Wednesday, August 17, 2022

Bab 49 - Penebusan Dosa

 


Nanda menarik napas dalam-dalam saat ia sudah berada di halaman keraton Kesultanan Surakarta. Ia menggenggam erat tangan Ayu yang ada di sebelahnya dan menoleh ke arah beberapa anak buah yang ada di belakangnya.

“Kalian pulanglah! Aku ada urusan pribadi. Kalau mama tanya, katakan saja jika aku sedang berada di keraton untuk mengambil istri,” perintah Nanda.

“Baik, Tuan!”

Semua orang yang ada di belakang Nanda, langsung bergegas pergi meninggalkan atasan mereka.

Ayu tersenyum kecil. Ia melangkahkan kaki perlahan dengan tubuh gemetaran. Perasaannya bergejolak dan tak karuan. Ia sudah melanggar aturan suci keraton tersebut dan tidak tahu bagaimana harus menebus semua kesalahannya itu.

“Ndoro Puteri ...! Apakah Ndoro Puteri ingin masuk ke Istana?” salah seorang abdi dalem keraton tersebut terlihat terburu-buru menghampiri Ayu.

Ayu menghentikan langkah kakinya saat ia sudah berada di depan pintu gerbang yang dijaga oleh dua prajurit keamanan tempat tersebut. Ia langsung menoleh ke arah pria itu dan menganggukkan kepala.

“Maaf, Ndoro ...! Ndoro Puteri dilarang masuk ke istana.”

Ayu terdiam sejenak sambil menelan saliva dengan susah payah. Ia berusaha mengumpulkan keberanian yang selama ini sudah tercerai-berai entah ke mana. “Aku akan laksanakan upacara kesucen,” ucapnya dengan bibir gemetar.

Abdi dalem itu terlihat sangat gelisah mendengar ucapan Ayu.

“Kenapa? Apa aku masih belum bisa melakukan upacaranya?” tanya Ayu.

“Bi-bisa, Ndoro. Tapi ... ada beberapa syarat yang masih harus dipenuhi.”

“Katakan! Apa saja syaratnya?” perintah Roro Ayu.

“Mari, ikut saya dulu!” pinta abdi dalem yang ada di sana sambil mempersilakan Ayu dan Nanda penuh rasa hormat.

Nanda dan Ayu melangkahkan kaki mengikuti abdi dalem yang ada di hadapannya hingga sampai ke salah satu kediaman yang biasa digunakan untuk menyambut tamu luar.

“Tunggu di sini! Saya akan panggilkan Kanjeng Sultan untuk menemui kalian.”

Ayu mengangguk. Ia meletakkan tas tangannya ke atas meja dan duduk bersimpuh di lantai, tepat di hadapan kursi singgasana yang ada di sana.

“Ay, harus berlutut kayak gini?” tanya Nanda.

Ayu langsung menarik tangan Nanda agar segera duduk di sampingnya. “Ikuti saja peraturannya!”

Nanda langsung duduk bersila di samping Ayu.

“Duduknya jangan kayak gitu!” pinta Ayu. “Kakinya dilipat ke belakang.”

“Eh!?” Nanda memperhatikan cara duduk Ayu. Ia langsung memperbaiki posisi duduknya. “Ay, susah duduk kayak gini. Burungku kejepit,” bisiknya.

Ayu mendelik sambil menyikut tubuh Nanda. “Jangan bercanda terus di sini!” pintanya berbisik.

“Nggak boleh, ya?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya. Di tempat itu, tidak hanya mereka berdua. Ada beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri di sana, tapi semuanya hening. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan, napas mereka saja tidak sampai terdengar di telinga Nanda.

Tiga puluh menit kemudian ...

Nanda mulai gelisah karena orang yang akan ia temui, tak kunjung muncul di hadapannya. Duduk dengan kaki terlipat di bawahnya, membuatnya sudah merasakan nyeri dan kebas. “Ay, masih lama?” bisiknya lagi.

“Tunggu saja!” sahut Ayu. Wanita itu tetap terlihat tenang meski sudah duduk bersimpuh selama tiga puluh menit.

“Aku boleh duduk sila sebentar? Keram banget kakiku, Ay,” tanya Nanda.

“Nan, seriuslah! Kita datang untuk meminta pengampunan dan menebus kesalahan kita,” pinta Ayu.

“Kakimu nggak sakit?” tanya Nanda. “Kita bisa lumpuh kalau terlalu lama duduk di sini.”

Ayu menggeleng.

Nanda menghela napas. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia tahu, saat ini Ayu sedang menderita, tapi tidak mau menunjukkan penderitaan di hadapannya.

“Apa yang membuatmu kembali ke sini?” tanya seorang pria tua yang dituntut untuk duduk di singgasananya. Di belakangnya, juga sudah ada beberapa orang dengan pakaian kebesaran. Kedua orang tua Ayu, juga ada di sana untuk menyambut kedatangan puteri mereka.

“Kenapa kamu membawa pria ini lagi?” seru Edi saat melihat Nanda sudah duduk di samping Ayu.

“Seret pria ini keluar dari sini ...!” perintah Edi pada penjaga yang ada di sana.

Dua orang penjaga, langsung menarik lengan Nanda dengan cepat.

Nanda tersentak mendengar perintah Edi yang begitu cepat membuatnya diseret keluar. Ia berusaha mempertahankan diri agar tidak dibawa pergi dari sana. Seharusnya, ia membawa semua anak buahnya ke tempat ini agar keluarga ini tidak bersikap semena-mena terhadap dirinya.

“Ayah ...! Jangan usir Nanda dari sini!” pinta Ayu sambil memegangi tubuh Nanda. Ia langsung menatap dua pengawal yang memegangi tubuh Nanda. “Lepaskan dia!” perintahnya.

Pengawal yang ada di sana terlihat kebingungan karena semua keluarga keraton adalah majikan bagi mereka.

“Bajingan ini nggak pantas masuk ke keluarga kita. Kamu tahu apa yang sudah dia lakukan dulu dan kamu masih membawanya kemari?” seru Edi sambil menatap tajam ke arah Ayu.

“Ayah, semua orang punya kesalahan dalam hidupnya. Nanda sudah minta maaf, sudah menebus semua kesalahannya. Apa masih belum cukup?” tanya Ayu sambil menatap wajahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu ...!? Ke sini mau melawan ayahmu, hah!?” seru Edi.

“Mas, jangan emosi! Kasihan Ayu,” bisik Bunda Rindu sambil berusaha menenangkan emosi suaminya.

“Edi, apa kamu tidak melihat keberadaanku? Kamu bisa sesukanya memarahi Roro Ayu dan tamu yang dia bawa?” tanya seorang pria tua yang duduk di singgasana besar itu.

“Maaf, Romo ...!” Edi langsung membungkuk dan memberi hormat pada pria nomor satu di keraton tersebut.

Sri Sultan Pakubuwono tersebut langsung menatap wajah Nanda. “Lepaskan dia!” perintahnya pada pengawal yang memegangi Nanda".

Nanda menghela napas lega saat dua pengawal itu  sudah melepaskannya. Ia kembali berlutut di belakang Ayu sambil menengadahkan kepala menatap Sri Sultan yang duduk di atas singgasananya. “Saya datang ke sini untuk meminta maaf dan ingin kembali mengambil Roro Ayu sebagai istri saya!” ucapnya tegas.

“Kamu tahu apa yang kamu lakukan tiga tahun lalu?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Nanda.

Nanda mengangguk.

“Kami tidak melarang Roro Ayu menikah dengan siapa pun. Hanya saja, dia tidak boleh menginjakkan kakinya ke istana karena seorang puteri mahkota telah melanggar peraturan yang mencoreng nama baik keluarga besar keraton kesultanan,” ucap Sri Sultan sambil menatap wajah Nanda.

“Eyang, saya akan lakukan upacara kesucen untuk bisa masuk ke istana lagi. Saya ingin mendapatkan restu pernikahan dari Eyang dan semua keluarga keraton,” tutur Ayu sambil menitikan air mata menatap Sri Sultan yang juga kakeknya sendiri.

Sri Sultan menatap serius ke arah Ayu. “Syarat untuk melakukan upacara mensucikan diri tidaklah mudah. Kamu tidak akan sanggup menjalaninya, Roro Ayu.”

“Saya akan menjalaninya, Eyang. Apa pun syaratnya, akan saya penuhi. Asalkan Eyang mengizinkan aku kembali ke istana ini,” sahut Ayu sambil memberi hormat kepada Sri Sultan yang ada di hadapannya.

Sri Sultan menganggukkan kepala. Ia langsung menoleh ke arah salah satu staff administrasi kesultanan. “Bacakan persyaratan yang harus dilakukan Roro Ayu agar dia bisa melakukan upacara mensucikan diri dengan baik!”

Pria yang ditunjuk oleh Sri Sultan, mengangguk dan segera membuka dekrit keraton yang sudah menjadi aturan turun-menurun selama ratusan tahun.

“Tujuh syarat upacara menyucikan diri yang harus dipenuhi oleh Raden Roro Ayu Rizki Prameswari selaku puteri mahkota. Karena telah melanggar aturan besar, mencemarkan nama baik dan merusak moral keluarga ... maka, Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus menjalani hukuman pengasingan selama minimal satu tahun. Dilarang masuk ke Istana sebelum melakukan upacara pensucian,” tutur staff administrasi kesultanan dengan suara tegas.

Ayu menundukkan kepala sambil menitikan air mata. Seharusnya, ia diadili sejak empat tahun lalu. Karena permohonan penangguhan dari kedua orang tuanya dengan alasan janin dalam perut Ayu, membuatnya hanya menjalani hukuman pengasingan dan dilarang masuk ke istana kesultanan sebelum ia melakukan upacara penyucian diri. Lahir di dalam keluarga keraton memang tidak mudah. Tidak ada hukum negara yang bisa menyentuh apa yang sudah ditentukan oleh adat nenek moyang mereka. Sebagai puteri mahkota yang hamil di luar nikah, dia harus menjalani hukuman yang sangat berat.

“Pertama ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus mendapatkan lima puluh cambukan. Kedua ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari harus melakukan kungkum [baca; berendam] selama tujuh hari tujuh malam. Ketiga ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari tidak boleh keluar dari tempat ibadah dan wajib menjaga kebersihan tempat ibadah setiap harinya selama tiga puluh hari.”

Nanda melebarkan kelopak mata mendengar tiga syarat pertama yang harus dipenuhi oleh Ayu. Dadanya sangat sesak dan matanya ikut berkaca-kaca saat melihat air mata Ayu jatuh berderai ke pangkuannya. “It’s Crazy ...! Ayu nggak mungkin sanggup menahan hukuman seorang diri,” batinnya.

“Keempat ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib memberi makan anak yatim selama empat puluh hari. Kelima ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib berpuasa selama sembilan puluh hari. Keenam ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari dilarang bertemu dengan orang yang bukan mahrom-nya selama menjalani hukuman. Ketujuh ... Raden Roro Ayu Rizki Prameswari wajib memberikan karya penebusan yang dipersembahkan untuk leluhur,” lanjut staff administrasi itu. Kemudian, menutup dokumen yang ada di tangannya setelah selesai membaca syarat-syarat yang harus dijalani Roro Ayu.

“Raden Roro Ayu Riski Prameswari, apakah kamu bersedia memenuhi syarat hukuman untuk penyucian diri?” tanya Sri Sultan sambil menatap wajah Ayu.

“Bersedia, Eyang,” jawab Ayu sambil menangkup kedua tangan dan menunduk hormat kepada Sri Sultan.

Nanda melebarkan kelopak matanya. Ia menengadahkan kepala menatap Sri Sultan. “Kanjeng Sultan, biar aku saja yang menggantikan Roro Ayu menjalani hukumannya!” pintanya.

“Roro Ayu adalah puteri mahkota keraton ini. Kedudukannya tidak bisa digantikan kecuali dia mati. Hukuman untuk dia juga tidak bisa digantikan oleh siapa pun,” jawab Sri Sultan sambil menatap Nanda.

Nanda menatap wajah Sri Sultan dengan perasaan tak karuan. Ia langsung menghadapkan tubuhnya ke arah Ayu yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Ay, kamu nggak perlu menjalani hukuman ini untuk bisa menikah denganku. Aku nggak mau menyakiti kamu, Ay. Kita bisa tetap saling mencintai tanpa menikah.”

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Aku menjalani hukuman bukan untuk menikah denganmu, Nan. Tapi untuk diterima kembali di keluargaku sendiri.”

“Tell me! Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua ini? Apa yang harus aku lakukan supaya kamu tidak perlu menjalani hukuman ini, Ay?” tanya Nanda dengan mata berkaca-kaca.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Jangan temui aku dulu sebelum aku menyelesaikan hukumanku. Tunggu aku!” pintanya lirih.

Nanda menggelengkan kepala. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat dengan singgsana Sri Sultan. “Ayu tidak melanggar aturan keluarga kalian. Aku yang telah melakukan kesalahan. Ini semua bukan kesalahan Ayu. Biar aku yang menanggungnya!” pintanya penuh harap. “Apa pun syaratnya akan aku penuhi asalkan kalian bisa menerima Ayu di keluarga ini lagi tanpa harus menjalani hukuman.”

Sri Sultan tersenyum ke arah Nanda. “Kalian saling mencintai?”

Nanda dan Ayu mengangguk bersamaan.

“Kalau begitu, jalani hukuman sesuai dekrit! Tidak ada yang berubah. Kamu ... tidak boleh menemui Roro Ayu selama dia menjalani hukumannya!” perintah Sri Sultan.

Nanda tertunduk lemas. Dunianya seakan runtuh saat ia mengetahui kalau apa yang dia lakukan terhadap Ayu, ternyata menimbulkan masalah besar baginya. Ia benar-benar menyesal karena tidak bisa menyelamatkan Ayu dan tidak bisa melawan saat pengawal istana tersebut menyeretnya keluar dari sana.

“AYU ...! Harusnya aku yang dihukum, bukan kamu ...!” teriak Nanda sambil menatap punggung Ayu yang semakin jauh dan menghilang di balik pintu besar yang sudah tertutup rapat untuknya.

 

 

((Bersambung...))

 

Apa yang akan dilakukan Nanda selanjutnya? Bermasalah dengan keluarga bangsawan memang nggak mudah, ya? Semangat untuk pasangan ini!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 48 - Back to Indonesia

 




“Ay, aku boleh nginap di sini?” tanya Nanda saat ia sudah mengantarkan Ayu kembali ke flat miliknya.

“Nggak boleh.”

“Jujur banget?”

“Kita belum nikah, mana boleh tinggal bareng,” sahut Ayu sambil masuk ke dalam flat miliknya.

“Udah. Aku pegang buku nikahnya,” sahut Nanda sambil mengeluarkan marriage book dari dalam saku jaketnya. “Kalau kamu ngusir aku, aku tinggal tunjukin buku nikah ini dan bilang kalau kamu istri yang kejam karena sudah mengusir suami sendiri.”

“Kamu ...!?” Ayu mendengus ke arah Nanda. “Kenapa kamu masih pegang buku nikah? Padahal pernikahan kita udah dibatalkan.”

“Ini bukti kalau orang tuamu membatalkan pernikahan kita secara sepihak. Mereka pakai sistem cerai ghaib, loh. Makanya, buku nikah ini masih ada sama aku,” jawab Nanda sambil tersenyum menatap wajah Ayu.

Ayu menghela napas. Ia melangkah begitu saja menuju sofa mungil rumahnya. “Tidur di sofa!”

“Ay, kita ini masih suami-istri, loh. Buku nikahnya ada, Ay,” tutur Nanda sambil mengikuti langkah Ayu menuju ke kamarnya.

“NANDA ...! Aku baru baik sama kamu. Mau kalau aku marah lagi?” seru Ayu kesal.

“Iya, iya. Aku tidur di sofa. Tapi temenin, ya!” pinta Nanda.

“Minta temenin sama TV. Aku capek,” jawab Ayu sambil masuk ke dalam kamar dan mengunci rapat pintu kamar tersebut.

Nanda gelagapan sambil menatap pintu kamar Ayu yang sudah tertutup rapat. Ia menjatuhkan keningnya ke daun pintu kamar tersebut. “Ay, kalau aku nggak boleh masuk. Kamu yang keluar, dong!” rengeknya.

“Nan, aku capek. Mau tidur. Kamu tidur, gih!” sahut Ayu yang sudah membaringkan tubuhnya di atas kasur.

“Ay, aku nggak bisa tidur,” ucap Nanda sambil terus bergerak gelisah. Ia menyandarkan punggungnya ke daun pintu. Telapak tangannya terus mengetuk-ngetuk pintu kamar Ayu.

“Iih ... Nanda ...! Kamu ini ngriseli banget, sih!?” Ayu langsung bangkit dari kasur dan membuka pintu kamarnya.

Nanda langsung tersenyum lebar dan berbalik menatap wajah Ayu. “Aku belum ngantuk. Kita nonton, yuk!”

“Nonton apaan?” tanya Ayu.

“Film, dong. Masa nontonin tetangga lagi main di sebelah,” jawab Nanda sambil memainkan alisnya.

Ayu memutar bola mata. Ia meraih remote televisi dan duduk di sofa. “Mau nonton film apa?”

“Ini bisa streaming ‘kan? Redtube bisa, nggak?” tanya Nanda sambil duduk di samping Ayu dan tersenyum lebar.

“Redtube gundulmu!” dengus Ayu sambil menoyor bantal sofa yang ada di tangannya.

“Eh, serius. Di sini nggak usah pake VPN untuk akses situs-situs dewasa ‘kan?” tanya Nanda sambil merebut remote dari tangan Ayu.

“Nggak boleh! Udah kena karma, masih nggak tobat juga!?” dengus Ayu.

Nanda terkekeh. Ia memeluk tubuh Ayu dan melingkarkan kedua kakinya di pinggang wanita itu. “Tobat, Ay. Jangan dikasih karma lagi!” pintanya. “Disayang, ya!”

Ayu melirik wajah Nanda sambil menahan tawa. “Kenapa kamu jadi manja gini?”

“Karena aku  kangen banget sama kamu,” jawab Nanda sambil bergelayut manja di tubuh Ayu.

Ayu tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak usah kayak anak kecil gini, deh! Kamu nginap di hotel mana di kota ini?”

“Nggak tahu,” jawab Nanda.

Ayu mengernyitkan dahi sambil menatap wajah Nanda. “Kamu udah berapa hari nggak mandi? Badanmu bau, Nan.”

“Eh!? Serius?” tanya Nanda sambil mengendus tubuhnya sendiri. “Aku belum mandi dari pagi.”

“Mandi, gih!” perintah Ayu.

“Dingin, Ay. Ini England, bukan Indonesia. Badanku nggak bau-bau banget, kok,” ucap Nanda sambil mengendus tubuhnya sekali lagi. Ia mengubah posisinya dan memilih membaringkan tubuhnya di sofa tersebut. Kepalanya berada tepat di pangkuan Ayu.

“Ay, aku mau tidur di pangkuanmu malam ini. Mandinya besok pagi aja, ya! Dingin banget,” ucap Nanda sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Ayu tersenyum sambil membelai lembut rambut Nanda. “Besok kita terbang ke Indonesia. Kita langsung ke rumah eyang. Gimana?”

Nanda langsung menatap wajah Ayu yang ada di atasnya. “Serius!? Beneran besok? Aku suruh asistenku siapin tiket.”

“Nggak usah. Aku udah urus tiket untuk pulang ke sana.”

“Serius!?” tanya Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

Ayu mengangguk.

Nanda tersenyum bahagia. Ia menarik kepala Ayu dan menciuminya berkali-kali. “Sebelum ke rumah eyang kamu ... kita ke makam Axel dulu, ya!”

Ayu mengangguk setuju. Ia memeluk lembut kepala Nanda yang masih berbaring di pangkuannya sembari menikmati film romance yang terputar di televisi miliknya. Bisa menikmati banyak waktu bersama orang dicintai adalah hal yang paling membahagiakan.

Meski saat ini Nanda terkesan manja, tapi ia tidak mempermasalahkannya. Mungkin sudah terlalu banyak penderitaan yang ditanggung Nanda karena keegoisan keluarganya, juga karena keegoisan dirinya sebagai seorang wanita.

 

...

 

Sepanjang perjalanan ke Indonesia, Nanda tak pernah melepaskan genggaman tangan Ayu. Kecuali saat ia pergi ke toilet.

Sesuai dengan jadwal perjalanan yang sudah dipilih oleh Ayu, mereka berdua akan tiba di Bandara Juanda, tepat jam satu siang waktu setempat.

Ayu mengedarkan menengadahkan kepala sambil memutar tubuhnya saat ia sudah berada di pintu kedatangan Bandara Internasional Juanda, kota Surabaya. Tak banyak hal yang berubah sejak ia pergi tiga tahun lalu. Kota ini tetap menjadi kenangan masa-masa remajanya dan begitu ia rindukan. Ada bahagia, sedih, sakit, kecewa dan harapan di dalamnya.

“Selamat siang, Tuan Presdir ...!” sapa salah seorang pria berjas sambil menghampiri Nanda yang baru saja melewati pintu keluar.

“Siang,” balas Nanda sambil melepas koper di tangannya dan membiarkan orang-orangnya mengambil alih koper tersebut. Ia langsung menggandeng masuk tubuh Ayu, masuk ke dalam mobil yang telah disediakan untuknya.

“Kamu lagi pamer kesuksesan kamu di depanku, Nan? Pakai acara disambut pakai anak buah segala?” tanya Ayu sambil mengerutkan wajahnya.

“Aku nggak tahu. Fasilitas dari perusahaan,” jawab Nanda. “Jalan, Pak!” perintahnya pada supir yang duduk di belakang kemudi.

“Ke makam putera saya,” jawab Nanda.

“Baik, Pak!”

“Mampir ke toko bunga dulu seperti biasa!” perintah Nanda lagi.

“Siap, Pak!”

Beberapa menit kemudian, mobil yang membawa Nanda dan Ayu berhenti di salah satu toko bunga yang ada di tepi jalan.

“Kamu mau kasih bunga apa untuk Axel?” tanya Nanda sambil menajak Ayu masuk ke dalam toko bunga tersebut.

“Biasanya kamu kasih apa?” tanya Ayu sambil mengedarkan pandangannya, memindai bunga-bunga yang tersedia di toko bunga tersebut.

“Aku kasih kaktus,” jawab Nanda sambil meraih pot mungil berisi bunga kaktus.

“Kaktus?”

Nanda mengangguk. “Ini lebih sederhana untuk pria seperti Axel,” jawabnya sambil tersenyum.

“Masuk akal,” tutur Ayu sambil mengangguk. Ia mengendus aroma mawar putih yang kebetulan berada di hadapannya.

“Mau bunga mawar?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggeleng. “Aku ambil bunga ini saja untuk Axel,” ucapnya sembari meraih bunga lili warna kuning. “Aku nggak pernah mengantarkan Axel ke peristirahatan terakhirnya. Ini pertama kalinya aku mengunjungi dia. Semoga dia suka dengan bunga pilihanku.”

Nanda tersenyum sambil merangkul dan mengecup pelipis Ayu. “Dia pasti senang dengan apa pun pemberian ibunya.”

Ayu mengangguk. Ia tersenyum manis sambil menatap bunga lily yang ada di tangannya. Ia tidak bisa membayangkan wajah puteranya. Sebab, ia tidak pernah mengetahui bagaimana wajah Axel setelah dilahirkan. Kedua orang tuanya pun tidak memiliki potret putranya itu. Kalau dia masih hidup, sudah pasti akan setampan wajah papanya.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua sudah berpindah ke area pemakaman elite yang ada di kota tersebut.

Ayu terus melangkahkan kakinya mengikuti Nanda. Ia tertegun ketika sampai di pusara puteranya dan menatap wajah mungil Axel yang seharusnya ia lihat sejak dilahirkan.

“Anakku ...!” Ayu langsung memeluk pusara dan potret Axel kecil yang ada di sana sambil menangis. Ia terus menciumi potret Axel. Putera kecil yang ia lahirkan dan tidak pernah ia lihat, apalagi ia sentuh tubuhnya. Di tengah hujan air matanya, bibir Ayu terus menyunggingkan senyuman sambil memeluk bingkai foto Axel. Rasanya, ia ingin berlama-lama ada di sana dan enggan pergi dari pusara puteranya itu.

“Nak, bisakah kamu turun lagi ke dunia dan tetap menjadi anak kami?” bisik Ayu sambil mengusap lembut pusara Axel Noah. Ia sangat berharap, bisa menggendong bayinya seperti yang selalu ia impikan tiga tahun lalu.

 

 

((Bersambung ...))

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

 

Dukung terus supaya author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 


Bab 47 - London Eye Destiny

 


Nanda tertawa bahagia sambil mengayuh kencang sepeda yang ia gunakan. Setelah menikmati makan sore bersama, ia memilih membakar kalori dengan berkeliling Cambridge dengan bersepeda.

“Nan, pelan-pelan ...!” seru Ayu sambil memeluk erat tubuh Nanda yang ada di depannya.

“Udah lama nggak main sepeda, Ay. Seru banget ...!” seru Nanda sambil terus mengayuh sepedanya dengan cepat. Terakhir kali menggunakan sepeda, dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Membuatnya merasa sangat senang karena bisa mengulang masa-masa remajanya.

“Nan, aku takut ...!” seru Ayu saat Nanda tidak mengurangi kecepatannya ketika berada di jalan turunan. Ia memejamkan mata dan mencengkeram perut Nanda.

“E-eh!?” Nanda langsung berusaha menyeimbangkan sepedanya ketika ban depan sepeda tersebut tiba-tiba menginjak batu yang ada tepi jalan.

“Nanda ...! Aku bilang hati-hati ...!” seru Ayu saat ia merasakan sepeda yang dikendarai Nanda bergerak tak terarah.

“Diam, Ay! Diam ...!” seru Nanda sambil berusaha menahan keseimbangan sepedanya.

BRUG ...!

Hanya dalam hitungan detik, sepeda yang dikendalikan Nanda terjerembab ke rerumputan yang ada di tepi jalan.

“HAHAHA.” Nanda tergelak saat ia dan Ayu terjatuh di tanah. Untungnya, ia sengaja melarikan sepeda itu ke rerumputan. Sehingga tidak mengakibatkan cidera saat mereka terjatuh.

“Aw ...! Sakit, Nan!” seru Ayu sambil memegangi pinggangnya.

Nanda tertawa kecil. “Sorry ...! Sorry ...! Aku bantu bangun,” pintanya sambil meraih kedua pundak Ayu.

Ayu mengerutkan wajah. Ia mendengus kesal dan memilih berbaring di atas rerumputan.

“Masih sakit?” tanya Nanda sambil memeriksa pinggang Ayu.

Ayu menarik napas dalam-dalam. “Biarkan aku rileks dulu! Ntar juga sembuh sendiri.”

Nanda tertawa kecil dan ikut berbaring di sisi Ayu. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala dan menatap langit senja yang ada di atasnya. “Begini juga bagus.”

“Apanya yang bagus?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah Nanda.

Nanda ikut menoleh dan seketika tatapan mereka saling bertemu. “Menikmati langit sore bersamamu. Kelihatannya sederhana, tapi menenangkan. Aku pikir, adegan dalam film itu tidak ada gunanya sama sekali untuk hidup kita. Ternyata, bisa memengaruhi sisi psikologis seseorang juga,” ucapnya.

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Nanda. “Jadi, menurutmu ... melihat senja pun bisa membuat suasana hati lebih baik?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum.

“Aku harap ... bisa membuat hidupmu juga lebih baik ke depannya.”

“Aamiin,” sahut Nanda. “Ay, kenapa kamu menuliskan profil tentang aku di bukumu?” tanyanya sambil menatap lekat mata Ayu.

“Karena ...” Ayu terdiam saat mendapati tatapan Nanda yang penuh harap.

“Karena apa?” tanya Nanda penasaran.

“Karena ... kamu juga pebisnis seperti yang lain.”

“Ada banyak pengusaha yang jauh lebih sukses dari aku. Kenapa kamu pilih aku?”

“Karena kamu pria payah yang bikin bangkrut perusahaan keluarga,” jawab Ayu sambil tertawa kecil.

“Kamu ...!?” Nanda mengerutkan wajah dan mendengus ke arah Ayu. “Kamu ngolok aku, hah!?” Ia langsung memeluk kepala Ayu dan menjepit ke ketiaknya.

Ayu tertawa sambil menatap wajah Nanda. “Tapi hari di mana aku bisa menulis tentangmu yang bangkit dari keterpurukan adalah pertama kalinya aku bangga pernah mengenal seorang pria bernama Ananda Putera Perdanakusuma.”

“Serius!?” tanya Nanda sambil menatap lekat mata Ayu yang berada tepat di hadapannya.

Ayu mengangguk sambil tersenyum.

Nanda menarik lengan Ayu agar memeluk pinggangnya. Ia mendekap wanita itu dan membenamkan bibirnya di kening Ayu.

Ayu tersenyum. Ia memeluk erat erat tubuh Nanda sambil memejamkan matanya. Mungkin, bagi orang lain dia terlalu cepat membuka hati untuk Nanda setelah disakiti begitu dalam. Tapi baginya tidak. Sebab, ia sudah berusaha menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk Nanda. Tapi ... ia tidak pernah bisa menemukan daun pintu yang bisa ia gunakan untuk menutup pintu itu. Membuat Nanda, bisa keluar-masuk ke dalam hati Ayu sesukanya.

  

...

 

Kerlip lampu bernuansa biru mulai menambah keindahan malam di sekitar Sungai Thames. Nanda terus menggandeng tangan Ayu menuju London Eye yang terlihat begitu indah di tempat tersebut.

“Ay, katanya kalau kita ciuman di titik tertinggi London Eye ... cinta kita akan abadi. Coba, yuk!” ajak Nanda.

“Itu mitos, Nan.”

“Mitos itu apa? Akan menjadi kenyataan kalau kita mempercayainya. So, kita percaya saja supaya bisa jadi kenyataan!” sahut Nanda. Ia terus menarik lengan Ayu dan melangkah mendekati petugas yang berjaga di tempat tersebut. Ia langsung menunjukkan tiket reservasi yang sudah dia pesan lebih dahulu lewat internet.

“Kamu sudah merencanakan pergi ke sini?” tanya Ayu.

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Tempat-tempat romantis di kota ini harus reservasi dulu. Kalau tidak, kita bisa ngantri sampai pagi.”

Ayu tersenyum sambil menengadahkan kepala menatap keindahan London Eye yang begitu terkenal. Tiga tahun tinggal di kota ini, ia tidak pernah menginjakkan kakinya di London Eye. Hanya bisa menikmati dari kejauhan karena pesona landmark ini memang tidak bisa diragukan lagi.

“Naik, yuk!” ajak Nanda sambil merangkul pundak Ayu dan mengajaknya masuk ke dalam kapsul yang sudah ia pesan sebelumnya.

“Kamu booking satu kapsul sendirian?” tanya Ayu saat pintu kapsul itu sudah tertutup dan mulai bergerak perlahan.

Nanda mengangguk sambil tersenyum.

“Ini mahal, Nan. Kamu lagi pamer kekayaan di depanku?” tanya Ayu.

Nanda tertawa kecil. “Aku rasa ... uangmu jauh lebih banyak dariku.”

“Kalau aku banyak uang, aku tidak akan tinggal di flat kecil. Nggak akan bekerja keras setiap hari untuk meningkatkan diriku,” sahut Ayu. Ia menyentuh kaca kapsul yang ada di hadapannya dan mulai menikmati indahnya kota London saat kapsul itu bergerak semakin meninggi.

“Kamu ini puteri keturunan keraton. Mau tinggal di hotel mewah setiap hari pun bisa. Kamu hanya tidak pernah menggunakan fasilitas sebagai puteri sultan. Sejak masih sekolah, kamu selalu tampil sederhana, cupu dan kampungan. Andai namamu tidak di sekolah tidak menggunakan gelar keraton, tidak ada yang tahu kalau kamu keturunan bangsawan,” ucap Nanda sambil beringsut ke belakang Ayu.

“Kamu terlalu sederhana di luar. Hingga bisa menipu semua mata lelaki yang hanya bisa memandang wanita dari fisiknya saja,” bisik Nanda sambil melingkarkan lengannya di perut Ayu.

“Lelaki itu kamu?” tanya Ayu.

“Yeah. Aku akui ... aku menjadi bagian lelaki itu di masa lalu. Tapi setelah dewasa dan menjalani banyak hal. Aku sadar ... yang dibutuhkan seorang pria bukan sekedar cantik di fisik, tapi juga cantik di otak dan hatinya,” jawab Nanda sambil meletakkan dagunya di pundak Ayu.

“Aku nggak cantik semuanya,” sahut Ayu sambil menyandarkan tubuhnya di dada Nanda.

“Iya juga, ya? Tapi kamu satu-satunya wanita yang berhasil mengacaukan hidupku. Bikin aku kesel, bikin sedih, bikin aku nggak paham sama diriku sendiri, bikin aku menderita, bikin aku menyesal seumur hidupku dan bikin aku nggak bisa ngelupain kamu,” ucap Nanda.

Ayu tertawa kecil sambil menatap indahnya malam kota London yang begitu gemerlap. “Kamu baru sadar kalau aku sudah berhasil menguasai saraf-saraf otakmu?”

Nanda mengangguk. Ia memutar pundak Ayu agar menghadap ke arahnya. “Terima kasih sudah mengajariku banyak hal. Terima kasih sudah memberikan hukuman yang begitu fantastis untukku. Terima kasih sudah pernah menjadi ibu untuk Axel. Bisakah kamu tetap jadi ibu untuk anak-anakku berikutnya?”

Ayu menatap wajah Nanda dengan perasaan tak karuan. Ia merasa ada kupu-kupu bercahaya yang keluar dari dadanya dan berterbangan di sekitarnya. Membuat wajah Nanda yang tertimpa cahaya sesekali, menjadi terlihat begitu memesona.

Nanda tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Ayu. Ia menangkup pipi Ayu yang begitu lembut dan menikmati tatapan matanya yang begitu meneduhkan. Tepat di titik tertinggi London Eye, ia membenamkan bibirnya ke bibir Ayu secara perlahan.

Ayu memejamkan matanya perlahan saat Nanda menyentuh lembut bibirnya. “Tuhan ... jika takdirku memang bersamanya, jadikanlah aku wanita yang mampu menerima semua keburukannya! Jadikanlah aku wanita yang mampu membunuh keegoisan dalam diri ini! Jadikanlah aku wanita yang selalu dicintai! Jadikanlah aku satu-satunya wanita yang jadi tempat untuk melepas lelahnya.”

“Tuhan ... jadikanlah wanita ini milikku selamanya ...! Hanya milikku,” bisik Nanda dalam hati sembari mengulum lembut bibir Ayu dan memeluknya penuh kehangatan.

 

 

((Bersambung...))

 

Kalian bisa bayangin gimana romantisnya London Eye di malam hari?

 

 

 


Bab 46 - Back to Our

 


Nanda tersenyum saat melihat Ayu mencicipi hasil masakannya. Mereka sudah duduk di bawah salah satu pohon pinus yang ada di Cherry Hinton Hall.

“Gimana? Enak?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Mmh ... lumayan,” jawab Ayu sambil mengunyah mencicipi sup daging buatan Nanda.

Nanda tersenyum lega. Ia mulai mencicipi porsi sup miliknya dan menikmati suasana taman yang sepi dan tenang. “Kamu sering ke sini?”

Ayu mengangguk.

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Nggak takut ada yang godain kamu?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya.

Ayu menggeleng. “Di sini aman dan aku selalu bawa chili spray untuk jaga diri,” jawabnya santai.

“Dari mana kamu kepikiran buat bawa begituan?” tanya Nanda lagi.

“Karena aku nggak bisa bela diri, aku juga nggak bisa mengandalkan orang lain untuk menjagaku. Jadi, aku harus mengandalkan diriku sendiri,” jawab Ayu.

Nanda tersenyum dan menggenggam tangan Nanda. “Mulai hari ini ... aku yang akan jaga kamu.”

“Nggak usah ngegombal di depanku! Emangnya kamu bisa dua puluh empat jam nempel mulu ke aku? Nggak kerja? Nggak sosialisasi sama orang lain?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Aku akan kerja di samping kamu. Aku akan sosialisasi barengan sama kamu. Duniamu akan jadi duniaku juga,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Kamu ini lagi ngomong serius atau bercanda?”

“Ck. Serius, Ay. Emangnya mukaku nggak kelihatan serius?”

Ayu menggeleng.

Nanda langsung meletakkan mangkuk sup di tangannya. Ia menggeser posisi duduknya dan bersila di hadapan Ayu. Nanda menarik napas dalam-dalam dan memasang wajah serius. “Aku serius, Ay. Can you go back to me?”

“Kalau aku nggak bisa?”

“I’ll keep walking to you,” jawab Nanda serius.

Ayu tersenyum mendengar ucapan Nanda.

Nanda ikut tersenyum menikmati wajah Ayu yang terlihat sumringah. “Kamu mau buka hati kamu lagi buat aku ‘kan?”

“Hatiku nggak pernah tertutup buat siapa pun. Hanya saja ...”

“Apa?”

“Aku tidak diizinkan masuk kembali ke dalam keraton eyangku karena statusku yang hamil di luar nikah. Kalau kamu memang cinta sama aku ... dapatkan restu dari keluarga besarku!” pinta Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Sampai sekarang kamu masih belum boleh masuk ke rumah keluargamu sendiri, Ay? Bukankah kamu bisa masuk ke sana setelah menjalani upacara ... apa itu namanya?”

“Kesucen?”

Nanda mengangguk.

Ayu tersenyum. “Setiap rumah punya aturan, Nan. Aku adalah garis keturunan langsung dari eyang dan harus menjadi contoh yang baik untuk puteri-puteri keraton lainnya. Seharusnya, aku mendapatkan hukuman karena aku melanggar aturan. Tapi bunda dan ayah sudah memohon keringanan karena mereka tidak mau melukai janin yang aku kandung,” jelasnya.

“Aku boleh masuk keraton kembali setelah menjalani upacara menyucikan diri. Dan syarat untuk melakukan upacara itu tidak mudah. Bukan hanya aku yang harus melakukannya, tapi juga kamu. Upacara pernikahan kita saja, sudah membuatmu snewen dan tidak nyaman. Bagaimana dengan upacara kesucen yang dianggap nggak masuk akal untuk orang-orang awam? Aku takut, kamu nggak bisa menghadapinya,” lanjutnya sambil menundukkan kepala.

“Ay, kamu cukup bilang ke aku semua syarat yang harus kita penuhi dan aku akan berusaha melakukannya dengan baik. Kalau aku gagal, aku akan mencobanya lagi sampai kita berhasil mendapatkan restu dari keluarga keratonmu. Maafkan aku yang sudah membuatmu terusir dari istanamu sendiri, Ay,” ucap Nanda sambil menggenggam kedua tangan Ayu dan menciuminya.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Sudah jalan takdirku seperti ini. Aku hanya ... sering merindukan tempat lahirku saja.”

“Aku akan membawamu kembali ke sana. Bagaimana kalau kamu tunda program doctorate kamu? Kita menikah lagi!” ajak Nanda.

“Menikah?” Ayu langsung melepas tangannya dari genggaman Nanda.

Nanda mengangguk. “Kamu nggak mau nikah sama aku lagi?”

Ayu menggigit bibirnya sambil berpikir sejenak.

“Sejak kamu tinggal di London, apa pernah mengunjungi anak kita? Kamu tidak ingin pulang? Tidak merindukan dia?” tanya Nanda sambil tersenyum ke arah Ayu.

DEG!

Pertanyaan Nanda kali ini langsung menusuk ke ulu hatinya. Sejak ia dibawa pergi ke luar negeri, ia tidak pernah kembali ke Indonesia. Ia bahkan tidak pernah mengunjungi pusara anaknya. Air matanya langsung mengalir begitu saja saat mengingat masa-masa kehamilan dan penantiannya untuk melihat wajah sang putera, tapi tidak pernah ia lihat.

“Setiap tanggal kelahirannya, aku selalu mengunjungi Axel. Setiap hari ulang tahunnya, aku selalu membawakan hadiah untuk dia. Dua minggu lagi, ulang tahun dia yang keempat. Kalau dia masih hidup, tahun ini dia sudah masuk sekolah TK. Aku sudah berjanji pada Axel untuk membawa kamu sebagai hadiah ulang tahunnya tahun ini,” ucap Nanda sambil menahan air matanya jatuh. “Kalau kamu nggak bersedia kembali karena aku, kembalilah untuk Axel. Setidaknya, kamu punya waktu untuk mengunjungi dia meski hanya sekali.”

Ayu terdiam sambil menatap wajah Nanda yang menangis di hadapannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ia sudah menangisi kepergian puteranya begitu lama dan air mata tidak cukup untuk menggambarkan rasa sakitnya kali ini.

“Kamu nggak percaya sama aku?” tanya Nanda sambil mengusap matanya yang basah dan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia langsung memperlihatkan foto-foto yang ia ambil setiap kali mengunjungi pemakaman puteranya.

“Nan, apa maksudmu seperti ini?” tanya Ayu sambil berusaha menahan air matanya untuk jatuh.

“Supaya kamu kembali ke aku, kembali ke Axel, kembali ke keluarga kita. Aku janji, tidak akan menyakitimu lagi!” jawab Nanda sambil menitikan air mata.

“Kamu ini ... kenapa jadi cengeng banget?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda. “Dulu, kamu nggak pernah nangis kayak gini?”

Nanda meringis sambil mengusap air matanya. “Entahlah. Apa pun tentang kamu dan Axel, selalu membuat air mataku keluar begitu saja. Air mata ini bukan sedang menangis, tapi sedang merindukan kalian.”

Ayu tersenyum sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Ia mengusap lembut pipi pria itu dan mengecup sekilas bibirnya.

Nanda tertegun selama beberapa saat ketika Ayu menciumnya. Ia langsung tersenyum lebar dan menatap mata wanita itu penuh harap. “Mau pulang ke Indonesia ‘kan?” tanya Nanda sambil menggenggam tangan Ayu. “Aku janji, akan memintamu secara baik-baik ke keluargamu. Apa pun hukumannya, akan aku jalani asal kita bisa bersama lagi. Asal kamu cinta sama aku, aku akan berjuang.”

Ayu mengangguk kecil. “Makanlah dengan baik! Jangan terlalu banyak bicara! Supnya keburu dingin.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Apa kita bisa kembali ke Indonesia besok pagi?”

“Aku nggak bisa terburu-buru. Harus menyelesaikan semua urusanku terlebih dahulu sebelum aku pergi. Lagipula, acara ulang tahun anak kita masih dua minggu lagi ‘kan?”

Nanda mengangguk. “Tapi ...”

“Apa?”

“Sonny  akan menikah tiga hari lagi dan dia memintaku membawamu pergi ke pesta pernikahannya. Kamu mau datang?”

“Eh!? Sonny mau menikah? Kenapa dia nggak kabari aku?” tanya Ayu sambil meraih ponselnya dan mencari nomor kontak Sonny.

“Nggak usah hubungi dia! Ntar dia nggak jadi nikah sama cewek itu karena ingat kamu terus,” pinta Nanda sambil  menahan pergelangan tangan Ayu.

Ayu berpikir sejenak, kemudian meletakkan ponselnya kembali. “Sebelum kembali ke Indonesia. Aku punya beberapa permintaan darimu.”

“Apa?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Ayu.

“Aku akan jawab setelah makanan kita habis,” jawab Ayu sambil tersenyum.

“Oke.” Nanda langsung mengambil kembali makanan di hadapannya dan memakannya dengan cepat agar ia bisa memenuhi permintaan Ayu dan membawanya kembali ke Indonesia. Ia tahu, permintaan wanita seperti Ayu tidak akan muda. Ia harus menyiapkan banyak tenaga dan pikiran untuk mewujudkan permintaan Ayu yang mungkin ... rumit.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 


Bab 45 - Ciuman Hangat

 


Nanda langsung menyambar kantong belanja dari tangan Ayu begitu melihat wanita itu sedang berbelanja di salah satu minimarket yang ada di kota tersebut. “Pacarmu yang tadi mana? Nggak temenin kamu belanja?” tanyanya.

Ayu terdiam sejenak mendengar pertanyaan Nanda.

“Dia sibuk?” tanya Nanda lagi.

“Emangnya, pacar harus ada dua puluh empat jam buat kita?” sahut Ayu sambil berusaha menarik kantong belanja dari tangan Nanda.

“Nggak harus, sih. Tapi ... setidaknya dia bisa nemenin kamu karena ada aku di kota ini. Nggak takut kalau aku ngerebut kamu dari dia?” tanya Nanda sambil melangkah santai dan membawa kantong belanja milik Ayu.

Ayu menghela napas sambil mengikuti langkah Nanda. “Aku pikir, dia udah balik ke negaranya,” batinnya.

“Nan, kamu nggak balik ke Indo?” tanya Ayu sambil mengejar langkah Nanda.

“Aku balik kalau kamu mau balik juga ke sana.”

“Kalau aku  nggak mau?”

“Aku bisa pindah ke kota ini. It’s a good place,” jawab Nanda santai.

Ayu memutar bola matanya. “Kamu ini nganggur banget sampai punya waktu buat main-main di sini?”

Nanda langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ayu. “Aku sedang berjuang, Ay. Bukan sedang bermain.”

Ayu menghela napas dan tertunduk lesu. Ia benar-benar tidak bisa menghindar lagi dari Nanda. “Harusnya, kamu ngelakuin ini tiga tahun lalu. Kenapa baru sekarang?” gumamnya.

Nanda menatap wajah Ayu dan melangkah mendekati wanita itu. “Aku tahu, aku terlambat. Bisa kasih aku kesempatan? Aku janji, nggak akan sia-siakan kamu lagi.”

Ayu menatap lekat mata Nanda. Mencoba mencari ketulusan dari mata pria itu dan tatapannya malah membuatnya tidak bisa menolak permintaan pria itu. “Aku nggak yakin kalau kamu ...”

“Aku akan buktikan dan yakinkan kamu, Ay. Please ...! Kasih aku kesempatan lagi! Aku tahu, Blaize bukan pacarmu sungguhan ‘kan?”

“Kamu tahu dari mana?”

“Aku ke Rion Cafe dan dia ada di sana,” jawab Nanda berbohong.

Ayu langsung menatap ke arah yang tak menentu. Berusaha menyembunyikan perasaannya karena ketahuan berbohong.

Nanda menangkup wajah Ayu dengan satu telapak tangannya. “Ay, kita masih punya kesempatan untuk berbaikan. Bisakah kita berbaikan seperti dulu? Menjadi suami-istri yang bahagia seperti yang lainnya.”

“Aku nggak yakin.”

“Yakinlah, Ay! Aku bakal buktikan ke kamu. I promise. Asal kamu kasih aku kesempatan sekali lagi!” pinta Nanda.

Ayu menarik napas dalam-dalam sembari menatap wajah Nanda. “Aku mau lihat usahamu dulu!”

“Oke.” Nanda langsung tersenyum lebar. Ia menarik napas lega, berbalik dan melangkah bersemangat menuju flat tempat tinggal Roro Ayu. Wanita itu belum mengetahui kalau saat ini ia tinggal bersebelahan dengan flat miliknya. Ia harap, Ayu tidak pernah mengetahuinya agar ia memiliki alasan untuk tetap tinggal satu flat dengan wanita itu.

Ayu tersenyum kecil. Ia tahu, menghindar bukan lagi pilihannya saat ini. Jika cinta itu masih ada dan terlanjur membeku, ia masih bisa berharap mendapatkan kehangatan agar hatinya bisa mencair perlahan dan menikmati keindahan cinta yang sudah lama tak ia rasakan.

“Hari ini kamu mau masak apa?” tanya Nanda sambil meletakkan kantong belanja di atas meja pantry begitu ia sudah masuk ke dalam rumah Ayu.

“Nggak tahu mau masak apa,” jawab Ayu.

Nanda menghela napas. “Biar aku yang masak buat kamu. Oh ya, di sini ada taman bagus yang bisa kita gunakan untuk bersantai. Gimana kalau kita makan sore di sana setelah aku selesai masak?”

“Kamu bisa masak?” tanya Ayu sambil menatap ragu ke arah Nanda.

“Bisa. Meski hanya masakan sederhana. Aku belajar memasak selama aku di lapas,” jawab Nanda sambil tersenyum.

“Hmm ... penjara ada bagusnya juga untuk kamu,” ucap Ayu sambil melepas sweeter yang ia kenakan dan membantu Nanda menyiapkan bahan-bahan yang akan mereka masak.

“Penjara itu nggak buruk. Yang buruk orang-orangnya di dalamnya,” sahut Nanda.

“Udah ngaku?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah Nanda.

“Aku nggak pernah mengingkari perbuatanku, Ay. Aku cuma nggak habis pikir sama keluarga besarmu yang menuntut aku habis-habisan. Padahal, aku nggak ngelakuin tindakan kriminal. Aku nidurin kamu juga atas dasar suka sama suka,” jawab Nanda.

“Apa? Suka sama suka!?” Mata Ayu terbelalak mendengar ucapan Nanda. “Aku nggak pernah suka sama kamu.”

“Oh ya?” Nanda menarik pinggang Ayu dan merapatkan ke tubuhnya. “Look at me! Beneran nggak pernah suka?”

Ayu terdiam sambil berusaha menelan salivanya dengan susah payah saat mata Nanda tepat berada di depan matanya. Wajah tampan ini begitu menyenangkan dan bola matanya begitu menyiratkan kenyamanan.

“Kenapa diam aja?” bisik Nanda sambil melingkarkan satu lengannya lagi ke pinggang Ayu. “Kamu nggak mau ngaku kalau kamu suka sama aku? Nggak ada cewek yang nggak suka lihat cowok ganteng kayak aku.”

“Kepedean banget, sih!?” dengus Ayu sambil mendorong dada Nanda agar melepas pelukannya.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya.

“Lepasin, Nan!” pinta Ayu sambil berusaha menarik lengan Nanda yang begitu kekar saat mendekap tubuhnya.

“Aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu jawab pertanyaanku,” tegas Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tetap berusaha berkelit. Ia menoleh ke arah kompor yang sudah menyala. “Masakan kita ntar gosong.”

“Itu cuma sup, nggak akan gosong,” sahut Nanda sambil mengalihkan kedua telapak tangannya, menekan punggung Ayu hingga dada wanita itu merapat ke dadanya. “Jawab pertanyaanku, Raden Roro Ayu Rizki Prameswari!” pintanya.

Ayu menatap wajah Nanda sambil meletakkan kedua telapak tangannya di dada pria itu agar tubuhnya tak langsung bersentuhan. Bola matanya tertuju pada wajah Nanda dan tidak tahu apa yang harus ia katakan karena saat ini perasaan hatinya sedang tak karuan.

Nanda melirik dada Ayu yang ada di bawahnya. Ia melihat rantai kalung yang tersembunyi di balik pakaian wanita itu dan teringat akan salah satu potret Ayu yang terpajang di kamarnya. Potret yang mengenakan kalung dengan liontin cincin yang membuatnya sangat penasaran karena potret itu terlalu jauh dan membuatnya tak bisa melihat jelas.

“Kamu lihat apaan!? Mesum banget, sih!?” dengus Ayu sambil memukul dada Nanda.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya. “Aku sudah lihat semuanya, Ay. Aku tahu kamu luar dalam. Buat apa masih malu-malu?” tanya Nanda sambil merogoh rantai kalung dari dalam tubuh Ayu dan mengeluarkannya.

Ayu melebarkan kelopak mata saat liontin cincin pernikahannya tergantung tepat di bawah jari-jari tangan Nanda. Matanya tiba-tiba menghangat dan hatinya bergejolak tak karuan. Ia tidak ingin siapa pun mengetahui kalau ia masih menyimpan cincin pernikahan itu dengan baik di dalam dadanya dan mengenakannya setiap hari, terutama Nanda. Begitu Nanda menggenggam cincin itu ... rahasianya seolah terungkap begitu saja dan tak bisa ia sembunyikan lagi.

“Kenapa kamu masih simpan cincin pernikahan kita?” tanya Nanda sambil menatap lekat mata Ayu yang mulai berkaca-kaca.

Ayu menarik napas kasar sambil mengusap air matanya yang nyaris membasahi pipi.

“Ay, jawab! Kamu masih cinta sama aku ‘kan?”

Ayu menggeleng sambil mengusap matanya yang basah.

“Kenapa nangis?”

“Aku nggak tahu, Nan,” jawab Ayu sambil menitikan air mata. Semakin ditanya, air matanya malah semakin deras dan tidak sanggup ia bendung lagi. Tumpah begitu saja di saat ia harus mengubur perasaannya dalam-dalam.

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menengadahkan kepala. Menahan air matanya agar tidak ikut jatuh seperti sepasang mata milik Ayu yang kini sedang banjir. Telapak tangannya menyentuh kepala belakang Ayu dan membenamkan kepala wanita itu ke dadanya.

“Ay, kita pernah tertawa bersama, terluka bersama, menangis bersama bahkan menahan penderitaan bersama selama tiga tahun ini. Aku nggak pernah mengakui kalau aku pernah menyukaimu saat kita masih SMA. Saat pertama kali kamu terluka karena menyelamatkan nyawaku. Saat itu perasaanku benar-benar tak karuan. Aku menyukaimu, tapi kamu adalah wanita kesayangan sahabatku. Sampai akhirnya ... takdir buruk menyatukan kita dengan cara yang begitu menyiksa. Tapi aku tidak pernah menyesalinya, Ay. Aku bahagia dengan penderitaan ini karena aku sempat memilikimu,” ucap Nanda sambil menahan rasa sesak di dadanya. Saat kalimat terakhir terucap dari bibirnya, ia merasa sangat lega.

Ayu langsung menengadahkan kepalanya menatap Nanda. “Kamu beneran suka sama aku sejak masih sekolah?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum. Ia mengusap air mata Ayu dan menangkup wajah wanita itu perlahan. Nanda menatap lekat mata Ayu dan semakin mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu.

Ayu memejamkan mata perlahan ketika bibir Nanda menyentuhnya begitu lembut. Rasa ini sudah lama tak ia rasakan dan kecupan lembut dari pria ini melepaskan semua beban yang selama ini bergelayut di kepalanya. Tanpa ia sadari, nalurinya terus membawanya menikmati kehangatan yang diberikan Nanda dan membuatnya semakin bergairah membalas perlakuan mesra pria itu.

Nanda tersenyum puas setelah ia melepaskan ciumannya. Ia mengusap lembut pipi Ayu dan berkata, “kita lanjutkan masaknya! Setelah ini ... kita nikmati makanannya di taman. Ada banyak hal yang ingin aku diskusikan sama kamu, Ay.”

Ayu mengangguk setuju. Ia segera membantu Nanda menyelesaikan masakannya dan menyiapkan semua hal yang ia butuhkan untuk menikmati sore hari di Cherry Hinton Hall, salah satu taman yang cukup nyaman untuk bersantai di kota tersebut. Ia tidak tahu apa yang akan didiskusikan oleh pria ini. Ia harap, hal ini bisa membuat hubungan mereka menjadi lebih baik lagi.

Semua wanita ditakdirkan untuk menjadi penerima. Apa pun yang akan dilakukan Nanda, ia hanya bisa menerimanya. Sebab, menolak kehadirannya tetap saja tidak bisa membuatnye hidup tenang dan bahagia. Hatinya tetap rindu, rindu pada pria brengsek yang telah berhasil menjadi seorang ayah untuk anak yang pernah tumbuh di rahimnya.

Beberapa menit kemudian, Nanda dan Ayu sudah duduk bersama di bawah pohon pinus yang ada di Cherry Hinton Hall.

“Ay, kuliahmu di sini masih lama?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu menggeleng. “Aku sudah menyelesaikan S2 aku sekitar sebulan lalu. Aku lulus lebih cepat dari waktu yang seharusnya,” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh ya? Kenapa kamu tidak kembali ke Indonesia?” tanya Nanda lagi.

“Aku lagi mempersiapkan diri untuk ambil Doctorate,” jawab Ayu sambil tersenyum.

“S3?” Nanda mengernyitkan dahi. “Apa kamu nggak berniat untuk kembali ke Indo lagi? Kenapa belajar terus? Nggak capek? Nggak bosan?”

Ayu menggelengkan kepala. “Nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain belajar.”

“Pulang ke Indonesia dan kita lakukan banyak hal bersama!” pinta Nanda sambil menggenggam tangan Ayu.

Ayu terdiam. Ia sendiri tidak tahu apakah ia harus tetap tinggal di kota ini atau kembali ke Indonesia. Ia sudah lama tidak mengunjungi keluarganya dan ia tidak punya muka untuk menginjakkan kakinya di tempat yang telah memutuskan takdirnya tiga tahun lalu.

 

 

 

 

 

 

((Bersambung ...))

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas