Wednesday, August 17, 2022

Bab 44 - Saran dari Okky dan Nadine

 


Ayu menghela napas lega ketika Nanda sudah keluar dari dalam flat rumah yang ia tinggali. “Thank you, Blaize! Aku nggak tahu gimana cara mengusir dia dari sini.”

“He is your husband?” tanya Blaize sambil tersenyum.

Ayu mengangguk. “My ex husband.”

“How I say in Bahasa?”

“Mantan,” jawab Ayu sambil tertawa.

“Owh ... mantan? Itu seperti makanan yang kamu berikan untukku waktu itu ...”

“Itu ketan, Blaize,” sahut Ayu meralat.

“Oh. Different?” tanya Blaize sambil menatap wajah Ayu.

“Yeah.” Ayu mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan menyiapkan masakannya.

“Still love him?” tanya Blaize sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggeleng. Bukan ingin mengatakan tidak, tapi ingin mengatakan kalau ia juga tidak tahu dengan perasaannya sendiri.

“Jika kamu tidak mencintainya, kamu tidak akan terganggu dengan kehadirannya. Sama seperti aku saat ini yang ada di dekatmu,” tutur Blaize sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menghela napas. “Aku bingung, Blaize. Terlalu banyak rasa sakit saat aku bersama dia. Juga terlalu banyak hal sakit yang tidak bisa aku lupakan di masa lalu kami.”

“Roro ... love is about fight. You have to love bravely. Kamu pernah mengatakan kalau kamu tertusuk pisau karena menyelamatkan dia. If you never love him, you never give your blood to him.”

“Itu hanya sebatas rasa kemanusiaan. Bukan cinta,” jawab Ayu sambil menyusun masakannya di atas meja. Selama tiga tahun ini ... Blaize adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana kehidupan masa lalunya. Profesi Blaize yang juga sebagai penulis buku fiksi, membuat mereka sering bersama di perpustakaan dan bertukar cerita mengenai banyak hal yang mereka temui.

“Tapi takdirmu selalu tertuju ke sana. Kamu ingin melawan takdirmu dengan pergi jauh. Tapi takdir itu tetap mengejarmu. How?”

Ayu menghela napas. “Entahlah, Blaize. Ganti topik pembicaraan saja! Aku tidak ingin membicarakan dia. Breakfast, yuk!”

Blaize segera melepas apron di tubuhnya. Ia duduk di meja makan mungil ruangan tersebut den bercerita banyak hal tentang apa yang akan mereka tuliskan untuk masa depan.

 

...

 

Sementara itu ...

Nanda melangkahkan kakinya tak bersemangat menyusuri pedestrian kota London. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah mengetahui kalau Ayu memiliki kekasih di kota ini. Harus merebutnya kembali atau merelakannya bahagia bersama orang lain?

Tiiin ...!

Suara klakson mobil, membuyarkan lamunan Nanda.

“Nanda, ya?”

Nanda langsung menoleh ke arah mobil sport yang sudah berhenti di dekatnya. “Rocky? Nadine? Kalian di sini?”

“He-em. Lagi liburan. Kamu ngapain di sini?” tanya Rocky.

“Jalan-jalan aja,” jawab Nanda.

“Kerja?” tanya Rocky.

Nanda mengangguk.

“Dia lagi ngejar Roro Ayu lagi,” bisik Nadine di telinga Rocky.

“Eh!? Tahu dari mana?”

“Roro Ayu tinggal di sekitar sini. Dia di sini, pasti nyari Roro Ayu,”  jawab Nadine.

“Oh.” Rocky manggut-manggut dan menoleh ke arah Nanda. “Kebetulan ketemu di sini. Ngopi, yuk!” ajaknya.

“Ngopi?”

“He-em.” Rocky mengangguk dan menoleh ke arah coffee shop yang ada di seberang mereka. “Aku parkir mobil dulu. Kita ngopi di sana aja. Gimana?”

“Mmh.”

“Kamu lagi ngejar cewek ‘kan? Mau dapet tips dari aku atau nggak?” tanya Rocky sambil mengerdipkan matanya.

“Boleh, deh.” Nanda mengangguk setuju. Sebab, ia juga sudah tak punya cara mendapatkan Roro Ayu kembali.

Tak berapa lama, Nanda, Rocky dan Nadine sudah duduk bersama di satu kafe yang ada di sana.

“Kalian ini lagi honeymoon? Udah nikah?” tanya Nanda sambil menatap Rocky dan Nadine. “Aku nggak dapet undangan pernikahan dari kalian.”

Rocky dan Nadine saling pandang dan tersenyum.

“Kami ini friend, Nan.”

“Friendzone?” tanya Nanda.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Nadine sambil tertawa kecil.

“Kalian happy dengan hubungan friendzone seperti ini?” tanya Nanda.

Rocky mengangguk. “Kami lebih bebas aja kalau temenan. But, kami punya komitmen untuk menikah dalam dua tahun ke depan.”

“Itu mah sama aja kalian pacaran, Njir!” sahut Nanda kesal.

“Hahaha. Kami nggak pacaran. Udah lewat masa-masa itu,” tutur Rocky.

“Kami udah tunangan,” tutur Nadine sambil menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jarinya.

Nanda manggut-manggut. “Selamat ya buat kalian!”

Rocky dan Nadine mengangguk sambil tersenyum bahagia.

“Kamu sendiri gimana? Gagal mempertahankan rumah tanggamu karena mempertahankan perusahaan keluarga?” tanya Rocky sambil menahan tawa.

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tidak tahu harus menjawab seperti apa.

“Sekarang, kamu lagi ngejar Roro Ayu?” tanya Nadine.

“Kamu tahu dari mana? Dia cerita ke kamu?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Nadine.

Nadine menggeleng. “Dia belum cerita kalau ada kamu di kota ini. But, Roro Ayu tinggal di sekitar sini ‘kan? Kami pernah ketemu sama dia setahun lalu waktu kami ada acara di kota ini.”

Nanda manggut-manggut tanda mengerti. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap serius ke arah Nadine. “Dia beneran sudah punya pacar di kota ini?”

Nadine tertawa mendengar pertanyaan Nanda.

“Kenapa ketawa?”

“Wanita yang menghabiskan waktunya di perpustakaan sepanjang hari dan sibuk menulis jurnal, punya waktu buat pacaran?” sahut Nadine tanpa bisa menghentikan tawanya.

“Dia punya pacar, Nad. Aku baru ketemu sama pacar dia tadi pagi. Ada di rumah Roro Ayu dan mereka masak bareng. Ngeselin banget!” sahut Nanda sambil mendengus kesal.

“Pacar? Siapa? Blaize?” tanya Nadine.

“Kamu kenal?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Nadine.

Nadine tertawa kecil sembari memutar kepalanya ke arah meja counter kafe tersebut. “See that girl!” pintanya sambil menunjuk wanita berambut blonde yang terlihat sedang mengatur karyawan di sana.

Nanda mengangguk serius. “Apa hubungannya sama Ayu?”

“Dia pemilik kafe ini dan ... calon istrinya Blaize.”

“Kamu kenal?”

“Nggak kenal. Tapi tahu karena terkadang aku sama Ayu cerita banyak hal saat kami ada waktu luang untuk video call. Yang aku tahu, wanita itu namanya Catriona. Nama Rion Cafe ini juga diambil dari nama dia. Ayu sering kerja part time di kafe ini dan mereka punya hubungan baik. Oh ya, Ayu juga ngajar Bahasa Indonesia di sini, loh. Jadi, Blaize dan Rion juga belajar Bahasa Indonesia dari dia,” jelas Nadine sambil tersenyum.

Rocky menahan tawa mendengar penjelasan Nadine. “Nan, kamu langsung percaya gitu aja sama Roro Ayu tanpa menyelidikinya terlebih dahulu?”

“Nggak kepikiran, Ky. Aku percaya gitu aja dan pikiranku langsung kacau,” jawab Nanda lemas.

“Cowok itu nggak boleh gampang nyerah. Kalau aku ... waktu Nadine bilang dia punya pacar, aku pepetin terus tuh cowok. Siapa aja cowok yang deket sama Nadine, pasti aku deketin juga. Kalau sampai dia beneran suka sama Nadine, aku kasih tahu ke dia kalau Nadine itu punyaku dan nggak boleh ada yang deketin dia,” tutur Rocky.

Nadine mengernyitkan dahi. “Semua cowok yang deketin aku, tiba-tiba menjauh karena kamu, hah!?”

Rocky terkekeh mendengar pertanyaan Nadine. “Sorry ..! Aku takut kehilangan peliharaan lucu kayak kamu,” ucapnya sambil merangkul tubuh Nadine.

“Apa itu nggak terlalu possessive, Ky?” tanya Nanda. “Aku takut, Ayu malah nggak nyaman sama aku.”

“Eits, jangan salah! Cewek itu lebih suka di-possessive-in. Meski mulut mereka ngomel dan mencak-mencak, tapi mereka akan selalu kangen loh sama posesifnya cowok. Cewek itu akan merasa bahagia kalau dia merasa dimiliki, dijaga dengan baik dan dihargai. Lu cara posesifnya yang elegan dan berkelas, dong! Jangan payah!” sahut Rocky.

“Caranya?”

Rocky langsung mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda. Ia menatap serius ke arah Nanda. “Kamu mau tahu?”

Nanda mengangguk.

“Jangan menjauh dari dia meski hanya semenit saja! Pahami benar-benar apa mau dia saat kamu nggak ada di sisinya! Cewek yang cinta sama kita, nggak akan tega lihat kita kesulitan. Mereka lebih memilih berbohong asal kita bisa bahagia dan tidak menderita. Kalau niat mau balikan sama Roro Ayu, jangan menyerah cuma karena satu pria di samping dia. Fight, dong! Yang suka sama Nadine juga banyak. Tapi aku ajak fight satu per satu sampai aku bisa miliki dia. Martabat dan harga diri laki-laki itu terletak dari bagaimana dia memperjuangkan dan mempertahankan apa yang akan menjadi masa depannya,” tutur Rocky panjang lebar.

Nanda terdiam sejenak. Ia langsung bangkit dari kursi dan melangkah pergi. “Bayarin kopi aku, ya! Aku akan ganti setelah aku berhasil bawa Roro Ayu balik ke Indonesia,” pintanya.

“Eh!?” Rocky melongo saat Nanda tiba-tiba pergi begitu saja dari hadapannya. “Itu maksudnya ... dia nggak bakal ganti uangku kalau nggak berhasil bawa Roro Ayu ke Indonesia?”

“Nggak usah diributin! Cuma secangkir kopi doang,” pinta Nadine.

Rocky tertawa kecil. “Kasihan juga sama anak itu. Berhadapan sama keluarga keraton emang susah banget. Bunda sama Ayah juga sampe pusing bantu Oom Andre waktu itu. Meski bisa meringankan hukuman penjara untuk Nanda, tapi nggak bisa bikin dia bener-bener lolos dari hukuman. Yang susah itu hukum adat mereka. Perasaan, Satwika nggak gini-gini amat.”

Nadine tertawa kecil. “Satwika itu beda sama Roro Ayu. Meski keturunan bangsawan, tapi Satwika bukan garis keturunan langsung di keraton kesultanan. Sedangkan Ayu ... dia sudah punya gelar Raden Roro sejak lahir dan dia memang puteri keraton. Mana bisa kamu bandingkan.”

Rocky tertawa kecil. “Iya juga, ya?” Ia mengangguk-anggukkan kepala sembari menatap tubuh Nanda yang semakin menjauh dan menghilang di balik simpangan jalan yang ada di sana. Ia harap, Nanda bisa memperjuangkan kembali masa depannya dan bundanya tidak perlu ikut pusing memikirkan kehidupan salah satu sahabatnya.

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah mau sabar menunggu cerita dari author!

Mohon maaf kalau terlambat update karena author juga butuh refreshing buat nyari inspirasi dan ide-ide baru di kala mentok. Hehehe.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 43 - Harapan Besar yang Sirna

 


Ayu mengerjapkan mata saat sinar matahari masuk lewat-lewat celah jendela dan menimpa wajahnya. Telapak tangannya menyentuh sofa yang ia tiduri yang terasa sangat nyaman, tak seperti biasanya.

Ayu meraba kain di bawahnya yang terasa berbeda dan terasa seperti tubuh seseorang. Ia melebarkan kelopak mata saat menyadari sesuatu. Dengan cepat, ia menengadahkan kepala. Ia menelan saliva dengan susah payah sambil bangkit perlahan dari pangkuan Nanda.

“Stupid!” umpat Ayu dalam hati sambil menepuk keningnya sendiri. “Kenapa aku bisa tidur di pangkuan dia?”

Ayu terdiam saat melihat wajah Nanda yang tertidur pulas di hadapannya. Ia tersenyum dan mendekatkan wajahnya, memperhatikan guratan wajah pria yang sudah tidak pernah ia temui selama tiga tahun belakangan ini. Tapi bayangan wajahnya selalu menjadi kawan menikmati malam-malamnya yang sepi.

Ayu menitikan air mata sambil menyentuh lembut pipi Nanda. “Nan, ratusan hari aku mencoba mengusir bayanganmu dan aku selalu gagal. Aku benar-benar tidak tahu mengapa begitu sulit menepiskanmu. Hatiku yang terlalu benci atau aku yang terlalu takut mencintai lagi?” batinnya.

Nanda mengerjapkan mata saat ia merasakan pipinya disentuh oleh seseorang.

Ayu buru-buru menarik tangannya dari wajah Nanda dan bergegas melangkah pergi.

Nanda mengucek mata sembari memijat lehernya yang terasa sangat pegal. Ia membuka mata dan menatap televisi di depannya yang sudah mati dan sinar matahari telah masuk melalui celah-celah jendela rumah itu.

Nanda menyunggingkan senyum sembari merentangkan kedua tangan dengan tubuh meliuk saat menyadari kalau masih berada di dalam flat milik Ayu. Meski wanita itu tak mengajaknya bicara sama sekali. Tapi juga tidak mengusirnya pergi.

Nanda melangkah perlahan menghampiri pintu kamar Ayu dan mengetuk pintu kamar tersebut. “Ay ...!”

Hening.

“Ayu ...!” panggil Nanda lagi.

Hening.

“Ay, kenapa diam aja?” tanya Nanda sambil menempelkan daun telinganya ke daun pintu kamar Ayu.

“Ada apa?” tanya Ayu sambil membuka pintu kamar tersebut.

“E-eh.” Nanda langsung terjerembab ke lantai saat pintu yang sedang ia sandari tiba-tiba terbuka. Ia membelalakkan matanya saat ia melihat tubuh Ayu yang berdiri menjulang di atasnya dan hanya mengenakan bathrobe.

“Nanda ...! Kamu lihat apa, hah!?” seru Ayu sambil menjepitkan kedua tangannya, menutup miss v miliknya yang berada tepat di atas kepala Nanda. Ia segera memundurkan langkahnya agar pria itu tak melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.

“Ay, aku tidak menceraikanmu. Kita  masih suami istri ‘kan?” tanya Nanda. Ia malah menyilangkan kedua tangan di belakang kepala dan berbaring terlentang di lantai kamar Ayu. Ia menoleh ke arah Ayu yang sedang duduk di tepi ranjang tidurnya.

“Nggak! Pernikahan kita sudah dibatalkan,” sahut Ayu ketus.  “Kita bukan suami-istri!”

“Aku masih pegang buku pernikahan kita. Kartu ID aku juga statusnya nggak pernah ganti. Kita itu nggak bercerai, Ay. Keluargamu aja yang maksa buat pisahin kita,” ucap Nanda santai.

 “Mereka nggak maksa. Gugatan itu memang atas permintaanku sendiri,” tutur Ayu sambil menatap kesal ke arah Nanda.

Nanda terdiam sambil melipat satu kaki di atas lutua dan memainkannya dengan santai.

“Nan, bisa keluar? Aku mau ganti baju,” pinta Ayu.

“Biasanya kamu ganti baju tanpa aku harus keluar dari kamar.”

Ayu menghela napas sambil memutar bola matanya.

“Nan, kamu ini kenapa jadi muka tebal gini, sih?” tanya Ayu sambil menatap Nanda yang berbaring di lantai.

“Kamu boleh ngatain aku apa aja asal kamu izinkan aku tinggal di sini,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

Ayu memutar bola matanya. Ia memeluk beberapa lembar pakaian ganti miliknya dan bergegas masuk kembali ke dalam kamar mandi. Ia terpaksa mengganti pakaiannya di sana dan bergegas kembali.

“Nan ...!” panggil Ayu saat melihat Nanda masih berbaring terlentang di dekat pintu kamarnya. Pria itu malah memejamkan mata dan tidur di sana tanpa beban.

“Nanda ...!” Ayu meninggikan nada suaranya.

Nanda masih bergeming.

Ayu segera menghampiri pria itu. “Nan ...!” panggilnya sembari menggoyang-goyangkan tubuh Nanda.

“Tidur lagi?” gumam Ayu sambil menatap wajah Nanda yang tertidur pulas. “Bisa-bisanya dia ini tidur di lantai. Untung ada karpetnya.” Ia menarik selimut dari atas kasurnya dan menutupkan ke tubuh Nanda.

Ayu  melangkah perlahan melewati tubuh Nanda dan bergegas keluar dari rumah tersebut.

Nanda membuka mata ketika Ayu sudah keluar dari rumah tersebut. Ia tersenyum menatap selimut yang menutupi tubuhnya. “Kamu ketus sama aku, tapi masih ingat untuk memperhatikanku, Ay.”

Nanda segera bangkit dari lantai dan bermaksud untuk kembali ke flat miliknya yang bersebelahan dengan flat milik Ayu. Belum sampai keluar, ia mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. “Wait! Ayu ini ‘kan kelewat cerdas. Kalau aku balik ke flat aku untuk mandi dan ganti pakaian. Aku bakal ketahuan kalau aku bohongi dia. Bisa makin kacau dunia persilatan. Lebih baik, aku tetep di sini. Pura-pura jadi gelandangan di sini,” ucapnya.

Nanda segera berbalik dan melangkah masuk kembali ke dalam kamar Ayu. Ia memperhatikan detail kamar wanita itu. Tidak ada yang aneh dari kamar itu. Meja dan rak di sana dipenuhi dengan buku.

Mata Nanda tertuju pada buku diary yang ada di atas meja. Ia meraih buku itu dan membukanya.

Halaman pertama buku itu dibuka dengan potret USG yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di bawahnya, tertulis jelas kalimat “The New World” yang membuat Nanda menitikan air mata.

Halaman berikutnya, ada sebuah ilustrasi foto wajahnya, wajah Ayu dan seorang anak kecil dengan tulisan “Lovely Family”. Di baliknya, ada banyak kata-kata harapan yang ditulis Roro Ayu tiga tahun silam saat ia masih mengandung anaknya.

Jika Tuhan beriku kesempatan ... aku ingin menjadi seorang istri yang dicintai ... menjadi seorang ibu yang dicintai ... menjadi seorang wanita yang dicintai dan berharga.

 Nanda terdiam saat membaca kalimat terakhir yang tertulis di buku itu. Ia menutup buku diary tersebut dan tersenyum penuh harapan. Meski terus menolak kehadirannya, tapi Ayu masih memiliki sebuah harapan untuk menjadi wanita yang dicintai. Dan kalimat-kalimat itu membuatnya mengerti bahwa wanita itu ingin dicintai oleh dirinya yang dulu tidak pernah melihat keberadaan wanita itu, apalagi menganggapnya berharga.

“Ay, selama kamu tidak mengusirku pergi. Aku masih memiliki harapan untuk membawamu kembali ke sisiku. Kamu boleh ucapkan semua kata kebencian yang ada di dunia ini dan aku akan tetap mencintaimu,” tutur Nanda sambil tersenyum menatap potret Ayu yang tersenyum lebar dengan pakaian toga dan latar Melbourne University.

Beberapa menit kemudian, pintu rumah Ayu terdengar terbuka. Nanda buru-buru keluar dari kamar milik Ayu dan duduk di sofa ruang tamu sambil menonton televisi. “Dari mana?” tanya Nanda sambil menoleh ke arah pintu. “Ini weekend. Kamu nggak sekolah ‘kan?”

Ayu tersenyum sambil membuka sepatu dan menggantinya dengan sandal. “Dari pasar,” jawab Ayu sambil tersenyum manis. Tangannya memeluk kantong kertas berisi sayur-sayuran.

Nanda tersenyum lebar. Ia bangkit dari sofa dan berniat meraih kantong belanjaan dari tangan Ayu. Namun, gerakan tangannya terhenti saat melihat seorang pria berada di belakang wanita itu. Ia melongo menatap pria tampan berdarah Eropa dengan tubuh menjulang tinggi. Mungkin, tingginya sekitar seratus delapan puluh sentimeter dengan rambut cokelat dan bola mata warna biru keabu-abuan.

Ayu langsung tersenyum lebar melihat reaksi Nanda. “Nan, kenalin ... ini Blaize. Kakak Senior aku di kampus sekaligus pacarku.”

“Eh!? Pa-pa-ca-car?” Mata Nanda terus tertuju pada pria tampan yang ada di hadapannya itu.

Blaize langsung tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Hello ...! I’m Blaize. I’m Roro boyfriend. How do you do?”

Nanda tersenyum kecut sambil menyambut uluran tangan Blaize.

“Masuk, yuk!” ajak Roro sambil melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Blaize mengangguk. Ia segera masuk ke dalam rumah tersebut. Melewati tubuh Nanda begitu saja yang masih tertegun di sana.

Nanda mengerjapkan mata dan membuyarkan lamunannya. “Ay, dia beneran pacarmu?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis dan masuk ke pantry bersama Blaize. “Ini hari Minggu. Kami biasa menghabiskan waktu bersama saat hari libur.”

Nanda terdiam sambil berdiri menatap Ayu dan Blaize yang ada di sana. Blaize terus bergerak di dapur itu, seolah pria itu memang sudah hafal dengan letak barang-barang yang ada di dapur rumah Ayu.  

“Hari ini kita masak apa?” tanya Blaize dengan aksen British yang kental.

“Rendang.”

“Rendang? Oh, yeah. Rendang sangat terkenal. How to make it?”

Ayu tersenyum menatap Blaize sambil mengulurkan apron ke hadapan pria itu. “Masak rendang akan sangat lama. Tidak secepat masak nasi goreng.”

“Oh ya? Are you hungry? Bagaimana kalau ... aku potongkan buah untukmu. Supaya kamu tidak kelarapan,” tutur Blaize sambil menatap wajah Ayu.

“Kelaparan, Blaize. Bukan kelarapan,” sahut Ayu sambil tertawa kecil membenahi kalimat Blaize.

“Ke-la-pa-ran?” Blaize berusaha meralat ucapannya sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia membantu Blaize mengenakan apron sambil melirik Nanda yang masih berdiri terdiam di sana.

Nanda terus menatap Ayu dan Blaize yang terlihat sangat akrab dan begitu mesra. Ia langsung membalikkan tubuhnya, menundukkan kepala sambil melangkah tak bersemangat. Ia segera keluar dari dalam flat milik Ayu dengan perasaan putus asa. Ia benar-benar tak menyangka kalau Ayu sudah memiliki seorang kekasih dan membuat harapannya yang tadi sangat besar, tiba-tiba sirna begitu saja.

 

 

((Bersambung...))

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf, karena ada problem ... kemarin nggak sempat nulis cerita ini!

Stay with me and together fall in love!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 42 - Sama-Sama Menderita

 


Nanda tersenyum sambil mengendus dua mangkuk mie instan yang ia buat. Ia tersenyum lebar sambil menggosok kedua telapak tangannya. Hawa di kota ini terlalu dingin untuk dia yang terbiasa tinggal di negara tropis.

“Nan, kamu buat dua porsi?” tanya Ayu sambil melangkah menghampiri Nanda.

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang baru saja keluar dari kamarnya sembari mengikat rambutnya asal-asalan. Wanita itu tak lagi mengenakan kacamata dan terlihat sangat cantik.

“Kamu bilang, cuma mau masakin aku doang. Terus pergi, kan? Pergi sana!” pinta Ayu sambil menarik mangkuk yang jaraknya berjauhan dan menjadikannya berhimpitan. Ia duduk di kursi sambil memeluk dua mangkuk mie yang dibuat oleh Nanda.

“Ay, aku juga laper. Aku seharian nyari kamu dan belum makan apa-apa. Kamu nggak kasihan sama aku?” tutur Nanda sambil memasang wajah memelas.

“Nggak percaya! Kamu masih kuat masakin aku, nggak mungkin nggak makan seharian,” sahut Ayu.

“Serius, Ay. Aku belum makan. Suer!” tutur Nanda lagi sambil mengacungkan dua jarinya.

“Kamu banyak duit. Beli makan di luar sana!” sahut Ayu ketus.

“Jam segini masih ada yang jualan?” tanya Nanda.

“Banyak restoran dua puluh empat jam,” sahut Ayu.

“Aku nggak punya uang Pound Sterling. Nggak bisa jajan di sini, Ay. Boleh pinjam uang kamu?” tanya Nanda sambil memainkan matanya.

Ayu memutar bola matanya. “Sejak kapan kamu jadi kayak gini?”

“Sejak kamu pergi ninggalin aku tanpa pesan,” jawab Nanda.

Ayu menatap kesal ke arah Nanda. “Pergi dari sini!” pintanya sambil bangkit dari kursi dan mendorong tubuh Nanda agar pergi dari sana.

“Ayu, apa nggak ada kesempatan lagi buat aku?” tanya Nanda. Ia berusaha keras agar tidak keluar dari flat milik Ayu meski hanya sejengkal saja.

“Nggak ada!” tegas Ayu sambil mendorong tubuh Nanda dengan susah payah.

“Ay, jangan usir aku! Aku bisa jadi gelandangan di kota ini. Aku nggak punya uang. Pinjamkan aku uang!” pinta Nanda berdalih. Ia ingin mengatakan semua kalimat yang ada di dunia ini selama Ayu masih mau mendengarkannya dan membuatnya tetap tinggal di sisi wanita itu.

“Oke. Aku kasih kamu uang. Tapi setelahnya, kamu pergi dari sini!” pinta Ayu. Ia bergegas masuk ke kamar.

Nanda bergegas mengikuti langkah Ayu ke dalam kamar.

“Kamu!? Ngapain ikut masuk ke dalam sini? Kamu ini mesumnya nggak hilang-hilang, ya!?” seru Ayu sambil menatap kesal ke arah Nanda.

“Keluar dari sini! KEL—” Ucapan Ayu terhenti saat telapak tangan Nanda tiba-tiba membungkam mulutnya.

“Jangan teriak-teriak, Ay! Ini sudah tengah malam dan ganggu tetangga. Flat di sini cuma dibatasi dinding ‘kan?” pinta Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

“Kamu ...!?” dengus Ayu dalam hati sambil berusaha melepaskan tangan Nanda dari wajahnya. Ia berusaha memberontak agar Nanda segera melepaskannya. Namun, kekuatan yang ia miliki tak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki pria itu.

Nanda terus menekan tangannya agar Ayu tidak berteriak di tengah malam seperti ini hingga membuat kedua kaki Ayu terbentur oleh ranjang tidurnya dan membuat wanita itu terjatuh ke atas kasur. Tubuh Nanda pun ikut jatuh tepat di atas tubuh wanita itu.

Ayu menahan napas ketika wajah Nanda berada tepat di atasnya. Mata pria itu seolah mengunci tubuhnya hingga ia tidak bisa bergerak dan kesulitan untuk bernapas.

Jemari tangan Ayu mencengkeram selimut yang ada di bawahnya dan napasnya begitu memburu.

Nanda tersenyum dalam hati sambil melirik tangan Ayu yang mencengkeram selimutnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung membenamkan bibirnya di bibir wanita itu.

Ayu melebarkan kelopak mata saat Nanda tiba-tiba menciumnya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh Nanda agar menyingkir dari tubuhnya. Tapi pria itu malah mengecupnya semakin dalam hingga membuat aliran darahnya berjalan tak karuan. Otaknya tiba-tiba kacau dan ia malah menikmati bibir Nanda yang begitu hangat mengulumnya.

“Ergh!” Ayu langsung mendorong dada Nanda dengan kedua telapak tangannya dan membuang pandangannya ke samping. Dadanya terlihat tegas bergerak naik turun seiring dengan perasaannya yang tak karuan ketika Nanda menyentuhnya.

“You still love me?” bisik Nanda sambil menatap wajah Ayu. Ia mengusap lembut rambut wanita itu dengan siku bertumpu pada kasur yang ada di sebelah pundak Ayu.

Ayu bergeming. Kelopak matanya memanas dan semua rasa sakit tiga tahun lalu, membayangi pelupuk matanya.

“I’m sorry ...! Maafin aku yang dulu! Bisakah kamu kasih aku kesempatan sekali lagi?” bisik Nanda sambil menatap wajah Ayu yang ada di bawahnya.

Ayu masih bergeming dan enggan menatap wajah Nanda yang ada di atasnya. Tapi ia bisa merasakan embusan napas Nanda yang jatuh tepat di telinganya.

“Ay ... meski pengadilan telah menyetujui pembatalan pernikahan kita. Aku tetap menganggapmu sebagai istriku. Bisakah kita berbaikan dan kembali seperti dulu?” tanya Nanda lagi.

Ayu memejamkan matanya sambil berpikir. Sudah begitu lama dan begitu jauh ia pergi meninggalkan Nanda. Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba ada di hadapannya dan mengatakan kalau ia masih istrinya? Tak cukupkah pria ini menghancurkan seluruh hidupnya tiga tahun lalu?

“Ay, give me one word! Aku masih ingin memperjuangkan pernikahan kita,” ucap Nanda sambil bangkit dari tubuh Ayu.

Ayu menghela napas lega saat Nanda sudah beranjak dari tubuhnya.

Nanda tersenyum kecil sambil mengeluarkan buku kecil dari saku celananya. “Ini buku pernikahan kita. Meski milikmu sudah diambil pengadilan, tapi buku yang ini masih ada di tanganku. Aku nggak pernah melepaskan buku ini, Ay,” ucapnya sambil menunjukkan buku nikahnya.

Ayu langsung menatap buku nikah yang dipegang oleh Nanda. Begitu kuatnya pria  brengsek ini mengikat hatinya hingga ia tidak sanggup melepaskan diri dan berlari selamanya.

Nanda menatap Ayu dengan mata berkaca-kaca. “Ay, pernikahan kita dibatalkan oleh keluargamu saat kamu dalam keadaan koma. Kamu dibawa berobat ke luar negeri tanpa sepengetahuanku. Saat hal itu terjadi, aku sedang melaksanakan upacara pemakaman anak kita. Aku berhari-hari berlutut di depan keluargamu, memohon agar mereka memaafkan aku dan memberi aku kesempatan menjaga dan merawatmu. Tapi mereka malah masukin aku ke penjara dan mengambil alih saham keluargaku,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Ayu terdiam mendengar ucapan Nanda. Ia langsung bangkit dari kasur dan duduk menatap wajah Nanda. Perasaannya semakin tak karuan saat melihat air mata pria itu. Ia tidak ingin percaya pada ucapan Nanda. Tapi mata pria itu seolah menyiratkan sebuah kebenaran yang selama ini tidak ia ketahui.

“Di sini yang kejam itu aku atau kamu, Ay? Aku tahu semuanya salahku. Aku mengakui semua itu dan aku berusaha bertanggung jawab. Aku berusaha menebus semua kesalahanku. Tapi kamu dan keluargamu ... begitu kejam dan sama sekali tidak peduli bagaimana penderitaanku selama tiga tahun ini,” tutur Nanda sambil menatap Ayu penuh luka.

Ayu tertegun sambil menatap wajah Nanda. Ia tidak tahu bagaimana penderitaan Nanda saat ini. Nanda juga tidak tahu bagaimana penderitaan yang ia alami saat ini. Mereka berdua sama-sama menderita karena keegoisan masing-masing. Karena keegoisan keluarga Ayu. Karena martabatnya yang begitu tinggi sebagai keturunan keraton kesultanan. Karena ia tidak bisa berbesar hati memaafkan kesalahan Nanda.

Andai ia bisa seperti wanita-wanita lain, mungkin ia tidak akan membuat lebih banyak orang menderita karenanya. Ia tidak akan membuat keluarganya dan keluarga Nanda ikut menjadi korban ketidakberdayaannya.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!”

Ayu menutup wajah dengan telapak tangannya seiring dengan tangisnya yang pecah seketika. Ia benar-benar menyesal. Mengapa ia tidak bisa menanggung rasa sakit dan penderitaannya seorang diri? Andai ia bisa, tentu hanya dia yang akan menderita, tidak ada orang lain lagi.

Nanda langsung merengkuh kepala Ayu ke dalam pelukannya. “Ay, kita sama-sama menderita. Bisakah kita saling memaafkan dan membuka pintu baru untuk masa depan kita? Apa pun syaratnya, akan aku penuhi asal kamu bisa memaafkan dan kembali ke sisiku lagi,” pintanya lirih.

Ayu tak bisa berkata-kata. Ia benar-benar tidak mengetahui kalau ayahnya begitu kejam. Bahkan tidak memberitahukan perihal ia yang dibawa ke luar negeri bertepatan dengan pemakaman puteri mereka. Ayu terlalu mempercayai ayahnya hingga ia memilih untuk pergi jauh dari sisi pria yang ternyata sedang memperjuangkannya hingga saat ini.

Nanda menangkup wajah Ayu dan menatap lekat mata itu. “Jangan sedih lagi, ya! Kamu laper ‘kan? Makan dulu mie-nya. Kalau udah dingin, nggak enak,” pintanya sembari mengusap air mata yang membasahi pipi Ayu.

Ayu mengangguk kecil. Ia melangkah menuju meja makan yang ada di dapurnya dan mulai menikmati semangkuk mie buatan Nanda tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Saat ini, ia tidak tahu bagaimana perasaannya sendiri. Ia tidak bisa menerima kehadiran Nanda yang begitu tiba-tiba, tapi juga tak bisa menolaknya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita dan selalu menghargai karya-karya author ...!

Semoga, tulisan-tulisanku bisa bermanfaat dan bisa memberikan pelajaran hidup yang berarti.

Tidak ada manusia yang tidak pernah menyesal dalam hidupnya. Yang harus kita perhatikan bukanlah penyesalannya, tapi apa yang akan kita lakukan setelah kata penyesalan itu.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 41 - Usaha Nanda

 


Ayu menguap beberapa kali. Ia melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 00.30 waktu London. Sepertinya, dunia begitu cepat berputar hingga ia tidak menyadari kalau sudah berada di perpustakaan selarut ini.

Ayu segera memilih menu shut down di laptopnya dan membereskan semua buku yang berhambur di sisinya. Ia menoleh ke deretan meja yang ada di sisi kirinya. Biasanya, perpustakaan itu tetap ramai meski sudah tengah malam. Tapi kali ini, hanya ada tiga orang pria yang duduk berjauhan. Mungkin, mereka memang tidak saling mengenal.

Di sisi kirinya, ia mengetahui kalau ada seorang pria yang meminta tanda tangannya dan sedang asyik membaca buku yang ia tulis. Roro Ayu tersenyum menatap pria yang menutup wajahnya dengan buku karyanya itu. Ia tidak tahu itu mahasiswa mana. Mungkin, mahasiswa baru yang sedang belajar tentang ilmu bisnis.

Ayu menghela napas. Ia segera mengambil buku-buku di tangannya dan melangkah menuju rak, mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya. Ia lebih senang menggunakan buku itu di perpustakaan daripada harus membawanya pulang.

Nanda memutar kepalanya, mengikuti tubuh Ayu yang sedang menyusun buku di rak. Ia ingin menyapa wanita itu, tapi jantungnya tidak bisa ia kendalikan dan membuatnya sangat gugup.

“Nan, kamu ini umur berapa? Sekarang udah tiga puluh tahun. Masa masih nervous kayak anak SMA? Mantan juga banyak. Nggak segininya deketin cewek,” gumam Nanda dalam hati dengan gusar. Ia segera berbalik dan menutup wajahnya kembali begitu Ayu sudah selesai menyusun buku-bukunya.

Ayu melangkahkan kakinya lunglai sambil menghampiri mejanya kembali. Ia segera memasukkan laptopnya ke dalam tas.

Krucuk ... krucuk ... krucuk ...!

Ayu langsung memegangi perutnya yang keroncongan. “Huft! Terlalu asyik kencan sama buku. Sampai lupa kalau belum makan. Enaknya makan apa, ya?” gumamnya. Ia segera menarik tas ranselnya, mengenakannya dan melangkah keluar dari gedung perpustakaan tersebut.

Nanda buru-buru bangkit dari tempat duduk dan mengejar langkah Ayu.

Ayu menyadari kalau ada pria yang sedang menguntitnya setelah ia sampai beberapa meter dari flat yang ia tinggali. Ia mempercepat langkahnya dan pria di belakangnya juga ikut mempercepat langkahnya.

Ayu segera mengeluarkan parfume spray dari dalam tas ranselnya. Setiap hari, ia tidak pernah lupa mengisi botol parfume itu dengan cairan cabai dan lada untuk melindungi diri dari orang-orang nakal di luar sana.

Ayu semakin mempercepat langkahnya ketika pria yang ada di belakangnya semakin dekat ikut masuk ke dalam gerbang rumah yang ia tinggali. Ayu menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia langsung menyemprotkan cairan lada itu ke arah pria yang mengikutinya.

“AYU ...! INI APAAN!?” seru Nanda sambil menutup kedua matanya yang terkena semprotan Ayu.

“Ka-kamu ...!?” Ayu tertegun melihat wajah Nanda yang terpejam di hadapannya. Tubuhnya bergetar dan perasaannya tak karuan saat melihat pria itu berdiri di sana. “Nan-Nanda ...!?”

“Iya, aku Nanda!” sahut Nanda sambil mengucek kedua matanya yang terasa sangat perih, pedas, pedih dan tak karuan. “Aku nggak bisa lihat apa-apa. Kamu semprotin apa ke mataku?”

“Sorry ...! Sorry ...!” Ayu langsung merengkuh tubuh Nanda. “Aku bantu kamu bersihkan. Ikut aku!” pintanya sambil menarik lengan Nanda. Ia segera naik ke kamarnya yang berada di lantai empat dan membawa Nanda masuk ke sana.

“Duduk di sini!” pinta Ayu sambil mendudukkan Nanda di sofa ruangannya. Ia segera melepas ransel dan mengambil air putih dari dapurnya. Dengan cepat, ia menghampiri Nanda kembali.

Nanda menahan senyum sambil meringis menutup wajahnya. Untungnya, ia sigap hingga cairan yang disemprotkan Ayu itu tidak benar-benar mengenai matanya. Hanya saja, masih terasa pedas di bagian kulit sekitar matanya.

“Baring dulu ya, Nan!” pinta Ayu sambil membantu Nanda untuk berbaring di sofa tersebut. Ia membuka salah satu mata Nanda dan meneteskan air bersih ke mata pria itu. “Kenapa kamu bisa ada di sini?”

Nanda memicingkan mata menatap wajah Ayu yang sedang meniup perlahan matanya. “Aku ...”

Ayu membuka mata Nanda satu lagi dan meneteskan air bersih ke sana. Ia harap, ini bisa mengurangi rasa sakit di mata pria itu. “Coba buka matanya! Bisa lihat?”

Nanda membuka kedua matanya perlahan dan menggeleng.

“Sebentar. Aku carikan obat mata,” tutur Ayu sambil bangkit dari lantai. “Atau kita ke rumah sakit, sekarang?”

Nanda menyambar pergelangan tangan Ayu agar wanita itu tak beranjak dari sisinya. “Obat mata aja!”

Ayu mengangguk. Ia segera masuk ke kamar. Mencari obat mata yang pernah ia gunakan beberapa hari lalu. Setelah mendapatkannya, ia langsung menghampiri Nanda dan meneteskan obat mata itu perlahan ke mata Nanda.

Nanda terus menatap wajah Ayu yang sedang meniup lembut matanya. Bibir wanita itu benar-benar menggoda. Membuat hasratnya bangkit dan ingin melumat bibir merah jambu yang terpampang nyata di hadapannya itu.

Tanpa sadar, telapak tangan Nanda meraih tengkuk Ayu dan mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu.

“NANDA ...!?” seru Ayu sambil mendorong tubuh Nanda saat ia menyadari kalau pria itu ingin menciumnya. “Kamu pura-pura nggak lihat!? Mau aku semprot lagi, hah!?”

“Eits, jangan! Ampun ...! Ampun ...!” pinta Nanda sambil bangkit dari sofa dan menatap wajah Ayu.

“Kalau kamu baik-baik aja, keluar dari rumahku!” seru Ayu kesal.

“Ay, aku nggak punya tempat tinggal. Aku baru aja sampai di kota ini dan nggak tahu harus tinggal di mana. Aku boleh tinggal di sini? Malam ini aja!” pinta Nanda sambil memasang wajah paling melas yang ia miliki.

“Kamu ke sini pasti perjalanan bisnis ‘kan? Banyak hotel di kota ini. Check-in aja! Apa susahnya?” sahut Ayu.

Nanda meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bicara dengan wanita cerdas, memang sangat sulit. Ia tidak tahu lagi alasan yang tepat agar Ayu mengizinkannya tetap tinggal di sana.

“Aku ditinggal sama asistenku. Aku nggak bawa handphone, nggak bawa dompet. Cuma bawa diri aja. Aku nyasar ke sini dan kebetulan ketemu kamu.”

“Nggak usah berkilah! Kamu udah lama ada di perpustakaan dan ngikuti aku diam-diam ‘kan?” sahut Ayu sambil mendelik ke arah Nanda.

Nanda menghela napas dan bersandar lemas di sofa. “Kamu nggak kasihan sama aku? Mataku nggak bisa lihat jelas karena kamu semprot pakai cabai? Masih pedes ini, Ay,” ucapnya sambil menunjuk wajahnya sendiri.

Ayu menghela napas saat melihat kulit di sekitar mata Nanda memang memerah. Tapi ia enggan memelihara pria itu di dalam rumahnya dan ingin membuatnya segera pergi dari sana.

Nanda melipat kedua tangan di dada sambil memejamkan mata.

“Nanda, pergi!” pinta Ayu sambil menarik lengan Nanda agar bangkit dari sofa.

Nanda langsung menguatkan lengannya dan menarik tubuh Ayu hingga wanita itu terjatuh tepat di atas dadanya.

Ayu melebarkan kelopak matanya ketika bibirnya tepat menyentuh hidung Nanda yang bangir. “Nan, lepasin!”

Nanda malah mengunci tubuh Ayu dan menatap wajah wanita itu. “Tadi kamu khawatir banget sama aku. Sekarang, kamu malah ngusir aku pergi? Apa kamu memang begitu tidak bertanggung jawab?”

“Bodo amat!? Lepasin!” sahut Ayu sambil berusaha melepaskan lengan Nanda yang melingkar di pinggangnya.

“Aku nggak akan lepasin kamu lagi!” sahut Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Jangan ngimpi! Aku udah pacar di sini. Kalau kamu macam-macam, aku bakal bikin kamu babak belur lagi. Mau?” sahut Ayu kesal.

Nanda langsung melonggarkan kuncian tangannya begitu mendengar ucapan Ayu.

Ayu langsung bangkit dari atas tubuh Nanda. “Keluar dari sini! Kalau nggak, aku yang akan keluar!”

“Iya, iya. Aku keluar.” Nanda bangkit dari sofa dan enggan melangkah keluar dari flat mungil itu. Otaknya berputar cepat, mencari cara agar Ayu mau mengizinkannya tetap di sana.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil tersenyum manis.

Ayu membuang pandangannya. Ia enggan menatap wajah pria itu. Tidak tahu apa yang membawa pria itu datang ke kota ini. Sudah pergi begitu jauh, kenapa takdir tetap membuatnya bertemu dengan pria ini.

“Ay, kamu laper ‘kan? Aku akan masak buat kamu. Sebagai imbalannya, aku boleh tinggal di sini?” tanya Nanda.

“Kalau niat bantu, nggak usah minta imbalan!” sahut Ayu kesal. Ia segera mendorong pria itu agar keluar dari dalam rumahnya.

“Iya, iya. Aku nggak akan minta imbalan,” sahut Nanda dengan cepat sambil menahan pintu rumah itu agar tidak tertutup rapat. “Aku akan masakin buat kamu. Setelah itu, aku langsung pergi. Gimana?”

Ayu terdiam mendengar ucapan Nanda. Ia enggan bersama dengan pria ini. Tapi perutnya yang sudah sangat lapar dan tubuhnya yang sudah lelah, membuatnya menginginkan ada seseorang yang menyuguhkan makanan untuknya.

“Gimana?” tanya Nanda lagi dengan wajah sumringah saat menyadari kalau kekuatan tangan Ayu mulai melonggar. Ia tersenyum dan mendorong pintu itu perlahan agar tubuhnya bisa masuk kembali ke dalam rumah tersebut.

“Cuma masak, ya! Setelahnya, kamu harus pergi! Aku mau mandi,” pinta Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya.

“Siap!” Nanda mengangguk. Ia tersenyum sambil mengepalkan tangannya. “Yes!” serunya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Yuk, dukung Nanda yang savage bersatu lagi dengan Ayu!

Karen cinta ... selayaknya membuat diri kita menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 


Bab 40 - Find You, Love

 


Nanda tersenyum lega saat ia sudah menginjakkan kakinya di Heathrow Airport, kota London. Ia langsung memesan taksi menuju Tennis Court Road yang berjarak sekitar 69,5 miles dari Heathrow Airport.

Sepanjang perjalanan, ia sudah mendapatkan informasi bahwa Roro Ayu tinggal di sekitar Tennis Court Road yang hanya berjarak sekitar lima menit ke University of Cambridge Judge Business School. Ia meminta bantuan dari salah satu teman lama yang tinggal di kota tersebut untuk mendapatkan tempat tinggal yang dekat dengan Roro Ayu, ia bahkan rela membayar mahal untuk mengambil alih tempat tinggal orang lain.

“Excuse, Me ...! I’m Mr. Perdanakusuma,” sapa Nanda begitu ia sampai di salah satu private Hall of Residence yang ada di sana. Ia sudah memesan satu flat untuk ia tinggal, tepat di sebelah studio flat milik Roro Ayu.

“Oh. From Indonesia?” balas petugas yang berjaga.

Nanda mengangguk.

Petugas itu segera mengambil kunci dari dalam laci dan bangkit dari tempat duduknya. “Ayo, ikut saya!”

“You can speak Bahasa?” tanya Nanda.

Pria itu mengangguk. “Anda ingin tinggal di sebelah Miss Roro. Dia tidak hanya bersekolah di kota ini. Tapi dia juga mengajar Bahasa Indonesia dengan baik di sini. Kami semua senang berbicara Bahasa dengannya,” jawabnya dengan aksen British yang kental.

Nanda tersenyum sambil mengingat wajah Roro Ayu. Ia sangat merindukan ketenangan dan kelembutan wanita itu. Apa yang ia lakukan tiga tahun lalu adalah kesalahan yang harus ia tebus dan membuatnya benar-benar memperjuangkan wanita yang layak menjadi pendamping hidupnya di masa depan.

“It’s your flat,” ucap pria itu setelah ia sampai ke pintu ruangan yang ia tuju. Ia segera memberikan kunci kamar tersebut ke tangan Nanda. “Semoga Anda senang tinggal di sini!”

“Terima kasih ...!” ucap Nanda sambil tersenyum manis.

Pria itu mengangguk dan segera pergi meninggalkan Nanda.

Nanda menghela napas sambil menatap nomor yang ada di atas pintu. Ia beringsut ke pintu sebelahnya dan membaca nomor pintu. “Roro beneran tinggal di sini atau nggak, ya?” gumamnya.

Nanda segera kembali ke pintu kamarnya. Ia memasukkan kunci dan membuka pintu tersebut. Ruangan itu tidak begitu besar, tapi cukup nyaman untuk tinggal seorang diri.

“Gimana caranya aku bisa temui Ayu, ya?” gumam Nanda sambil mondar-mandir di dalam ruangan tersebut. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa dan memainkan ponselnya.

Tanpa ia sadari, ia menekan nomor ponsel Ayu dan langsung terhubung.

“Halo ...!”

Nanda buru-buru mematikan sambungan teleponnya begitu ia mendengar suara Ayu di balik sana. “Dia nggak ganti nomor telepon?” gumamnya tersentak. Sementara, ia sudah mengganti nomor ponselnya berkali-kali.

Nanda mengelus dada dan bernapas lega saat ia menyadari kalau nomor ponselnya tidak akan dikenali oleh Ayu.

Di tempat lain ...

Roro Ayu mengerutkan wajah ketika ia melihat panggilan telepon dari nomor yang tidak ia kenal dan menggunakan kode negara Indonesia.

“Siapa, ya?” gumamnya sambil mengusap layar ponsel, menjawab panggilan telepon tersebut.

“Halo ...!”

Tut ... tut ... tut ...!

“Ngeselin banget call spam kayak gini!” gerutu Ayu sambil menggeletakkan ponselnya ke atas meja. “Bodohnya aku juga, sih. Kenapa aku angkat aja telepon dari nomor nggak dikenal? Biasanya juga aku cuekin.”

Ayu kembali fokus dengan laptop dan buku-buku di hadapannya.

“Roro Ayu, I wanna go home. You wanna stay here?” tanya salah seorang wanita yang selalu bersama Ayu di kampus tersebut.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. “Be carefull!”

Wanita berdarah Eropa itu tersenyum sambil menggenggam salah satu pundak Ayu. “You’e a good hooker in the world. Everyday, always dating with books. No bored?”

“No,” jawab Ayu sambil menggelengkan kepala. “I love this books. It’s make me unhurt and doing better in my future,” ucapnya sambil tersenyum manis.

Wanita itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. “I trust your brain. But, don’t forget to love someone! You won’t be alone forever, right?”

Ayu meringis ke arah wanita berambut blonde tersebut. “Give me a reason to love someone!”

“Never be alone,” jawab wanita itu.

“Hahaha. I never be alone. I have family and many friends like you,” jawab Ayu sambil tertawa kecil.

Wanita blonde itu mengangguk-anggukkan kepala. “Yeah. You’re right. But, your parents wouldn’t live forever. Your friends aren’t always by your side,” ucapnya sambil menepukkan telapak tangannya dan melangkah pergi meninggalkan Ayu.

Ayu tersenyum sambil menahan perih di matanya. Sudah tiga tahun berlalu, ia masih tak bisa menghadapi takdirnya sendiri dan memilih berlari ke tempat yang jauh. Meski ia sudah bekerja keras meningkatkan dirinya, ia tetap merasa tidak layak di sisi Sonny. Juga tidak memiliki keberanian untuk kembali pada Nanda. Terlebih mencari cinta yang baru untuknya. Ia terlalu takut dan terlalu melindungi dirinya sendiri.

“Aku tidak siap disakiti lagi,” gumam Ayu lirih sambil merogoh rantai kalung yang ia sembunyikan di balik kaosnya. Ia menatap cincin pernikahannya dengan Nanda. Meski tidak pernah ada cinta di antara mereka, tapi mereka pernah memiliki hubungan yang begitu dekat. Mereka pernah tidur bersama, makan dalam satu meja, menggunakan kamar mandi yang sama dan semua aktivitas kesehariannya tak pernah lepas dari pria ini.

Dalam waktu yang begitu singkat, hubungannya dengan Nanda berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan. Meski sakit, ia tidak pernah bisa lupa setiap adegan yang ia lakukan saat hidup bersama pria itu. Kisah yang hanya terjalin dalam hitungan bulan, begitu sulit untuk ia lupakan dalam tiga tahun terakhir.

“Nanda is a bad man, bad place and bad future,” gumam Ayu sambil menatap cincin yang menjadi liontin di kalungnya.

Ia buru-buru memasukkan kalung itu kembali ke kaosnya dan mengalihkan perhatiannya kembali fokus dengan bahan-bahan tulisannya. Ia memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan itu hingga larut malam. Tidak ada hal lain yang bisa mengusir kesedihan dalam hatinya kecuali buku. Tak peduli dengan orang lain yang menganggapnya sebagai kutu buku. Ia malah bahagia karena baginya ... orang-orang yang mencintai buku adalah orang-orang kelas atas dan ekslusif. Membuatnya begitu bahagia bisa membaca banyak buku, berbagi ilmu dan cerita lewat buku-buku yang ia tulis.

 

***

 

Nanda mondar-mandir di dekat pintu pagar gedung yang ia sewa. Sesekali ia melirik arloji di tangannya. Lima menit lagi, tepat pukul 24:00 waktu setempat dan ia belum melihat sosok Roro Ayu kembali ke flat tempat tinggalnya.

“Ini Ayu kuliah apaan sih sampai tengah malam gini belum pulang? Beneran kuliah atau jalan sama cowok lain?” gumam Nanda makin gelisah.

“Mr. Perdana ... are you okay?” sapa penjaga gedung tersebut sambil menghampiri Nanda.

Nanda langsung memutar tubuhnya. “Eh!? I’m OK. Mmh ... I have any question about Roro Ayu.”

“Yeah. Ada apa?”

“Apakah dia sering pulang tengah malam?” tanya Nanda.

“Oh. Kamu sedang mengkhawatirkan dia?”

Nanda langsung menganggukkan kepalanya.

“Dia terbiasa pulang tengah malam. Terkadang sampai pagi hari. Jika kamu tidak sabar menemui dia, kamu bisa pergi ke perpustakaan.”

“Perpustakaan?”

Pria itu mengangguk. “Kamu datang sangat jauh dari Indonesia untuk mencari Miss Roro. Hubungan kalian pasti tidak biasa.”

“Bisa tunjukkan di mana perpustakaannya?”  pinta Nanda.

Pria itu mengangguk. Ia segera menunjuk sebuah gedung yang bisa terlihat dari sana dan memberikan petunjuk untuk pergi ke sana.

Nanda tersenyum lega. Ia masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sesuatu dan bergegas pergi mencari keberadaan Ayu ke perpustakaan. Ia harap, Ayu bisa menerima kembali dan membawa wanita itu pulang bersamanya. Ia terus berlari-lari kecil sembari mengumpulkan banyak kekuatan untuk berhadapan langsung dengan wanita yang telah ia hancurkan hidupnya.

Nanda melangkah perlahan memasuki area perpustakaan yang sepi. Di salah satu sudut, lampu ruangan menyala paling terang dan seorang wanita sedang asyik bercengkerama dengan laptop dan buku-buku di depannya.

Nanda menarik napas berkali-kali sembari memegang buku di tangannya. Ia memberanikan diri melangkah perlahan mendekati wanita yang sedang sendirian di sana. Di sudut lain, terlihat beberapa orang masih ada di perpustakaan itu. Mahasiswa Cambridge memang begitu bekerja keras untuk menjadi yang terbaik. Tidak heran jika universitasnya sangat terkenal dan menjadi masuk ke daftar Top 10 Universitas Terbaik Dunia.

“Permisi ...! Boleh minta tanda tangan?” sapa Nanda sambil menyodorkan buku karya Roro Ayu yang ia dapatkan dari Sonny.

Roro Ayu mengangguk dan menarik buku tersebut. Ia langsung membubuhkan tanda tangannya di halaman pertama buku itu tanpa melihat siapa orang yang memintanya. Kemudian, ia menyodorkan kembali buku itu dan fokus menatap laptopnya lagi.

Nanda menaikkan kedua alis sambil menarik buku tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya di bibir meja yang ada di sebelah Ayu. Tak tahu apa yang harus ia katakan, ia hanya menikmati wajah Ayu yang nampak begitu cantik di balik kacamata bulatnya. Rambutnya yang diikat asal dan pakaiannya yang sederhana, terlihat sangat menarik di matanya.

Dulu, ia pikir seleranya yang turun drastis karena menganggap Roro Ayu adalah wanita yang cupu. Tapi saat kedewasaan dan kualitas hidupnya meningkat, ia akhirnya mengerti bahwa wanita yang memesona bukanlah mereka yang mengenakan pakaian seksi setiap hari. Tapi mereka yang mengenakan pakaian sederhana bahkan tertutup rapat dan tetap terlihat sangat seksi. Membuatnya enggan mengalihkan pandangannya pada dunia lain selain yang sedang ia nikmati saat ini.

 

 

((Bersambung...))

 

Hmm ... Roro Ayu sudah lupa sama suara Nanda? Atau dia nggak sadar sama kehadiran Nanda karena terlalu asyik sama buku-buku dan tugas kuliahnya?

 

Nantikan cerita selanjutnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas