Wednesday, August 17, 2022

Bab 70 - Tak Lagi Berjarak

 


“Selamat siang, Kakek ...!” sapa Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kediaman pribadi Sri Sultan yang berada di pusat keraton tersebut.

“Siang ...!” balas Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tersenyum dan pandangannya malah tertuju pada Nanda yang sedang menikmati secangkir kopi hitam bersama kakeknya dan ada papan catur di tengah-tengah mereka.

“Duduklah!” pinta Sri Sultan sambil menatap Ayu.

Ayu mengangguk. Ia segera duduk di kursi yang ada di sebelah kiri kakeknya itu, ia berada tepat di tengah dua pria berbeda zaman itu.

“Kamu kenal dengan pria ini?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

Ayu mengangguk dan menunduk sopan. “Mantan suami saya, Kakek.”

“Masih mencintai dia?” tanya Sri Sultan.

Ayu bergeming sambil menundukkan kepalanya.

“Ay ...!” panggil Nanda lembut sambil meraih jemari tangan Ayu. “Will you marry me?”

Ayu langsung mengangkat kepalanya menatap Nanda. Ia tidak menyangka jika pria ini akan melamarnya di depan sang kakek. Sesepuh sekaligus orang yang paling disegani di keraton ini.

“Ay, kali ini aku memintamu dengan cara baik-baik. Aku ingin menikahimu dengan cara yang baik pula. Bukan karena aku merenggut kesucianmu dan kebahagiaanmu seperti dulu. Banyak hal sulit yang sudah kita lalui bersama. Aku yang terlalu bodoh karena tidak pernah menyadari jika Tuhan menjadikanmu takdirku,” tutur Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. Pria ini benar-benar membuat perasaannya kacau setiap hari. Dia yang brengsek saja tetap ia cintai, apalagi berubah menjadi selembut dan sebijaksana ini. Terlebih, Nanda mengatakan banyak kalimat indah di hadapan kakeknya.

“Ay, boleh ‘kan kalau aku menjadi suamimu lagi?” tanya Nanda sambil menatap lekat wajah Ayu.

Ayu langsung menoleh ke arah kakeknya, meminta persetujuan darinya. Karena pernikahan sebelumnya, dilangsungkan tanpa persetujuan dan restu keluarganya. Ia ingin pernikahannya kali ini mendapat restu dari semua keluarga hingga membuatnya bisa menjalani rumah tangga dengan tenang dan bahagia.

“Kamu mencintai pria ini atau tidak?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

“Ayu mencintai Nanda, Kek,” jawab Ayu sambil menatap wajah Sri Sultan.

“Kalau begitu ... ulang tahun kakek yang ke sembilan puluh kali ini, berikan hadiah pernikahan kalian!” pinta Sri Sultan.

“Sungguh?” Ayu menatap wajah Sri Sultan dengan mata berbinar. “Kakek akan merestui pernikahan kami?”

Sri Sultan mengangguk. “Kamu sudah banyak menderita beberapa tahun ini. Dosamu sudah kamu tebus. Jika bersama pria ini bisa membuatmu bahagia, Kakek tidak akan menghalangimu.”

Ayu tersenyum dan memerosotkan tubuhnya. Ia bersimpuh di hadapan Sri Sultan dan bersujud di bawah kaki kakeknya itu. “Kakek, maafkan Roro Ayu karena pernah menjadi aib dan mempermalukan seluruh keluarga keraton. Maafkan Ayu karena tidak menjadi anak yang berbakti, tidak bisa menjaga nama baik keluarga dan melukai semuanya.”

Sri Sultan mengangguk sambil menyentuh lembut pundak Ayu. “Hal yang sudah berlalu, sesalilah untuk membuatmu lebih baik di masa depan! Hari ini ... pria yang dahulu mengambilmu dari keluarga tanpa permisi, datang baik-baik ke hadapan kakek dan memintamu dengan tulus. Maka, jangan sia-siakan pria yang kamu cintai agar kamu tidak akan menyesal di masa depan.”

Ayu menganggukkan kepala sambil menitikan air mata.

“Saat kamu sudah berumah tangga, jadilah istri yang berbakti. Baik-buruknya suami, kamulah yang akan menjaga namanya. Rumah tangga itu bukan tentang keindahan, Nak. Bukan tentang kebahagiaan. Tapi tentang rasa sakit dan bertahan hidup. Kamu tidak lagi bisa memikirkan dirimu sendiri, tapi harus merelakan jiwa ragamu untuk memikirkan suami, anak-anak kalian dan keluarga,” ucap Sri Sultan sambil menatap Ayu yang masih sungkem di hadapannya.

Nanda tersenyum. Ia ikut berlutut di hadapan Sri Sultan dan melakukan sungkem bersamaan dengan Ayu. Memohon restu agar ia dan Ayu bisa melangsungkan pernikahan mereka tanpa harus bersembunyi dari semua orang.

 

...

Nanda melangkahkan kakinya perlahan sembari menggandeng tangan Ayu. Mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalanan malam di sekitar keraton. Sebelah kanan-kiri mereka penuh dengan penjual jajanan dan souvenir oleh-oleh khas kota itu.

“Hei, udah pada baikan!?” seru Nadine sambil menepuk pundak Ayu.

Ayu langsung mengelus dada sambil menoleh ke arah Nadine. “Kamu ini ngagetin aja, sih!?”

Nadine langsung meringis sambil merangkul Rocky yang ada di sebelahnya. “Ikut pacaran, dong!”

“Emang kalian berdua pacaran?” tanya Nanda sambil menunjuk wajah Rocky.

“Kami bukan pacar, tapi pacaran setiap hari!” sahut Rocky sambil menepis tangan Nanda.

“Hahaha.”

“Kapan merit? Kayaknya, kalian ini pacarannya udah lama, ya?”

“Kami udah merit, Nan. Tapi belum resepsi aja,” sahut Rocky.

“Oh.” Nanda manggut-manggut. “Enak juga sih kalau udah sah. Terus, kapan rencana resepsinya?” tanya Nanda.

“Masih lama. Banyak yang harus diurus, Nan. Dikira nyiapin pernikahan itu gampang apa?”

“Gampang. Tinggal telepon vendor aja!” sahut Nanda sambil tertawa kecil.

“Kamu duluan kalau gitu!” pinta Rocky.

“Sebentar lagi,” jawab Nanda sambil memainkan alisnya. Ia langsung merangkul tubuh Ayu dan mengecup kening wanita itu.

“Hei, pacaran tuh kayak gini!” tutur Rocky sambil mengecup bibir Nadine. “Kayak anak SMP aja pacaran kecup kening.”

“Apaan, sih!? Tempat umum ini banyak anak kecil,” dengus Nadine sambil menoyor wajah Rocky.

Rocky tertawa kecil sambil melingkarkan lengannya di leher Nadine dan menarik ke ketiaknya. “Mau makan apa?”

“Apa aja, yang penting sama kamu,” jawab Nadine sambil tersenyum menatap wajah Rocky.

“Kita makan sate aja, yuk!” ajak Rocky.

“Sate di Surabaya banyak,” sahut Nadine.

“Jadi, mau makan apa? Laper, nih.” Rocky mengedarkan pandangannya sambil mengelus perut dengan satu tangannya.

“Nasi goreng aja, Ky,” sahut Nanda.

“Nasi goreng di rumah juga bisa bikin,” sambar Ayu.

Rocky dan Nanda menghela napas menatap dua wanita milik mereka itu. “Kalian ini mau ngajak gelud, ya?”

Ayu dan Nadine terkekeh bersamaan.

“Kita makan orang aja, Nan!” ajak Nanda. “Di Surabaya belum ada warung makan yang sediain menu manusia goreng. Di sini ada, nggak?”

“Ada. Kalau kamu yang digoreng,” sahut Ayu sambil tertawa kecil.

Nanda tertawa mendengar ucapan Rocky. Ia merangkul Ayu dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu kedai Gudeg Ceker yang terkenal dan sangat legendaris di kota Solo.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda yang masih terus memeluknya. “Kamu tahu tempat ini?”

Nanda mengangguk. “Waktu itu nyari-nyari makan di sekitar sini sama Karina. Lumayan viral di internet dan rasanya emang enak.”

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. Pandangannya langsung teralih pada sepasang muda-mudi yang duduk berhadapan di salah satu meja yang ada di sana. “Itu ... Mbak Karina sama Mas Enggar ‘kan?” tanya Ayu.

Nanda langsung memutar kepalanya. “Iya. Sejak kapan mereka deket?” Ia mengernyitkan dahi ke arah Karina dan Enggar yang sedang asyik berbincang hingga tak menyadari kehadiran mereka.

Ayu menggelengkan kepala. “Kenapa? Cemburu?”

Nanda menggeleng sambil tersenyum manis. “Aku cemburu kalau kamu sama si cowok bangsawan itu.”

Ayu tertawa kecil sambil menatap wajah Nanda. “Kenapa kamu jadi cemburuan gini?”

“Aku nggak cemburu, cuma takut kehilangan kamu,” bisik Nanda.

Ayu tersenyum sambil menyubit kecil perut Nanda. “Gombal terus!”

“Kalian ini ... mau pesen makan atau mau mesra-mesraan? Kalau mau mesra-mesraan, ke hotel aja!” tanya Rocky yang sudah berdiri di belakang Nanda bersama Nadine.

Nanda tertawa kecil dan menatap penjual makanan yang sedang menghidangkan makanan untuk pelanggan mereka. “Bude, pesen gudeng cekernya empat porsi. Antar ke meja sana, ya!” pintanya sambil menunjuk meja dan kursi panjang yang diduduki oleh Enggar dan Karina. Ia langsung mengajak Rocky dan dua wanita mereka untuk bergabung di sana.

“Ciyee ... pacaran?” goda Nanda sambil menghampiri Karina.

Karina tersenyum malu sambil menyikut tubuh Nanda yang sudah duduk di sampingnya. “Apaan, sih!?”

“Malu-malu gitu?” Nanda menunjuk wajah Karina yang memerah dan semakin bersemangat untuk menggoda wanita itu.

Karina mengerutkan hidung ke arah Nanda. “Nggak usah ngecengin! Aku sama Mas Enggar cuma ngomongin rencana bisnis.”

“Ngomongin rencana bisnis apa? Bikin anak?” tanya Nanda.

“Hahaha.” Rocky langsung tergelak mendengar pertanyaan Nanda. “Bener-bener. Bikin anak juga bagian dari produksi. Masuk kategori bisnis, tuh.”

“Rocky seneng banget kalau disuruh bisnis anak!” sahut Nanda sambil tertawa.

“Hahaha. Anak-anakku udah banyak, Nan.”

“Eh!? Serius?” tanya Nanda sambil melebarkan kelopak matanya. Ia menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya. “Kita kapan punya anak lagi?”

“Setelah kita sah, ya! Jangan buat masalah lagi! Oke?” pinta Ayu sambil tersenyum manis.

Rocky menahan tawa sambil menatap wajah Nanda yang ada di depannya. “Kenapa? Barangmu udah karatan karena tiga tahun lebih nggak pernah diasah?”

“Ck. Kamu jangan gitu, dong! Sekali diasah, keluarnya anak!” sahut Nanda.

“HAHAHA.”

Semua orang tergelak dan menikmati makan malam mereka penuh suka cita sembari membicarakan banyak hal.

Ayu tersenyum sambil menatap semua orang yang sedang bersamanya satu per satu. Baru kali ini, ia merasa hidupnya begitu ramai. Biasanya, Nanda tidak pernah mengajaknya pergi makan bersama seperti ini selain acara perjamuan keluarga atau rekan bisnisnya. Bisa bercanda tanpa jeda seperti ini, barulah ia merasa hubungannya dengan Nanda tak lagi berjarak.

 

 

((Bersambung ...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus biar author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 


Bab 69 - Berubah Manja

 



Enggar melangkahkan kakinya perlahan menyusuri koridor menuju ke kamar Ayu.

“Ayu ...!” panggil Enggar sambil masuk ke dalam kamar Ayu karena kamar wanita itu dibiarkan terbuka. Artinya, Ayu sedang bersantai di kamar bersama dengan pelayan-pelayannya.

“Ya, Mas.”

“Besok malam ada acara perjamuan untuk ulang tahun Sri Sultan. Kamu mau ngasih hadiah tarian atau nggak?”

“Mmh, boleh.” Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

“Kamu mau nari apa? Rama-Shinta lagi?” tanya Enggar sambil tersenyum manis ke arah Ayu.

“Emangnya kalau nari harus pasangan?” tanya Nanda yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Ayu.

“Iya,” jawab Ayu santai.

“Kalau mau pasangan, kamu cuma boleh pasangan sama aku!” pinta Nanda sambil menghampiri Ayu dan duduk di sebelah wanita itu.

“Emangnya kamu bisa nari?” tanya Ayu.

Nanda gelagapan mendengar pertanyaan Ayu. “Aku bisa silat. Nggak beda jauh gerakannya sama nari.”

Ayu memutar bola matanya. “Nggak usah sok cemburu dan posesif! Nggak cocok!”

“Kamu ...!?” Nanda menatap geram ke arah Ayu. “Bisa nggak menghargai keberadaanku, Ay. Aku nggak mau kamu deket-deket sama cowok lain,” pintanya manja sambil menggenggam tangan Ayu.

Ayu mengernyitkan dahi melihat tingkah Nanda yang tiba-tiba berubah seperti anak kecil. Ia melirik ke arah Enggar yang terlihat sedang menahan tawa. “Jangan kayak anak kecil gini, Nan!” pintanya.

“Biar aja!” sahut Nanda sambil memeluk lengan Ayu dan bergelayut manja di tubuh Ayu.

Ayu memutar bola mata menghadapi sikap Nanda yang begitu manja. “Nan, kalau kamu masih manja kayak gini, aku nggak mau ketemu sama kamu lagi!”

Nanda langsung melepaskan lengan Ayu dan menatap wajah wanita itu. “Kamu tega banget sama suami sendiri?”

“Aku nggak suka lihat tingkah manjamu ini! Kamu bukan anak kecil lagi!” ucap Ayu sambil bangkit dari tempat duduk dan melangkah keluar dari kamar. “Ayo, Mas Enggar! Kita latihan nari di aula aja!”

Enggar tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia menoleh ke arah Nanda, mengerdipkan mata ke arah pria itu dan melangkah menyusul Ayu ke ruang aula yang ada di keraton tersebut.

Nanda mendengus kesal ke arah Enggar dan ikut mengejar langkah pria itu.

“Permisi, Tuan Ananda ...! Dipanggil oleh Kanjeng Bopo Edi Baskoro di ruang rapat utama.” Salah seorang pelayan tiba-tiba menghampiri Nanda.

Nanda langsung menghentikan langkahnya. Ia teringat akan urusan bisnis yang sebenarnya sedang ia lakukan bersama Karina di tempat tersebut. Nanda menyeringai kesal sembari menatap Ayu dan Enggar yang sudah berjalan beriringan menyusuri koridor menuju aula tempat mereka berlatih menari. Ia sangat penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh dua orang itu di ujung sana.

“Mari, Tuan ...!” Pelayan itu mengacungkan jempolnya, mempersilakan Nanda untuk menuju ke arah ruang rapat yang ada di keraton tersebut.

Nanda menghela napas kecewa dan melangkahkan kakinya. “Karina ... Karina ...! Kenapa ngajak rapat di saat kayak gini? Nggak tepat banget. Itu si Ayu ... aih ... bisa mesra-mesraan sama anak bangsawan itu kalau cuma berduaan doang,” batinnya.

Di sisi lain, Ayu dan Enggar sudah berada di ruang aula untuk berlatih menari bersama.

“Kamu sengaja mau buat pacar kamu itu cemburu?” tanya Enggar sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tersenyum menanggapi pertanyaan Enggar. “Kelihatan jelas, Mas?”

Enggar mengangguk. “Kelihatan juga kalau dia jealous.”

Ayu tertawa kecil. “Baguslah. Biar dia tahu rasanya kalau perasaannya dimainin tuh kayak apa. Emang dia aja yang bisa punya banyak cewek? Kalau aku mau, aku juga bisa punya banyak cowok.”

Enggar tersenyum dan duduk di kursi yang ada di sana. “Tapi aku tahu kalau kamu nggak akan ngelakuin itu.”

Ayu menghela napas sambil tertunduk lesu. “Susah, Mas. Aku susah untuk berpindah hati. Setelah putus dari Sonny, aku udah nggak bisa suka sama yang lain lagi. Mentok aja gitu ke Nanda. Udah bertahun-tahun pisah, aku juga tetep nggak bisa lepas dari dia. Kupikir, dia yang don juan itu akan mudah menikah lagi setelah aku pergi.”

“Mungkin dia sudah tobat, Ay.”

“Emangnya cowok brengsek bisa tobat?” tanya Ayu.

“Sebrengsek-brengseknya cowok, akan ada saatnya dia berubah ketika dia sudah menemukan cinta dalam hidupnya dan sudah memiliki seorang anak,” jawab Enggar sambil menatap wajah Ayu.

“Aamiin. Semoga aja dia berubah ya, Ma. Aku masih worry banget. Gimana kalau sifat playboy dia itu kumat lagi saat dia udah tua nanti?”

Enggar tertawa kecil. “Kurasa, dia sudah berada di bawah kendalimu saat dia tua nanti.”

“Kenapa Mas Enggar berpikir seperti itu?” tanya Ayu sambil tertawa kecil.

“Karena aku melihat jelas bagaimana tingkahnya. Bagaimana cara dia mengejarmu kembali dan bagaimana cara dia ingin menguasaimu,” jawab Enggar sambil tersenyum.

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Enggar. Ia harap, Nanda bisa berubah seperti yang ia inginkan. Berubah menjadi pria yang lebih baik lagi untuk ia dan anak-anaknya di masa depan.

“Ayu ...! Mas Enggar ...!”

Suara teriakan seorang wanita, langsung mengalihkan pandangan Enggar dan Ayu bersamaan.

“Nadine?” Ayu dan Enggar saling menatap sambil mengernyitkan dahi. Entah mengapa, Nadine tiba-tiba datang ke keraton tersebut.

“Gimana kabar kamu, Ay?” tanya Nadine sambil merengkuh tubuh Ayu.

“Aku baik. Kamu gimana? Tumben main ke sini?” balas Ayu sambil tersenyum manis.

“Aku baik juga. Nemenin Okky ke sini. Katanya, ada urusan bisnis sama papa kamu.”

“Eh!? Serius? Ketemu Nanda, dong?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nadine.

“Nanda ada di sini juga?” tanya Nadine.

Ayu mengangguk. “Katanya ada bisnis sama ayahku. Bawa cewek pula ngurus bisnisnya. Emangnya temen bisnis harus cewek, ya? Kalau cinlok, gimana?”

“Dimakan aja! Kan, enak,” sahut Nadine.

“Itu cilok, Nadine!” seru Ayu kesal.

Nadine terkekeh dan duduk di samping Ayu. “Kenapa kamu jadi baperan gini? Nanda sam Okky itu sebelas duabelas, Ay. Sama-sama banyak ceweknya. Nggak usah baper! Kita harus buat diri kita jadi wanita paling baik dan tempat paling nyaman buat cowok-cowok seperti mereka. Kalau udah lelah sama cewek hiburannya, pasti bakal balik lagi ke kita.”

Ayu menghela napas. “Kamu bener juga, sih. Tapi tetep aja makan hati kalau ingat dia sama cewek lain. Cowok kamu itu ... playboy-nya cuma gaya-gayaan aja karena duitnya banyak. Nggak sampe berakhir di ranjang bareng kayak Nanda ‘kan? Aku tuh trauma banget diselingkuhi mulu.”

Nadine tertawa kecil. “Aku nggak tahu soal itu, Ay. Aku juga nggak mau tahu. Semakin ingin tahu, akan semakin bikin hatiku sakit. Yang aku tahu, dia sayang sama aku dan mau ngelakuin apa aja buat aku. Termasuk ngasih nyawa dia ke aku. Semua cewek yang lagi deket sama dia, aku juga tahu.”

“Kamu diem aja digituin, Nad?” tanya Ayu.

“Diemin aja, Ay. Ntar juga balik sendiri. Gaya banget jalan sama cewek sana-sini. Giliran kita cuekin, dia ketar-ketir juga. Apalagi kalau dia sakit atau susah. Siapa lagi yang dia cari kalau bukan kita? Cewek-cewek yang mau happy-happy doang sama dia, mana mau ngurusin pasangan kita waktu lagi sakit atau susah. Kalo udah kayak gitu, tinggal aku omelin aja tuh cowok biar sadar.”

Ayu tertawa kecil. “Kamu ada benernya juga, sih. Kalau suami sakit, nggak mungkin cewek simpanannya yang rawat dia sampai sembuh. Tetep aja ujung-ujungnya nyari istri. Cowok tuh emang egois!”

“Ehem!” Enggar langsung berdehem mendengar pembicaraan Nadine dan Ayu.

Ayu dan Nadine menoleh ke arah Enggar bersamaan dan tertawa. “Maaf, Mas Enggar!” ucap mereka bersamaan.

 “Jangan karena kalian dapet cowok playboy, terus menyamaratakan semua cowok di dunia ini!” pinta Enggar sambil tersenyum menatap Nadine dan Ayu.

“Inggih, Mas!” sahut Nadine dan Ayu bersamaan.

“Ayo, nari lagi! Nadine ikut?”

Nadine mengangguk sambil tersenyum manis. Mereka sudah bersama di sanggar tari sejak kecil dan menari adalah bagian dari kesenangan yang tidak bisa mereka tinggalkan meski sudah memiliki kesibukan dengan profesi masing-masing.

“Ndoro Puteri ...! Dipanggil untuk menghadap Kanjeng Sri Sultan,” tutur salah seorang pelayan keraton sambil menghampiri Ayu.

“Eh!? Ada apa?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah pelayan tersebut.

Pelayan itu menggeleng dengan tubuh tetap membungkuk hormat.

Ayu langsung menghentikan gerakan tarinya. “Mas Enggar, Nadine, aku pergi dulu, ya!”

Nadine dan Enggar mengangguk bersamaan. Mereka melanjutkan berlatih tari bersama dan membiarkan Roro Ayu pergi meninggalkan tempat tersebut.

Ayu segera melangkah menuju kediaman kakeknya. Ia tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang kakek. Biasanya, Sri Sultan memanggilnya hanya untuk mengatakan hal-hal penting saja. Ia harap, tidak ada masalah besar yang membuat Sri Sultan tiba-tiba memanggilnya ke dalam kediaman pribadinya.

 

((Bersambung ...))

Bab 68 - Suka Cara Cemburumu

 


Ayu memalingkan wajahnya saat wajah Nanda semakin mendekatinya.

“Ay, kamu kenapa cuekin aku? Bahkan, pelayanmu juga ikut ketus sama aku,” tanya Nanda sambil menarik dagu Ayu agar menatapnya.

“Kamu pikir aja sendiri!” sahut Ayu sambil mendorong tubuh Nanda dan duduk di kursi panjang yang ada di dalam kamarnya.

“Aku udah mikir berhari-hari dan aku masih nggak tahu kenapa kamu berubah. Apa karena ada pria bangsawan itu yang selalu ada di samping kamu. Kamu udah lupa sama aku, sama janji kita?” sahut Nanda.

Ayu mengernyitkan dahi menatap Nanda. “Kenapa jadi bawa-bawa Mas Enggar?”

“Karena kamu sama dia itu narinya mesra banget. Pegang-pegangan tangan. Dia nggak pake baju dan kamu cuma pake kemben doang gitu. Nggak mungkin nggak nafsu kalau sering bersentuhan kulit kayak gitu!” sahut Nanda kesal.

“Aku kayak gitu karena profesionalitas aku sebagai penari. Mana mungkin kami nari pasangan kayak orang musuh-musuhan. Sedangkan kamu, kamu bisa mesra-mesraan, rangkul-rangkulan dan ketawa-ketiwi sama cewek lain di tempat umum. Aku tuh capek sama kamu, Nan. Kamu bilang sayang ke aku, tapi bilang sayang juga ke cewek lain!” seru Ayu tak mau kalah.

Nanda terdiam menatap wajah Ayu. “Kamu lihat aku di mana?”

“Kenapa? Kaget? Mentang-mentang aku lagi dihukum nggak boleh keluar keraton, kamu bisa seenaknya aja jalan sama cewek yang kamu mau? Bagus, Nan. Kamu bikin aku menyesal bertubi-tubi karena udah percaya sama cowok brengsek kayak kamu!” sahut Ayu sambil menatap tajam ke arah Nanda.

“Aku nggak jalan sama siapa-siapa, Ay. Aku cuma ngurus bisnis dan nggak deket sama siapa pun. Kamu jangan salah paham dulu, dong!” pinta Nanda sambil meraih lengan Ayu dan berusaha membujuknya.

Ayu menepis kasar tangan Nanda. “Jelas-jelas kamu bawa perempuan itu masuk ke sini. Masih nggak mau ngaku!?”

“Eh!?” Nanda melongo mendengar ucapan Ayu. “Maksud kamu ... Karina?”

“Siapa lagi!?” dengus Ayu kesal.

Nanda tergelak sambil menatap wajah Ayu.

“Kenapa malah ketawa, sih!? Lucu?” seru Ayu makin kesal.

Nanda mengangguk sembari menahan tawa. “Kamu lucu banget kalau lagi cemburu kayak gini. Biasanya, nggak pernah kayak gini. Dulu aku punya banyak pacar, kamu nggak pernah ngambek kayak gini.”

Ayu menyeringai kesal ke arah Nanda. “Ya udah, kita balik aja kayak dulu lagi! Banyakin aja pacarmu, BANYAKIN!” sahutnya. “Dan aku bersumpah aku nggak akan pernah cin—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda tiba-tiba membungkam mulutnya.

“Jangan, Ay! Aku lebih suka kamu yang sekarang,” sahut Nanda sambil merapatkan tubuhnya dan menatap lekat mata Ayu. “Aku lebih suka kamu yang bawel, kamu yang bisa ngata-ngatain aku, kamu yang bisa marah dan cemburu seperti ini.”

Ayu terdiam sembari membalas tatapan Nanda yang terasa begitu hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. “Oh, God! Otakku kenapa? Stupid banget!” batinnya sambil berusaha melepaskan diri dari Nanda yang sudah merangkul pinggangnya. Namun, ia malah mematung dan tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. Otaknya benar-benar tidak bisa bekerja dengan baik dan tidak mengerti mengapa tatapan mata pria ini membuatnya lumpuh.

Nanda menatap lekat mata Ayu. Ia mengelus lembut pipi wanita itu dan mengecup lembut bibir mungilnya.

Ayu menelan saliva dan hanya mematung saat Nanda mengecup lembut bibirnya. Tangannya mengepal erat dan ingin memukul Nanda sepuasnya. Tapi semua itu tidak bisa ia lakukan. Ia lebih sibuk melawan dirinya sendiri yang ingin membenci Nanda, tapi tetap tidak bisa. Cinta ... benar-benar membuatnya sangat bodoh.

“Udah ya, marahnya!” pinta Nanda sambil merapikan anak rambut Ayu. “Kita udah terlalu lama berpisah, sudah terlalu banyak hal yang dikorbankan. Waktu, tenaga, pikiran dan semuanya. Aku nggak mau kalau hubungan kita berakhir hanya karena kesalahpahaman. Aku ingin ...cinta kita tidak pernah berakhir meski dunia ini sudah berakhir.”

Ayu menatap wajah Nanda dan bulir air matanya jatuh begitu saja.

“Ay, kalau kamu cinta sama aku ... kamu percaya sama aku! Aku berani bersumpah, nggak ada wanita lain selain kamu di hatiku saat ini dan sampai mati,” ucap Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Terus, siapa cewek yang selalu sama kamu itu, Nan?” tanya Ayu. Hatinya benar-benar sulit untuk diyakinkan karena masa lalu Nanda yang begitu mengesalkan.

“Dia ... sudah seperti adikku sendiri. Sebenarnya, aku dan Karina dipaksa untuk melakukan pernikahan bisnis.”

“Tuh, kan?” Ayu langsung menepis kedua tangan Nanda dan melangkah pergi dengan mengentakkan kakinya. Sepertinya, tidak ada hal dalam diri Nanda yang tidak pernah membuatnya kesal.

“Ay, dengerin aku dulu!” Nanda langsung menahan tubuh Ayu dan memeluknya dari belakang. “Aku janji, akan melawan semua orang untuk mempertahankan hubungan kita. Meski harus mempertaruhkan nyawaku, aku akan melakukannya. Please, kasih aku kesempatan untuk memperjuangkanmu ... sekali lagi!” pintanya lirih.

Ayu terdiam sejenak dan membalikkan tubuhnya menatap Nanda. “Gimana cara kamu meyakinkan aku kalau kamu nggak akan selingkuh lagi?”

“Kamu mau aku ngelakuin apa supaya kamu percaya sama aku?” tanya Nanda.

“Mmh ...” Ayu berpikir sejenak sambil melangkahkan kaki, mondar-mandir di hadapan Nanda.

Wajah Nanda seketika menegang saat Ayu terlihat begitu serius meminta pembuktian darinya. Ia harap, permintaan Ayu masih wajar dan bisa untuk ia penuhi.

“Mmh ... di belakang kamarku ini ada kolam. Aku mau ... kamu berendam selama tiga hari tiga malam di sana!” ucap Ayu sambil menatap jahil ke arah Nanda.

“Oke. Aku akan lakuin itu. Sekarang?” tanya Nanda lagi.

Ayu mengedikkan bahunya. “Tahun depan juga nggak papa.”

“Nggak kawin-kawin kita kalau masih harus nunggu tahun depan,” celetuk Nanda.

“Emangnya aku mau kawin sama kamu?” dengus Ayu sambil mengerutkan hidungnya.

“Heleh ... sok gengsi! Dicium aja keenakan, masa dikawinin nggak mau?” goda Nanda.

“Iih  ... kamu!?” Ayu mendengus kesal sambil memukul pundak Nanda.

Nanda terkekeh geli. Ia terus menggoda Ayu dan menikmati wajah wanita itu yang merona merah dan terlihat sangat menggemaskan di matanya.

 

...

 

Di tempat lain ...

Enggar mengajak Karina untuk duduk di salah satu pendopo yang ada di bagian kanan sayap keraton tersebut. Pendopo itu tepat berada di atas kolam air yang dipenuhi ikan-ikan hias berukuran besar dan daun teratai yang tumbuh indah.

“Mmh, kamu bilang ... kamu punya tawaran bisnis untuk aku. Kamu bisnis apa?” tanya Karina sambil menatap wajah Enggar.

Enggar tersenyum sembari mengangkat teko berisi teh hangat dan menuangkannya ke dalam gelas. Kemudian, mengulurkannya ke arah Karina. “Saya dengar, Dua Permata adalah perusahaan yang memiliki banyak pabrik di beberapa kota di Jawa Timur. Saya biasa menjual bahan-bahan mentah untuk kebutuhan pabrikmu. Akan saya kasih harga yang lebih murah dari supplier lain dengan kualitas lebih baik.”

Karina mengernyitkan dahi menatap Enggar. “Aku sudah lama berkecimpung dalam dunia bisnis. Barang berkualitas, tidak mungkin dijual dengan harga murah. Cara mendapatkannya saja susah. Aku tidak bisa ditipu dengan iming-iming harga murah karena aku lebih mementingkan kualitas.”

“Kalau mau yang kualitas lebih baik dan lebih mahal lagi, juga ada,” tutur Enggar sambil tersenyum menatap wajah Karina.

“Yang benar yang mana?” tanya Karina lagi.

Enggar menghela napas sambil menatap wajah Karina. Entah mengapa, membicarakan bisnis dengan wanita ini tiba-tiba menjadi hal sulit. Wajah cantik Karina, benar-benar membuat pikirannya teralihkan begitu saja dan tidak fokus saat diajak bicara.

Karina tersenyum sambil menatap wajah Enggar. “Kalau kamu ingin mengajakku berbisnis. Kamu harus bisa menyampaikannya dengan harga dan kualitas yang masuk akal!” pintanya.

“Mmh ... aku tidak begitu suka menyia-nyiakan niat baik orang lain. Karena kamu sudah memberiku secangkir teh, aku akan memberimu kesempatan untuk menjalin bisnis denganku. Aku mau lihat sampel bahan-bahan baku milikmu lebih dulu. Barulah aku akan menentukan, kita bisa menjalin kerjasama bisnis atau tidak,” ucap Karina sambil tersenyum menatap Enggar.

Enggar balas tersenyum. Ia mengajak Karina untuk membicarakan rencana bisnis masa depan dan membuat pembicaraan mereka masuk ke dalam kehidupan pribadi masing-masing.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf kalau author update-nya tengah malam. Udah kayak hantu aja, yak? Hihihi.

 

 

Stay with love and me ...!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 67 - Ruang untuk Bicara

 


Nanda melangkahkan kaki menuju ke kediaman Roro Ayu begitu ia sudah berhasil mendapatkan kesempatan untuk menginap di keraton tersebut.

“Nan, kamu mau ke mana?” tanya Karina sambil mengejar langkah Nanda.

“Nemuin istriku,” jawab Nanda sambil mempercepat langkahnya.

“Ikut, Nan!” pinta Karina sambil mengikuti langkah kaki Nanda. Ia harap, ia bisa bertemu dengan pria tampan dan gagah yang tadi menari bersama mantan istri Nanda.

Nanda menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Ayu saat ia melihat Enggar sedang menyuapkan makanan untuk mantan istrinya itu. Tanpa pikir panjang lagi, ia menyelonong masuk ke dalam kamar Ayu begitu saja.

Enggar langsung bangkit dari sisi tempat tidur Ayu begitu melihat Nanda datang.

“Mas, jangan pergi!” pinta Ayu sambil menyambar lengan Enggar. “Di sini aja!”

“Ay, aku ...” Nanda menatap Ayu yang enggan merespon kedatangannya.

“Mas, suapin aku lagi!” pinta Ayu manja sambil menarik lengan Enggar dan merapatkan tubuhnya ke arah pria itu.

Nanda menyeringai kesal melihat Ayu dan Enggar yang begitu intim di hadapannya. “Kalian ada hubungan apa?”

Ayu tak menghiraukan pertanyaan Nanda.

“Ay ...!” panggil Nanda karena Ayu masih enggan menatapnya.

“Ay, aku ngomong sama kamu!” seru Nanda semakin kesal.

“Mas, jangan marah-marah sama Ayu! Dia lagi sakit,” pinta Enggar. Ia meletakkan mangkuk sup di atas nakas yang ada di samping tempat tidur Ayu.

“Sakit?” Nanda mengernyitkan dahi. “Sakit apa?”

“Sudah seminggu dia menghukum dirinya sendiri. Nggak mau makan,” jawab Enggar.

“Mas ...!” Ayu menarik lengan Enggar yang baru saja ingin bangkit dari sisi ranjangnya. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Enggar. “Aku nggak mau ketemu sama dia, Mas,” bisiknya.

Enggar mengernyitkan dahi. Ia langsung mengerti alasan mengapa Ayu memilih untuk mengurung diri di dalam perpustakaan dan tidak mau makan sama sekali selama satu minggu.

Enggar bangkit dari tepi ranjang Ayu dan menarik lengan Nanda. Membawa pria itu keluar dari dalam kamar tersebut.

“Mas, aku mau ketemu sama istriku. Dia kenapa?” tanya Nanda.

“Harusnya, kamu tanyakan ke dirimu sendiri! Kenapa Ayu nggak mau ketemu sama kamu?” sahut Enggar sambil mendorong tubuh Nanda dan Karina. Kemudian, ia menutup pintu kamar Ayu rapat-rapat dan menguncinya.

Nanda gelagapan saat melihat Enggar berada di dalam kamar terkunci bersama dengan Ayu. “Mas, buka pintunya!” serunya sambil memukul pintu kayu berbahan jati tersebut.

“Woi ...! Istriku yang di dalam itu. Ngapain kamu berduaan sama istriku, hah!?” seru Nanda sambil menendang pintu kayu tersebut. Sayangnya, pintu itu terlalu kokoh untuk ia hancurkan.

“Nan, kayaknya marah-marah gini nggak berguna. Kalau sampai mengundang perhatian banyak orang, kita berdua bisa diusir dari sini, Nan,” tutur Karina sambil menarik lengan Nanda.

“Istriku cuma berdua aja sama dia di dalam sana. Kamu tahu, mereka bisa ...?”

“Kamu nggak percaya sama wanita yang katanya kamu cintai itu?” tanya Karina sambil menatap serius ke arah Nanda.

Nanda menghela napas sambil mengusap wajah dan mengacak rambutnya sendiri dengan perasaan tak karuan. Ia terduduk lemas di teras kamar Ayu sambil menatap tanaman bunga yang tersusun rapi di hadapannya.

“Ayu ini kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba berubah lagi? Dasar cewek labil!” celetuk Nanda kesal.

“Hmm, cewek marah itu pasti ada sebabnya, Nan. Nggak mungkin nggak ada sebab. Apa dia marah karena kedekatan kita?” tanya Karina. “Nggak menutup kemungkinan kalau Ayu dapat informasi soal kita yang terikat perjodohan bisnis. Iya ‘kan?”

Nanda langsung menengadahkan kepalanya menatap Karina. “Apa iya? Dia tahu dari mana?”

Karina menghela napas sambil melipat kedua tangannya. “Kamu itu alumni Cassanova dari negeri mana, sih? Masa kayak gitu aja nggak peka? Bukannya mantan pacar kamu udah ratusan? Harusnya udah paling mengerti soal cewek.”

“Aih, udah tiga tahun aku hidup tanpa perempuan. Pusing aku mikirinnya, Rin!” sahut Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kamu pikir aja! Dia bisa nulis profil tentang kamu di bukunya ... dapet informasi dari mana?” tanya Karina sambil bersandar santai di tiang besar yang ada di sana.

Nanda langsung bangkit dari lantai dan menatap wajah Karina. “Bener juga, ya? Kamu bisa bantu aku jelasin ke Ayu?”

“Jelasin apaan?”

“Soal perjodohan kita.”

“Jelasin ke dia kalau kita memang dijodohkan sama keluarga?” tanya Karina.

“Ck. Ya jangan gitu, dong! Tambah runyam ntar,” pinta Nanda sambil memasang wajah memelas.

Karina terkekeh sambil menatap wajah Nanda. “Aku suka wajah payahmu ini, Nan.”

“Nggak usah ketawa! Bantu aku jelasin ke Ayu!” pinta Nanda sambil menarik tangan Karina dan mengetuk kembali pintu kamar Ayu.

“Mas, apa di luar nggak ada penjaga? Kenapa mereka masih belum pergi?” tanya Ayu sambil menatap wajah Enggar.

“Kurang tahu. Kamu kenapa dengan dia? Ada masalah lagi?”

Ayu menghela napas kecewa. “Aku capek, Mas. Dia bilang sayang sama aku, tapi masih aja jalan sama cewek lain terus.”

Enggar tertawa kecil. “Rasa cemburumu besar juga?”

“Bukan rasa cemburu yang besar, tapi rasa kecewaku.”

“Kamu yang sabar! Cinta itu bukan untuk mencari kesempurnaan. Kalau kamu bahagia mencintai dia, seburuk apa pun dia, kamu akan bisa menerimanya,” ucap Enggar sambil tersenyum menatap wajah Ayu.

“Dia itu nggak buruk, Mas. Dia itu ... mmh, sulit digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya, dia itu nyebelin, ngeselin, tukang bokis, tukang tipu, tukang bikin sakit hati!” sahut Ayu kesal.

Enggar tertawa kecil sambil menatap wajah Ayu.

“Kok malah ketawa, sih?”

“Mau kamu bilang benci ke dia seribu kali pun, di matamu tetap ada cinta untuk dia,” jawab Enggar sambil tersenyum menatap wajah Ayu.

“Kelihatan?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Enggar.

Enggar menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Aku harus gimana?”

“Bicaralah sama dia! Menghindar seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kamu sudah dewasa, selesaikan masalah percintaanmu dengan cara dewasa pula. Jangan bertingkah seperti anak kecil!” pinta Enggar sambil tersenyum lembut ke arah Ayu.

Ayu menghela napas dan menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. “Mas Enggar jangan pergi dari sini, ya!”

“Kalian berdua butuh ruang untuk bicara dari hati ke hati. Perempuan itu, biar aku yang mengurusnya untuk kamu,” tutur Enggar sambil mengikuti langkah kaki Ayu yang berjalan menuju pintu.

“Mas Enggar tahu soal perempuan itu?”

“Kurang tahu. Tapi aku rasa, dia bukan wanita yang berbahaya. Kalau dia berbahaya, mantan suamimu itu tidak akan membawanya ke tempat ini,” jawab Enggar.

Ayu tersenyum kecut sambil meraih gagang pintu kamarnya. Ia memutar kunci pintunya dan membukanya perlahan.

Nanda langsung menghela napas lega saat Ayu sudah membukakan pintu untuknya. “Ay, bisa bicara sebentar?”

“Lima menit aja!” sahut Ayu ketus.

“Nggak masalah. Ini cukup buat kita,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Enggar tersenyum sambil keluar dan menghampiri Karina yang berdiri di belakang Nanda. “Kamu ... Karina Permata dari PT. Dua Permata, ya?”

Karina mengangguk sambil tersenyum manis.

“Aku sangat tertarik dengan sektor bisnis yang kamu jalani. Kebetulan, aku juga punya bisnis pengadaan bahan mentah. Bagaimana kalau kita sharing bisnis di tempat yang lebih nyaman?”

“Boleh.” Karina menganggukkan kepala sambil tersenyum. Ia menggigit bibir sambil mengikuti langkah Enggar. Pria bangsawan ini  tidak hanya memiliki wajah yang rupawan, tapi juga memiliki tubuh yang atletis.

Nanda tersenyum lega saat Enggar sudah membawa Karina pergi dari sana. Ia langsung masuk ke dalam kamar Ayu dan mengunci pintu kamar tersebut.

“Nan, kamu apa-apaan, sih!?”

Nanda langsung mendorong tubuh Ayu hingga punggungnya merapat ke dinding. “Kenapa kamu menghindar?” bisiknya sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Ayu.

Ayu terdiam. Manik matanya menangkap bayangan wajah Nanda yang begitu dekat dengannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ingin sekali ia memaki pria ini dengan sumpah serapah, tapi bibirnya malah beku dan degup jantungnya berdetak cepat tak terkendali. Ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya. Pikirannya ingin membenci, tapi hati kecilnya ingin selalu berada di dekat pria ini.

 

 

((Bersambung...))

 

 


Bab 66 - Pertemuan yang Menyesakkan

 



Nanda tersenyum penuh percaya diri saat ia dan Karina berhasil masuk ke dalam Keraton Surakarta dengan alasan untuk melakukan ekspansi bisnis.

“Rin, kenapa nggak dari dulu aja aku masuk ke keraton ini dengan alasan bisnis?” tanya Nanda lirih sambil mengikuti dua pengawal keraton yang sudah berjalan lebih dulu di hadapan mereka.

“Kamu aja yang bego. Otak tuh dipake! Bukan buat pajangan doang!” sahut Karina.

“Sialan kamu, Rin!” celetuk Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Entahlah, mungkin karena terlalu banyak mikirin Ayu. Sampe nggak kepikiran yang lain.”

“Gayamu, Nan!” sahut Karina sambil menoyor pundak Nanda.

“Eh!? Sst ...!” Nanda meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. “Kita di keraton, Rin. Harus jaga sikap dan elegan!”

“Oh, iya.” Karina menarik napas dan menegakkan tubuhnya. Ia memasang sikap elegan dan melangkah mengikuti pengawal keraton memasuki aula pertemuan yang ada di halaman muka keraton tersebut.

“Selamat pagi, Tuan ...!” sapa Karina begitu ia memasuki aula tersebut dan disambut oleh seorang pria paruh baya yang tak asing lagi di mata Nanda. Pria itu adalah Edi Baskoro, mantan mertuanya.

“Pagi ...! Dengan Mbak Karina dari PT. Dua Permata?” balas Edi Baskoro sembari mengulurkan tangannya ke arah Karina.

Karina mengangguk dan membalas uluran tangan Edi Baskoro. “Karina Permata, Tuan. Ini rekan saya, Ananda Putera,” ucapnya sembari menoleh ke arah Nanda.

Edi Baskoro langsung tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Salam kenal ...!”

“Salam kenal, Tuan ...!” balas Nanda. Ia tersenyum manis sembari membalas uluran tangan Edi Baskoro. Ia hanya bisa meringis ketika mantan papa mertuanya itu mencengkeram tangannya begitu kuat.

“Silakan duduk!” pinta Edi Baskoro dengan sopan sembari menunjuk kursi tamu yang sudah tersedia di sana.

Karina dan Nanda mengangguk bersamaan. Mereka segera duduk di kursi yang telah disiapkan untuk mereka. Beberapa orang pegawai istana juga sudah berkumpul di aula pertemuan tersebut.

“Selamat pagi semuanya ...!” sapa Edi Baskoro membuka pembicaraan di aula tersebut. “Hari ini kita kedatangan tamu istimewa untuk membicarakan hubungan bisnis dari PT. Dua Permata milik Ibu Karina. Sebelum kita membicarakan bisnis lebih lanjut, mari kita sambut kedua tamu istimewa ini dengan tarian pembuka yang akan dibawakan oleh sepasang penari legendaris di kalangan bangsawan kami. Yakni, Raden Mas Enggar Perkasa Dierjaningrat dan Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”

Nanda langsung memutar kepalanya begitu mendengar nama dua orang itu disebut. Ia langsung bangkit dari tempat duduk dan berusaha mencari keberadaan istrinya itu.

“Nan ...!” Karina langsung menarik lengan Nanda agar kembali duduk di sisinya.

Nanda menoleh sekilas ke arah Karina dan duduk kembali di kursinya. Dua manik matanya langsung tertuju pada tubuh Roro Ayu yang muncul dari balik pintu besar di belakang singgasana yang diduduki oleh Edi Baskoro.

Kedua tangan Nanda mengepal erat saat melihat Ayu dan Enggar menarikan tarian Selamat Datang dengan pakaian tradisional yang sangat terbuka baginya. Enggar hanya mengenakan celana dan jarik motif parang yang khas dengan aksesoris tradisional yang terbuat dari emas asli. Sedangkan Ayu, menggunakan kemben warna hijau ala Nyi Ratu Kidul dan jarik bermotif sama dengan yang digunakan oleh Enggar.

Ayu terdiam sejenak saat manik matanya menangkap tubuh Nanda yang sedang duduk berpegangan tangan dengan Karina. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada Enggar sembari mengikuti irama musik yang menguasai ruangan tersebut. Ia benar-benar kesal karena Nanda masih punya keberanian untuk masuk ke dalam keraton itu menggunakan hubungan bisnis bersama dengan wanita simpanannya.

Lima belas menit kemudian, Ayu mengerjapkan mata saat ia dan Enggar hampir menyelesaikan tariannya. Pandangannya tiba-tiba memburam dan kepalanya sedikit pening. Ia langsung memutar tubuhnya menuju pintu belakang dan berusaha mempercepat langkahnya. Tapi, pandangan matanya semakin buruk dan membuatnya tidak bisa melihat apa pun.

BRUG ...!

Tubuh Ayu tiba-tiba merosot ke lantai dan tak sadarkan diri.

“AYU ...!” seru Enggar sambil berusaha menangkap tubuh Ayu.

“Ay ...!” Nanda langsung bangkit dari kursi begitu melihat Ayu tiba-tiba terjatuh saat ingin kembali ke belakang panggung. Baru saja ingin mengejar Ayu, ia langsung mengurungkan niatnya ketika Enggar sudah menggendong tubuh Ayu lebih dulu dan membawanya masuk ke dalam pintu belakang singgasana itu.

“Kenapa, Nan?” tanya Karina sambil menarik kembali lengan Nanda.

“Istriku, Rin.”

“Dia istrimu?” bisik Karina.

Nanda mengangguk dan kembali duduk di kursinya. Perasaannya tiba-tiba gelisah saat melihat Ayu terjatuh di sana. Ingin sekali ia menerobos pintu besar yang membawa tubuh Ayu menghilang dari hadapannya. Tapi urusan bisnis, tidak bisa ia tinggalkan begitu saja.

“Cantik banget istrimu,” bisik Karina. “Udah, nggak usah panik! Kita urus setelah urusan bisnis kita selesai,” lanjutnya seolah memahami kegundahan yang sedang melanda dada Nanda.

Nanda menganggukkan kepala. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Karina. “Kamu cari cara untuk bisa menginap di keraton ini! Penari laki-laki itu juga tamu bisnis di keraton ini dan dia bisa tinggal di sini,” pintanya.

“Eh!? Serius!?” tanya Karina sambil melebarkan kelopak matanya.

Nanda menganggukkan tegas.

Karina mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Ia mencoba bernegosiasi dengan pihak keraton agar diizinkan untuk tinggal sementara di kediaman tersebut.

 

...

“Den, Ndoro Puteri kenapa?” tanya salah satu pelayan saat melihat Enggar menggendong tubuh Ayu masuk ke dalam kamarnya.

“Pingsan. Ada minyak angin?” tanya Enggar.

Pelayan itu buru-buru mengambil minyak angin dan memberikannya ke tangan Enggar.

“Ayu ...!” panggil Enggar sembari mengenduskan minyak angin ke hidung Ayu.

Ayu mengerjapkan mata perlahan sambil memegangi kepalanya yang terasa sangat pening. Ia berusaha mengangkat kepalanya, tapi terasa sangat berat dan membuatnya tak bisa bergerak.

“Ayu, kamu sakit?” tanya Enggar sambil memeriksa kening dan leher Ayu yang menghangat.

Ayu menggeleng. “Aku baik-baik aja, Mas.”

Enggar menghela napas sambil menatap wajah Ayu.

“Den, Ndoro Puteri nggak pernah makan nasi selama satu minggu ini. Hanya minum air dan dua buah pir setiap harinya. Sepertinya, tubuhnya sudah tidak bisa menahan lagi,” bisik pelayan itu di telinga Enggar.

Enggar menghela napas dan bangkit dari tepi ranjang Ayu. “Panggilkan dokter keluarga! Biar aku siapkan sup hangat untuk Ayu,” perintahnya pada pelayan yang ada di sana.

“Siap, Den!” Pelayan itu bergegas keluar dari dalam kamar Ayu.

Enggar menatap wajah Ayu yang terlihat sangat pucat. “Apa yang terjadi denganmu sampai kamu menyiksa dirimu sendiri seperti ini? Sudah bosan hidup?”

Ayu mengangguk kecil.

“Ay, jangan seperti ini! Menyerah pada hidup, itu bukan kamu. Ayu yang aku kenal selalu energik, positif dan kuat. Kamu hidup tidak sendiri. Apa pun kesulitanmu, berbagilah! Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri.”

Ayu menggigit bibir bawahnya sembari menatap wajah Enggar.

“Aku akan buatkan sup untuk kamu. Kamu harus makan banyak! Oke? Setelah sehat, aku akan menemanimu bercerita,” ucap Enggar. Ia tersenyum manis dan segera melangkah keluar dari dalam kamar tersebut.

Enggar langsung melepaskan sumping emas di telinganya, juga beberapa aksesoris dan mahkota yang terbuat dari emas asli dan memberikan pada pengawal pribadi yang terus mengikutinya dari kejauhan. “Aku akan ke dapur keraton ini. Bawa barang-barang berhargaku ke kamar!” perintahnya.

“Siap, Tuan!”

Enggar segera melangkahkan kakinya perlahan menuju dapur keraton tersebut. Matanya terus menatap ke depan hingga ia tidak menyadari jika ada sepasang mata indah yang mengawasinya dengan penuh kekaguman. Ia hanya ingin segera memberikan asupan makanan untuk Ayu. Baginya, Ayu sudah seperti saudara perempuannya sendiri. Sebab, hubungan mereka sudah terjalin begitu lama sejak mereka masih kecil dan belajar di sanggar tari yang sama.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah setia menanti update cerita dari author yang receh ini ...!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas