Nanda melangkahkan kaki menuju
ke kediaman Roro Ayu begitu ia sudah berhasil mendapatkan kesempatan untuk
menginap di keraton tersebut.
“Nan, kamu mau ke mana?” tanya
Karina sambil mengejar langkah Nanda.
“Nemuin istriku,” jawab Nanda
sambil mempercepat langkahnya.
“Ikut, Nan!” pinta Karina
sambil mengikuti langkah kaki Nanda. Ia harap, ia bisa bertemu dengan pria
tampan dan gagah yang tadi menari bersama mantan istri Nanda.
Nanda menghentikan langkahnya
di depan pintu kamar Ayu saat ia melihat Enggar sedang menyuapkan makanan untuk
mantan istrinya itu. Tanpa pikir panjang lagi, ia menyelonong masuk ke dalam
kamar Ayu begitu saja.
Enggar langsung bangkit dari
sisi tempat tidur Ayu begitu melihat Nanda datang.
“Mas, jangan pergi!” pinta Ayu
sambil menyambar lengan Enggar. “Di sini aja!”
“Ay, aku ...” Nanda menatap Ayu
yang enggan merespon kedatangannya.
“Mas, suapin aku lagi!” pinta
Ayu manja sambil menarik lengan Enggar dan merapatkan tubuhnya ke arah pria
itu.
Nanda menyeringai kesal melihat
Ayu dan Enggar yang begitu intim di hadapannya. “Kalian ada hubungan apa?”
Ayu tak menghiraukan pertanyaan
Nanda.
“Ay ...!” panggil Nanda karena
Ayu masih enggan menatapnya.
“Ay, aku ngomong sama kamu!”
seru Nanda semakin kesal.
“Mas, jangan marah-marah sama
Ayu! Dia lagi sakit,” pinta Enggar. Ia meletakkan mangkuk sup di atas nakas
yang ada di samping tempat tidur Ayu.
“Sakit?” Nanda mengernyitkan
dahi. “Sakit apa?”
“Sudah seminggu dia menghukum
dirinya sendiri. Nggak mau makan,” jawab Enggar.
“Mas ...!” Ayu menarik lengan
Enggar yang baru saja ingin bangkit dari sisi ranjangnya. Ia mendekatkan
bibirnya ke telinga Enggar. “Aku nggak mau ketemu sama dia, Mas,” bisiknya.
Enggar mengernyitkan dahi. Ia
langsung mengerti alasan mengapa Ayu memilih untuk mengurung diri di dalam
perpustakaan dan tidak mau makan sama sekali selama satu minggu.
Enggar bangkit dari tepi
ranjang Ayu dan menarik lengan Nanda. Membawa pria itu keluar dari dalam kamar
tersebut.
“Mas, aku mau ketemu sama
istriku. Dia kenapa?” tanya Nanda.
“Harusnya, kamu tanyakan ke
dirimu sendiri! Kenapa Ayu nggak mau ketemu sama kamu?” sahut Enggar sambil
mendorong tubuh Nanda dan Karina. Kemudian, ia menutup pintu kamar Ayu
rapat-rapat dan menguncinya.
Nanda gelagapan saat melihat
Enggar berada di dalam kamar terkunci bersama dengan Ayu. “Mas, buka pintunya!”
serunya sambil memukul pintu kayu berbahan jati tersebut.
“Woi ...! Istriku yang di dalam
itu. Ngapain kamu berduaan sama istriku, hah!?” seru Nanda sambil menendang
pintu kayu tersebut. Sayangnya, pintu itu terlalu kokoh untuk ia hancurkan.
“Nan, kayaknya marah-marah gini
nggak berguna. Kalau sampai mengundang perhatian banyak orang, kita berdua bisa
diusir dari sini, Nan,” tutur Karina sambil menarik lengan Nanda.
“Istriku cuma berdua aja sama
dia di dalam sana. Kamu tahu, mereka bisa ...?”
“Kamu nggak percaya sama wanita
yang katanya kamu cintai itu?” tanya Karina sambil menatap serius ke arah
Nanda.
Nanda menghela napas sambil
mengusap wajah dan mengacak rambutnya sendiri dengan perasaan tak karuan. Ia
terduduk lemas di teras kamar Ayu sambil menatap tanaman bunga yang tersusun
rapi di hadapannya.
“Ayu ini kenapa, sih? Kenapa
tiba-tiba berubah lagi? Dasar cewek labil!” celetuk Nanda kesal.
“Hmm, cewek marah itu pasti ada
sebabnya, Nan. Nggak mungkin nggak ada sebab. Apa dia marah karena kedekatan
kita?” tanya Karina. “Nggak menutup kemungkinan kalau Ayu dapat informasi soal
kita yang terikat perjodohan bisnis. Iya ‘kan?”
Nanda langsung menengadahkan
kepalanya menatap Karina. “Apa iya? Dia tahu dari mana?”
Karina menghela napas sambil
melipat kedua tangannya. “Kamu itu alumni Cassanova dari negeri mana, sih? Masa
kayak gitu aja nggak peka? Bukannya mantan pacar kamu udah ratusan? Harusnya
udah paling mengerti soal cewek.”
“Aih, udah tiga tahun aku hidup
tanpa perempuan. Pusing aku mikirinnya, Rin!” sahut Nanda sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
“Kamu pikir aja! Dia bisa nulis
profil tentang kamu di bukunya ... dapet informasi dari mana?” tanya Karina
sambil bersandar santai di tiang besar yang ada di sana.
Nanda langsung bangkit dari
lantai dan menatap wajah Karina. “Bener juga, ya? Kamu bisa bantu aku jelasin
ke Ayu?”
“Jelasin apaan?”
“Soal perjodohan kita.”
“Jelasin ke dia kalau kita
memang dijodohkan sama keluarga?” tanya Karina.
“Ck. Ya jangan gitu, dong!
Tambah runyam ntar,” pinta Nanda sambil memasang wajah memelas.
Karina terkekeh sambil menatap
wajah Nanda. “Aku suka wajah payahmu ini, Nan.”
“Nggak usah ketawa! Bantu aku
jelasin ke Ayu!” pinta Nanda sambil menarik tangan Karina dan mengetuk kembali
pintu kamar Ayu.
“Mas, apa di luar nggak ada
penjaga? Kenapa mereka masih belum pergi?” tanya Ayu sambil menatap wajah
Enggar.
“Kurang tahu. Kamu kenapa
dengan dia? Ada masalah lagi?”
Ayu menghela napas kecewa. “Aku
capek, Mas. Dia bilang sayang sama aku, tapi masih aja jalan sama cewek lain
terus.”
Enggar tertawa kecil. “Rasa
cemburumu besar juga?”
“Bukan rasa cemburu yang besar,
tapi rasa kecewaku.”
“Kamu yang sabar! Cinta itu
bukan untuk mencari kesempurnaan. Kalau kamu bahagia mencintai dia, seburuk apa
pun dia, kamu akan bisa menerimanya,” ucap Enggar sambil tersenyum menatap
wajah Ayu.
“Dia itu nggak buruk, Mas. Dia
itu ... mmh, sulit digambarkan dengan kata-kata. Pokoknya, dia itu nyebelin,
ngeselin, tukang bokis, tukang tipu, tukang bikin sakit hati!” sahut Ayu kesal.
Enggar tertawa kecil sambil
menatap wajah Ayu.
“Kok malah ketawa, sih?”
“Mau kamu bilang benci ke dia
seribu kali pun, di matamu tetap ada cinta untuk dia,” jawab Enggar sambil
tersenyum menatap wajah Ayu.
“Kelihatan?” tanya Ayu sambil
menatap serius ke arah Enggar.
Enggar menganggukkan kepala
sambil tersenyum.
“Aku harus gimana?”
“Bicaralah sama dia! Menghindar
seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kamu sudah dewasa, selesaikan
masalah percintaanmu dengan cara dewasa pula. Jangan bertingkah seperti anak
kecil!” pinta Enggar sambil tersenyum lembut ke arah Ayu.
Ayu menghela napas dan
menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. “Mas Enggar jangan pergi dari sini,
ya!”
“Kalian berdua butuh ruang
untuk bicara dari hati ke hati. Perempuan itu, biar aku yang mengurusnya untuk
kamu,” tutur Enggar sambil mengikuti langkah kaki Ayu yang berjalan menuju
pintu.
“Mas Enggar tahu soal perempuan
itu?”
“Kurang tahu. Tapi aku rasa,
dia bukan wanita yang berbahaya. Kalau dia berbahaya, mantan suamimu itu tidak
akan membawanya ke tempat ini,” jawab Enggar.
Ayu tersenyum kecut sambil
meraih gagang pintu kamarnya. Ia memutar kunci pintunya dan membukanya perlahan.
Nanda langsung menghela napas
lega saat Ayu sudah membukakan pintu untuknya. “Ay, bisa bicara sebentar?”
“Lima menit aja!” sahut Ayu
ketus.
“Nggak masalah. Ini cukup buat
kita,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu.
Enggar tersenyum sambil keluar
dan menghampiri Karina yang berdiri di belakang Nanda. “Kamu ... Karina Permata
dari PT. Dua Permata, ya?”
Karina mengangguk sambil
tersenyum manis.
“Aku sangat tertarik dengan
sektor bisnis yang kamu jalani. Kebetulan, aku juga punya bisnis pengadaan
bahan mentah. Bagaimana kalau kita sharing bisnis di tempat yang lebih nyaman?”
“Boleh.” Karina menganggukkan
kepala sambil tersenyum. Ia menggigit bibir sambil mengikuti langkah Enggar.
Pria bangsawan ini tidak hanya memiliki
wajah yang rupawan, tapi juga memiliki tubuh yang atletis.
Nanda tersenyum lega saat
Enggar sudah membawa Karina pergi dari sana. Ia langsung masuk ke dalam kamar
Ayu dan mengunci pintu kamar tersebut.
“Nan, kamu apa-apaan, sih!?”
Nanda langsung mendorong tubuh
Ayu hingga punggungnya merapat ke dinding. “Kenapa kamu menghindar?” bisiknya
sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Ayu.
Ayu terdiam. Manik matanya
menangkap bayangan wajah Nanda yang begitu dekat dengannya. Ia tidak tahu apa
yang harus ia lakukan saat ini. Ingin sekali ia memaki pria ini dengan sumpah
serapah, tapi bibirnya malah beku dan degup jantungnya berdetak cepat tak
terkendali. Ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya.
Pikirannya ingin membenci, tapi hati kecilnya ingin selalu berada di dekat pria
ini.
((Bersambung...))