. Kamu lagi hamil, makanya sensitif kayak gini. Nggak usah berpikiran macam-macam. Kita baikan saja, oke?” pintanya.

“Berbaikan saja buatku nggak cukup, Nan. Ayah Edi sudah memutuskan untuk membatalkan pernikahan kita,” ucap Ayu lirih.

“APA!? Nuntut aku masih belum cukup, Ay? Kamu bilang ke ayahmu kalau nggak perlu seperti ini! Kamu udah gede, Ay. Nggak perlu bergantung sama orang tua lagi. Kamu bisa buat keputusan sendiri ‘kan? Kamu ...”

“Keputusanku sama dengan keputusan ayah,” jawab Ayu. “Aku bukan Arlita atau wanita-wanitamu yang lain. Aku nggak bisa berbagi hati, Nan. Terlalu sakit buat aku dan aku nggak sekuat yang kamu pikirkan. Mungkin, dengan berpisah ... kita bisa sama-sama bahagia. Kamu juga bisa bahagia sama Arlita.”

Nanda langsung memeluk erat paha Ayu yang berdiri di hadapannya. “Nggak, Ay. Aku nggak mau kita bercerai. Aku nggak mau. Gimana keluarga kita kalau kita berpisah?”

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Kamu tidak perlu khawatir! Semua akan kembali seperti dulu lagi. Kita masih bisa berteman, keluarga kita masih bisa berteman. Kamu masih mencintai Arlita, aku juga masih mencintai Sonny. Bagaimana kalau kita saling melepaskan, Nan?” ucapnya lembut.

Nanda menggeleng. Ia terus memeluk kaki Ayu seperti seorang anak yang takut kehilangan mainan kesayangannya. Hatinya begitu sulit untuk berubah. Begitu sulit untuk jatuh cinta meski di luar sana ia banyak bersenang-senang dengan wanita. Ia tidak tahu bagaimana cara membuka hati untuk Ayu. Ia tidak tahu kapan akan bisa mencintai wanita ini. Tapi ia tahu, jika saat ini ia sangat membutuhkan Ayu. Membutuhkan wanita itu untuk tetap berada di sisinya.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 


Bab 27 - Tak Percaya

 



“Braaak ...!” Edi langsung murka begitu ia melihat video rekaman CCTV Ananda yang bersama wanita lain hingga berujung perkelahian dengan Sonny.

Semua polisi yang ada di ruangan itu terdiam melihat sikap Edi yang begitu murka karena puteri semata wayangnya dinodai dan dipermainkan oleh Nanda.

“Aku sudah tertipu karena mempercayakan puteriku pada keluarga itu!” Suara bariton Edi memenuhi ruangan. Tangannya terus mengepal keras dan rahangnya mengeras hingga urat-urat di lehernya nampak begitu jelas.

“Saya akan bawa kasus ini ke meja hijau dan menuntut keluarga Perdanakusuma itu!” tegas Edi.

Polisi yang ada di sana mengernyitkan dahi. Ia menoleh ke salah satu pengacara yang sudah dikirim untuk menangani kasus Nanda.

“Pak, di sini klien saya yang jadi korban. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan harus menjalani operasi besar dengan biaya yang besar juga. Kenapa malah klien saya yang dituntut?” tanya pengacara keluarga Perdanakusuma.

“Puteri saya yang jadi korban. Saya punya semua buktinya dan saya akan tuntut dia secara pidana dan perdata, secara hukum negara juga hukum adat keraton kesultanan kami! Bilang sama Andre, aku tidak akan menolerir lagi perbuatan puteranya ini! Saya malah senang kalau dia mati,” sahut Edi dengan suara keras yang menguasai seluruh ruangan.

“Pak, bukannya masalah itu sudah diselesaikan secara kekeluargaan lewat mediasi. Kali ini kasusnya beda. Ini kasus penganiayan yang dilakukan saudara Sonny Pratama terhadap klien saya yang bernama Ananda Putera Perdanakusuma. Klien saya telah mengalami kerugian secara fisik, mental dan finansial ...”

“Halah, persetan sama itu semua!” sambar Edi sebelum pengacara itu menyelesaikan ucapannya. “Kita lihat, siapa yang akan menang. Kami atau kalian!?” serunya dengan nada semakin meninggi.

“Mas Edi ...! Bisakah kita selesaikan ini dengan cara kekeluargaan saja?” Andre langsung masuk ke dalam ruangan tersebut bersama istrinya.

“Kekeluargaan-kekeluargaan apaan!? Harga diri puteriku diinjak-injak sama kalian. Kalian masih mau menyelesaikan ini secara kekeluargaan. Saya sudah kasih anak kamu itu kesempatan untuk bertanggung jawab atas puteriku. Puteriku malah disia-siakan dan diperlakukan seperti ini!” seru Edi.

“Mas Andre, ini gimana?” bisik Nia sambil menggenggam erat tangan Andre. Perasaannya benar-benar tak karuan saat tim pengacara keluarganya mengirimkan video Nanda yang bersama dengan Arlita sesaat sebelum kejadian perkelahian itu terjadi. Hatinya benar-benar terpukul karena sikap puteranya itu.

“Mas, kami akan tarik tuntutan kami terhadap Sonny. Asal Mas Edi tidak membawa kasus Nanda ke meja hijau,” ucap Andre.  “Kami akan mempertanggungjawabkan semuanya. Nanda adalah anak kami. Kesalahan dia juga tanggung jawab kami. Kami janji, akan membuat Nanda mencintai Ayu dan menjadikan Ayu sebagai istri satu-satunya untuk dia.”

“Istri satu. Selingkuhannya banyak. Sama aja!” sahut Edi. Ia keukeuh tidak ingin memberikan maaf lagi dan membawa kasus pemerkosaan puterinya itu ke meja hijau.

“Mas, Nanda itu masih muda. Dia belum tahu ...”

“BELUM TAHU APA!? Sudah bisa bikin anak!” sambar Edi. Langsung melangkah pergi dari sana karena semakin emosi ketika berhadapan dengan Andre yang terus membela kesalahan puteranya.

“Eh!? Jangan lupa lepasin Sonny, ya! Kalau sampai kamu penjarain Sonny, aku bakal bikin perhitungan yang lebih besar lagi!” seru Edi sambil menunjuk wajah Andre sebelum ia benar-benar pergi.

Andre menghela napas. Ia terduduk lemas di sofa ruang kapolsek itu sambil memijat keningnya yang bedenyut. “Dosa apa aku sampai punya anak kayak gini?” gumamnya.

“Jadi gimana, Pak Andre? Apa akan tetap melanjutkan kasus ini ke persidangan?” tanya pengacara keluarga Andre.

Andre menggeleng. “Kamu bebaskan Sonny saja! Berapa pun dendanya, akan saya bayar.”

“Baik, Pak!”

Nia menghela napas dan bersandar lemas di sisi Andre. “Mas, kita lihat anak kita dulu! Roro Ayu sudah kabari kalau Nanda selesai operasi. Aku pusing banget, Mas,” ucapnya lirih.

Andre mengangguk. Ia segera bangkit dari sofa. Merangkul pundak Nia dan segera berpamitan dari ruang pemeriksaan tersebut. Ia menyerahkan semuanya pada pengacara keluarga yang biasa menangani perkara perusahaan dan keluarganya selama ini.

 

...

 

Di rumah sakit, Ayu terus menatap wajah Nanda yang masih belum sadarkan diri pasca operasi. Ia memeras handuk kecil yang sudah ia basahi dengan air hangat dan menyeka wajah Nanda perlahan. Perasaannya masih saja tak karuan. Ia masih sangat mecintai Sonny, tapi ia juga sangat membutuhkan Nanda untuk masa depan anaknya.

“Roro Ayu, bunda pulang dulu, ya! Ayahmu sudah jemput bunda di parkiran depan,” pamit Bunda Rindu sambil menatap wajah puterinya yang masih menunjukkan baktinya sebagai seorang istri.

Ayu mengangguk. Ia langsung meletakkan handuk di tangannya ke dalam baskom kecil yang ada di atas nakas dan melangkah mengantarkan sang bunda yang akan keluar dari ruangan tersebut. “Ayah nggak masuk ke sini?” tanyanya lirih.

Bunda Rindu menggeleng sambil tersenyum kecil. “Ayahmu nggak mau masuk ke sini. Katanya, buru-buru ada pertemuan dengan kolega bisnisnya.”

“Oh.” Ayu mengangguk tanda mengerti. Ia merasa lebih lega jika Bunda Rindu sudah pergi sebelum Nanda tersadar dari pengaruh obat bius.

“Ayu, Bunda boleh tanya sesuatu sebelum bunda pergi?” tanya Bunda Rindu.

“Iya.”

“Tadi ayahmu nyuruh bunda cek mutasi rekening. Kamu abis keluarin uang delapan ratus juta, untuk apa?” tanya Bunda Rindu.

“Buat bayar operasi Nanda, Bunda. Kenapa?”

“Oh. Nggak papa. Bunda cuma tanya aja. Ya udah, bunda pulang dulu ya!” pamit Bunda Rindu sambil memeluk tubuh Ayu dan menciumi wajah puteri kesayangannya itu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Hati-hati, Bunda! Salam untuk ayah!”

Bunda Rindu mengangguk sambil tersenyum manis dan melangkah pergi meninggalkan Roro Ayu menjaga suaminya dengan baik.

Ayu menghela napas sambil mengelus dada dengan perasaann lega. Untungnya, Bunda Rindu tidak marah karena ia menggunakan tabungan pribadi untuk membayar biaya operasi suaminya itu. Sejak dulu, Ayu memang menggunakan rekening milik ibunya dan ia enggan untuk menggantinya. Sehingga,Bunda Rindu bisa mengecek mutasi rekening yang ia gunakan setiap saat lewat internet banking yang terhubung ke ponsel bundanya itu.

Ayu melangkah tak bersemangat menghampiri Nanda yang terbaring di sana. Ia tidak tahu, harus sedih atau bahagia. Perasaannya kali ini bercampur aduk tak karuan. Ia ingin menangis, tapi tak bisa menangis. Ia ingin tertawa, tapi tak bisa tertawa. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat.

“Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Berbakti atau pergi?” gumam Ayu sambil mengelus perutnya yang sudah membesar. Sekitar dua bulan lagi, ia akan menjalani persalinan dan hingga kini ia masih belum mengetahui jenis kelamin anak yang ada di dalam perutnya itu. Ia memang sengaja tidak melakukan USG karena Nanda belum ada waktu menemaninya melihat calon bayi mereka. Mungkinkah Nanda memang tidak ingin memiliki waktu untuk melihat bayi yang tidak pernah mereka inginkan ini?

“Nak, bunda akan sayang sama kamu. Sehat-sehat, ya! Temani bundamu berjuang. Kamu anak hebat!” ucap Ayu menyemangati diri sendiri sambil tersenyum manis. Hanya senyuman kecil dan doa-doa kebaikan yang bisa ia lakukan saat ini. Ia harap, kejadian ini bisa memberi Nanda pelajaran dan menjadikannya kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab atas dirinya sendiri juga keluarga kecil mereka.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil membuka matanya perlahan. Ia langsung menoleh ke arah Ayu yang sedang berdiri di sisi ranjangnya.

“Udah sadar?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda mengangguk kecil. “Aku haus.”

Ayu segera meraih botol air mineral yang ada di atas nakas dan membantu meminumkannya ke mulut Nanda. “Kamu sudah sadar dari pengaruh obat bius. Apa kamu juga bisa sadar dari pengaruh pergaulan bebas di luar sana? Kamu sudah mau jadi ayah, mau sampai kapan kayak gini terus? Sekarang, barangmu kemungkinan nggak bisa berdiri lagi. Apa cewek-cewek itu mau berhubungan sama kamu lagi?”

“HAH!?” Nanda langsung memeriksa bagian inti tubuhnya yang dibalut perban pasca operasi. “Anjing si Sonny!” umpatnya. “Aku bakal balas perbuatan dia!”

Ayu menghela napas. “Kamu yang salah, Nan. Kenapa kamu nggak pernah menyadari kesalahanmu? Harusnya, Sonny nggak bikin kamu kayak gini. Harusnya dia bikin kamu mati sekalian!” ucapnya kesal.

“Kamu mau jadi janda kalau aku mati!?” sahut Nanda tak kalah kesal. Ia tiba-tiba benci dengan dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan hubungan intim bersama sang istri, apalagi wanita lain.

Ayu gelagapan mendengar pertanyaan Nanda. Bukannya berubah, pria ini malah semakin menyebalkan pasca terbangun dari pengaruh obat bius. “Kusumpahin barangmu nggak bisa bangun lagi untuk selamanya!” ucapnya kesal sambil melangkah pergi meninggalkan Nanda.

“Ay, kamu mau ke mana?” seru Nanda. Meski ia tidak mencintai Ayu, tapi ia sangat membutuhkan wanita itu untuk saat ini. Ia tidak mungkin meminta orang lain merawat luka di bagian inti tubuhnya ini. Akan lebih memalukan lagi jika semua orang tahu kalau barangnya telah rusak dan ia tidak bisa melakukan hubungan normal seperti biasanya.

 

 

 

 

((Bersambung...))

Bab 26 - Can't Love, But I Need Him

 



Ayu melangkahkan kakinya perlahan memasuki kantor polisi, tempat Sonny ditahan untuk sementara. Setelah melewati pemeriksaan dan mendapatkan izin, Ayu akhirnya bisa bertemu dengan Sonny yang sedang duduk di dalam sel tahanan sementara. Air matanya mengalir seketika melihat pria yang begitu ia cintai, mendekam di dalam sana.

“Sonny ...!” panggil Ayu sambil menghampiri pria itu.

Sonny langsung mendongakkan kepalanya. “Ayu? Kenapa kamu ke sini?” Tatapannya langsung terfokus pada air mata Ayu yang jatuh ke perutnya yang sudah membesar.

Ayu menjatuhkan lututnya ke lantai dan bersimpuh di hadapan Sonny. “Maafin aku, Son! Aku udah bikin kamu jadi kayak gini.”

“Ay, kenapa kamu minta maaf sama aku? Nanda yang salah, bukan kamu.”

“Hiks ... hiks ... hiks ... aku yang salah karena aku tidak bisa menjaga kesucian cinta kita, Son. Aku yang sudah melukai kamu. Aku sudah mengecewakan kamu. Aku nggak bisa jadi wanita yang baik seperti yang kamu minta,” ucap Ayu dengan berlinang air mata.

Sonny menggeleng sambil menangkup wajah Ayu dan mengusap air mata Ayu menggunakan ibu jarinya dengan lembut.

Ayu semakin terisak saat tangan Sonny menyentuh lembut wajahnya. Ia sangat merindukan tangan yang begitu nyaman dan damai saat mereka masih bersama.

“Maafin aku ...! Aku sudah melukai suamimu. Aku janji, akan bertanggung jawab,” ucap Sonny sambil menatap wajah Ayu.

“No.” Ayu menggelengkan kepala. “Aku nggak minta kamu bertanggung jawab atas dia, Son. Bertanggung jawablah atas dirimu sendiri. Aku nggak mau masa depan kamu hancur hanya karena emosi sesaat,” ucapnya tanpa bisa menahan derai ait matanya.

“Kamu nggak pernah bahagia sama dia?” tanya Sonny sambil menatap lekat mata Ayu.

Ayu menahan air mata dan tersenyum. “Aku bahagia. Dia pria yang bertanggung jawab.”

Sonny menggeleng. “Kamu lagi bohong.”

Ayu kembali sesenggukan. Ia tidak pernah bisa berbohong di depan Sonny. Ada ribuan hari yang mereka lewati bersama dan semua hal bersamanya adalah hari-hari paling indah dalam hidupnya.

“Ay, aku mau jadi papa buat anak ini. Aku mau terima dia, Ay. Kenapa kamu nggak kasih aku kesempatan untuk memperjuangkanmu?” tanya Sonny sambil menatap wajah Ayu dengan penuh luka.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil menitikan air mata. Ia melepaskan tangan Sonny dari wajahnya perlahan. “Aku sudah kotor, Son. Aku nggak pantas untuk pria sepertimu.”

“Ay, kenapa kamu bilang seperti itu? Aku cinta sama kamu apa adanya, Ay.”

Ayu menggenggam jeruji besi yang ada di hadapannya dan berusaha bangkit dari lantai dengan susah payah. Sejak Nanda menodainya, kepercayaan dirinya untuk terus bersama Sonny benar-benar hilang. Ia malu untuk mengharap Sonny tetap ada di sisinya, ia juga risih dengan dirinya sendiri.

“Ay, kamu mau ke mana?” tanya Sonny sambil memegangi tubuh Ayu. “Kamu lagi hamil. Maafkan aku kalau perbuatanku kali ini melukaimu.”

“Kamu tidak melukaiku, Son. Kamu sedang melukai dirimu sendiri. Kalau kamu cinta sama aku ... jaga baik-baik mimpi-mimpi kita! Karena aku sudah tidak punya tempat untuk menjaga mereka. Please ...! Jangan hancurkan dirimu sendiri! Melihatmu hancur adalah hal paling menyakitkan dalam hidupku. Aku masih ingin lihat kamu jadi dokter. Ingat ‘kan gimana perjuangan kita dulu? Ingat ‘kan gimana susahnya kamu untuk bisa sampai ke titik ini?”

“Ay, aku bisa ada di titik ini karena kamu. Aku mana bisa membiarkan kamu tidak hidup bahagia,” ucap Sonny sambil menatap lekat wajah Ayu.

Ayu tersenyum lebar. “Kata siapa aku nggak bahagia? Aku bahagia, kok.”

“I know you. Kamu bukan tipe wanita yang bisa berbagi hati, Ay.”

“Itulah sebabnya aku tidak ingin membagi hatiku untuk kamu dan Nanda sekaligus. Aku tidak ingin ada dua papa atau dua mama untuk anakku, Son. Kuharap kamu mengerti maksudku,” sahut Ayu.

Ayu tersenyum sambil mengusap lembut pipi Sonny yang dihiasi luka memar akibat bergulat dengan Nanda. “Aku janji, aku akan bahagia. Kamu juga, ya!” pintanya lembut.

Sonny menatap mata Ayu sambil menggelengkan kepalanya. “Aku nggak mau kamu pura-pura bahagia, Ay. Aku ingin lihat kamu bahagia sungguhan.”

 Ayu tersenyum menatap wajah Sonny. “Kamu sedang membantuku untuk mendapatkan bahagia sungguhan, Son. Please, kamu juga berjanji untuk melanjutkan mimpi-mimpi kita! Kamu harus jadi dokter terbaik untuk anak-anak yang membutuhkan sentuhan tanganmu. Kamu akan jadi dokter malaikat yang dicintai sama wajah-wajah lucu di luar sana.”

“Ay, aku ...”

“Aku akan membantumu bebas dari sini. Setelahnya, kamu harus menjalani kehidupanmu dengan baik. I never stop love you. Aku ingin lihat kamu bahagia, meski bahagiamu bukan aku,” ucap Ayu sambil memundurkan langkahnya perlahan.

“Ay, jangan pergi ...!” pinta Sonny sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tersenyum. Ia melirik polisi yang sudah berdiri di belakangnya. Ia tahu, waktu kunjungannya terbatas dan ia harus segera pergi dari sana.

“Ayu, kamu di sini?”

Ayu menghentikan langkahnya saat ia baru saja ingin keluar dari gedung tersebut. Ia langsung menatap dua orang yang sudah berdiri tepat menghadangnya.

“Sonny sama Nanda beneran berantem?” tanya Bunda Rindu yang datang bersama suaminya.

“Bunda sama Ayah tahu? Tahu dari mana?” tanya Ayu.

“Dari berita. Beritanya udah nyebar ke mana-mana.”

Ayu menghela napas dan menatap wajah ayahnya. “Ayah, tolong Sonny! Ayu nggak mau karir dia hancur karena hal ini,” pintanya lirih.

Edi mengangguk. “Ayah pasti tolong Sonny.”

Ayu tersenyum lega. Ia melirik arloji mungil yang ada di tangan kirinya. “Ayu harus balik ke rumah sakit. Jadwal operasi Nanda sebentar lagi selesai.”

“Kamu ke sini naik apa? Bunda antar, ya!” pinta Bunda Rindu.

“Bawa mobil sendiri, Bunda.”

Bunda Rindu menghela napas. “Perutmu udah besar gini, nggak kesulitan kalau nyetir?”

“Nggak, Bunda. Bisa pelan-pelan, kok.”

“Biar diantar sama bundamu! Ayah akan bantu urusan di sini. Ayah tahu, kamu biasa melakukan semuanya sendiri. Tapi kamu lagi hamil, jangan membahayakan bayi kamu!” perintah Edi.

Ayu mengangguk.

Bunda Rindu tersenyum. Ia merangkul pinggang Ayu dan membawanya melangkah menuju parkiran. “Cucu nenek yang kuat, ya!” ucapnya sambil mengelus lembut perut Ayu.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah bundanya. Ia harap, kedua orang tuanya tidak akan pernah tahu apa yang dilakukan Nanda terhadapnya. Ia tidak ingin membuat ayah dan bundanya bersedih, terlebih menambah beban pikiran keduanya. Semua rasa sakit ini memang takdir yang tidak bisa ia hindari. Ia tidak mungkin meninggalkan Nanda begitu saja, sebab ia butuh pria itu untuk menjadi ayah dari anaknya.

“Roro, kenapa Sonny dan Nanda sampai berkelahi? Apa yang kamu lakukan? Apa kamu masih punya hubungan sama Sonny? Wanita itu ... jangan terlalu memberi harapan pada pria! Sonny itu pria yang baik, tapi bukan jodohmu. Kamu sudah bersuami, harusnya kamu menjaga jarak dengan pria lain. Berbaktilah sebagai seorang istri!” ucap Bunda Rindu lembut sambil menatap Ayu yang sudah duduk manis di dalam mobil bersamanya.

“Bunda, I can’t love him,” ucap Ayu. “Aku sudah berusaha untuk mencintai Nanda. But, hatiku nggak bener-bener nyaman sama dia.”

Bunda Rindu menghela napas. “Kenapa kalian terlihat baik-baik aja? Cuma drama depan orang tua?”

Ayu menggeleng pelan. “Kami memang baik-baik saja, Bunda. Nanda sudah bertanggung jawab memberiku nafkah, sudah berusaha menjadi ayah yang baik untuk calon anak kami. Aku yang bersalah karena ... hatiku masih terikat pada Sonny. How to moving?”

“Pelan-pelan saja! Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Seorang istri harus tetap berbakti pada suami. Apalagi dia pria yang bertanggung jawab dan memperlakukan kamu dengan baik. Okay?” pinta Bunda Rindu sambil tersenyum manis.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia menatap nanar ke arah perutnya yang mulai membesar. Nanda memang selalu memperlakukannya dengan baik. Tidak pernah berkata kasar, tidak pernah memukul dan selalu memenuhi kebutuhannya. Hanya saja, cintanya masih terbagi dengan wanita-wanita lain dan ia tidak mungkin bisa membalikkan kehidupan Nanda dalam sekejap.

Keseharian Nanda, sudah terbiasa dihinggapi banyak wanita. Bagaimana caranya agar ia bisa membuat Nanda mencintainya seperti yang ada dalam drama atau cerita novel-novel tentang cinta? Semudah itu membuat pria jatuh cinta dengan pesona mereka. Sedangkan dia? Sekeras apa pun ia berusaha menjadi seorang istri yang baik dan membanggakan, Nanda tidak pernah benar-benar melihatnya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf kalau kemarin tidak bisa update karena setiap weekend selalu ada kegiatan sosial di rumah bacaku. Terima kasih atas pengertiannya dan tetap setia jadi teman bercerita!

 

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 25 - Awal Penderitaan Nanda

 



Ayu mengerjapkan mata perlahan saat ia mendengar kumandang adzan subuh dari masjid yang berada di komplek perumahannya. Ia membuka mata dan mengangkat tubuhnya perlahan.

“Nan, sholat subuh!” pinta Ayu sambil meraba kasur di sebelahnya. Namun, ia  menemukan ranjang itu kosong. Ayu menoleh ke kasur itu sejenak dan mengedarkan pandangannya. Ia langsung turun dari ranjang dan memeriksa suaminya itu ke kamar mandi.

“Dia ke mana pagi-pagi gini? Tumben banget? Nggak ngantor ‘kan?” gumam Ayu. Rasa penasarannya bercampur khawatir, bergelayut di dalam dadanya. Ia bergegas keluar dari kamar sambil terus memanggil nama suaminya itu.

“Hhh ... hhh ... hhh ...” Ayu berusaha menarik napas sambil memegangi pinggangnya yang terasa sangat pegal setelah mengelilingi rumahnya. Ia tidak bisa melihat sosok Nanda di rumah itu. Namun, mobil pribadinya masih terparkir baik di carport dan semua pintu rumah terkunci dengan rapat.

“Kamu ke mana, sih? Nggak diculik orang ‘kan? Masa iya ada orang yang bisa nyulik kamu?” tanya Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Ia menghampiri nakas dan meraih ponsel miliknya.

Ayu mengernyitkan dahi saat melihat belasan panggilan tak terjawab dari Sonny. “What happen?” gumamnya. “Apa Nanda lagi sama Sonny?” Ia langsung men-dial nomor ponsel Sonny, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.

“Ada apa, Son?” Ayu akhirnya mengirimkan pesan singkat ke nomor kontak Sonny. Ia akhirnya memilih untuk menelepon mama mertuanya. Namun, Nanda juga tidak ada di rumah itu.

TING!

Ayu langsung melihat pop-up notifikasi dari akun LinkedIn miliknya. “Ayu, ini Arlita. Kamu blokir nomorku? Bisa ke rumah sakit, sekarang? Nanda harus dioperasi dan aku nggak punya uang buat bayar biaya operasi dia. Jangan kasih tahu keluarga dia dan keluarga kamu dulu, ya!”

Ponsel yang ada di tangan Ayu, langsung meluncur ke lantai begitu saja. “Na-nanda lagi sama Lita?” ucapnya lirih dengan tubuh gemetaran. Detik berikutnya, ia berusaha menguatkan diri dan menjaga kesadarannya.

Ayu melangkah perlahan menuju lemari pakaiannya, meraih sweeter tebal warna peach dan memakainya. Ia segera mengambil ponselnya yang terjatuh ke lantai, mengambil dompet dan memasukkan ke dalam tas tangannya. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, ia langsung bergegas keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil.

Ayu terdiam sejenak saat setir mobilnya menempel ke perutnya yang sudah membesar. Ia mencoba menggeser mundur kursi yang ia duduki, tapi macet. “Ini gimana? Kenapa deket banget sama setir?” gumamnya sambil menggerakkan setirnya perlahan. Ia berusaha keras menjaga keseimbangannya. Membawa mobil itu perlahan hingga ia sampai ke salah satu rumah sakit yang sudah diberitahukan Arlita lewat pesan singkat.

Setelah memarkirkan mobilnya dengan baik, Ayu langsung melangkah masuk ke dalam pintu IGD. Ia menghampiri Arlita yang duduk di ruang tunggu.

“Di mana suamiku?” tanya Ayu dingin.

Arlita langsung mengangkat wajahnya dan bangkit dari kursi. “Dia di dalam, Yu. Kata dokter, dia harus secepatnya dioperasi. Tapi, limit kartu kredit dia nggak cukup buat bayar uang mukanya,” ucap Arlita sambil menyodorkan kartu kredit Nanda ke hadapan Ayu.

Ayu langsung menyambar kasar kartu dari tangan Arlita. “Harusnya kamu sadar kalau kamu itu nggak berguna buat Nanda! Buat apa masih berhubungan sama dia di belakangku!?”

Arlita menitikan air mata sambil menatap wajah Ayu. “Yu, kamu tahu kalau aku dan Nanda udah pacaran selama bertahun-tahun. Kami masih saling mencintai, Yu. Bolehkah aku tetap di sisi dia, Yu?” pintanya.

“Pikirkan dulu apa gunamu di sisi dia! Kalau cuma buat puasin nafsu doang, semua orang juga bisa!” sahut Ayu kesal sambil melangkah memasuki pintu utama ruang IGD. “Oh ya, satu lagi. Aku nggak akan membiarkan ada dua mama untuk anakku! Aku nggak cinta sama Nanda, tapi aku butuh dia untuk anak kami. Aku diam bukan berarti lemah, Lit. Aku udah kasih kesempatan kamu supaya berubah dan ninggalin Nanda. Kalau kamu masih keukeuh main gila sama suami orang, aku bakal hancurkan hidupmu perlahan!” ancam Ayu sambil masuk ke dalam pintu tersebut dengan langkah pasti.

“Kamu yang ngerebut dia dari aku, Yu! Harusnya aku yang marah!” seru Arlita. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menahan kekesalan di dalam hatinya. Sejak ia diusir keluar dari apartemen Nanda, kebenciannya terhadap Ayu semakin menjadi-jadi. “Aku pasti rebut Nanda lagi dari kamu!”

Ayu langsung melangkah menghampiri meja resepsionis yang ada di ruang IGD tersebut. “Mbak, saya istri dari pasien atas nama Ananda Putera Perdanakusuma,” ucap Ayu sambil menyodorkan copy dokumen kartu keluarga dan kartu identitas milik Nanda.

“Ananda Putera Perdanakusuma. Pasien yang harus operasi di bagian penisnya ya? Ini tagihannya! Setelah dibayar, barulah bisa dilakukan tindakan oleh dokter,” ucap perawat yang bertugas di meja resepsionis dan kasir.

“Operasi apa, Sus?” Mata Ayu nyaris terbelalak mendengar ucapan dari perawat itu.

“Operasi penis, Bu. Penisnya hancur karena terlibat perkelahian dengan temannya sendiri. Untuk lebih jelasnya, silakan tanyakan ke polisi itu!”

Ayu langsung memutar kepala menatap dua pria berseragam polisi yang terlihat sedang berbincang serius. Ia menatap tagihan yang ada di tangannya dan harus segera membayar untuk menyelamatkan suaminya.

“Aaargh ...!” Suara Nanda terdengar menggema ke semua ruangan itu. Ayu langsung berlari ke arah sumber suara dan membuka tirai yang menutupi salah satu ranjang pasien di sudut ruangan.

“Na-Nanda ...!?” Mulut Ayu terbuka lebar saat melihat alat kelamin milik Nanda sudah dipenuhi darah. Juga wajah tampannya yang sudah babak belur.

“Maaf, Bu ...! Anda siapa?”

“Saya istrinya, Suster.”

“Tagihan untuk operasi sudah dibayar?”

Ayu terdiam sambil menatap kertas tagihan di tangannya.

“Cepat dibayar supaya dokter bisa segera melakukan operasi!” pinta perawat yang ada di sana.

“Ayu, tolong! Sakit banget!” pinta Nanda sambil berusaha meraih lengan Ayu. “Aku udah kasih kartuku ke Lita dan dia belum bayarin tagihanku sampai sekarang. Aku sakit, Yu!” rintihnya.

Ayu menghela napas. “Limit kartu kredit kamu udah habis, Nan. Kamu terlalu banyak menggunakan uangmu buat menyenangkan wanita itu. Sekarang, kamu butuh uang cash delapan ratus juta untuk operasi. Bisa dapet dari mana? Aku minta sama Oom Andre?”

“Jangan kasih tahu papa, Ay! Please ...!” pinta Nanda sambil menatap nanar ke arah Ayu.

“Kami akan kasih anastesi dulu, Bu. Tolong segera lakukan pembayaran!” pinta perawat yang ada di sana. Ia tidak tahan mendengar Nanda yang terus berteriak kesakitan ketika anestesi yang mereka suntikan sudah habis.

“Nggak usah dianastesi, Suster. Dia kuat, kok. Cowok kayak dia, nggak butuh anastesi,” pinta Ayu. Meski kasihan, ia sangat kesal dengan Nanda yang masih diam-diam punya hubungan dengan Arlita.

“Ay, kamu ...!?” Nanda menggigit bibirnya, menahan rasa nyeri di bagian alat vitalnya.

“Aku bayar biaya operasi kamu dulu. Baik-baik di sini, ya! Harus kuat, dong! Bentar lagi jadi papa,” pinta Ayu. Ia tersenyum manis sambil menepuk pipi Nanda, kemudian bergegas pergi untuk melunasi tagihan rumah sakit agar Nanda bisa segera diselamatkan.

Setelah selesai membayar tagihannya, Ayu langsung bernapas lega. Ia tidak lagi peduli dengan uang tabungannya yang terkuras habis. Ia harap, kejadian ini bisa membuat Nanda berubah menjadi pria yang baik dan bertanggung jawab.

Ayu mengedarkan pandangannya. Ia langsung menghampiri dua orang polisi yang ada di sana. “Pak, saya boleh tahu ... apa yang sebenarnya terjadi sama suami saya?” tanya Ayu.

Dua orang polisi itu langsung menoleh ke arah Ayu. “Suaminya yang mana?”

“Yang dari tadi teriak-teriak kesakitan karena itunya luka,” jawab Ayu dengan nada malu-malu.

“Oh itu ... gini, Mbak ...!” Dua orang polisi itu langsung menceritakan kronologi kejadian dari versi Arlita dan Sonny. Mereka juga mengatakan kalau telah menahan Sonny untuk dimintai keterangan karena kasus perkelahian tersebut.

Ayu menghela napas kecewa. Yang ia tahu, Sonny tidak pernah marah sampai seperti ini. Jika dia sampai memukul Nanda, itu artinya kesalahan Nanda memang tidak termaafkan. Mungkinkah Sonny tahu kalau selama ini Nanda tidak pernah memperlakukannya sebagai istri dengan baik?

“Son, kamu boleh marah. Tapi tidak dengan menghancurkan dirimu sendiri seperti ini,” tutur Ayu dalam hati. Ia bergegas melangkahkan kakinya keluar dari rumah sakit. Ia berniat menjenguk Sonny yang sudah ditahan pihak kepolisian Reserse Kriminal kota Surabaya sembari menunggu Nanda yang masih harus menjalani operasi selama beberapa jam ke depan.

“Son, why you so stupid!”

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 

 


Bab 24 - Murka

 



Nanda mengintip wajah Ayu yang sudah tertidur pulas. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia beringsut perlahan dan turun dari ranjang tidurnya. Dengan cepat, ia mengganti pakaiannya dan turun dari kamar.

Nanda berjalan mengendap-ngendap agar tidak menimbulkan suara hingga ia keluar dari gerbang rumahnya. Ia melangkahkan kakinya perlahan, menyusuri jalan perumahan miliknya sembari memainkan ponsel untuk memesan taksi online.

Beberapa menit kemudian, taksi yang dipesan Nanda sudah tiba di depan pintu masuk perumahannya. Ia segera masuk ke dalam taksi tersebut dan langsung menuju ke Galaxy Hotel.

Begitu sampai di Galaxy Hotel, ia langsung melangkah memasuki lift, menuju ke lantai kamar yang sudah ia pesan sebelumnya.

“Aku sudah sampai,” ucap Nanda lewat pesan singkat saat ia sudah sampai ke lantai yang ia tuju dan berdiri di depan nomor kamar yang ia pesan. Setelah memastikan kalau pesannya terbaca, ia langsung membersihkan chat yang ia kirimkan.

KLEK!

“Nan, I miss you ...!” seru Arlita saat pintu kamar itu terbuka dan langsung merangkul tubuh Nanda.

Nanda tersenyum menatap wajah Arlita dan mengecup bibir wanita itu. “Aku juga kangen sama kamu.”

“Ayu sudah tidur?” tanya Arlita sambil menatap lekat wajah Nanda.

Nanda mengangguk. “Aku nggak punya banyak waktu untuk ketemu kamu, Ar. Kalau Ayu tahu kita masih berhubungan, seluruh hidupku bakal habis.”

“Nevermind. Satu jam aja cukup buat servis kamu,” jawab Arlita sambil mengerdip centil. “Masuk, yuk!” ajaknya sambil menarik lengan Nanda.

Nanda tersenyum lebar. Ia benar-benar merindukan wanita cantik yang selalu membuatnya tergila-gila di atas ranjang. Sayangnya, takdir malah membuatnya menikah dengan perempuan polos yang tidak tahu bagaimana cara memuaskan hasratnya yang terlalu tinggi.

KREEEK ...!

BUG!

Tubuh Nanda langsung tersungkur ke lantai saat kerah bajunya ditarik oleh seseorang dan wajahnya terhujam kepalan tangan hingga membuat sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.

“SONNY ...! Kamu apa-apan, sih!?” seru Arlita sambil menatap Sonny yang tiba-tiba ada di sana.

“Kamu masih punya hubungan sama Nanda?” tanya Sonny sambil menatap wajah Arlita dengan tatapan berapi-api.

Arlita gelagapan mendengar pertanyaan Sonny.

“Parah kamu, Lit! Nanda itu udah jadi suaminya Ayu dan kamu masih jadiin dia temen tidurmu?”

“Son, aku ...” Arlita menatap wajah Sonnya dengan tubuh gemetaran. Ia khawatir jika Sonny membongkar semua kelakuannya di belakang Nanda selama ini.

“PELACUR ...!” umpat Sonnya sambil menatap wajah Arlita.

Nanda langsung bangkit dari lantai sambil mengepalkan tangannya. Ia langsung menghujamkan pukulan dengan cepat ke wajah Sonny. “Arlita itu cewekku! Bukan Pelacur!”

Emosi dalam dada Sonny semakin meningkat saat Nanda masih mengakui Arlita sebagai kekasihnya. Terlebih, pria itu masih membela Arlita. Bukannya merasa bersalah karena telah mengkhianati istrinya sendiri.

“ANJING KAMU, NAN!” seru Sonny sambil menghujamkan pukulannya kembali ke wajah Nanda.

BUG!

BUG!

BUG!

Nanda dan Sonny saling menyerang dan tidak ada yang mau mengalah.

“SONNY, STOP!” teriak Arlita. Tapi ia tidak berani memisahkan dua pria yang sedang berkelahi tersebut karena mengetahui kalau mereka berdua berada di bawah naungan satu perguruan silat yang cukup besar di negara ini. “NANDA, STOP!” pintanya histeris sambil menitikan air mata.

BUG!

Tendangan terakhir dari kaki Sonny, akhirnya membuat tubuh Nanda tersungkur ke lantai.

“BAJINGAN KAMU, NAN! Aku serahin Ayu ke kamu buat kamu bahagiain. Bukan kayak gini!” seru Sonny sambil menjejak alat vital Nanda sekuat tenaga.

“AARGH ...! ANJING KAMU, SON!” seru Nanda sambil memegangi alat vitalnya. Dua bola matanya memerah dan nyaris keluar karena menahan rasa sakit yang begitu menyiksa.

“Kamu yang anjing, Nan!”

“SONNY ...! Kamu tega banget, sih!? Jahat!” seru Arlita sambil menghampiri Nanda dan merangkul pria yang sedang merintih kesakitan itu.

“Kalian juga sudah tega menghancurkan hidup wanita yang paling aku cintai. Kalau bukan karena cowok bajingan ini, aku dan Ayu juga nggak akan berpisah!” seru Sonny dengan emosi yang masih berapi-api.

“Kalau kamu masih cinta sama Ayu, ya kamu perjuangin dia, dong! Kami berdua juga masih saling cinta. Jangan salahkan kami karena Ayu yang udah ngerebut Nanda dari aku!” seru Arlita.

“Kamu ...!?” Sonny mengepalkan tangannya dan nyaris memukul Arlita.

“Dokter ...!” Asisten perawat Sonny tiba-tiba muncul dan menahan lengan pria itu.

“Roro Ayu bukan wanita sembarangan. Kalau aku ikhlaskan dia, itu karena aku percaya sahabatku bisa bikin dia bahagia. Karena aku beda kota, kalian bisa memperlakukan Ayu seperti ini, hah!? Inget, Nan! Aku bisa menghancurkan hidupmu lebih dari ini!” ancam Sonny.

“Nanda yang bakal hancurin hidup kamu! Lihat aja, kami bakal laporin kamu ke polisi dan bikin kamu mendekam di penjara!” ancam Arlita.

“Kamu siapanya Nanda, hah!? Cuma pacar. Bukan istri sah dia. Roro Ayu punya hak lebih daripada kamu. Laporin ke polisi aja! Kita lihat, apa yang akan dilakukan orang tua Ayu kalau tahu puteri kesayangan mereka diperlakukan seperti ini!” sahut Sonny sambil menendang kaki Nanda yang sudah merintih kesakitan dan bergegas melangkah masuk ke dalam kamar hotel yang berada tak jauh dari mereka.

“Dokter, aku keluar carikan obat dulu!” ucap Asisten Perawat yang terus mengikuti langkah Sonny dengan perasaan khawatir melihat wajah seniornya itu babak belur. Ia tidak tahu apa yang terjadi hingga membuat seorang dokter anak yang biasanya begitu lembut dan penyayang, tiba-tiba terlibat perkelahian hebat dengan pria yang dia panggil sebagai sahabat. Sepertinya, wanita istimewa yang telah menggerakkan hati seniornya itu.

Sonny mengangguk. “Kamu minta rekaman CCTV sebelum aku berantem sama Nanda!” perintahnya.

“Baik, Dokter.” Asisten perawat itu segera keluar kembali dari dalam kamar. Ia mendapati Arlita dan Nanda yang masih berbaring di lantai koridor dengan wajah babak belur dan bagian bawah perutnya mengeluarkan rembesan darah. Ia meringis nyeri melihat nasib pria yang baru saja dihajar habis-habisan oleh seniornya itu.

“Mas, tolong aku! Bantu aku bawa dia ke rumah sakit!” pinta Arlita sambil berlinang air mata.

Asisten perawat itu mengangguk. Baru saja ingin melangkah menghampiri Nanda, dua orang pria berseragam security berlari ke arah mereka. Ia langsung mengurungkan niatnya dan membiarkan dua security itu membopong tubuh Nanda yang sudah tidak sadarkan diri untuk segera dilarikan ke rumah sakit. Sebab, ia ngeri dan tidak tega melihat kondisi pria itu. Ia harap, nyawa pria itu masih bisa diselamatkan. Jika tidak, seniornya akan terancam dipenjara.

Di dalam kamar, Sonny menatap ke luar jendela. Gemerlapnya kota Surabaya, sudah lama tidak pernah ia nikmati. Ia mengambil ponsel dan menelepon Ayu beberapa kali, tapi tidak mendapatkan jawaban. Ia tahu, kebiasaan Ayu setiap malam adalah meletakkan ponselnya dalam mode silent. Perasaannya tak karuan dan pertanyaan di kepalanya semakin bertambah. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan mantan tunangannya itu.

“Ayu ... are you happy now?” bisik Sonny sambil menatap cincin tunangan yang masih melingkar erat di jemari tangannya. Andai hari itu ia mau berjuang untuk Ayu. Mungkin hidupnya tidak akan berakhir seperti ini. Ia sudah sangat mengenal Nanda dan Arlita sejak mereka duduk di bangku SMA.

Ia pikir, Nanda akan berhenti bermain wanita setelah menikah. Nyatanya, sahabatnya itu tidak pernah berubah dan malah membuat hati Ayu terluka. Ia tidak peduli dengan Nanda, yang ia pedulikan hanyalah Ayu. Ia ingin melihat Ayu bisa hidup bahagia, meski bukan dia yang menjadi sumber kebahagiaan itu. Tapi jika Nanda malah menyakitinya, maka ia tidak akan segan merebut Ayu kembali ke dalam pelukannya.

 

 

((Bersambung...))

 

Nantikan kisah seru selanjutnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas