Nanda menarik napas dalam-dalam
sambil merapikan jasnya saat ia baru saja keluar dari dalam mobil. Ia segera
melangkah memasuki pintu kantor perusahaan Amora Internasional. Dengan cepat,
ia langsung mencapai ke lantai gedung paling atas dan masuk ke ruang CEO.
“Dari mana saja?” tanya Andre
sambil duduk di kursi kerja Nanda dan menatap tajam ke arah puteranya itu.
“Dari ...” Nanda memutar
otaknya dengan cepat. Meski perasaannya tak karuan, ia tetap memberanikan diri
untuk mengatakan kejujuran tentang hubungannya dengan Ayu. “Dari Keraton
Surakarta.”
“Kamu mau menjalin hubungan
bisnis dengan keluarga keraton itu?” tanya Andre.
Nanda menggeleng.
“Lalu? Untuk apa kamu
meninggalkan perusahaan begitu lama? Sudah bosan kerja?” tanya Andre dingin.
Nanda menggeleng lagi.
“Terus apa?” seru Andre sambil
menggebrak meja di depannya. “Kamu pikir, pemilik perusahaan bisa seenaknya
aja, hah!? Meski kamu anak papa, papa tidak akan berbelas kasih! Nggak ingat
apa yang terjadi sama perusahaan kita tiga tahun lalu, hah!? Kamu masih
main-main seperti ini!”
Nanda terdiam mendengar ucapan
bernada tinggi dari papanya.
“JAWAB!” sentak Andre.
“Aku ... nemuin Roro Ayu,”
jawab Nanda .
“Mantan istri kamu itu?” Wajah
Andre berubah seketika.
Nanda mengangguk. “Dia masih
istriku, Pa.”
Andre mengernyitkan dahi.
“Istri dari mana? Istri mana yang tega memenjarakan suaminya selama satu tahun?
Istri mana yang tega menguras harta suami dan mertuanya sendiri? Apa yang tidak
kami berikan untuk perempuan itu? Semuanya sudah kami beri dan dia tetap membuatmu
masuk penjara, membuat saham perusahaan kita jatuh dan nyaris bangkrut. Jangan
bodoh, Nanda!”
“Pa, aku nggak bodoh. Aku waras
dan aku sadar kalau aku cuma cinta sama Roro Ayu,” sahut Nanda.
“Cuuih ...! Persetan dengan
cintamu, Nan! Berapa banyak wanita yang kamu miliki saat kamu masih menjadi
suami Ayu, hah!?” sambar Andre.
Nanda terdiam mendengar
pertanyaan papanya.
“Papa nggak mau tahu dan nggak
mau dengar alasan apa pun. Yang jelas, papa sudah tidak bisa menerima wanita
itu menjadi menantu papa. Kamu tetap harus menikah dengan Karina. Tanpa dia dan
keluarganya, bisnis kita tidak akan bisa bertahan seperti ini. Dulu, kamu
hancur karena tidak berbakti pada orang tuamu. Sekarang, berbaktilah dan ikuti
perintah kami!” tegas Andre.
“Pa, aku nggak bisa menikahi
wanita lain selain Roro Ayu,” sahut Nanda.
Andre tertawa kecil mendengar
ucapan Nanda. “Kalau kamu tetap memutuskan untuk bersama wanita itu. Silakan
keluar dari rumah! Semua harta dan fasilitas milikmu, akan papa ambil. Kita
lihat, apakah kamu bisa menghidupi seorang istri hanya dengan cinta?” ucapnya
sambil melangkah keluar dari ruang kerja Nanda begitu saja.
Nanda menarik napas dengan
perasaan tak karuan. Telapak tangannya mengepal erat dan matanya berkaca-kaca.
“Aargh ...!” teriaknya sambil menendang kursi yang ada di depan meja kerjanya. Ancaman
harta dan kedudukan adalah jurus paling ampuh dari sang papa yang membuatnya
tidak bisa melawan dengan mudah.
Nanda mondar-mandir belasan
kali sambil memikirkan cara untuk bisa terlepas dari perjodohan bisnis yang
dilakukan oleh sang papa untuk menyelamatkan perusahaannya.
Nanda segera keluar dari
ruangan dan masuk ke dalam ruang tim sekretaris perusahaannya.
“Pagi, Pak Nanda ...!” sapa
semua orang yang ada di sana yang langsung bangkit dan membungkuk hormat ke
arah Nanda.
“Pagi ...!” balas Nanda sambil
tersenyum manis. “Hari ini, Ibu Karina ada jadwal ke perusahaan ini atau
nggak?” tanya Nanda.
“Nggak ada, Pak,” jawab salah
satu sekretaris yang biasa mengurus kedatangan tamu di perusahaan tersebut.
“Kamu yang biasa urus tamu?”
tanya Nanda. Ia tidak begitu hafal dengan lima sekretaris yang membantunya.
Biasanya, ia hanya akan berkomunikasi dengan kepala sekretarisnya saja.
“Iya, Pak.”
“Kasih saya nomor ponsel
beliau!” perintah Nanda sambil menyodorkan ponsel miliknya ke hadapan
sekretaris tersebut.
“Baik, Pak!” Sekretaris itu
langsung memindai nomor ponsel Karina dan menyimpan ke kontak ponsel Nanda.
Nanda langsung menyambar ponsel
dari tangan sekretaris itu. Ia berbalik dan melangkah pergi sembari menekan
panggilan ke nomor ponsel Karina. Salah satu wanita yang terikat perjodohan
bisnis dengannya karena hubungan bisnis dua perusahaan orang tua mereka.
“Halo, Karina ...! Bisa
ketemu?” tanya Nanda saat Karina menjawab panggilan telepon darinya.
“Bisa. Jam berapa dan di mana?”
tanya Karina lewat seberang telepon.
“Bujana Coffee Shop. Sekarang!”
pinta Nanda.
“Nanda, aku masih sibuk ngurus
bisnis. Satu jam lagi, gimana?”
“Oke. Aku tunggu kamu di sana!”
sahut Nanda. Ia segera mematikan panggilan teleponnya dan melangkah menuju
pintu lift.
“Permisi, Pak ...! Bapak mau
pergi ke mana? Ada banyak dokumen yang harus ditandatangani.” Kepala Sekretaris
perusahaan tersebut tiba-tiba menghampiri Nanda saat pintu lift baru saja
terbuka.
Nanda menghela napas saat ia
dikejar-kejar dengan deadline perusahaan, juga dikejar waktu agar ia bisa
membatalkan perjodohannya dengan Karina. Nanda melirik arlojinya sekilas dan
melangkah masuk ke dalam lift. “Antarkan berkasnya ke Bujana Coffee Shop!”
perintahnya dan langsung menutup pintu lift begitu saja.
...
Hari-hari berikutnya, Ayu harus
melakukan tirakat di rumah ibadah. Tidak hanya beribadah, ia juga harus merawat
tempat ibadah itu dengan baik dan dilarang untuk keluar dari wilayah tersebut.
Setiap jam tiga pagi, Ayu sudah
harus membuka mata karena ia harus sahur untuk menjalankan puasanya selama
sembilan puluh hari berturut-turut. Setelahnya, ia juga harus memasak banyak
makanan yang diperuntukkan untuk anak yatim dan duafa yang ada di sekitar
sebagai penebusan dosa dan sedekah.
Tidak ada pria yang boleh masuk
ke dalam tempat suci tersebut. Roro Ayu hanya ditemani dan dibantu oleh dua
orang pelayan keraton. Satu pelayan bertugas untuk membeli barang dari luar
keraton. Satu pelayan lagi bertugas untuk membantu Roro Ayu memasak di rumah
mungil yang sudah disediakan untuk mereka dan terletak di samping tempat
peribadatan tersebut.
Selepas sholat subuh, Roro Ayu
selalu berdiri di atas menara musholla yang berdiri kokoh di atas pegunungan.
Ia selalu menikmati saat-saat sang rembulan berganti dengan matahari. Menikmati
udara yang begitu dingin hingga berganti dengan hangatnya sang mentari.
Setiap ia memandang begitu
jauh, air matanya selalu mengalir. Hatinya selalu merindukan seseorang yang
tidak bisa ia kendalikan. Sama seperti tiga tahun belakangan ini. Dari atap
fakultas bisnis yang menjadi tempat pengasingan dirinya, ia selalu menatap jauh
ke dunia yang hanya ada dalam khayalan sembari menggenggam erat cincin
pernikahan yang masih tergantung indah menjadi liontin di lehernya.
“Nan, aku tidak tahu mengapa
Tuhan terus mempermainkan hati kita. Saat aku ingin menyukaimu, kamu malah
pergi mengejar wanita lain. Saat aku ingin melupakanmu, kamu malah pergi
mengejarku.”
“Setiap detik dunia ini
berubah. Aku harap, kali ini kamu bersungguh-sungguh mencintaiku dan tidak akan
pernah berubah lagi. Aku tidak ingin menjalani sisa hidupku dalam kesepian. Berada
di sisi pria lain, aku merasa tidak pantas. Aku hanya ingin kamu ...” lirih Ayu
sembari menikmati embusan angin yang menyapu lembut rambut-rambutnya.