Seminggu kemudian, Nanda sudah
diizinkan pulang ke rumah. Ayu dengan telaten merawat luka bekas operasi
suaminya itu.
“Nan, karena lukamu udah
sembbuh, aku punya hadiah buat kamu,” ucap Ayu sambil tersenyum manis ke arah
Nanda.
“Sembuh apanya? Barangku nggak
bisa bangun gini. Kedutan dikit aja udah sakit,” sahut Nanda sambil merintih
menahan bagian inti tubuhnya yang masih terasa nyeri setiap kali ia mencoba
untuk memunculkan hasrat kelelakiannya.
“Setidaknya, kamu sudah bisa
jalan, Nan. Orang lain nggak perlu tahu kalau barangmu nggak bisa bangun,”
sahut Ayu sambil tersenyum manis. Ia mengambil sebuah amplop dari dalam tas
tangannya dan menyodorkan ke hadapan Nanda.
“Apa ini?” tanya Nanda saat
manik matanya langsung menangkap logo institusi kepolisian yang sangat khas.
“Kasus penganiayaan terhadapku tetep dilanjutkan? Baguslah. Ini nggak seberapa
kalau dibandingkan dengan kehancuran masa depanku,” ucapnya.
Ayu tersenyum menatap wajah
Nanda. “Papamu sudah resmi mencabut tuntutannya ke Sonny dan menyelesaikan semua
dengan cara kekeluargaan.”
“Serius!? Sonny bisa bebas gitu
aja?”
Ayu mengangguk. “Papamu sudah
mengeluarkan uang untuk membebaskan dia.”
“Hah!? Ini aku yang bego atau
gimana? Aku yang dipukulin sampai masuk rumah sakit. Kenapa papaku yang harus
ngeluarin uang untuk bebasin Sonny. Ini nggak bener, Ay!” sahut Nanda sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ayu tersenyum sambil menatap
wajah Nanda. “Yang nggak bener itu kamu, Nan,” batinnya.
“Rekaman CCTV itu udah jelas
kalau Sonny mukulin aku, Ay! Masa dibebasin gitu aja, sih? Mukaku hancur, masa
depanku, apalagi,” ucap Nanda sambil
melirik ke arah senjata andalan yang ada di bawah pusarnya.
Ayu tersenyum menanggapi ucapan
Nanda. “Kamu nggak mau baca ini surat apa?”
Nanda mendengus kesal dan
merobek ujung amplop tersebut, kemudian mengambil surat dari dalam amplop
tersebut dan membacanya. Ia menelan saliva dengan susah payah saat membaca
surat panggilan dari kepolisian dan statusnya telah ditetapkan sebagai
tersangka atas kasus pelecehan seksual, penelantaran keluarga dan
perselingkuhan, juga kasus perkelahian.
“Ay, kamu nuntut aku? Buat apa
kamu baik-baik sama aku kalau di belakang, kamu nusuk aku?” seru Nanda kesal
sambil melemparkan surat itu ke lantai begitu saja.
“Gimana rasanya? Kecewa?
Sakit?” tanya Ayu. “Itu yang aku rasain saat kamu bersikap baik sama aku, tapi
kamu tega selingkuh di belakangku.”
“Aku nggak selingkuh, Ay!
Arlita itu ...” Nanda menghentikan ucapannya dan menatap serius ke arah Ayu.
“Kamu tahu aku nggak pernah serius sama perempuan. Aku nggak bisa cinta sama
kamu, Ay. Aku nikahin kamu cuma sebatas tanggung jawab. Nggak bisa semudah itu
aku berpindah hati. Nggak masuk di logikaku, Ay!”
“Sama. Aku juga nggak bisa
semudah itu berpindah hati. Kalau boleh milih, aku nggak akan pernah terlibat
dengan pernikahan bedebah ini!” sahut Ayu.
Nanda menghela napas sambil
menggaruk alisnya yang tidak gatal. “Kita nggak usah berdebat, Ay! Aku akan
kasih semuanya buat kamu. Asal nggak gini caranya. Kamu tega mau penjarain
suamimu sendiri?”
“Iya.”
“Terus, gimana sama masa depan
anak kita, Ay? Aku butuh cari nafkah untuk menghidupi kalian. Gimana perasaan
anak kita nanti kalau tahu papanya narapidana?” tanya Nanda.
“Aku akan menghadapinya. Memang
seperti itu adanya kamu. Aku sudah berusaha memberimu kesempatan untuk berubah,
Nan. You wanna be Daddy! Tapi kamu nggak bisa jadi contoh yang baik buat
keluarga kecil kita! Aku ... lebih baik merawat dan membesarkan anakku sebagai
single mom daripada harus mendidik dia dalam rumah tangga yang toxic!” sahut
Ayu sambil menatap Nanda dengan tatapan berapi-api.
“Ya kamu yang bikin semuanya
jadi ruyam dan toxic!” ucap Nanda tak mau kalah.
“Aku?” Ayu tertawa kecil. “Kamu
ini beneran nggak bisa sadar, ya? Yang salah itu kamu, Nan! Dari awal, kamu
yang salah! Kamu yang udah merenggut semua impianku, masa depanku dan semua
kebahagiaan yang aku miliki,” ucapnya sambil menitikan air mata.
Nanda terdiam sesaat menatap
wajah Ayu. “Ay, jangan nangis!” pintanya sembari meraih tangan Ayu dan
menggenggamnya. “Kita baikan lagi, ya! Aku capek berantem sama kamu. Kamu mau
apa? Aku akan berusaha penuhi semua keinginan kamu.”
“Yang aku mau sejak dulu cuma
satu, Nan.”
“Apa?”
“Melihatmu hancur,” jawab Ayu
sambil menatap lekat mata Nanda.
DEG!
Nanda membeku menatap Ayu yang
ada di hadapannya. Ia tidak menyangka jika gadis yang begitu lembut dan tenang
ini menyimpan kebencian yang begitu dalam untuknya. “Ay, aku tahu kamu lagi
emosi. Kita baikan, ya! Demi anak kita. Jangan penjarain aku, Ay!” pintanya
lirih.
Ayu menarik napas dalam-dalam
sambil memejamkan mata saat Nanda memilih menurunkan nada suaranya. Pikirannya
semakin tidak karuan karena sikap Nanda yang tidak bisa ia baca ketulusan
hatinya.
“Ay, please ...! Kita baikan
lagi, ya!” pinta Nanda sambil meremas jemari tangan Ayu. Ia menarik tubuh
wanita itu perlahan dan memeluk perut Ayu yang sudah membesar. “Aku sayang dia,
Ay. Kamu juga ‘kan?”
“Kalau kamu sayang, kamu nggak
akan pergi sama wanita lain, Nan. Aku nggak akan kasih dua mama untuk anakku!”
“Ay, aku sama Arlita nggak
ngapa-ngapain,” tutur Nanda.
“Tapi mau ngapa-ngapain ‘kan?”
“Ck. Pikiranmu terlalu negatif,
Ay!” Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan terus berusaha mencari cara
agar Ayu bersikap baik dan menarik semua tuntutan hukum terhadapnya.
“Terus, ngapain janjian ketemu
di hotel tengah malam? Kamu kira aku bego apa?” sahut Ayu. “Aku diam, bukan
berarti aku nggak tahu apa-apa!”
“Aku baru sampai di pintu hotel
karena Arlita memang kebetulan nginap di sana. Sonny yang tiba-tiba mukul aku
tanpa kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya,” ucap Nanda.
Ayu menggeleng-geleng heran
menatap wajah Nanda. “Kamu keluar diam-diam dari rumah tengah malam, kamu
salah. Menemui Arlita di hotel, jauh lebih salah lagi! Dari semua kesalahan yang
kamu buat, kamu pernah minta maaf ke aku dengan tulus? Nggak ‘kan? Kamu malah
sibuk nyari kesalahan orang lain!”
Nanda menghela napas. “Aku
minta maaf, Ay!” ucapnya lirih.
“Maafku saat ini sudah habis.
Nggak bisa kamu minta.”
“Ck. Salah lagi ‘kan? Ayolah!
Kita baikan seperti biasanya, ya!” pinta Nanda sambil memainkan alisnya menatap
Ayu.
Ayu mengangguk kecil. Ia lelah
jika setiap hari harus bertengkar di dalam rumah sendiri. “Sikap baikku ke
kamu, tidak akan mengubah proses hukum yang sedang berjalan. Ayah tidak akan
mencabut tuntutannya, Nan.”
“Ck. Terserah kamu, deh! Yang
penting, kita baikan. Oke?” pinta Nanda sambil tersenyum menatap wajah Ayu. Ia
memeluk tubuh wanita itu dan terus menciumi perut Ayu. Kepalanya terus
memikirkan cara agar Ayu dan keluarganya menarik tuntutan terhadapnya. Yang
harus ia lakukan saat ini adalah bersikap baik pada Roro Ayu agar wanita itu
tidak pergi meninggalkannya dalam keadaan sakit seperti ini.
Ayu menarik napas dalam-dalam.
Hatinya bergejolak. Ia tidak ingin berubah menjadi jahat seperti ini. Tapi ia
juga tidak tahan hidup dalam rumah tangga yang penuh kepalsuan seperti ini.
Mereka hanya berpura-pura cinta, tapi hati mereka sama-sama berada di tempat
lain.
“Ay, jangan marah lagi, ya! Aku
janji, aku akan memperlakukan kamu dengan baik.”
“Setiap hari kamu sudah
memperlakukan aku dengan baik, Nan. Aku berterima kasih untuk itu. Hanya saja
... tidak ada cinta dalam keluarga ini. Kamu tidak bisa mencintaiku meski aku
sudah berusaha jadi istri yang baik. Daripada kita tidak pernah bahagia
selamanya, bagaimana kalau kita bercerai saja?” ucap Ayu lirih sambil menahan
perih di matanya.
Nanda terdiam dan menengadahkan
kepalanya menatap Ayu. “Why? Kenapa kamu bilang kayak gini? Aku nggak akan
menceraikan kamu, Ay. Kamu lagi hamil, makanya sensitif kayak gini. Nggak usah
berpikiran macam-macam. Kita baikan saja, oke?” pintanya.
“Berbaikan saja buatku nggak
cukup, Nan. Ayah Edi sudah memutuskan untuk membatalkan pernikahan kita,” ucap
Ayu lirih.
“APA!? Nuntut aku masih belum
cukup, Ay? Kamu bilang ke ayahmu kalau nggak perlu seperti ini! Kamu udah gede,
Ay. Nggak perlu bergantung sama orang tua lagi. Kamu bisa buat keputusan
sendiri ‘kan? Kamu ...”
“Keputusanku sama dengan
keputusan ayah,” jawab Ayu. “Aku bukan Arlita atau wanita-wanitamu yang lain.
Aku nggak bisa berbagi hati, Nan. Terlalu sakit buat aku dan aku nggak sekuat
yang kamu pikirkan. Mungkin, dengan berpisah ... kita bisa sama-sama bahagia.
Kamu juga bisa bahagia sama Arlita.”
Nanda langsung memeluk erat
paha Ayu yang berdiri di hadapannya. “Nggak, Ay. Aku nggak mau kita bercerai.
Aku nggak mau. Gimana keluarga kita kalau kita berpisah?”
Ayu tersenyum menatap wajah
Nanda. “Kamu tidak perlu khawatir! Semua akan kembali seperti dulu lagi. Kita
masih bisa berteman, keluarga kita masih bisa berteman. Kamu masih mencintai
Arlita, aku juga masih mencintai Sonny. Bagaimana kalau kita saling melepaskan,
Nan?” ucapnya lembut.
Nanda menggeleng. Ia terus
memeluk kaki Ayu seperti seorang anak yang takut kehilangan mainan kesayangannya.
Hatinya begitu sulit untuk berubah. Begitu sulit untuk jatuh cinta meski di
luar sana ia banyak bersenang-senang dengan wanita. Ia tidak tahu bagaimana
cara membuka hati untuk Ayu. Ia tidak tahu kapan akan bisa mencintai wanita
ini. Tapi ia tahu, jika saat ini ia sangat membutuhkan Ayu. Membutuhkan wanita
itu untuk tetap berada di sisinya.
((Bersambung...))