Wednesday, August 17, 2022

Bab 57 - Tidak Direstui

 



Nanda menarik napas dalam-dalam sambil merapikan jasnya saat ia baru saja keluar dari dalam mobil. Ia segera melangkah memasuki pintu kantor perusahaan Amora Internasional. Dengan cepat, ia langsung mencapai ke lantai gedung paling atas dan masuk ke ruang CEO.

“Dari mana saja?” tanya Andre sambil duduk di kursi kerja Nanda dan menatap tajam ke arah puteranya itu.

“Dari ...” Nanda memutar otaknya dengan cepat. Meski perasaannya tak karuan, ia tetap memberanikan diri untuk mengatakan kejujuran tentang hubungannya dengan Ayu. “Dari Keraton Surakarta.”

“Kamu mau menjalin hubungan bisnis dengan keluarga keraton itu?” tanya Andre.

Nanda menggeleng.

“Lalu? Untuk apa kamu meninggalkan perusahaan begitu lama? Sudah bosan kerja?” tanya Andre dingin.

Nanda menggeleng lagi.

“Terus apa?” seru Andre sambil menggebrak meja di depannya. “Kamu pikir, pemilik perusahaan bisa seenaknya aja, hah!? Meski kamu anak papa, papa tidak akan berbelas kasih! Nggak ingat apa yang terjadi sama perusahaan kita tiga tahun lalu, hah!? Kamu masih main-main seperti ini!”

Nanda terdiam mendengar ucapan bernada tinggi dari papanya.

“JAWAB!” sentak Andre.

“Aku ... nemuin Roro Ayu,” jawab Nanda .

“Mantan istri kamu itu?” Wajah Andre berubah seketika.

Nanda mengangguk. “Dia masih istriku, Pa.”

Andre mengernyitkan dahi. “Istri dari mana? Istri mana yang tega memenjarakan suaminya selama satu tahun? Istri mana yang tega menguras harta suami dan mertuanya sendiri? Apa yang tidak kami berikan untuk perempuan itu? Semuanya sudah kami beri dan dia tetap membuatmu masuk penjara, membuat saham perusahaan kita jatuh dan nyaris bangkrut. Jangan bodoh, Nanda!”

“Pa, aku nggak bodoh. Aku waras dan aku sadar kalau aku cuma cinta sama Roro Ayu,” sahut Nanda.

“Cuuih ...! Persetan dengan cintamu, Nan! Berapa banyak wanita yang kamu miliki saat kamu masih menjadi suami Ayu, hah!?” sambar Andre.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan papanya.

“Papa nggak mau tahu dan nggak mau dengar alasan apa pun. Yang jelas, papa sudah tidak bisa menerima wanita itu menjadi menantu papa. Kamu tetap harus menikah dengan Karina. Tanpa dia dan keluarganya, bisnis kita tidak akan bisa bertahan seperti ini. Dulu, kamu hancur karena tidak berbakti pada orang tuamu. Sekarang, berbaktilah dan ikuti perintah kami!” tegas Andre.

“Pa, aku nggak bisa menikahi wanita lain selain Roro Ayu,” sahut Nanda.

Andre tertawa kecil mendengar ucapan Nanda. “Kalau kamu tetap memutuskan untuk bersama wanita itu. Silakan keluar dari rumah! Semua harta dan fasilitas milikmu, akan papa ambil. Kita lihat, apakah kamu bisa menghidupi seorang istri hanya dengan cinta?” ucapnya sambil melangkah keluar dari ruang kerja Nanda begitu saja.

Nanda menarik napas dengan perasaan tak karuan. Telapak tangannya mengepal erat dan matanya berkaca-kaca. “Aargh ...!” teriaknya sambil menendang kursi yang ada di depan meja kerjanya. Ancaman harta dan kedudukan adalah jurus paling ampuh dari sang papa yang membuatnya tidak bisa melawan dengan mudah.

Nanda mondar-mandir belasan kali sambil memikirkan cara untuk bisa terlepas dari perjodohan bisnis yang dilakukan oleh sang papa untuk menyelamatkan perusahaannya.

Nanda segera keluar dari ruangan dan masuk ke dalam ruang tim sekretaris perusahaannya.

“Pagi, Pak Nanda ...!” sapa semua orang yang ada di sana yang langsung bangkit dan membungkuk hormat ke arah Nanda.

“Pagi ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis. “Hari ini, Ibu Karina ada jadwal ke perusahaan ini atau nggak?” tanya Nanda.

“Nggak ada, Pak,” jawab salah satu sekretaris yang biasa mengurus kedatangan tamu di perusahaan tersebut.

“Kamu yang biasa urus tamu?” tanya Nanda. Ia tidak begitu hafal dengan lima sekretaris yang membantunya. Biasanya, ia hanya akan berkomunikasi dengan kepala sekretarisnya saja.

“Iya, Pak.”

“Kasih saya nomor ponsel beliau!” perintah Nanda sambil menyodorkan ponsel miliknya ke hadapan sekretaris tersebut.

“Baik, Pak!” Sekretaris itu langsung memindai nomor ponsel Karina dan menyimpan ke kontak ponsel Nanda.

Nanda langsung menyambar ponsel dari tangan sekretaris itu. Ia berbalik dan melangkah pergi sembari menekan panggilan ke nomor ponsel Karina. Salah satu wanita yang terikat perjodohan bisnis dengannya karena hubungan bisnis dua perusahaan orang tua mereka.

“Halo, Karina ...! Bisa ketemu?” tanya Nanda saat Karina menjawab panggilan telepon darinya.

“Bisa. Jam berapa dan di mana?” tanya Karina lewat seberang telepon.

“Bujana Coffee Shop. Sekarang!” pinta Nanda.

“Nanda, aku masih sibuk ngurus bisnis. Satu jam lagi, gimana?”

“Oke. Aku tunggu kamu di sana!” sahut Nanda. Ia segera mematikan panggilan teleponnya dan melangkah menuju pintu lift.

“Permisi, Pak ...! Bapak mau pergi ke mana? Ada banyak dokumen yang harus ditandatangani.” Kepala Sekretaris perusahaan tersebut tiba-tiba menghampiri Nanda saat pintu lift baru saja terbuka.

Nanda menghela napas saat ia dikejar-kejar dengan deadline perusahaan, juga dikejar waktu agar ia bisa membatalkan perjodohannya dengan Karina. Nanda melirik arlojinya sekilas dan melangkah masuk ke dalam lift. “Antarkan berkasnya ke Bujana Coffee Shop!” perintahnya dan langsung menutup pintu lift begitu saja.

 

...

Hari-hari berikutnya, Ayu harus melakukan tirakat di rumah ibadah. Tidak hanya beribadah, ia juga harus merawat tempat ibadah itu dengan baik dan dilarang untuk keluar dari wilayah tersebut.

Setiap jam tiga pagi, Ayu sudah harus membuka mata karena ia harus sahur untuk menjalankan puasanya selama sembilan puluh hari berturut-turut. Setelahnya, ia juga harus memasak banyak makanan yang diperuntukkan untuk anak yatim dan duafa yang ada di sekitar sebagai penebusan dosa dan sedekah.

Tidak ada pria yang boleh masuk ke dalam tempat suci tersebut. Roro Ayu hanya ditemani dan dibantu oleh dua orang pelayan keraton. Satu pelayan bertugas untuk membeli barang dari luar keraton. Satu pelayan lagi bertugas untuk membantu Roro Ayu memasak di rumah mungil yang sudah disediakan untuk mereka dan terletak di samping tempat peribadatan tersebut.

Selepas sholat subuh, Roro Ayu selalu berdiri di atas menara musholla yang berdiri kokoh di atas pegunungan. Ia selalu menikmati saat-saat sang rembulan berganti dengan matahari. Menikmati udara yang begitu dingin hingga berganti dengan hangatnya sang mentari.

Setiap ia memandang begitu jauh, air matanya selalu mengalir. Hatinya selalu merindukan seseorang yang tidak bisa ia kendalikan. Sama seperti tiga tahun belakangan ini. Dari atap fakultas bisnis yang menjadi tempat pengasingan dirinya, ia selalu menatap jauh ke dunia yang hanya ada dalam khayalan sembari menggenggam erat cincin pernikahan yang masih tergantung indah menjadi liontin di lehernya.

“Nan, aku tidak tahu mengapa Tuhan terus mempermainkan hati kita. Saat aku ingin menyukaimu, kamu malah pergi mengejar wanita lain. Saat aku ingin melupakanmu, kamu malah pergi mengejarku.”

“Setiap detik dunia ini berubah. Aku harap, kali ini kamu bersungguh-sungguh mencintaiku dan tidak akan pernah berubah lagi. Aku tidak ingin menjalani sisa hidupku dalam kesepian. Berada di sisi pria lain, aku merasa tidak pantas. Aku hanya ingin kamu ...” lirih Ayu sembari menikmati embusan angin yang menyapu lembut rambut-rambutnya.

 

 

 

Bab 56 - Enggan Melepasmu

 



Satu minggu kemudian ...

Ayu akhirnya bisa menyelesaikan hukuman keduanya dengan baik berkat bantuan dari Nanda dan beberapa pelayan yang terus membantu menghangatkan tubuh Ayu. Meski beberapa kali mengalami hipotermia, ia masih bisa melewatinya dan selamat menjalani hukuman tersebut.

“Nan, terima kasih banyak sudah membantuku menyelesaikan hukuman ini. Aku tidak tahu apa jadinya kalau nggak ada kamu di sisiku,” ucap Ayu saat ia sudah selesai mengganti semua pakaiannya dan berada di dalam kamar bersama dengan Nanda.

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Ay, aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Kepala pelayan sudah mulai mencurigai keberadaanku. Kalau dia mengumpulkan semua pelayan dan menghitungnya, dia akan tahu kalau ada orang lain yang menyelinap ke tempat ini.”

Ayu menatap wajah Nanda sejenak. Kemudian menganggukkan kepala. “Kamu juga sudah terlalu lama di tempat ini. Perusahaanmu juga pasti membutuhkanmu, Nan.”

Nanda mengangguk. Ia menangkup wajah Ayu dan mengecup bibir wanita itu. “Hukuman selanjutnya tidak terlalu berat. Aku yakin, kamu pasti bisa menjalaninya dengan baik. Setelah hukuman terakhirmu selesai, aku akan datang untuk menjemputmu. Aku janji, aku akan meminta kamu kepada keluargamu dengan cara baik-baik. Tidak seperti dulu."

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Kamu janji kalau akan kembali ke aku lagi ‘kan?”

Nanda mengangguk. “I promise.”

“Kamu bisa semudah ini mengikat janji denganku? Bagaimana kalau kamu mengingkarinya?” tanya Ayu sambil menatap lekat mata Nanda.

“Aku berani berjanji karena aku akan mempertanggungjawabkan janjiku dengan penuh keberanian. Aku ingin menjadi orang yang berani dan kuat sepertimu, Ay. Kalau kamu bisa mencintaiku dengan sungguh-sungguh, maka aku juga akan bisa mencintaimu dengan kesungguhan hatiku,” tutur Nanda sambil menatap lekat mata Ayu. “Jika suatu hari nanti, aku mengingkari janjiku ... kamu bisa lakukan apa saja kepadaku.  Mencabut nyawaku pun, aku izinkan.”

“Kalau aku cabut nyawamu, itu artinya ... aku akan menjalani sisa hidupku diselimuti kesepian,” tutur Ayu sambil menatap Nanda dengan mata berkaca-kaca.

Nanda tertawa kecil sambil mengetuk hidung Ayu. “Kamu nggak akan kesepian. Di istana ini aja sudah ada banyak orang yang melayanimu.”

“Pelayan tidak bisa diajak curhat. Nggak bisa diajak melakukan hal gila seperti saat bersamamu. Nggak bisa diajak membicarakan tentang masa depan. Dan nggak bisa menghangatkan aku dengan baik saat aku kedinginan,” tutur Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda tertawa tanpa suara. “Kamu sudah mulai ketagihan minta diangetin terus?” godanya.

Ayu tersipu sambil meninju ada Nanda. “Nyebelinnya masih aja nggak ilang!” dengusnya. Ia langsung berbalik dan duduk di tepi ranjang tidurnya. “Pergilah! Kamu harus mengurus perusahaanmu dan aku nggak mau hukumanku semakin diperpanjang karena kamu ketahuan menyamar jadi pelayan di sini.”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum dan mendekatkan tubuhnya ke tubuh Ayu. “Cium dulu!” pintanya.

Ayu tertawa kecil menatap wajah Nanda. “Aku tuh agak kesel kalau dicium sama kamu dalam keadaan seperti ini.”

“Eh!? Kesel kenapa?” Nanda mengernyitkan dahi.

“Kesel aja. Berasa kayak lagi ciuman sama perempuan,” sahut Ayu sambil tertawa kecil.

Nanda ikut tertawa mendengar ucapan Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengulum basah bibirnya. Semakin Ayu membalas, ia semakin memperdalam ciumannya.

“Aw ...!” teriak Nanda sambil melepas tautan bibirnya saat ia merasakan Ayu menggigit lidahnya. “Kenapa kamu gigit beneran!?” serunya sambil menjulurkan lidah dan mengipas dengan jemari tangannya.

Ayu terkekeh sambil menatap wajah Nanda. “Biar aja! Biar kamu nggak nakal di luar sana.”

“Kamu udah pintar gigit, ya? Mau aku gigit juga?” dengus Nanda sambil mennyondongkan tubuhnya dan berusaha menyerang Ayu.

Ayu tertawa sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Telapak tangannya menutup mulut Nanda yang berusaha membalas perlakuannya. “Ampuun, Nan ...!”

Nanda terdiam. Ia tertawa kecil dan mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Ayu. “Aku akan segera pergi dari sini. Kamu jaga diri baik-baik, ya!” ucapnya lirih.

Ayu mengangguk. “Kamu juga, ya!” ucapnya sambil mengecup kembali bibir Nanda. Kedua lengannya melingkar di pinggang pria itu dan enggan untuk berpisah. Seramai apa pun hidupnya, hatinya akan tetap terasa sepi jika tanpa Nanda di sisinya. Ia mulai terbiasa berada di sisi pria ini setiap hari, merasa nyaman dan tidak ingin ditinggalkan begitu saja.

“Jangan nakal dan jangan dekat-dekat sama cowok lain!” pinta Nanda.

“Aku sedang dihukum dan memang tidak diizinkan dekat dengan pria lain. Kamu aja yang nakal dan nyusup ke tempat ini,” sahut Ayu.

“Kamu juga mau menerima aku menjadi penyusup di sini,” sahut Nanda sambil menjulurkan lidah dengan ekspresi payahnya.

Ayu memonyongkan bibir sambil melepaskan pelukannya. “Kapan sih kamu nggak ngeselin?”

“Aku nggak ngeselin, Ay. Kamu aja yang menanggapinya terlalu berlebihan,” sahut Nanda sambil tertawa kecil. Ia segera beringsut ke depan cermin untuk merapikan pakaian dan riasannya.

“Gimana caranya kamu keluar dari keraton ini tanpa ketahuan?” tanya Ayu.

“Sama seperti saat aku masuk ke keraton ini tanpa ketahuan,” jawab Nanda sambil mengerdip centil ke arah Ayu.

Ayu tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. “Jangan sampai ketahuan, ya!”

“Siap, Tuan Puteri ...!” ucap Nanda sambil tersenyum manis. “Hamba pamit undur diri. Tuan Puteri harus menjaga diri dengan baik sampai hamba datang kembali menjemput Tuan Puteri untuk hamba persunting,” lanjutnya sambil membungkuk hormat di hadapan Ayu.

Ayu terkekeh menatap sikap Nanda. “Nggak usah berlebihan kayak gini. Aku geli lihatnya.”

Nanda tersenyum sambil menegakkan tubuhnya kembali dan menatap serius ke arah Ayu. “Sudah sepantasnya wanita sepertimu diperlakukan sebagai Tuan Puteri. Aku yang terlalu rendah hingga tidak pernah menyadari kalau dirimu berharga. Mulai saat ini ... aku berjanji akan memperlakukan kamu dengan baik, menyayangi dan mencintai kamu dengan tulus. Tidak akan pernah menyakiti dan menduakan cintamu lagi, Ay.”

“Janji?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Janji.” Nanda mengacungkan dua jarinya ke sebelah telinganya sendiri.

Ayu tersenyum. Ia berlari menghampiri Nanda dan menghambur ke pelukan pria itu. “Nan, makasih, ya! Jangan sakiti aku lagi! Aku sayang sama kamu dan aku mau ... kita bisa hidup bersama seperti dulu lagi! Aku tahu, semua malapetaka di hidupku juga disebabkan oleh diriku sendiri yang tidak pernah bisa ikhlas menerima jalan takdirku sendiri,” lirihnya sembari menitikan air mata.

Nanda mengangguk. “Aku janji, kita akan bersama kembali. Melahirkan banyak anak dan hidup bahagia seperti orang lain. Kamu bisa menjalani hari-harimu dengan bersantai. Membaca novel, menonton film, mendengarkan lagu dan bermain bersama anak-anak kita di masa depan.”

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia terus memeluk erat tubuh Nanda. Enggan melepas pria itu pergi dari sisinya. Dunia ini memang permainan yang tidak bisa ia kendalikan. Saat ia tidak ingin bersama pria ini, dunia seolah membuatnya selalu berada di sisi Nanda. Dan saat ia ingin bersama pria ini, seluruh dunia menolak apa yang sedang ia inginkan dan ingin memisahkan mereka berdua.

 

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf untuk telat update karena author masih diajak gelud sama laptop yang rewelnya nggak kelar-kelar. Hahaha. Meski mau gila, tetap aja masih harus ketawa untuk kalian semua, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 55 - Sick for Love

 


Tepat jam enam sore, Nanda langsung menarik tubuh Ayu yang masih berendam di dalam kolam. Ia langsung membaringkan tubuh Ayu di tepi kolam dan pelayan lain buru-buru menghampiri Nanda untuk membantunya.

“Nin, Tuan Puteri baik-baik saja?” tanya salah seorang pelayan sambil memperhatikan wajah Ayu yang sudah memucat dan nyaris tak sadarkan diri.

“Nan ... Nan ...!” lirih Ayu dengan tubuh gemetaran dan langsung merangkul Nanda yang masih memangkunya.

“Nan itu siapa?” tanya salah seorang pelayan sambil mengulurkan handuk ke arah Nanda dan membantu melepas kain jarik yang melilit tubuh Ayu.

“Nama suaminya,” jawab Nanda sambil menatap tubuh Ayu yang sedang dibuka oleh pelayan lain.

“Iya. Nama suaminya itu Mas Nanda. Kalau nggak salah ingat,” sahut pelayan lain.

“Huft ...! Kasihan sekali Tuan Puteri kita ini. Hanya untuk mendapatkan restu dari keluarganya, harus menerima hukuman seberat ini. Kisah cinta orang-orang tinggi, memang diuji dengan masalah yang tinggi juga. Untungnya aku hanya orang biasa. Ujianku ya biasa-biasa saja.”

“Nggak usah banyak bicara! Cepat lepaskan kain Tuan Puteri! Keburu kedinginan,” perintah pelayan lain yang mengetahui kalau Nindi adalah suami dari Roro Ayu yang sedang menyamar.

Pelayan yang dimaksud langsung melepaskan jarik basah yang menutupi tubuh Ayu.

Nanda menahan napas saat tubuh polos Ayu yang terpampang di pangkuannya. Tubuhnya yang putih polos itu, berhasil membuat aliran darahnya tak karuan. Dengan cepat, tangannya menarik badcover dari tangan pelayan lain dan menggulungkannya ke tubuh Ayu. "Hangatkan jariknya supaya bisa digunakan lagi besok pagi!" perintahnya pada pelayan lain.

Pelayan itu mengangguk. Mereka segera menghangatkan kain jarik yang digunakan Ayu menggunakan api yang ada di sana.

“Masih ada penjaga di luar?” tanya Nanda.

“Masih.”

“Kalian siapkan makanan untuk Tuan Puteri dan beristirahatlah dengan baik! Biar aku yang menemani dan mengurus Tuan Puteri di sini,” pinta Nanda.

“Tapi ... kami juga ingin menemani Tuan Puteri di sini,” tutur salah seorang pelayan yang ada di sana.

“Hush! Jangan sampai kita semua sakit dan menularkan virus ke Tuan Puteri karena kita kurang istirahat. Lebih baik, kita beristirahat dengan baik dan kita bergantian jaga untuk besok lagi,” tutur pelayan lain sambil melangkah pergi.

Nanda menghela napas lega. Ia memeluk tubuh Ayu yang sudah ia baringkan di atas tikar yang disediakan di sana. “Ay ...!” panggilnya lirih sambil menepuk pipi Ayu. Ia ikut berbaring di samping tubuh Ayu sembari memeluk erat tubuh wanita itu.

“Ay ...! Wake up! Say something for me!” bisik Nanda sambil menempelkan keningnya ke kening Ayu. Ia terus mengusap pipi Ayu yang dingin dan pucat. Air matanya mengalir perlahan. Rasanya, ia ingin membawa Ayu pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Tapi ia tahu, keinginan besar Ayu saat ini adalah diterima oleh keluarganya sendiri. Mungkin, terlalu banyak hari sepi yang dijalani wanita ini selama ia mengasingkan dirinya di London.

“Nan ...!” panggil Ayu lirih sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda yang terasa sangat hangat.

“It’s me,” tutur Nanda sambil membelai lembut kepala Ayu.

“Dingin,” lirih Ayu sambil mendekatkan bibirnya ke leher Nanda yang terasa hangat.

Nanda langsung membenamkan kepala Ayu ke dalam dadanya. “Ay, kita akhiri saja, ya! Aku nggak sanggup lihat kamu kayak gini,” bisiknya.

“Aku masih kuat,” bisik Ayu sambil merasakan tubuh Nanda yang terasa sangat hangat dan nyaman. Ia terus memeluk erat tubuh pria itu hingga kesadarannya bisa kembali dengan sempurna.

“Masih dingin?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu mengangguk. Ia membuka matanya perlahan dan langsung berhadapan dengan wajah Nanda yang nyaris tak berjarak dengannya. Suhu dingin yang menyelimuti tubuhnya, membuat gairahnya tiba-tiba bangkit saat berhadapan dengan pria ini. Seluruh tubuhnya yang tadi lumpuh dan tidak bisa bergerak, langsung merangkul tubuh Nanda dan menyambar bibir pria itu penuh sensual.

Debar jantung Nanda semakin menderu kala Ayu mulai memberikan sentuhan di tubuhnya dan meminta diperlakukan lebih dari sekedar pelukan dan ciuman. Ketika gairah itu mulai menguasai mereka, Nanda tiba-tiba terbangun dari fantasy seksualnya dan langsung mendorong tubuh Ayu yang sudah bergerak agresif di atasnya.

“Ay, sadar!” pinta Nanda sambil menangkup wajah Ayu.

“Aku kedinginan, Nan,” ucap Ayu sambil menatap lekat wajah Nanda.

“Kita ada di kolam suci. Bertemu dengan pria bukan mahrom saja kamu tidak diperbolehkan. Aku tidak ingin kalau kamu harus menanggung hukuman yang lebih berat lagi dari leluhurmu,” ucap Nanda.

Ayu menghela napas mendengar ucapan Nanda.  Ia langsung mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Nanda dan duduk di samping pria itu. Ia mengedarkan pandangannya ke semua api unggun yang mengelilingi kolam tersebut.

“Kamu yang buat api-api ini, Nan?” tanya Ayu.

Nanda mengangguk. “Dibantu dengan pelayan lain. Mereka bawakan aku kayu bakar untuk memastikan kalau api ini tidak akan pernah mati.”

“Semoga tidak pernah mati dan abadi di sini. Aku suka melihatnya,” ucap Ayu sambil tersenyum. Ia memeluk tubuhnya sendiri sembari merapatkan badcover yang menjadi selimutnya.

Nanda tersenyum mendengar ucapan Ayu. “Kalau benar-benar bisa abadi, itu keajaiban. Aku ingin ... cinta kita saja yang abadi. Tidak mati dimakan usia, tidak hilang ditelan zaman.”

Ayu tersenyum dan menoleh ke arah Nanda. “Kamu udah pinter ngegombal?”

Nanda tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kalau nggak pandai gombal, mana mungkin dinobatkan sebagai playboy paling keren di negeri ini.”

“Playboy paling keren nggak akan ngejar-ngejar aku,” sahut Ayu.

“Kamu ...!?” Nanda mendelik ke arah Ayu sambil menahan geram. “Kamu udah pandai ngejek aku, hah!?”

“Di dunia ini ...  karma beneran ada. Dulu, kamu selalu bilang kalau aku ini cupu, kutu buku dan nggak menarik sama sekali. Kenapa sekarang malah nempel mulu kayak lem tikus?”

“Karena kamu itu beda sama cewek lain. Cuma kamu satu-satunya wanita yang mau berkorban banyak buatku, Ay. Rela memberikan nyawa kamu buat aku dan satu-satunya wanita yang menjadi tempat untuk melahirkan bayi-bayiku,” jawab Nanda.

“Bayi-bayi? Kamu kira aku ini binatang ternak?” dengus Ayu.

Nanda terkekeh dan menarik tubuh Ayu ke pelukannya. “Hehehe. Jangan ngambek, dong! Kamu tuh makin lucu kalau lagi ngambek. Eh, kapan aku pernah ngomong kalau kamu cupu dan nggak menarik?”

“Entah kapan,” sahut Ayu sambil melirik Nanda.

“Serius, Ay!”

“Iya, serius. Udahlah, nggak usah dibahas! Oh ya, gimana acara pernikahan Sonny? Kamu jadi datang ke acara dia?”

Nanda menggeleng. “Aku mana mungkin pergi ke pesta saat kamu lagi dihukum seperti ini. Nanti, kita datang ke rumah Sonny saat hukumanmu sudah selesai. Gimana?”

Ayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku rindu sama semua temen-temen SMA kita. Mereka semua apa kabar, ya? Kenapa saat kita sudah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing, kisah-kisah remaja itu menguap begitu saja?”

“Karena ...” Nanda menghentikan ucapannya saat ia mendengar langkah kaki memasuki gua tersebut. Ia langsung melepas pelukannya dan merapikan pakaiannya.

“Permisi ...! Kami mau antar makan malam untuk Tuan Puteri,” ucap dua pelayan sambil menghampiri Ayu.

“Taruh saja di sini!” perintah Ayu sambil menunjuk ke bagian depan kakinya. “Kalian bisa langsung keluar! Aku nggak mau diganggu.”

Dua pelayan itu mengangguk dan segera keluar dari dalam gua tersebut.

“Kamu udah makan?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda menggeleng.

“Makan dulu, ya!” pinta Ayu sambil membuka kotak makanan yang dibawakan untuknya.

Nanda langsung menyambar kotak makanan itu dari tangan Ayu. “Kamu yang belum makan, masih bisa memperhatikan orang lain?”

“Kamu sudah menjagaku seharian. Pasti belum makan ‘kan? Aku nggak mau kalau kamu sakit. Kalau sakit, siapa yang jaga aku lagi?” tanya Ayu balik.

Nanda tersenyum menanggapi pertanyaan Ayu. “Baiklah. Kita makan sama-sama, ya!”

Ayu mengangguk. Ia menikmati makanan yang disuapkan Nanda ke mulutnya dengan perasaan bahagia. Semakin banyak ujian yang ia hadapi, membuat Nanda semakin perhatian terhadapnya. Tidak bisa dipungkiri jika naluri wanita memang selalu ingin dimanja dan dicintai seperti ini. Ia harap, cinta Nanda kepadanya bisa terus bertambah dan membuat kisah mereka bisa berakhir bahagia.

 

 

 ((Bersambung...))

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

  


Bab 54 - Menghangatkanmu

 



Tok … tok … tok …!

Pintu kamar Ayu tiba-tiba diketuk saat ia sedang asyik bercanda dengan Nindi alias Nanda.

“Siapa?” tanya Ayu dari dalam kamar. Sementara, Nanda langsung beringsut ke depan cermin dan memperbaiki riasan wajahnya. Juga merapikan pakaian pelayan yang ia kenakan dan memoleskan lipstik di bibirnya.

“Cepet rapiin! Ntar ketahuan kalau kamu laki-laki!” pinta Ayu sambil mengalungkan selendang ke leher Nanda.

Nanda mengangguk. “Udah?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia mengecup pipi Nanda dan beringsut ke atas tempat tidurnya. Sementara, pria itu langsung melangkah menuju pintu kamar Ayu dan membukakan pintu untuk seseorang di luar sana.

Nanda membungkuk hormat begitu mengetahui kalau yang datang adalah ibu kandung dari Roro Ayu.

Bunda Rindu langsung melangkah masuk ke dalam kamar Ayu begitu pintu terbuka untuknya.

Nanda buru-buru keluar dari kamar tersebut sebelum Bunda rindu mengetahui kehadirannya yang sedikit mencurigakan.

"Ayu, gimana keadaanmu?" tanya Bunda Rindu sambil menghampiri Ayu yang sedang duduk di atas ranjang tidurnya.

“Baik Bunda, Ayu baik-baik saja,”  jawab Ayu dingin.

“ Kamu marah sama Bunda?”

Ayu menggelengkan kepala. Dia sendiri tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat berhadapan dengan orang tuanya sendiri. Selama ini Ayu melihat kedua orang tuanya adalah sosok yang sangat baik. Dia bahkan masih belum mempercayai dan mempertanyakan tentang kematian bayinya dan perawatannya di luar negeri yang dilakukan tanpa sepengetahuan Nanda.

“Ayu, maafkan Bunda! Bunda  bukan bermaksud mengabaikanmu. Kamu tahu, semua orang  akan mengecam keluarga Keraton kita jika hukuman ini tidak dijalankan.”

Ayu mengangguk. “Ayu  mengerti, Bunda.”

“Tubuhmu baik-baik saja kan?" tanya  Bunda rindu sambil berusaha menyentuh pundak Ayu.

“Aku  baik-baik saja, Bunda. Bunda tidak perlu menghawatirkan Ayu. semua pelayan di sini memperlakukan aku dengan baik.”

“Syukurlah  kalau begitu. Bunda sangat senang mendengarnya. Apa yang sebenarnya membuatmu kembali ke sini? Kamu masih mencintai Nanda?"

“Bunda, takdir membawaku untuk selalu bertemu dengan Nanda. Berkali-kali aku menolak, berkali-kali pula Tuhan mendekatkan aku kepadanya. Sudah begitu jauh, sudah begitu lama aku pergi.  Takdir sengaja mempermainkan hidup kami. Tuhan pasti punya rencana Mengapa aku menjadi satu-satunya wanita yang mengandung anak dari Nanda. Padahal,  ada banyak wanita yang bersamanya dan semuanya terlihat sempurna.”

Bunda paham perasaanmu. Jika kamu ingin bersama dia, tidak harus kembali ke tempat ini. Tempat ini terlalu suci untuk kamu.”

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Bunda Rindu. “Aku aku tahu, wanita kotor sepertiku tidak pantas untuk masuk ke dalam tempat yang suci ini. Aku hanya butuh restu, Bunda.  Apalah artinya hubunganku dengan dia jika keluarga tidak merestui kami?  Aku Aku tidak ingin dicelakai lagi oleh karma.”

Bunda rindu menghela napas sambil menyentuh lembut rambut Ayu. “Bunda tidak bermaksud menyinggung Ayu. Kenapa Ayu jadi sedingin ini sama bunda?”

“Mungkin karena Ayu sudah terlalu lama tinggal di England,” jawab Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu.

Bunda Rindu menghela napas sambil menatap wajah Ayu. “Maafin Bunda dan Ayah, ya!”

Ayu mengangguk sambil menaikkan kedua kakinya ke atas tempat tidur. “Ayu ngantuk, Bunda. Mau tidur. Bisakah Bunda keluar dari kamar ini?”

Bunda Rindu mengangguk sambil tersenyum manis. “Istirahatlah dengan baik!”

Ayu mengangguk. Ia membaringkan tubuhnya ke atas kasur dan memejamkan mata.

Bunda Rindu menghela napas. Ia menatap pilu ke arah puterinya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mencoba membuat hukuman untuk puterinya bisa lebih ringan hingga bisa menyelesaikannya dengan baik. Ia lebih senang jika Ayu tidak pernah mengambil keputusan untuk kembali ke istana keluarga besar mereka. Meski sudah masuk ke zaman modern. Ada hal yang tidak bisa diganggu gugat dalam peraturan keluarganya.

 

...

Hanya selang satu minggu dari hukuman pertamanya, Ayu sudah harus menjalani hukuman yang kedua. Kali ini, ia harus berendam selama tujuh hari tujuh malam di sebuah kolam untuk mensucikan diri.

“Ay, minum obat ini!” pinta Nanda saat Ayu baru saja selesai mengganti pakaiannya.

“Obat apa?” tanya Ayu.

“Obat supaya tubuh kamu tetap hangat saat di dalam air.”

“Ada obat beginian?” tanya Ayu sambil menatap sebuah pil yang ada di atas telapak tangan Nanda.

“Ada. Buruan diminum!” pinta Nanda dengan telapak tangan menjulur ke hadapan Ayu. Sedang tangan satunya lagi, sudah menggenggam segelas air putih untuk Ayu.

Ayu tersenyum dan segera menelan pil hangat yang disodorkan Nanda. “Kamu ini ada aja ide curangnya.”

“Hehehe. Apa aja akan aku lakuin buat kamu, Ay. Asal kita bisa bersama lagi sampai tua,” jawab Nanda sambil tersenyum ceria.

Ayu tertawa kecil melihat sikap Nanda. “Sepertinya kamu sudah mulai terbiasa dengan setelan seperti ini.”

“Eh!?” Nanda memandangi tubuhnya sendiri yang mengenakan kebaya kembang khas pelayan keraton tersebut dan kain jarik di bawahnya. “Beneran?”

Ayu mengangguk sambil tertawa kecil.

“Asal bisa bersamamu, aku rela berpakaian seperti ini setiap hari,” ucap Nanda sambil mengecup pipi Ayu.

“Eh!? Astaga!” Nanda buru-buru mengambil tisu basah dan membersihkan noda lipstik di pipi Ayu.

Ayu tertawa kecil menatap wajah Nanda.

“Sekarang aku tahu, kenapa cowok nggak diciptakan pakai lipstik. Kalau semua cowok pake lipstik, bekas bibirnya bisa ketahuan tertinggal di mana-mana,” ucap Nanda.

“Maksudmu? Kamu mau bilang kalau bekas bibirmu udah ada di mana-mana?” tanya Ayu menyelidik.

“Hehehe. Itu ‘kan dulu. Sekarang aku udah tobat. Promise! Nggak akan savage lagi,” sahut Nanda sambil mengacungkan dua jari sejajar dengan telinganya.

Ayu tertawa kecil sambil merapatkan selendang ke tubuhnya. “Kenapa di saat aku pengen mati, aku nggak bisa mati? Di saat aku pengen hidup, banyak hal yang ingin membunuhku?” tanyanya.

“Mmh, jangan bilang seperti ini lagi! Aku tidak akan membiarkan siapa pun membunuhmu,” sahut Nanda.

Ayu tersenyum. “Makasiih ...!” ucapnya. Ia bergegas keluar dari dalam kamar karena di luar sana sudah ada banyak pelayan yang menunggunya dan beberapa sesepuh kota yang akan membantunya melakukan prosesi ritual di kolam suci.

 

Satu jam kemudian ...

Ayu sudah masuk ke dalam kolam usai melakukan prosesi adat sesuai dengan aturan dari keraton tersebut. Kolam suci itu juga sudah ditambahkan air suci dari empat penjuru negeri. Ia harus bisa bertahan selama mungkin di kolam tersebut.

“Apakah Tuan Puteri diizinkan keluar dari dalam kolam ini meski hanya sebentar saja?” tanya Nanda pada beberapa pelayan yang bersamanya saat semua orang sudah meninggalkan tempat itu satu per satu.

“Kanjeng Sultan memberikan keringanan. Katanya, boleh keluar dari dalam kolam setelah dua belas jam. Tapi tidak boleh meninggalkan kolam ini dan tidak diperbolehkan mengganti pakaiannya,” jawab pelayan yang ditanya.

Nanda bernapas lega mendengar ucapan pelayan yang ada di sana. Kolam yang ada di sana adalah kolam yang berada di dalam gua dan membuatnya lebih kecil terkena dingin dibandingkan harus berendam di danau terbuka.

“Setiap jam enam pagi dan jam enam sore, utusan pengadilan kerajaan akan mengecek kemari. Kita pastikan Tuan Puteri sedang dalam keadaan berendam,” tutur pelayan lain lagi.

Semua yang ada di sana mengangguk setuju.

Nanda mengedarkan pandangannya ke sekeliling kolam berbentuk piring dengan diameter sekitar tiga puluh meter. “Pelayan, bisakah meminta bantuan pelayan keraton ini untuk mencari kayu bakar? Yang lain, siapkan makanan dan minuman untuk Tuan Puteri. Juga bawakan tiga badcover ke sini! Aku akan menemani Tuan Puteri.”

“Kayu bakar? Untuk apa?”

“Untuk membuat tempat ini selalu hangat,” jawab Nanda.

“Apa kita tidak menyalahi aturan?” tanya pelayan lain.

“Tidak ada aturan lain yang tertulis selain Tuan Puteri kita berendam di sini selama tujuh hari tujuh malam,” sahut Nanda. “Aku sudah memeriksa literatur keraton ini.”

“Iya juga, sih.” Pelayan yang ada di sana mengangguk-anggukkan kepala dan segera mengerjakan perintah dari Nanda agar Roro Ayu bisa menjalani hukumannya dengan baik tanpa harus menderita.

Nanda tersenyum sambil meraih beberapa ranting kayu yang ada di sekitarnya dan membuat api unggun untuk membuat keadaan tetap hangat. Ia memerintahkan semua pelayan untuk tidak berhenti memberinya kayu bakar selama Ayu menjalani masa hukumannya. Dengan cekatan, ia membuat banyak api yang mengelilingi kolam tersebut untuk menjaga tubuh Ayu tetap hangat, begitu juga saat wanita itu naik ke permukaan. Ia tidak ingin Ayu terkena hipotermia karena terlalu lama berendam di dalam air. Baginya, tujuh jam pun masih terlalu lama dan bisa saja membuat tubuh Ayu tidak tahan.

 

 

 

((Bersambung...))

 

I’m so sorry ...!

Seharusnya author update tadi malam. Tapi karena ngelonin si bocil dan aku ketiduran, bablas dah... hiks ... hiks ... hiks ... ngelonin anak mengalihkan duniaku.

 

 

 

 


Bab 53 - Cemburu yang Indah

 



Nanda melangkahkan kakinya perlahan sambil membawa beberapa barang yang dibutuhkan Ayu ke dalam kamarnya. Ia terus menundukkan kepala dan berjalan sebaik mungkin sebagai seorang wanita biasa.

“Hei, kamu pelayan pribadinya Roro Ayu, ya?” sapa seorang pria bertubuh tinggi dan kekar yang tiba-tiba menghadang langkah Nanda.

Nanda langsung mengangkat wajahnya menatap pria itu. Matanya menyeringai tak bersahabat saat melihat pria tampan yang sejak kemarin menjadi pembicaraan para pelayan karena pria itu adalah putera mahkota dari keraton kesultanan Yogyakarta yang juga cukup terkenal.

“Siapa nama kamu?” tanya pria itu sambil memperhatikan wajah Nanda.

“Nindi, Tuan!” jawab Nanda sambil menundukkan kepala dan memperbaiki selendang di lehernya. Tidak ada yang boleh mengetahui kalau dia adalah pelayan wanita yang memiliki jakun.

“Nindi? Kamu tinggi banget untuk seorang perempuan?” tanya pria itu sambil menegakkan tubuhnya. “Kamu lebih cocok jadi model daripada jadi pelayan di keraton ini.”

Nanda tersenyum manis menanggapi pertanyaan pria itu. “Terima kasih atas pujiannya, Tuan! Mohon maaf ...! Saya harus segera ke kamar Tuan Puteri untuk membawakan makanan ini. Dia sedang sakit, tidak boleh telat makan,” pamitnya sambil melangkah.

“E-eh. Tunggu!” Pria itu kembali menghadang langkah Nanda.

“Ada apa, Tuan?”

“Ini obat oles mujarab dari keratonku. Obat ini sangat terkenal dan bisa menyembuhkan luka dengan cepat. Tidak semua orang bisa mendapatkan obat ini. Aku tahu, tubuh Roro Ayu pasti masih terluka karena cambukan di tubuhnya,” ucap pria itu sambil menyodorkan botol mungil berbahan keramik ke hadapan Nanda.

Nanda melebarkan kelopak mata dan langsung menyambar obat tersebut begitu tahu kalau obat itu terkenal mujarab. Meski ia sudah mencoba melindungi tubuh Ayu menggunakan busa. Tapi tetap saja lima puluh cambukan yang menimpa wanita itu, meninggalkan bekas luka di tubuh dan lengan belakangnya.

Pria itu tersenyum puas menatap Nanda. “Sampaikan salamku untuk Roro Ayu! Bilang kalau Mas Enggar Dierjaningrat akan tinggal di sini untuk memastikan keselamatan dia.”

“Baik, Tuan! Terima kasih ...!” ucap Nanda sambil bergegas melangkah pergi dengan cepat. Ia mendengus kesal sambil mencebikkan bibirnya. “Mentang-mentang keluarga ningrat dan bisa masuk ke sini dengan bebas, mau ngambil kesempatan ngambil perhatian Ayu? Hellow ...! Ada Nanda di sini. Aku nggak akan biarkan siapa pun deketin Ayu. Meski anaknya presiden sekali pun, langkahi dulu mayatku!” gerutu Nanda sambil menahan kesal.

Nanda langsung masuk ke dalam kamar Ayu dan mengunci rapat pintu kamar tersebut.

“Nanda?” Ayu langsung menutup tubuhnya saat ia sedang memperhatikan punggungnya yang masih memar karena terkena cambukan beberapa kali.

“Sakit, ya? Aku bawain obat oles buat kamu,” tutur Nanda sambil menghampiri Roro Ayu dan menarik kain jarik yang menutupi punggung wanita itu.

“Nan, kamu lancang banget, sih!?” seru Ayu sambil berusaha menutup kembali tubuhnya menggunakan jarik yang ia kenakan.

“Ay, aku udah lihat semuanya! Ngapain sih masih malu-malu? Biar aku obatin lukamu,” pinta Nanda sambil menarik jarik yang menutupi tubuh Ayu. Seketika, terjadi tarik-menarik antar mereka berdua dan tidak ada yang mau mengalah.

“LEPASIN!” teriak Ayu kesal sambil menarik jariknya.

Nanda mendengus kesal dan melepaskan jarik yang ditarik oleh Ayu.

Bruug ...!

“Aargh ...!” Ayu merintih kesakitan saat tubuhnya tersungkur ke lantai karena Nanda refleks melepas tarikan jariknya.

“NANDA ...! Kenapa dilepasin beneran!?” seru Ayu kesal sambil merintih kesakitan.

“Sorry ...! Sorry ...! Abisnya, kamu nyuruh aku lepasin,” tutur Nanda sambil meraih kedua pundak Ayu dan membantu bangkit dari lantai.

“Iya. Tapi jangan dilepasin tiba-tiba juga, dong!” seru Ayu sambil memegangi punggungnya yang semakin sakit karena terbentur lantai.

Nanda terkekeh dan mengecup kening Ayu berkali-kali. “Jangan marah, dong! Aku nggak sengaja.”

“Sakit, tau! Kamu tuh nggak ada puasnya bikin aku tersakiti?” protes Ayu sambil memonyongkan bibirnya.

Nanda tersenyum sambil menjepit kedua pipi Ayu dan mengecupnya.

“Nan, kamu jangan cium aku! Jijik banget tahu dicium sama perempuan,” tutur Ayu sambil menahan tawa.

“Aku laki-laki tulen, Ay,” sahut Nanda sambil mengusap lipstik merah di bibirnya dan menyodorkan bibirnya kembali ke bibir Ayu.

Ayu menarik mundur tubuhnya sambil menahan bibir Nanda menggunakan jari telunjuknya. Tangan satunya memegang pinggang Nanda karena Nanda masih terus menyodorkan tubuhnya hingga ia hampir terjengkak ke lantai kembali.

Nanda mengalihkan pandangannya ke bagian dada Ayu yang polos karena kain jarik yang menutupi tubuhnya sudah terkulai di lantai yang ada di bawah mereka.

Ayu melebarkan kelopak mata dan menoleh ke arah dadanya sendiri. Ia langsung mendorong kuat tubuh Nanda dan buru-buru menarik kain jarik di bawahnya. “Kamu ini nyari kesempatan, ya!?” dengusnya. Ia melilitkan kain jarik tersebut di tubuhnya.

Nanda tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. “Kamu nggak kangen sama aku, Ay?”

“Nggak!” sahut Ayu kesal sambil duduk di kursi meja riasnya.

“Jangan ngambek, dong!” pinta Nanda sambil merangkul tubuh Ayu dari belakang.

“Nggak usah macem-macem dan bikin aku kesel, deh! Ntar aku minta ganti pelayan, mau!?” dengus Ayu.

“Hehehe. Jangan, dong! Serius, deh! Aku mau obatin kamu,” tutur Nanda sambil menarik kursi yang ada di sana dan duduk di belakang Ayu.  Ia membuka botol obat dan mengoleskan salep perlahan di luka memar yang ada di bahu wanita itu.

Ayu tersenyum kecil. Ia memegangi jarik untuk menutupi dadanya dan membiarkan Nanda mengobati lukanya perlahan. “Pelan-pelan!” pintanya lirih.

“Sakit, ya?” tanya Nanda.

Ayu mengangguk pelan sambil menundukkan kepala.

“Ay, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Nanda.

“Hmm.”

“Kamu kenal sama anak bangsawan dari keraton Jogja yang namanya Raden Mas Enggar ... mmh, nama belakangnya siapa ya tadi?”

“Dierjaningrat?” tanya Ayu balik.

“Kenal?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Kenal. Partner nari aku,” jawab Ayu santai.

Nanda mengernyitkan dahi. “Jangan bilang kalau dia cowok yang nari sama kamu di ulang tahun kota waktu itu!”

“Emang dia orangnya,” jawab Ayu.

“HAH!? Kamu ngakuin kalau itu dia? Kenapa santai banget? Nggak ngerasa bersalah? Kamu ada hubungan apa sama dia?” cecar Nanda.

Ayu langsung memutar tubuhnya menatap Nanda yang ada di belakangnya. “Ini pertanyaan apa? Sejak kapan kamu peduli dengan hubungan pertemananku di luar sana?”

Nanda gelagapan sambil menatap wajah Ayu. “Sejak detik ini!” tegasnya.

Ayu tertawa kecil dan kembali mengalihkan pandangannya ke cermin di hadapannya.

“Ay, kamu nggak mau jelasin sesuatu ke aku?” tanya Nanda.

“Apa yang perlu dijelaskan?” tanya Ayu.

“Hubungan kamu sama dia. Kamu punya simpanan waktu pacaran sama Sonny?” tanya Nanda.

“Simpananku banyak!” sahut Ayu sambil membanggakan dirinya.

“Kamu ...!?” Nanda mengernyitkan dahi. “Diam-diam, kamu punya banyak pacar juga?”

Ayu mengangguk. “Emangnya cuma kamu doang yang bisa punya banyak pacar? Aku ini cantik, baik hati dan puteri bangsawan. Cowok mana yang nggak mau sama cewek kayak aku??” ucapnya penuh percaya diri.

Nanda mengernyitkan dahi. “Kamu begitu percaya diri kalau di kandang sendiri, ya? Dulu, kamu nggak seperti ini?”

“Status sosial memengaruhi rasa percaya diri seseorang ‘kan?” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda ikut tersenyum sambil menatap wajah Ayu. “Bukankah dari dulu status sosialmu yang paling tinggi waktu SMA?”

“Mmh ... saat itu aku belum terpikirkan dengan hal-hal seperti ini. Yang aku tahu hanya belajar, belajar dan belajar,” jawab Ayu sambil tersenyum. Ia menghela napas saat mengingat masa-masa SMA-nya. “Jadi orang dewasa itu nggak enak, ya? Jadi anak kecil terus juga nggak mungkin,” keluhnya.

“Siklus hidup manusia memang harus seperti ini ‘kan?” tutur Nanda sambil menutupkan jarik kembali ke tubuh Ayu begitu ia selesai mengoleskan obat di punggung wanita itu.

“Tumben bijak?” sahut Ayu sambil tersenyum.

“Titik terendah dalam hidup, mengajarkan aku menjadi bijak. Makasih ...!” jawab Nanda sambil memeluk tubuh Ayu.

“Makasih untuk apa?” tanya Ayu sambil tertawa kecil menatap wajah Nanda. “Aku sudah membuat hidupmu menderita. Masih bisa bilang terima kasih?”

“Karena aku sudah membuat hidupmu jauh lebih menderita dari apa yang aku alami,” jawab Nanda sambil tersenyum dan mengecup pipi Ayu. “Benar kata Bunda Yuna. Kamu sudah mengorbankan diri dan menyelamatkan nyawaku sejak kita masih duduk di bangku SMA. Jangan-jangan, kamu sebenarnya suka sama aku, ya?”

“Iih ... apaan, sih? Kepedean banget? Sonny jauh lebih baik dari kamu,” sahut Ayu.

“Cuma karena gengsi sama status kamu yang baik dan smart. Terus, kamu nggak mau mengakui kalau kamu cinta sama aku?” goda Nanda.

“Iih ... nggak kayak gitu!” sahut Ayu sambil mengerutkan wajahnya.

“Halah ... ngaku aja! Mana mungkin kamu mau terluka berkali-kali demi aku kalau nggak cinta?” goda Nanda sambil menggelitiki pinggang Ayu.

“Nanda ...! Geli tahu!” sahut Ayu sambil membalas perlakuan Nanda. Mereka asyik bermain dan berkejar-kejaran di kamar tersebut sambil tertawa bahagia. Menjalani waktu-waktu bersama seolah tak ada rasa sakit dan penderitaan dalam hidup mereka.

 

 

((Bersambung...))

 

Setidaknya, Ananda udah tahu bagaimana cara mengalihkan kesedihan Ayu dan membuatnya tetap bahagia menjalani kesulitan dalam hubungan mereka. Supaya dia bisa belajar, bagaimana menghargai seseorang dari ujian hidup yang sudah ia alami.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas