Wednesday, August 17, 2022

Bab 60 - Susah Cari Kerja

 


Nanda melangkahkan kakinya memasuki salah kantor perusahaan yang membuka lowongan kerja. Bermodalkan laptop pinjaman dari Sonny dan sedikit bantuannya, ia membuat lamaran pekerjaan dan mencoba mencari peruntungannya.

Sayangnya, sudah tujuh perusahaan menolaknya untuk bekerja di sana.

“Maaf, Mas ...! Kami tidak bisa menerima Anda. Posisi yang kami tawarkan tidak sesuai dengan pendidikan Anda. Kami hanya butuh kepala bagian. Pendidikan dan pengalaman kerja Anda terlalu tinggi untuk kami.” Ucapan beberapa HRD perusahaan itu kembali terdengar di telinga Nanda.

Dari tujuh perusahaan yang ia lamar. Lima perusahaan menolaknya dengan alasan pendidikannya. Meski tidak terlalu pintar, tapi Nanda menyandang gelar Master of Bussiness dari salah satu universitas ternama di kota New York. Dua perusahaan lagi, menolaknya tanpa alasan yang jelas.

Nanda menghela napas sembari duduk di bawah pohon yang ada di tepi jalan.

“Minum, Mas?” Seorang pedagang es dawet yang berjualan di sebelah Nanda, langsung tersenyum manis ke arah pria tampan itu.

Nanda menggeleng sambil melirik rombong milik penjual es tersebut. Teriknya matahari, membuat keringatnya bercucuran dan sangat menginginkan sesuatu yang bisa menyegarkan kerongkongannya yang kering. Tapi ia mengurungkan niatnya saat ia menyadari kalau tidak membawa uang banyak di sakunya.

Uang lima ratus ribu yang ia pinjam dari Sonny, sudah hampir habis untuk membayar biaya kendaraan umum dan fotokopi beberapa CV miliknya. Jika tidak berhemat, uangnya bisa ludes dalam sekejap. Ia tidak punya muka jika harus meminjam uang lagi pada Sonny. Meski mereka pernah bersahabat, tapi apa yang ia lakukan pada Sonny tiga tahun silam, masih meninggalkan rasa bersalah di dalam lubuk hatinya.

“Keringetan gitu, Mas. Enak minum yang seger-seger,” tutur penjual es dawet tersebut sambil tersenyum, menatap Nanda penuh harap agar membeli dagangannya.

Nanda tersenyum. “Harganya berapa, Paklek?”

“Lima ribu aja,” jawab penjual es tersebut sambil tersenyum lega. “Mau?”

“Kalau beli setengah gelas aja, bisa?” tanya Nanda lagi.

Penjual es dawet itu menyeringai kesal ke arah Nanda. “Ganteng-ganteng moncer, moso beli es dawet cuma setengah gelas? Cuma nyangkut di tenggorokan, Mas.”

Nanda tertawa kecil melihat reaksi pedagang tersebut. “Iya, deh. Aku beli satu gelas,” ucapnya sembari merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang lima ribuan.

Nanda menghela napas sambil menatap selembar uang lima ribu di tangannya. Ia menoleh ke arah yang begitu jauh. Tempat di mana Galaxy Hotel hotel dan apartemen-apartemen lain berdiri megah. Saat tempat-tempat mewah itu menjadi bagian dari hidupnya, selembar uang lima ribu tidak berharga. Bahkan, tidak pernah tersimpan di dompet atau sakunya sekali pun.

Kini, ia menatap selembar uang lima ribu itu seperti harta paling berharga dalam hidupnya. Ia sudah pernah jatuh tiga tahun silam. Tapi tangan kedua orang tuanya tetap terbuka untuk memberinya makan, tempat tinggal dan pakaian untuknya.

Nanda mengusap matanya yang basah. Betapa beruntungnya ia bisa terlahir di keluarga kaya raya, tapi ia tidak bersyukur dan berbakti dengan baik.

“Kenapa, Mas? Lagi ngelamar kerja?” tanya pedagang es tersebut sambil menyodorkan segelas besar es dawet ke hadapan Nanda.

Nanda hanya tersenyum sambil mengulurkan uang lima ribu ke tangan pedagang tersebut.

“Alhamdulillah ...! Barokah,” ucap pedagang itu dengan senyum mengembang sambil menciumi uang lima ribu tersebut.

Nanda tersenyum menatap pedagang minuman di tepi jalan itu. Semudah itu cara manusia untuk bersyukur dan bahagia. Uang lima ribu saja, sudah membuat pedagang itu tersenyum bahagia.

Nanda langsung menyeruput es dawet yang ada di tangannya. “Duh, kemanisan, Paklek!” serunya. “Ada air putih lagi?”

“Diaduk dulu tho, Mas,” sahut pedagang es dawet itu sambil memutar jemari tangannya, memberi isyarat pada Nanda untuk mengaduk es dawet yang ada di tangannya.

“Oh.” Nanda tersenyum sambil memperhatikan isi gelas itu sambil mengaduknya perlahan. Biasanya, yang melakukan hal ini adalah asisten pribadi atau pelayan di rumahnya. Yang ia tahu, hanya tinggal minum saja. Ia tidak menyangka jika minum es dawet pun ada caranya. Sama seperti bagaimana cara menikmati wine atau bir yang nikmat.

Nanda langsung menyeruput kembali es dawet tersebut dan merasakan kerongkongannya terlepas dari ancaman kemarau panjang.

“Nanda ...!” seru seorang wanita yang tiba-tiba berhenti di depan Nanda.

Nanda langsung menoleh ke arah wanita cantik yang masih berada di dalam mobil mewah itu. “Karina?” batinnya gusar.

Karina langsung tersenyum lebar dan bergegas keluar dari mobilnya. “Kamu minum es dawet sendirian? Kenapa nggak ajak aku?” tanyanya sambil duduk di samping Nanda.

“Paklek, aku mau satu juga!” pinta Karina sambil menoleh ke arah pedagang es tersebut.

“Siap, Mbak Cantik!”

Karina tersenyum lebar dan menoleh ke arah Nanda. “Kamu ke mana aja akhir-akhir ini? Aku telepon nggak bisa. Aku cari ke rumah dan kantormu, kamu juga nggak ada. Sibuk banget?”

Nanda mengangguk sambil menundukkan kepala.

Karina tersenyum kecil sambil memperhatikan keringat yang membasahi wajah dan leher Nanda. Ia mengeluarkan tisu dari dalam tas tangannya dan mengusapkan ke wajah Nanda.

“Kamu ngapain?” Nanda menjauhkan wajahnya saat tangan Karina tiba-tiba menyentuhnya.

“Wajahmu keringetan, Nan. Kamu abis ngapain? Sini, aku bantu lap wajahmu,” tutur Karina sambil mengulurkan kembali tangannya ke wajah Nanda.

“Aku bisa sendiri.” Nanda menyambar tisu dari tangan Karina dan mengusapkan ke wajahnya. Dahinya mengernyit saat melihat tisu bekas itu berwarna cokelat kehitaman.

“Aku bisa jerawatan kalau kayak gini terus,” gumamnya.

Karina tertawa kecil menatap wajah Nanda. “Walau jerawatan, pasti tetep kelihatan ganteng.”

Nanda menghela napas mendengar ucapan Karina. Ia menyedot cepat es dawet di tangannya dan bangkit dari tempat duduknya. “Makasih, Lek!” ucapnya sembari meletakkan gelas es tersebut ke atas rombong pedagangnya.

“Eh!? Kamu mau ke mana?” tanya Karina sambil merentangkan kedua tangan, menghadang Nanda.

Nanda terdiam sejenak sambil menatap belahan dada Karina yang terbuka dan terekspose di hadapannya. Ia memijat keningnya sekilas dan berbalik menghindari wanita itu.

“Nan, kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba jauhin aku?” tanya Karina sambil mengejar langkah Nanda.

“Aku nggak akan jauhi kamu kalau kamu bisa bikin perjodohan kita batal,” sahut Nanda.

Karina menghela napas dan terus mengikuti langkah Nanda.

“Mbak, dawetnya jadi atau nggak?” seru pedagang es dawet yang ada di sana.

Karina tak menghiraukan teriakan pedagang itu dan terus mengikuti langkah Nanda.

Nanda menghentikan langkahnya dan berbalik dengan cepat.

BUG!

“Aw ...!” seru Karina saat ia tidak sempat menghentikan langkahnya dan bertabrakan dengan Nanda.

Nanda menghela napas melihat tingkah Karina. “Nggak usah kayak anak kecil, Rin! Kamu udah pesen minum, kasihan penjualnya.”

“Aku mau minumnya sama kamu, Nan. Kalau kamu pergi, aku pergi juga.”

“Kasihan paklek itu, Rin. Kamu jangan bersikap sesukanya sama orang kecil!” sahut Nanda.

Karina menoleh sekilas ke belakangnya. “Dia bisa jual ke orang lain lagi.”

“Nggak gitu caranya, Rin. Bertanggungjawablah!” perintah Nanda.

“Temenin! Aku nggak mau minum di pinggir jalan kayak gini sendirian,” pinta Karina sedikit manja.

“Aku temenin kamu minum, tapi kamu bayar lima puluh ribu untuk satu gelas! Mau?”

“No problem,” sahut Karina sambil tersenyum.

Nanda tersenyum sambil melangkahkan kakinya menghampiri rombong pedagang es dawet tersebut. Meski hari ini ia tidak punya uang, setidaknya ia masih bisa membantu orang lain menggunakan tangan Karina.

“Paklek, aku pesen es dawetnya lagi dua gelas. Dia yang bayar!” pinta Nanda sambil duduk di kursi plastik yang ada di dekatnya.

Karina tersenyum dan duduk di sebelah Nanda.

“Rin, aku bisa minta bantuan kamu?”

“Bisa. Selama aku bisa, aku pasti bantu kamu.”

Nanda tersenyum menatap Karina yang duduk di sampingnya.  Ia pikir, ia bisa memanfaatkan Karina untuk membantunya sembari memikirkan untuk membuat wanita itu membatalkan perjodohan bisnis yang terjalin dalam keluarga mereka.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 59 - Terlunta-Lunta

 



“Hiks … hiks … hiks …!” Nia terus menangis sesenggukan di dalam kamar karena putera kesayangannya pergi dari rumah tanpa membawa apa pun.

“Nia, kamu jangan nangis terus! Pusing dengernya,” pinta Andre sambil memegangi rahangnya yang terasa ngilu akibat pukulan dari puteranya.

“Kalau nggak mau aku nangis terus, balikin Nanda ke rumah ini. Dia anak kita satu-satunya, kamu tega banget sama anak sendiri. Huuaaa ...!” seru Nia sambil membuang ingusnya dengan kasar menggunakan tisu.

“Aku tahu. Aku juga nggak mau kayak gini. Tapi anak itu ... kalau terlalu dimanja, malah makin ngelunjak. Kita lihat aja! Palingan besok pagi dia sudah balik ke rumah ini dan nuruti kemauan kita. Dia pikir, bisa hidup tanpa orang tua? Siapa yang kasih makan selama ini sampai dia besar? Yang ngasih dia pendidikan dan semuanya? Cuma disuruh nurut sama orang tua aja susah!” sahut Andre sambil menahan kesal.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” tangis Nia semakin keras begitu mendengar ucapan kekesalan dari suaminya itu. Demi apa pun, ia tidak rela melihat puteranya diusir dari rumah dan hidup terlunta-lunta di jalanan.

Andre langsung melangkah keluar dari dalam kamar. Ia enggan mendengarkan tangisan istrinya yang terus merengek meminta Nanda kembali ke rumah mereka. “Anak itu harus dapet hukuman serius supaya nurut,” gerutunya.

Sementara itu, Nanda melangkahkan kaki menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Ia tidak membawa apa pun saat keluar dari rumah, termasuk ponselnya. Ia tidak tahu harus pergi ke mana untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Nanda menghela napas sembari menyandarkan tubuhnya di batang pohon yang ada di tepi jalanan. Ia memerosotkan tubuhnya dan terduduk di atas semen trotoar itu. Saat mengedarkan pandangannya, bibirnya tersungging miring. Kemudian, ia sibuk menertawakan dirinya sendiri.

Nanda menyandarkan kepala sambil menengadah dengan mata terpejam. Delapan tahun silam, ia kerap tertidur di pinggir jalan karena mabuk bersama teman-teman sepergaulannya.

Saat itu, ia tidak tahu apa itu kehidupan. Tidak tahu apa itu tanggung jawab. Tidak pernah memikirkan masa depan dan membayangkan keluarga yang rumit. Yang ia tahu hanyalah bersenang-senang. Dan saat ini, kawan bersenang-senangnya menghilang satu per satu, kemudian sirna. Semuanya sibuk mengurus keluarganya sendiri. Semua sudah memiliki kehidupan dan tanggung jawab masing-masing.

“Nan, kamu ngapain di sini?”

Nanda langsung membuka mata dan menoleh ke arah pria berseragam SMA yang tidak pernah pergi dari sisinya. Ya, pria itu adalah Sonny Pratama. Satu-satunya sahabat terbaik yang ia miliki, tapi semua itu ia hancurkan karena cinta.

Nanda mengerjap tak percaya saat melihat Sonny mengulurkan tangan ke arahnya.

“Bangunlah!” pinta Sonny sambil mengulurkan telapak tangannya ke hadapan Nanda.

Nanda mengucek matanya dan menatap Sonny yang sudah berubah pakaian. Pria remaja itu sudah terlihat dewasa dengan kemeja putih, celana bahan dan kacamatanya yang khas. Ia memukul-mukul kepalanya beberapa kali. “Kenapa aku halusinasi? Apa karena laper?” gumamnya.

Sonny tertawa kecil sambil membungkukkan tubuhnya di hadapan Nanda. “Kamu laper? Aku traktir makan baso, gimana?”

Nanda memicingkan mata dan menatap serius ke arah Sonny. Ia langsung mengulurkan tangannya, meraih tubuh sahabatnya itu. “Kamu beneran Sonny!?”

Sonny mengangguk. “Mama kamu yang telepon aku dan minta tolong buat nyari kamu,” jawabnya.

Nanda tersenyum kecil dan menyambut uluran tangan Sonny. Ia langsung bangkit dan memeluk sahabat kecilnya itu. “Hidupku nggak henti-hentinya dihancurkan oleh takdir. Aku tahu, ini karma yang harus aku jalani.”

Sonny tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Nanda. “Apa yang kita tanam di dunia ini, akan selalu ada hasilnya. Sekarang, bukan saatnya menyesali masa lalumu. Nanda yang aku kenal, tidak pernah rapuh. Tidak pernah menyerah sekalipun sisa nyawa hanya tinggal sedetik saja.”

Nanda tersenyum sambil dan mengangguk setuju. “Aku nggak pernah bilang mau menyerah, Son. Aku hanya ... huft, banyak hal yang sulit untuk ungkapkan.”

“Mungkin kamu lagi lapar. Jadi, susah ngomong! Makan, yuk! Aku traktir.” Sonny langsung merangkul tubuh Nanda dan mengajaknya pergi ke salah satu warung baso yang ada di tepi jalan.

“Nan, kenapa kamu nggak datang ke acara nikahanku? Sibuk banget atau nggak berhasil bawa Ayu balik ke Indonesia?” tanya Sonny saat ia dan Nanda sudah duduk di meja kosong yang ada di warung tersebut.

“Ck. Aku udah berhasil bawa dia ke Indonesia. Tapi aku nyesel, Son.”

“Nyesel kenapa?”

“Dia harus menjalani upacara suci yang ... argh! Nggak manusiawi banget. Sayangnya, hukum adat di beberapa daerah tertentu masih nggak berubah. Kalau aku tahu aturan keraton kayak gitu, aku nggak akan biarkan dia balik ke Indonesia. Mending aku aja yang pindah ke London,” jawab Nanda sambil mengacak rambutnya yang sudah kotor dan berantakan.

“Ayu pernah cerita ke aku. Hukuman itu memang ada?” tanya Sonny.

Nanda mengangguk. Ia menceritakan semua hal yang harus dialami oleh Ayu untuk menebus dosa masa lalunya dan membuatnya kembali diterima di keluarga keraton.

“Setelah ini, kamu mau ke mana? Aku antar, Nan,” tanya Sonny setelah ia mendengar semua cerita dan keluh-kesah Nanda.

“Nggak tahu, Son. Aku nggak punya tempat tinggal lagi.”

“Mau aku booking hotel buatmu, Nan?” tanya Sonny.

“Nggak punya duit, Son. Aku tidur di pinggir jalan aja,” sahut Nanda tak bersemangat.

“Nan, dulu kamu banyak bantu aku. Mana mungkin aku biarkan kamu tidur di pinggir jalan. Kalau ada yang tahu, aku bisa malu. Masa temennya Dokter Sonny, tidur di jalanan?” sahut Sonny dengan gaya santai yang biasa dilakukan Nanda.

Nanda menghela napas. “Okelah. Aku pasrah. Aku pinjam uangmu dulu! Kalo udah ada uang, aku bakal balikin ke kamu.”

“Nggak perlu, Nan! Kamu nggak perlu kembalikan apa pun. Kalau mau ... kembalikan hatinya Ayu ke aku!” pinta Sonny sambil menepuk-nepuk bahu Nanda.

“Kamu ...!?” Nanda menatap geram ke arah Sonny. “Kamu udah nikah, Son. Masih mau ngembat istri orang juga?”

“HAHAHA.” Sonny tergelak. “Aku guyon, Nan!”

“Aku lagi nggak bisa diajak bercanda, Son. Spaneng banget!”

Sonny tertawa kecil. “Kamu mau apa biar nggak spaneng? Klub malam? Cewek cantik? Aku akan bawa kamu ke tempat yang kamu mau.”

“Ck. Bikin masalah baru lagi kalau begitu, mah. Ayu baru aja baikan sama aku. Nggak usah nyalain kompor yang udah lama mati!” sahut Nanda.

Sonny tergelak. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?”

“Belum tahu,” jawab Nanda lirih. Ia sendiri, tidak tahu apa yang harus ia lakukan karena saat ini ia tidak punya apa-apa dan tidak punya muka untuk meminta bantuan dari orang lain.

 

 


Bab 58 - Perseteruan Nanda dan Andre

 


Nanda melangkahkan kakinya perlahan memasuki kediaman orang tuanya. Sudah beberapa minggu ia tidak bertemu dengan sang ibu dan merasa sangat rindu. Dua tangannya menenteng paper bag berisi hadiah dan makanan kesukaan mamanya.

“Sore, Ma ...!” sapa Nanda sambil menghampiri Nia yang sedang asyik berbincang dengan sahabatnya di ruang tamu. “Eh, ada Bunda Yuna?”

Bunda Yuna tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Iya. Kebetulan lewat sini, jadi Bunda sekalian mampir. Gimana kabar kamu?”

“Baik, Bunda.” Nanda langsung menyalami tangan Nia dan menciumnya. Ia juga tak lupa menyalami Bunda Yuna yang ada di sana.

“Nia, aku balik dulu, ya!” pamit Bunda Yuna. “Satu jam lagi suamiku pulang ke rumah. Dia bisa ngambek kalau aku nggak ada saat dia pulang.”

Nia mengangguk sambil tersenyum manis. Sebagai seorang istri, ia tahu bagaimana rutinitas dan tugas Yuna. Meski di luar sana terlihat sebagai wanita karir dengan jabatan tinggi dan memiliki banyak bisnis, saat masuk ke rumah dia tetaplah seorang istri.

“Jaga kesehatan, ya! Udah makin tua, harus peduli sama diri sendiri!” ucap Yuna sambil merangkul tubuh Nia dan bersalaman pipi.

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Kamu juga, ya! Memperhatikan keluarga, jangan lupa sama kesehatan diri sendiri. Sebagai istri dan ibu, keluarga membutuhkan kita.”

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Salam untuk Andre, ya!”

Nia mengangguk. “Salam untuk Yeriko juga.”

Yuna mengangguk dan segera berpamitan dari rumah tersebut.

Nanda terus memperhatikan Bunda Yuna yang terlihat begitu cantik dan elegan meski usianya tak lagi muda. Wanita ini juga memiliki kekuatan memengaruhi banyak orang hingga menjadikannya sebagai sosok menginspirasi. Ketika di bumi, Miss Ayuna seperti berlian dan ketika di langit ia bersinar seperti bintang. Tak banyak wanita yang masa tuanya diberi anugerah seindah ini.

“Nan …!” panggil Nia membuyarkan lamunan Nanda.

“Eh!?” Nanda mengerjapkan mata dan baru menyadari kalau mobil milik Bunda Yuna sudah tidak terlihat lagi di halaman rumahnya.

“Kenapa ngelamun? Masuk, yuk!” ajak Nia sambil merangkul lengan Nanda. “Kamu dari mana aja? Kenapa akhir-akhir ini jarang pulang? Ngurus bisnis?”

“Ngurus istri,” jawab Nanda santai dan mengempaskan tubuhnya ke sofa.

“Karina?” tanya Nia sambil tersenyum lebar. Sejak kejadian buruk yang menimpa keluarganya tiga tahun silam, puteranya itu mengalami banyak perubahan. Bahkan, menutup diri dari semua wanita hingga ia juga harus ikut campur mencarikan jodoh baru untuk puteranya tersebut.

“Kapan aku merit sama Karina!?” sahut Nanda ketus.

Nia menghela napas menghadapi sikap ketus puteranya itu. “Dia calon istri kamu, Nan. Nggak boleh seperti itu! Kamu harus bisa bangkit dari masa lalu. Karina wanita yang baik, cantik, dewasa dan berasal dari keluarga baik-baik. Dia juga tidak akan menyakiti kamu.”

“Kalau cuma cari yang nggak nyakitin, piara kucing atau kelinci aja beres!” sahut Nanda. “Aku nggak cinta sama Karina. Mama mau kalau aku mencintai wanita lain saat aku menikah sama Karina? Cinta itu nggak bisa dipaksakan, Ma.”

“Terus, kamu mau balik ke Arlita? Kamu tahu sendiri kalau dia udah divonis HIV, Nan. Untungnya, kamu nggak ketularan kena HIV juga sama dia. Kamu mau nikahi perempuan kayak gitu?” tanya Nia sambil menatap wajah Nanda.

“Nggak usah bahas masa lalu, Ma! Aku pusing!” pinta Nanda sambil mengacak rambutnya sendiri.

“Ya udah. Kamu mau minum apa? Mau kopi atau susu?” tanya Nia.

“Nggak usah, Ma! Aku mau ngomong penting sama Mama,” jawab Nanda sembari menggenggam tangan Nia yang duduk di sebelahnya.

“Tumben mukanya serius. Mau ngomong apa?” tanya Nia.

“Aku lagi ngejar Roro Ayu lagi,” tutur Nanda sambil menatap wajah Nia.

Nia terdiam sejenak sambil menarik tangannya dari genggaman Nanda.

“Mama kenapa? Nggak suka kalau aku balikan sama Roro Ayu? Dia menantu kesayangan Mama ‘kan?”

“Itu dulu. Sebelum dia benar-benar mengirimmu ke penjara,” jawab Nia dingin.

“Bukan dia yang mengirimku ke penjara,” sahut Nanda.

“Siapa lagi? Jelas-jelas, dia yang ngelaporin kamu, Nan.”

“Ma, aku udah cari tahu semuanya. Saat laporan itu masuk ke kepolisian, Roro Ayu dalam keadaan koma. Mama ingat ‘kan?”

“Ingat. Tapi dia tetep aja udah ngumpulin semua bukti dan memenjarakan kamu,” sahut Nia.

“Ma, Nadine pernah bilang kalau Roro Ayu memang ingin melaporkan aku ke polisi. Tapi dia mengurungkan niatnya dan membatalkan itu semua.”

“Kamu percaya gitu aja sama omongan Nadine?”

“Aku percaya. Karena Roro Ayu juga nggak tahu apa pun soal laporan kepolisian itu. Yang jahat itu keluarganya Roro Ayu, Ma. Mereka yang udah bikin konspirasi dan membuat kita semua salah paham. Tanda tangan Ayu, masih bisa mereka palsukan. Rekaman suara yang jadi bukti di pengadilan, ternyata sudah diedit,” tutur Nanda menjelaskan.

“Serius!? Apa selama ini Mama salah menilai dia?” tanya Nia.

“Bukan cuma Mama. Tapi aku juga. Dia sudah berkali-kali menyerahkan nyawanya untuk menyelamatkan aku. Semua bukti-bukti itu dia kumpulkan hanya untuk menggertakku saja dengan caranya. Dia nggak benar-benar ingin melakukannya, Ma. Dia sudah cinta sama aku sejak kami masih SMA. Cuma … wanita itu terlalu gengsi untuk mengakuinya,” jelas Nanda sambil tersenyum mengingat masa-masa sekolahnya bersama Ayu.

“Beneran? Gimana keadaan dia sekarang? Sehat?” tanya Nia.

Nanda mengangguk. Ia merogoh ponsel di saku jasnya dan membuka galeri foto miliknya. “Dia makin cantik!” ucapnya bersemangat sembari menunjukkan foto Roro Ayu yang sedang duduk di sudut perpustakaan sembari membaca buku.

“Dari dulu, dia memang senang belajar ya?” tanya Nia sambil tersenyum menatap wajah Roro Ayu.

Nanda mengangguk. “Dia baru aja menyelesaikan gelar masternya di Cambridge University. Dia juga sudah menerbitkan banyak jurnal bisnis selama sekolah di sana. Lihat, Ma! Dia itu abis marah-marah sama aku, tapi malah ketiduran di pangkuanku. Lucu banget ‘kan? Hihihi.”

Nia tersenyum sambil ikut mengusap layar ponsel Nanda. “Ini foto di mana? London Eye?”

Nanda mengangguk. Ia langsung menutup layar ponsel dengan telapak tangannya saat sang mama mengusap ke kiri dan foto yang terpampang adalah foto dirinya dengan Ayu yang sedang berciuman.

Nia tersenyum menggoda ke arah Nanda. “Mama udah lihat. Nggak usah ditutupi. Kamu beneran balikan sama Roro Ayu?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum. “Saat ini, Roro Ayu sedang menjalani hukuman yang berat di keraton demi mendapatkan restu keluarganya. Setiap malam, aku nggak bisa tidur karena Ayu harus mempertaruhkan nyawanya. Aturan leluhur itu kuno dan kejam. Mama jangan mempersulit Ayu, ya! Dia sudah berkorban banyak hal untuk mencintai anakmu.”

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Mama menghargai keputusan kamu. Asal kamu bahagia, Mama akan mendukung kamu. Tapi ... bagaimana dengan Karina? Apa kamu bisa mengatasinya?” tanyanya.

“Dari awal aku sudah menolak perjodohan bisnis ini. Aku akan berusaha keras untuk memperjuangkan apa yang seharusnya aku perjuangkan dan melepaskan apa yang seharusnya aku lepaskan,” jawab Nanda.

“Mama akan dukung aku sama Roro Ayu ‘kan? Aku hanya butuh persetujuan dari Mama dan aku akan melawan semua orang,” tutur Nanda.

Nia mengangguk. “Apa pun yang membuatmu bahagia, Mama akan mendukungnya.”

“Aku nggak setuju!” seru Andre sambil masuk ke dalam rumah tersebut. “Nggak ada alasan apa pun dan perjodohan dengan Karina tidak bisa dibatalkan! Kamu mau perusahaan kita bangkrut lagi karena keluarganya menarik semua investasi di perusahaan kita, hah!?”

 “Pa, aku nggak mau terikat perjodohan bisnis seperti ini. Papa mau jual anak!?”

 “Berani kamu ngelawan Papa, hah!?” sentak Andre sambil menunjuk wajah Nanda penuh emosi. “Kalau kamu masih bersikeras ingin bersama perempuan keparat itu, keluar dari rumah ini dan jangan bawa apa pun selain tubuhmu sendiri!”

“Mas, kenapa ngomong kayak gitu sama anak sendiri?” Nia langsung menghampiri Andre dan mencoba untuk menenangkan suaminya itu.

“Anakmu ini nggak pernah berhenti berulah dan bikin malu keluarga. Apa kata keluarga Karina kalau sampai perjodohan ini batal?”

“Pa, ini baru perjodohan, kok. Belum sampai ke tahap pernikahan. Kemarin aku udah menikah pun, masih bisa dibatalkan,” sahut Nanda.

“Kalau gitu, perjodohan kali ini nggak boleh batal!”

“Aku nggak cinta sama Karina, Pa! Kenapa papa maksa aku buat nikahin dia? Kalau memang pernikahan ini hanya untuk bisnis, Papa aja yang nikahi Karina!”

PLAK!

Telapak tangan Andre langsung mendarat di pipi Nanda. “Berani kamu ngomong gitu ke papa, hah!?”

“Mas, jangan pukul Nanda! Cukup, Mas!” Nia langsung memeluk Nanda sambil menitikan air mata. “Kamu nggak papa, Sayang?” tanya Nia sambil mengusap kedua pipi Nanda. “Papa nggak marah beneran, kok. Nanda nggak boleh marah sama papa, ya!” lirihnya.

“Didik anak kamu ini! Jangan jadi anak pembangkang dan bikin malu keluarga. Aku nyesal udah pilih istri sepertimu. Lihat Yuna! Dia selalu tahu bagaimana caranya membahagiakan suami dan keluarganya. Anak-anak dia, nggak ada yang kelakuannya begini. Semuanya sukses. Kamu ngapain selama ini? Sampai nggak bisa didik anak kamu dengan baik!” seru Andre penuh emosi.

Air mata Nia mengalir deras mendengar ucapan kemarahan Andre. Ia tidak menyangka kalau suaminya itu masih terus membandingkan ia dengan Ayuna yang kehidupannya jauh lebih baik dari mereka.

“Mas, Mas Andre kenapa setega ini ngomong sama aku? Kalau aku bisa milih, aku ingin terlahir seperti Yuna, Mas. Perempuan mana yang nggak mau jadi seperti dia? Aku sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Nanda. Kalau aku gagal, itu semua di luar kuasaku, Mas,” ucap Nia dengan derai air mata.

“Sebelum kamu gagal, kendalikan anakmu ini!” sahut Andre sambil menunjuk wajah Nanda dan melangkah pergi.

Nanda menarik kerah baju Andre dengan cepat dan tangannya yang sudah mengepal erat sejak beberapa detik lalu, langsung menghujam wajah Andre.

BUG!

Tubuh Andre langsung tersungkur ke lantai karena ia tidak siap menahan serangan Nanda yang tiba-tiba.

“Papa boleh maki aku sepuasnya, tapi jangan maki mamaku!” seru Nanda kesal.

Nia langsung menghampiri tubuh Andre dan memeluk suaminya itu. “Nan, papamu hanya emosi sesaat saja. Jangan pukul dia!” Ia benar-benar serba salah dan tidak tahu harus memilih membela siapa.

Nanda menatap kesal ke arah Andre sambil merogoh saku celananya. “Ini kunci mobilku. Ambillah!” pinta Nanda sambil melemparkan kunci mobilnya ke hadapan Andre.

“Nan, jangan ikut emosi juga!” pinta Nia sambil menangis. Tapi, kalimatnya itu tidak didengar oleh bapak dan anak yang sedang berseteru hebat itu.

“Ini dompetku! Jam tangan, sepatu, jas dan semuanya. Aku balikin ke papa!” ucap Nanda lagi sambil melemparkan barang-barang tersebut ke arah Andre yang masih terduduk di lantai.

Nanda memperhatikan kemeja dan celana bahan yang ia kenakan. “Setelan kemeja ini, aku pinjam dulu. Besok, akan aku kembalikan ke Papa!” ucapnya. Ia langsung berbalik dan melangkah pergi.

“Kita lihat, apa kamu bisa hidup tanpa uang dan fasilitas orang tua, hah!?” seru Andre. Ia semakin emosi melihat Nanda yang begitu berani di hadapannya.

“Mas, kenapa malah bilang begitu? Bukannya dibujuk,” tanya Nia sambil memukul pundak Andre dan segera berlari mengejar langkah Nanda. Ia berusaha keras mencegah puteranya itu untuk tidak keluar  dari rumah.

“Nan, Nanda ...! Jangan pergi, Nak! Papamu hanya emosi sesaat. Jangan diambil hati ya!” seru Nia yang tidak sanggup mengikuti jejak kaki Nanda yang berjalan lima kali lebih cepat darinya.

 

 ((Bersambung...))


Bab 57 - Tidak Direstui

 



Nanda menarik napas dalam-dalam sambil merapikan jasnya saat ia baru saja keluar dari dalam mobil. Ia segera melangkah memasuki pintu kantor perusahaan Amora Internasional. Dengan cepat, ia langsung mencapai ke lantai gedung paling atas dan masuk ke ruang CEO.

“Dari mana saja?” tanya Andre sambil duduk di kursi kerja Nanda dan menatap tajam ke arah puteranya itu.

“Dari ...” Nanda memutar otaknya dengan cepat. Meski perasaannya tak karuan, ia tetap memberanikan diri untuk mengatakan kejujuran tentang hubungannya dengan Ayu. “Dari Keraton Surakarta.”

“Kamu mau menjalin hubungan bisnis dengan keluarga keraton itu?” tanya Andre.

Nanda menggeleng.

“Lalu? Untuk apa kamu meninggalkan perusahaan begitu lama? Sudah bosan kerja?” tanya Andre dingin.

Nanda menggeleng lagi.

“Terus apa?” seru Andre sambil menggebrak meja di depannya. “Kamu pikir, pemilik perusahaan bisa seenaknya aja, hah!? Meski kamu anak papa, papa tidak akan berbelas kasih! Nggak ingat apa yang terjadi sama perusahaan kita tiga tahun lalu, hah!? Kamu masih main-main seperti ini!”

Nanda terdiam mendengar ucapan bernada tinggi dari papanya.

“JAWAB!” sentak Andre.

“Aku ... nemuin Roro Ayu,” jawab Nanda .

“Mantan istri kamu itu?” Wajah Andre berubah seketika.

Nanda mengangguk. “Dia masih istriku, Pa.”

Andre mengernyitkan dahi. “Istri dari mana? Istri mana yang tega memenjarakan suaminya selama satu tahun? Istri mana yang tega menguras harta suami dan mertuanya sendiri? Apa yang tidak kami berikan untuk perempuan itu? Semuanya sudah kami beri dan dia tetap membuatmu masuk penjara, membuat saham perusahaan kita jatuh dan nyaris bangkrut. Jangan bodoh, Nanda!”

“Pa, aku nggak bodoh. Aku waras dan aku sadar kalau aku cuma cinta sama Roro Ayu,” sahut Nanda.

“Cuuih ...! Persetan dengan cintamu, Nan! Berapa banyak wanita yang kamu miliki saat kamu masih menjadi suami Ayu, hah!?” sambar Andre.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan papanya.

“Papa nggak mau tahu dan nggak mau dengar alasan apa pun. Yang jelas, papa sudah tidak bisa menerima wanita itu menjadi menantu papa. Kamu tetap harus menikah dengan Karina. Tanpa dia dan keluarganya, bisnis kita tidak akan bisa bertahan seperti ini. Dulu, kamu hancur karena tidak berbakti pada orang tuamu. Sekarang, berbaktilah dan ikuti perintah kami!” tegas Andre.

“Pa, aku nggak bisa menikahi wanita lain selain Roro Ayu,” sahut Nanda.

Andre tertawa kecil mendengar ucapan Nanda. “Kalau kamu tetap memutuskan untuk bersama wanita itu. Silakan keluar dari rumah! Semua harta dan fasilitas milikmu, akan papa ambil. Kita lihat, apakah kamu bisa menghidupi seorang istri hanya dengan cinta?” ucapnya sambil melangkah keluar dari ruang kerja Nanda begitu saja.

Nanda menarik napas dengan perasaan tak karuan. Telapak tangannya mengepal erat dan matanya berkaca-kaca. “Aargh ...!” teriaknya sambil menendang kursi yang ada di depan meja kerjanya. Ancaman harta dan kedudukan adalah jurus paling ampuh dari sang papa yang membuatnya tidak bisa melawan dengan mudah.

Nanda mondar-mandir belasan kali sambil memikirkan cara untuk bisa terlepas dari perjodohan bisnis yang dilakukan oleh sang papa untuk menyelamatkan perusahaannya.

Nanda segera keluar dari ruangan dan masuk ke dalam ruang tim sekretaris perusahaannya.

“Pagi, Pak Nanda ...!” sapa semua orang yang ada di sana yang langsung bangkit dan membungkuk hormat ke arah Nanda.

“Pagi ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis. “Hari ini, Ibu Karina ada jadwal ke perusahaan ini atau nggak?” tanya Nanda.

“Nggak ada, Pak,” jawab salah satu sekretaris yang biasa mengurus kedatangan tamu di perusahaan tersebut.

“Kamu yang biasa urus tamu?” tanya Nanda. Ia tidak begitu hafal dengan lima sekretaris yang membantunya. Biasanya, ia hanya akan berkomunikasi dengan kepala sekretarisnya saja.

“Iya, Pak.”

“Kasih saya nomor ponsel beliau!” perintah Nanda sambil menyodorkan ponsel miliknya ke hadapan sekretaris tersebut.

“Baik, Pak!” Sekretaris itu langsung memindai nomor ponsel Karina dan menyimpan ke kontak ponsel Nanda.

Nanda langsung menyambar ponsel dari tangan sekretaris itu. Ia berbalik dan melangkah pergi sembari menekan panggilan ke nomor ponsel Karina. Salah satu wanita yang terikat perjodohan bisnis dengannya karena hubungan bisnis dua perusahaan orang tua mereka.

“Halo, Karina ...! Bisa ketemu?” tanya Nanda saat Karina menjawab panggilan telepon darinya.

“Bisa. Jam berapa dan di mana?” tanya Karina lewat seberang telepon.

“Bujana Coffee Shop. Sekarang!” pinta Nanda.

“Nanda, aku masih sibuk ngurus bisnis. Satu jam lagi, gimana?”

“Oke. Aku tunggu kamu di sana!” sahut Nanda. Ia segera mematikan panggilan teleponnya dan melangkah menuju pintu lift.

“Permisi, Pak ...! Bapak mau pergi ke mana? Ada banyak dokumen yang harus ditandatangani.” Kepala Sekretaris perusahaan tersebut tiba-tiba menghampiri Nanda saat pintu lift baru saja terbuka.

Nanda menghela napas saat ia dikejar-kejar dengan deadline perusahaan, juga dikejar waktu agar ia bisa membatalkan perjodohannya dengan Karina. Nanda melirik arlojinya sekilas dan melangkah masuk ke dalam lift. “Antarkan berkasnya ke Bujana Coffee Shop!” perintahnya dan langsung menutup pintu lift begitu saja.

 

...

Hari-hari berikutnya, Ayu harus melakukan tirakat di rumah ibadah. Tidak hanya beribadah, ia juga harus merawat tempat ibadah itu dengan baik dan dilarang untuk keluar dari wilayah tersebut.

Setiap jam tiga pagi, Ayu sudah harus membuka mata karena ia harus sahur untuk menjalankan puasanya selama sembilan puluh hari berturut-turut. Setelahnya, ia juga harus memasak banyak makanan yang diperuntukkan untuk anak yatim dan duafa yang ada di sekitar sebagai penebusan dosa dan sedekah.

Tidak ada pria yang boleh masuk ke dalam tempat suci tersebut. Roro Ayu hanya ditemani dan dibantu oleh dua orang pelayan keraton. Satu pelayan bertugas untuk membeli barang dari luar keraton. Satu pelayan lagi bertugas untuk membantu Roro Ayu memasak di rumah mungil yang sudah disediakan untuk mereka dan terletak di samping tempat peribadatan tersebut.

Selepas sholat subuh, Roro Ayu selalu berdiri di atas menara musholla yang berdiri kokoh di atas pegunungan. Ia selalu menikmati saat-saat sang rembulan berganti dengan matahari. Menikmati udara yang begitu dingin hingga berganti dengan hangatnya sang mentari.

Setiap ia memandang begitu jauh, air matanya selalu mengalir. Hatinya selalu merindukan seseorang yang tidak bisa ia kendalikan. Sama seperti tiga tahun belakangan ini. Dari atap fakultas bisnis yang menjadi tempat pengasingan dirinya, ia selalu menatap jauh ke dunia yang hanya ada dalam khayalan sembari menggenggam erat cincin pernikahan yang masih tergantung indah menjadi liontin di lehernya.

“Nan, aku tidak tahu mengapa Tuhan terus mempermainkan hati kita. Saat aku ingin menyukaimu, kamu malah pergi mengejar wanita lain. Saat aku ingin melupakanmu, kamu malah pergi mengejarku.”

“Setiap detik dunia ini berubah. Aku harap, kali ini kamu bersungguh-sungguh mencintaiku dan tidak akan pernah berubah lagi. Aku tidak ingin menjalani sisa hidupku dalam kesepian. Berada di sisi pria lain, aku merasa tidak pantas. Aku hanya ingin kamu ...” lirih Ayu sembari menikmati embusan angin yang menyapu lembut rambut-rambutnya.

 

 

 

Bab 56 - Enggan Melepasmu

 



Satu minggu kemudian ...

Ayu akhirnya bisa menyelesaikan hukuman keduanya dengan baik berkat bantuan dari Nanda dan beberapa pelayan yang terus membantu menghangatkan tubuh Ayu. Meski beberapa kali mengalami hipotermia, ia masih bisa melewatinya dan selamat menjalani hukuman tersebut.

“Nan, terima kasih banyak sudah membantuku menyelesaikan hukuman ini. Aku tidak tahu apa jadinya kalau nggak ada kamu di sisiku,” ucap Ayu saat ia sudah selesai mengganti semua pakaiannya dan berada di dalam kamar bersama dengan Nanda.

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Ay, aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Kepala pelayan sudah mulai mencurigai keberadaanku. Kalau dia mengumpulkan semua pelayan dan menghitungnya, dia akan tahu kalau ada orang lain yang menyelinap ke tempat ini.”

Ayu menatap wajah Nanda sejenak. Kemudian menganggukkan kepala. “Kamu juga sudah terlalu lama di tempat ini. Perusahaanmu juga pasti membutuhkanmu, Nan.”

Nanda mengangguk. Ia menangkup wajah Ayu dan mengecup bibir wanita itu. “Hukuman selanjutnya tidak terlalu berat. Aku yakin, kamu pasti bisa menjalaninya dengan baik. Setelah hukuman terakhirmu selesai, aku akan datang untuk menjemputmu. Aku janji, aku akan meminta kamu kepada keluargamu dengan cara baik-baik. Tidak seperti dulu."

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Kamu janji kalau akan kembali ke aku lagi ‘kan?”

Nanda mengangguk. “I promise.”

“Kamu bisa semudah ini mengikat janji denganku? Bagaimana kalau kamu mengingkarinya?” tanya Ayu sambil menatap lekat mata Nanda.

“Aku berani berjanji karena aku akan mempertanggungjawabkan janjiku dengan penuh keberanian. Aku ingin menjadi orang yang berani dan kuat sepertimu, Ay. Kalau kamu bisa mencintaiku dengan sungguh-sungguh, maka aku juga akan bisa mencintaimu dengan kesungguhan hatiku,” tutur Nanda sambil menatap lekat mata Ayu. “Jika suatu hari nanti, aku mengingkari janjiku ... kamu bisa lakukan apa saja kepadaku.  Mencabut nyawaku pun, aku izinkan.”

“Kalau aku cabut nyawamu, itu artinya ... aku akan menjalani sisa hidupku diselimuti kesepian,” tutur Ayu sambil menatap Nanda dengan mata berkaca-kaca.

Nanda tertawa kecil sambil mengetuk hidung Ayu. “Kamu nggak akan kesepian. Di istana ini aja sudah ada banyak orang yang melayanimu.”

“Pelayan tidak bisa diajak curhat. Nggak bisa diajak melakukan hal gila seperti saat bersamamu. Nggak bisa diajak membicarakan tentang masa depan. Dan nggak bisa menghangatkan aku dengan baik saat aku kedinginan,” tutur Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda tertawa tanpa suara. “Kamu sudah mulai ketagihan minta diangetin terus?” godanya.

Ayu tersipu sambil meninju ada Nanda. “Nyebelinnya masih aja nggak ilang!” dengusnya. Ia langsung berbalik dan duduk di tepi ranjang tidurnya. “Pergilah! Kamu harus mengurus perusahaanmu dan aku nggak mau hukumanku semakin diperpanjang karena kamu ketahuan menyamar jadi pelayan di sini.”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum dan mendekatkan tubuhnya ke tubuh Ayu. “Cium dulu!” pintanya.

Ayu tertawa kecil menatap wajah Nanda. “Aku tuh agak kesel kalau dicium sama kamu dalam keadaan seperti ini.”

“Eh!? Kesel kenapa?” Nanda mengernyitkan dahi.

“Kesel aja. Berasa kayak lagi ciuman sama perempuan,” sahut Ayu sambil tertawa kecil.

Nanda ikut tertawa mendengar ucapan Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengulum basah bibirnya. Semakin Ayu membalas, ia semakin memperdalam ciumannya.

“Aw ...!” teriak Nanda sambil melepas tautan bibirnya saat ia merasakan Ayu menggigit lidahnya. “Kenapa kamu gigit beneran!?” serunya sambil menjulurkan lidah dan mengipas dengan jemari tangannya.

Ayu terkekeh sambil menatap wajah Nanda. “Biar aja! Biar kamu nggak nakal di luar sana.”

“Kamu udah pintar gigit, ya? Mau aku gigit juga?” dengus Nanda sambil mennyondongkan tubuhnya dan berusaha menyerang Ayu.

Ayu tertawa sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Telapak tangannya menutup mulut Nanda yang berusaha membalas perlakuannya. “Ampuun, Nan ...!”

Nanda terdiam. Ia tertawa kecil dan mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Ayu. “Aku akan segera pergi dari sini. Kamu jaga diri baik-baik, ya!” ucapnya lirih.

Ayu mengangguk. “Kamu juga, ya!” ucapnya sambil mengecup kembali bibir Nanda. Kedua lengannya melingkar di pinggang pria itu dan enggan untuk berpisah. Seramai apa pun hidupnya, hatinya akan tetap terasa sepi jika tanpa Nanda di sisinya. Ia mulai terbiasa berada di sisi pria ini setiap hari, merasa nyaman dan tidak ingin ditinggalkan begitu saja.

“Jangan nakal dan jangan dekat-dekat sama cowok lain!” pinta Nanda.

“Aku sedang dihukum dan memang tidak diizinkan dekat dengan pria lain. Kamu aja yang nakal dan nyusup ke tempat ini,” sahut Ayu.

“Kamu juga mau menerima aku menjadi penyusup di sini,” sahut Nanda sambil menjulurkan lidah dengan ekspresi payahnya.

Ayu memonyongkan bibir sambil melepaskan pelukannya. “Kapan sih kamu nggak ngeselin?”

“Aku nggak ngeselin, Ay. Kamu aja yang menanggapinya terlalu berlebihan,” sahut Nanda sambil tertawa kecil. Ia segera beringsut ke depan cermin untuk merapikan pakaian dan riasannya.

“Gimana caranya kamu keluar dari keraton ini tanpa ketahuan?” tanya Ayu.

“Sama seperti saat aku masuk ke keraton ini tanpa ketahuan,” jawab Nanda sambil mengerdip centil ke arah Ayu.

Ayu tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. “Jangan sampai ketahuan, ya!”

“Siap, Tuan Puteri ...!” ucap Nanda sambil tersenyum manis. “Hamba pamit undur diri. Tuan Puteri harus menjaga diri dengan baik sampai hamba datang kembali menjemput Tuan Puteri untuk hamba persunting,” lanjutnya sambil membungkuk hormat di hadapan Ayu.

Ayu terkekeh menatap sikap Nanda. “Nggak usah berlebihan kayak gini. Aku geli lihatnya.”

Nanda tersenyum sambil menegakkan tubuhnya kembali dan menatap serius ke arah Ayu. “Sudah sepantasnya wanita sepertimu diperlakukan sebagai Tuan Puteri. Aku yang terlalu rendah hingga tidak pernah menyadari kalau dirimu berharga. Mulai saat ini ... aku berjanji akan memperlakukan kamu dengan baik, menyayangi dan mencintai kamu dengan tulus. Tidak akan pernah menyakiti dan menduakan cintamu lagi, Ay.”

“Janji?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Janji.” Nanda mengacungkan dua jarinya ke sebelah telinganya sendiri.

Ayu tersenyum. Ia berlari menghampiri Nanda dan menghambur ke pelukan pria itu. “Nan, makasih, ya! Jangan sakiti aku lagi! Aku sayang sama kamu dan aku mau ... kita bisa hidup bersama seperti dulu lagi! Aku tahu, semua malapetaka di hidupku juga disebabkan oleh diriku sendiri yang tidak pernah bisa ikhlas menerima jalan takdirku sendiri,” lirihnya sembari menitikan air mata.

Nanda mengangguk. “Aku janji, kita akan bersama kembali. Melahirkan banyak anak dan hidup bahagia seperti orang lain. Kamu bisa menjalani hari-harimu dengan bersantai. Membaca novel, menonton film, mendengarkan lagu dan bermain bersama anak-anak kita di masa depan.”

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia terus memeluk erat tubuh Nanda. Enggan melepas pria itu pergi dari sisinya. Dunia ini memang permainan yang tidak bisa ia kendalikan. Saat ia tidak ingin bersama pria ini, dunia seolah membuatnya selalu berada di sisi Nanda. Dan saat ia ingin bersama pria ini, seluruh dunia menolak apa yang sedang ia inginkan dan ingin memisahkan mereka berdua.

 

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf untuk telat update karena author masih diajak gelud sama laptop yang rewelnya nggak kelar-kelar. Hahaha. Meski mau gila, tetap aja masih harus ketawa untuk kalian semua, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas