Nanda tertawa bahagia sambil
mengayuh kencang sepeda yang ia gunakan. Setelah menikmati makan sore bersama,
ia memilih membakar kalori dengan berkeliling Cambridge dengan
bersepeda.
“Nan, pelan-pelan ...!” seru
Ayu sambil memeluk erat tubuh Nanda yang ada di depannya.
“Udah lama nggak main sepeda,
Ay. Seru banget ...!” seru Nanda sambil terus mengayuh sepedanya dengan cepat. Terakhir
kali menggunakan sepeda, dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Membuatnya merasa sangat senang karena bisa mengulang masa-masa remajanya.
“Nan, aku takut ...!” seru Ayu
saat Nanda tidak mengurangi kecepatannya ketika berada di jalan turunan. Ia
memejamkan mata dan mencengkeram perut Nanda.
“E-eh!?” Nanda langsung
berusaha menyeimbangkan sepedanya ketika ban depan sepeda tersebut tiba-tiba
menginjak batu yang ada tepi jalan.
“Nanda ...! Aku bilang
hati-hati ...!” seru Ayu saat ia merasakan sepeda yang dikendarai Nanda
bergerak tak terarah.
“Diam, Ay! Diam ...!” seru
Nanda sambil berusaha menahan keseimbangan sepedanya.
BRUG ...!
Hanya dalam hitungan detik,
sepeda yang dikendalikan Nanda terjerembab ke rerumputan yang ada di tepi
jalan.
“HAHAHA.” Nanda tergelak saat
ia dan Ayu terjatuh di tanah. Untungnya, ia sengaja melarikan sepeda itu ke
rerumputan. Sehingga tidak mengakibatkan cidera saat mereka terjatuh.
“Aw ...! Sakit, Nan!” seru Ayu
sambil memegangi pinggangnya.
Nanda tertawa kecil. “Sorry
...! Sorry ...! Aku bantu bangun,” pintanya sambil meraih kedua pundak Ayu.
Ayu mengerutkan wajah. Ia
mendengus kesal dan memilih berbaring di atas rerumputan.
“Masih sakit?” tanya Nanda
sambil memeriksa pinggang Ayu.
Ayu menarik napas dalam-dalam.
“Biarkan aku rileks dulu! Ntar juga sembuh sendiri.”
Nanda tertawa kecil dan ikut
berbaring di sisi Ayu. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala dan
menatap langit senja yang ada di atasnya. “Begini juga bagus.”
“Apanya yang bagus?” tanya Ayu
sambil menoleh ke arah Nanda.
Nanda ikut menoleh dan seketika
tatapan mereka saling bertemu. “Menikmati langit sore bersamamu. Kelihatannya
sederhana, tapi menenangkan. Aku pikir, adegan dalam film itu tidak ada gunanya
sama sekali untuk hidup kita. Ternyata, bisa memengaruhi sisi psikologis
seseorang juga,” ucapnya.
Ayu tersenyum menanggapi ucapan
Nanda. “Jadi, menurutmu ... melihat senja pun bisa membuat suasana hati lebih
baik?”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum.
“Aku harap ... bisa membuat
hidupmu juga lebih baik ke depannya.”
“Aamiin,” sahut Nanda. “Ay,
kenapa kamu menuliskan profil tentang aku di bukumu?” tanyanya sambil menatap
lekat mata Ayu.
“Karena ...” Ayu terdiam saat
mendapati tatapan Nanda yang penuh harap.
“Karena apa?” tanya Nanda
penasaran.
“Karena ... kamu juga pebisnis
seperti yang lain.”
“Ada banyak pengusaha yang jauh
lebih sukses dari aku. Kenapa kamu pilih aku?”
“Karena kamu pria payah yang
bikin bangkrut perusahaan keluarga,” jawab Ayu sambil tertawa kecil.
“Kamu ...!?” Nanda mengerutkan
wajah dan mendengus ke arah Ayu. “Kamu ngolok aku, hah!?” Ia langsung memeluk
kepala Ayu dan menjepit ke ketiaknya.
Ayu tertawa sambil menatap
wajah Nanda. “Tapi hari di mana aku bisa menulis tentangmu yang bangkit dari
keterpurukan adalah pertama kalinya aku bangga pernah mengenal seorang pria
bernama Ananda Putera Perdanakusuma.”
“Serius!?” tanya Nanda sambil menatap
lekat mata Ayu yang berada tepat di hadapannya.
Ayu mengangguk sambil
tersenyum.
Nanda menarik lengan Ayu agar
memeluk pinggangnya. Ia mendekap wanita itu dan membenamkan bibirnya di kening
Ayu.
Ayu tersenyum. Ia memeluk erat erat
tubuh Nanda sambil memejamkan matanya. Mungkin, bagi orang lain dia terlalu
cepat membuka hati untuk Nanda setelah disakiti begitu dalam. Tapi baginya
tidak. Sebab, ia sudah berusaha menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk Nanda.
Tapi ... ia tidak pernah bisa menemukan daun pintu yang bisa ia gunakan untuk
menutup pintu itu. Membuat Nanda, bisa keluar-masuk ke dalam hati Ayu
sesukanya.
...
Kerlip lampu bernuansa biru
mulai menambah keindahan malam di sekitar Sungai Thames. Nanda terus
menggandeng tangan Ayu menuju London Eye yang terlihat begitu indah di tempat
tersebut.
“Ay, katanya kalau kita ciuman
di titik tertinggi London Eye ... cinta kita akan abadi. Coba, yuk!” ajak
Nanda.
“Itu mitos, Nan.”
“Mitos itu apa? Akan menjadi
kenyataan kalau kita mempercayainya. So, kita percaya saja supaya bisa jadi
kenyataan!” sahut Nanda. Ia terus menarik lengan Ayu dan melangkah mendekati
petugas yang berjaga di tempat tersebut. Ia langsung menunjukkan tiket
reservasi yang sudah dia pesan lebih dahulu lewat internet.
“Kamu sudah merencanakan pergi
ke sini?” tanya Ayu.
Nanda mengangguk sambil
tersenyum manis. “Tempat-tempat romantis di kota ini harus reservasi dulu.
Kalau tidak, kita bisa ngantri sampai pagi.”
Ayu tersenyum sambil
menengadahkan kepala menatap keindahan London Eye yang begitu terkenal. Tiga
tahun tinggal di kota ini, ia tidak pernah menginjakkan kakinya di London Eye.
Hanya bisa menikmati dari kejauhan karena pesona landmark ini memang tidak bisa
diragukan lagi.
“Naik, yuk!” ajak Nanda sambil
merangkul pundak Ayu dan mengajaknya masuk ke dalam kapsul yang sudah ia pesan
sebelumnya.
“Kamu booking satu
kapsul sendirian?” tanya Ayu saat pintu kapsul itu sudah tertutup dan mulai
bergerak perlahan.
Nanda mengangguk sambil
tersenyum.
“Ini mahal, Nan. Kamu lagi
pamer kekayaan di depanku?” tanya Ayu.
Nanda tertawa kecil. “Aku rasa
... uangmu jauh lebih banyak dariku.”
“Kalau aku banyak uang, aku
tidak akan tinggal di flat kecil. Nggak akan bekerja keras setiap hari
untuk meningkatkan diriku,” sahut Ayu. Ia menyentuh kaca kapsul yang ada di
hadapannya dan mulai menikmati indahnya kota London saat kapsul itu bergerak
semakin meninggi.
“Kamu ini puteri keturunan
keraton. Mau tinggal di hotel mewah setiap hari pun bisa. Kamu hanya tidak
pernah menggunakan fasilitas sebagai puteri sultan. Sejak masih sekolah, kamu
selalu tampil sederhana, cupu dan kampungan. Andai namamu tidak di sekolah
tidak menggunakan gelar keraton, tidak ada yang tahu kalau kamu keturunan
bangsawan,” ucap Nanda sambil beringsut ke belakang Ayu.
“Kamu terlalu sederhana di
luar. Hingga bisa menipu semua mata lelaki yang hanya bisa memandang wanita
dari fisiknya saja,” bisik Nanda sambil melingkarkan lengannya di perut Ayu.
“Lelaki itu kamu?” tanya Ayu.
“Yeah. Aku akui ... aku menjadi
bagian lelaki itu di masa lalu. Tapi setelah dewasa dan menjalani banyak hal.
Aku sadar ... yang dibutuhkan seorang pria bukan sekedar cantik di fisik, tapi
juga cantik di otak dan hatinya,” jawab Nanda sambil meletakkan dagunya di
pundak Ayu.
“Aku nggak cantik semuanya,”
sahut Ayu sambil menyandarkan tubuhnya di dada Nanda.
“Iya juga, ya? Tapi kamu
satu-satunya wanita yang berhasil mengacaukan hidupku. Bikin aku kesel, bikin
sedih, bikin aku nggak paham sama diriku sendiri, bikin aku menderita, bikin
aku menyesal seumur hidupku dan bikin aku nggak bisa ngelupain kamu,” ucap
Nanda.
Ayu tertawa kecil sambil
menatap indahnya malam kota London yang begitu gemerlap. “Kamu baru sadar kalau
aku sudah berhasil menguasai saraf-saraf otakmu?”
Nanda mengangguk. Ia memutar
pundak Ayu agar menghadap ke arahnya. “Terima kasih sudah mengajariku banyak
hal. Terima kasih sudah memberikan hukuman yang begitu fantastis untukku.
Terima kasih sudah pernah menjadi ibu untuk Axel. Bisakah kamu tetap jadi ibu
untuk anak-anakku berikutnya?”
Ayu menatap wajah Nanda dengan
perasaan tak karuan. Ia merasa ada kupu-kupu bercahaya yang keluar dari dadanya
dan berterbangan di sekitarnya. Membuat wajah Nanda yang tertimpa cahaya
sesekali, menjadi terlihat begitu memesona.
Nanda tersenyum sambil
mendekatkan wajahnya ke wajah Ayu. Ia menangkup pipi Ayu yang begitu lembut dan
menikmati tatapan matanya yang begitu meneduhkan. Tepat di titik tertinggi
London Eye, ia membenamkan bibirnya ke bibir Ayu secara perlahan.
Ayu memejamkan matanya perlahan
saat Nanda menyentuh lembut bibirnya. “Tuhan ... jika takdirku memang
bersamanya, jadikanlah aku wanita yang mampu menerima semua keburukannya!
Jadikanlah aku wanita yang mampu membunuh keegoisan dalam diri ini! Jadikanlah
aku wanita yang selalu dicintai! Jadikanlah aku satu-satunya wanita yang jadi
tempat untuk melepas lelahnya.”
“Tuhan ... jadikanlah wanita
ini milikku selamanya ...! Hanya milikku,” bisik Nanda dalam hati
sembari mengulum lembut bibir Ayu dan memeluknya penuh kehangatan.
((Bersambung...))
Kalian bisa bayangin gimana
romantisnya London Eye di malam hari?