Wednesday, August 17, 2022

Bab 42 - Sama-Sama Menderita

 


Nanda tersenyum sambil mengendus dua mangkuk mie instan yang ia buat. Ia tersenyum lebar sambil menggosok kedua telapak tangannya. Hawa di kota ini terlalu dingin untuk dia yang terbiasa tinggal di negara tropis.

“Nan, kamu buat dua porsi?” tanya Ayu sambil melangkah menghampiri Nanda.

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang baru saja keluar dari kamarnya sembari mengikat rambutnya asal-asalan. Wanita itu tak lagi mengenakan kacamata dan terlihat sangat cantik.

“Kamu bilang, cuma mau masakin aku doang. Terus pergi, kan? Pergi sana!” pinta Ayu sambil menarik mangkuk yang jaraknya berjauhan dan menjadikannya berhimpitan. Ia duduk di kursi sambil memeluk dua mangkuk mie yang dibuat oleh Nanda.

“Ay, aku juga laper. Aku seharian nyari kamu dan belum makan apa-apa. Kamu nggak kasihan sama aku?” tutur Nanda sambil memasang wajah memelas.

“Nggak percaya! Kamu masih kuat masakin aku, nggak mungkin nggak makan seharian,” sahut Ayu.

“Serius, Ay. Aku belum makan. Suer!” tutur Nanda lagi sambil mengacungkan dua jarinya.

“Kamu banyak duit. Beli makan di luar sana!” sahut Ayu ketus.

“Jam segini masih ada yang jualan?” tanya Nanda.

“Banyak restoran dua puluh empat jam,” sahut Ayu.

“Aku nggak punya uang Pound Sterling. Nggak bisa jajan di sini, Ay. Boleh pinjam uang kamu?” tanya Nanda sambil memainkan matanya.

Ayu memutar bola matanya. “Sejak kapan kamu jadi kayak gini?”

“Sejak kamu pergi ninggalin aku tanpa pesan,” jawab Nanda.

Ayu menatap kesal ke arah Nanda. “Pergi dari sini!” pintanya sambil bangkit dari kursi dan mendorong tubuh Nanda agar pergi dari sana.

“Ayu, apa nggak ada kesempatan lagi buat aku?” tanya Nanda. Ia berusaha keras agar tidak keluar dari flat milik Ayu meski hanya sejengkal saja.

“Nggak ada!” tegas Ayu sambil mendorong tubuh Nanda dengan susah payah.

“Ay, jangan usir aku! Aku bisa jadi gelandangan di kota ini. Aku nggak punya uang. Pinjamkan aku uang!” pinta Nanda berdalih. Ia ingin mengatakan semua kalimat yang ada di dunia ini selama Ayu masih mau mendengarkannya dan membuatnya tetap tinggal di sisi wanita itu.

“Oke. Aku kasih kamu uang. Tapi setelahnya, kamu pergi dari sini!” pinta Ayu. Ia bergegas masuk ke kamar.

Nanda bergegas mengikuti langkah Ayu ke dalam kamar.

“Kamu!? Ngapain ikut masuk ke dalam sini? Kamu ini mesumnya nggak hilang-hilang, ya!?” seru Ayu sambil menatap kesal ke arah Nanda.

“Keluar dari sini! KEL—” Ucapan Ayu terhenti saat telapak tangan Nanda tiba-tiba membungkam mulutnya.

“Jangan teriak-teriak, Ay! Ini sudah tengah malam dan ganggu tetangga. Flat di sini cuma dibatasi dinding ‘kan?” pinta Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

“Kamu ...!?” dengus Ayu dalam hati sambil berusaha melepaskan tangan Nanda dari wajahnya. Ia berusaha memberontak agar Nanda segera melepaskannya. Namun, kekuatan yang ia miliki tak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki pria itu.

Nanda terus menekan tangannya agar Ayu tidak berteriak di tengah malam seperti ini hingga membuat kedua kaki Ayu terbentur oleh ranjang tidurnya dan membuat wanita itu terjatuh ke atas kasur. Tubuh Nanda pun ikut jatuh tepat di atas tubuh wanita itu.

Ayu menahan napas ketika wajah Nanda berada tepat di atasnya. Mata pria itu seolah mengunci tubuhnya hingga ia tidak bisa bergerak dan kesulitan untuk bernapas.

Jemari tangan Ayu mencengkeram selimut yang ada di bawahnya dan napasnya begitu memburu.

Nanda tersenyum dalam hati sambil melirik tangan Ayu yang mencengkeram selimutnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung membenamkan bibirnya di bibir wanita itu.

Ayu melebarkan kelopak mata saat Nanda tiba-tiba menciumnya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh Nanda agar menyingkir dari tubuhnya. Tapi pria itu malah mengecupnya semakin dalam hingga membuat aliran darahnya berjalan tak karuan. Otaknya tiba-tiba kacau dan ia malah menikmati bibir Nanda yang begitu hangat mengulumnya.

“Ergh!” Ayu langsung mendorong dada Nanda dengan kedua telapak tangannya dan membuang pandangannya ke samping. Dadanya terlihat tegas bergerak naik turun seiring dengan perasaannya yang tak karuan ketika Nanda menyentuhnya.

“You still love me?” bisik Nanda sambil menatap wajah Ayu. Ia mengusap lembut rambut wanita itu dengan siku bertumpu pada kasur yang ada di sebelah pundak Ayu.

Ayu bergeming. Kelopak matanya memanas dan semua rasa sakit tiga tahun lalu, membayangi pelupuk matanya.

“I’m sorry ...! Maafin aku yang dulu! Bisakah kamu kasih aku kesempatan sekali lagi?” bisik Nanda sambil menatap wajah Ayu yang ada di bawahnya.

Ayu masih bergeming dan enggan menatap wajah Nanda yang ada di atasnya. Tapi ia bisa merasakan embusan napas Nanda yang jatuh tepat di telinganya.

“Ay ... meski pengadilan telah menyetujui pembatalan pernikahan kita. Aku tetap menganggapmu sebagai istriku. Bisakah kita berbaikan dan kembali seperti dulu?” tanya Nanda lagi.

Ayu memejamkan matanya sambil berpikir. Sudah begitu lama dan begitu jauh ia pergi meninggalkan Nanda. Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba ada di hadapannya dan mengatakan kalau ia masih istrinya? Tak cukupkah pria ini menghancurkan seluruh hidupnya tiga tahun lalu?

“Ay, give me one word! Aku masih ingin memperjuangkan pernikahan kita,” ucap Nanda sambil bangkit dari tubuh Ayu.

Ayu menghela napas lega saat Nanda sudah beranjak dari tubuhnya.

Nanda tersenyum kecil sambil mengeluarkan buku kecil dari saku celananya. “Ini buku pernikahan kita. Meski milikmu sudah diambil pengadilan, tapi buku yang ini masih ada di tanganku. Aku nggak pernah melepaskan buku ini, Ay,” ucapnya sambil menunjukkan buku nikahnya.

Ayu langsung menatap buku nikah yang dipegang oleh Nanda. Begitu kuatnya pria  brengsek ini mengikat hatinya hingga ia tidak sanggup melepaskan diri dan berlari selamanya.

Nanda menatap Ayu dengan mata berkaca-kaca. “Ay, pernikahan kita dibatalkan oleh keluargamu saat kamu dalam keadaan koma. Kamu dibawa berobat ke luar negeri tanpa sepengetahuanku. Saat hal itu terjadi, aku sedang melaksanakan upacara pemakaman anak kita. Aku berhari-hari berlutut di depan keluargamu, memohon agar mereka memaafkan aku dan memberi aku kesempatan menjaga dan merawatmu. Tapi mereka malah masukin aku ke penjara dan mengambil alih saham keluargaku,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Ayu terdiam mendengar ucapan Nanda. Ia langsung bangkit dari kasur dan duduk menatap wajah Nanda. Perasaannya semakin tak karuan saat melihat air mata pria itu. Ia tidak ingin percaya pada ucapan Nanda. Tapi mata pria itu seolah menyiratkan sebuah kebenaran yang selama ini tidak ia ketahui.

“Di sini yang kejam itu aku atau kamu, Ay? Aku tahu semuanya salahku. Aku mengakui semua itu dan aku berusaha bertanggung jawab. Aku berusaha menebus semua kesalahanku. Tapi kamu dan keluargamu ... begitu kejam dan sama sekali tidak peduli bagaimana penderitaanku selama tiga tahun ini,” tutur Nanda sambil menatap Ayu penuh luka.

Ayu tertegun sambil menatap wajah Nanda. Ia tidak tahu bagaimana penderitaan Nanda saat ini. Nanda juga tidak tahu bagaimana penderitaan yang ia alami saat ini. Mereka berdua sama-sama menderita karena keegoisan masing-masing. Karena keegoisan keluarga Ayu. Karena martabatnya yang begitu tinggi sebagai keturunan keraton kesultanan. Karena ia tidak bisa berbesar hati memaafkan kesalahan Nanda.

Andai ia bisa seperti wanita-wanita lain, mungkin ia tidak akan membuat lebih banyak orang menderita karenanya. Ia tidak akan membuat keluarganya dan keluarga Nanda ikut menjadi korban ketidakberdayaannya.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!”

Ayu menutup wajah dengan telapak tangannya seiring dengan tangisnya yang pecah seketika. Ia benar-benar menyesal. Mengapa ia tidak bisa menanggung rasa sakit dan penderitaannya seorang diri? Andai ia bisa, tentu hanya dia yang akan menderita, tidak ada orang lain lagi.

Nanda langsung merengkuh kepala Ayu ke dalam pelukannya. “Ay, kita sama-sama menderita. Bisakah kita saling memaafkan dan membuka pintu baru untuk masa depan kita? Apa pun syaratnya, akan aku penuhi asal kamu bisa memaafkan dan kembali ke sisiku lagi,” pintanya lirih.

Ayu tak bisa berkata-kata. Ia benar-benar tidak mengetahui kalau ayahnya begitu kejam. Bahkan tidak memberitahukan perihal ia yang dibawa ke luar negeri bertepatan dengan pemakaman puteri mereka. Ayu terlalu mempercayai ayahnya hingga ia memilih untuk pergi jauh dari sisi pria yang ternyata sedang memperjuangkannya hingga saat ini.

Nanda menangkup wajah Ayu dan menatap lekat mata itu. “Jangan sedih lagi, ya! Kamu laper ‘kan? Makan dulu mie-nya. Kalau udah dingin, nggak enak,” pintanya sembari mengusap air mata yang membasahi pipi Ayu.

Ayu mengangguk kecil. Ia melangkah menuju meja makan yang ada di dapurnya dan mulai menikmati semangkuk mie buatan Nanda tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Saat ini, ia tidak tahu bagaimana perasaannya sendiri. Ia tidak bisa menerima kehadiran Nanda yang begitu tiba-tiba, tapi juga tak bisa menolaknya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita dan selalu menghargai karya-karya author ...!

Semoga, tulisan-tulisanku bisa bermanfaat dan bisa memberikan pelajaran hidup yang berarti.

Tidak ada manusia yang tidak pernah menyesal dalam hidupnya. Yang harus kita perhatikan bukanlah penyesalannya, tapi apa yang akan kita lakukan setelah kata penyesalan itu.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 41 - Usaha Nanda

 


Ayu menguap beberapa kali. Ia melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 00.30 waktu London. Sepertinya, dunia begitu cepat berputar hingga ia tidak menyadari kalau sudah berada di perpustakaan selarut ini.

Ayu segera memilih menu shut down di laptopnya dan membereskan semua buku yang berhambur di sisinya. Ia menoleh ke deretan meja yang ada di sisi kirinya. Biasanya, perpustakaan itu tetap ramai meski sudah tengah malam. Tapi kali ini, hanya ada tiga orang pria yang duduk berjauhan. Mungkin, mereka memang tidak saling mengenal.

Di sisi kirinya, ia mengetahui kalau ada seorang pria yang meminta tanda tangannya dan sedang asyik membaca buku yang ia tulis. Roro Ayu tersenyum menatap pria yang menutup wajahnya dengan buku karyanya itu. Ia tidak tahu itu mahasiswa mana. Mungkin, mahasiswa baru yang sedang belajar tentang ilmu bisnis.

Ayu menghela napas. Ia segera mengambil buku-buku di tangannya dan melangkah menuju rak, mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya. Ia lebih senang menggunakan buku itu di perpustakaan daripada harus membawanya pulang.

Nanda memutar kepalanya, mengikuti tubuh Ayu yang sedang menyusun buku di rak. Ia ingin menyapa wanita itu, tapi jantungnya tidak bisa ia kendalikan dan membuatnya sangat gugup.

“Nan, kamu ini umur berapa? Sekarang udah tiga puluh tahun. Masa masih nervous kayak anak SMA? Mantan juga banyak. Nggak segininya deketin cewek,” gumam Nanda dalam hati dengan gusar. Ia segera berbalik dan menutup wajahnya kembali begitu Ayu sudah selesai menyusun buku-bukunya.

Ayu melangkahkan kakinya lunglai sambil menghampiri mejanya kembali. Ia segera memasukkan laptopnya ke dalam tas.

Krucuk ... krucuk ... krucuk ...!

Ayu langsung memegangi perutnya yang keroncongan. “Huft! Terlalu asyik kencan sama buku. Sampai lupa kalau belum makan. Enaknya makan apa, ya?” gumamnya. Ia segera menarik tas ranselnya, mengenakannya dan melangkah keluar dari gedung perpustakaan tersebut.

Nanda buru-buru bangkit dari tempat duduk dan mengejar langkah Ayu.

Ayu menyadari kalau ada pria yang sedang menguntitnya setelah ia sampai beberapa meter dari flat yang ia tinggali. Ia mempercepat langkahnya dan pria di belakangnya juga ikut mempercepat langkahnya.

Ayu segera mengeluarkan parfume spray dari dalam tas ranselnya. Setiap hari, ia tidak pernah lupa mengisi botol parfume itu dengan cairan cabai dan lada untuk melindungi diri dari orang-orang nakal di luar sana.

Ayu semakin mempercepat langkahnya ketika pria yang ada di belakangnya semakin dekat ikut masuk ke dalam gerbang rumah yang ia tinggali. Ayu menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia langsung menyemprotkan cairan lada itu ke arah pria yang mengikutinya.

“AYU ...! INI APAAN!?” seru Nanda sambil menutup kedua matanya yang terkena semprotan Ayu.

“Ka-kamu ...!?” Ayu tertegun melihat wajah Nanda yang terpejam di hadapannya. Tubuhnya bergetar dan perasaannya tak karuan saat melihat pria itu berdiri di sana. “Nan-Nanda ...!?”

“Iya, aku Nanda!” sahut Nanda sambil mengucek kedua matanya yang terasa sangat perih, pedas, pedih dan tak karuan. “Aku nggak bisa lihat apa-apa. Kamu semprotin apa ke mataku?”

“Sorry ...! Sorry ...!” Ayu langsung merengkuh tubuh Nanda. “Aku bantu kamu bersihkan. Ikut aku!” pintanya sambil menarik lengan Nanda. Ia segera naik ke kamarnya yang berada di lantai empat dan membawa Nanda masuk ke sana.

“Duduk di sini!” pinta Ayu sambil mendudukkan Nanda di sofa ruangannya. Ia segera melepas ransel dan mengambil air putih dari dapurnya. Dengan cepat, ia menghampiri Nanda kembali.

Nanda menahan senyum sambil meringis menutup wajahnya. Untungnya, ia sigap hingga cairan yang disemprotkan Ayu itu tidak benar-benar mengenai matanya. Hanya saja, masih terasa pedas di bagian kulit sekitar matanya.

“Baring dulu ya, Nan!” pinta Ayu sambil membantu Nanda untuk berbaring di sofa tersebut. Ia membuka salah satu mata Nanda dan meneteskan air bersih ke mata pria itu. “Kenapa kamu bisa ada di sini?”

Nanda memicingkan mata menatap wajah Ayu yang sedang meniup perlahan matanya. “Aku ...”

Ayu membuka mata Nanda satu lagi dan meneteskan air bersih ke sana. Ia harap, ini bisa mengurangi rasa sakit di mata pria itu. “Coba buka matanya! Bisa lihat?”

Nanda membuka kedua matanya perlahan dan menggeleng.

“Sebentar. Aku carikan obat mata,” tutur Ayu sambil bangkit dari lantai. “Atau kita ke rumah sakit, sekarang?”

Nanda menyambar pergelangan tangan Ayu agar wanita itu tak beranjak dari sisinya. “Obat mata aja!”

Ayu mengangguk. Ia segera masuk ke kamar. Mencari obat mata yang pernah ia gunakan beberapa hari lalu. Setelah mendapatkannya, ia langsung menghampiri Nanda dan meneteskan obat mata itu perlahan ke mata Nanda.

Nanda terus menatap wajah Ayu yang sedang meniup lembut matanya. Bibir wanita itu benar-benar menggoda. Membuat hasratnya bangkit dan ingin melumat bibir merah jambu yang terpampang nyata di hadapannya itu.

Tanpa sadar, telapak tangan Nanda meraih tengkuk Ayu dan mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu.

“NANDA ...!?” seru Ayu sambil mendorong tubuh Nanda saat ia menyadari kalau pria itu ingin menciumnya. “Kamu pura-pura nggak lihat!? Mau aku semprot lagi, hah!?”

“Eits, jangan! Ampun ...! Ampun ...!” pinta Nanda sambil bangkit dari sofa dan menatap wajah Ayu.

“Kalau kamu baik-baik aja, keluar dari rumahku!” seru Ayu kesal.

“Ay, aku nggak punya tempat tinggal. Aku baru aja sampai di kota ini dan nggak tahu harus tinggal di mana. Aku boleh tinggal di sini? Malam ini aja!” pinta Nanda sambil memasang wajah paling melas yang ia miliki.

“Kamu ke sini pasti perjalanan bisnis ‘kan? Banyak hotel di kota ini. Check-in aja! Apa susahnya?” sahut Ayu.

Nanda meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bicara dengan wanita cerdas, memang sangat sulit. Ia tidak tahu lagi alasan yang tepat agar Ayu mengizinkannya tetap tinggal di sana.

“Aku ditinggal sama asistenku. Aku nggak bawa handphone, nggak bawa dompet. Cuma bawa diri aja. Aku nyasar ke sini dan kebetulan ketemu kamu.”

“Nggak usah berkilah! Kamu udah lama ada di perpustakaan dan ngikuti aku diam-diam ‘kan?” sahut Ayu sambil mendelik ke arah Nanda.

Nanda menghela napas dan bersandar lemas di sofa. “Kamu nggak kasihan sama aku? Mataku nggak bisa lihat jelas karena kamu semprot pakai cabai? Masih pedes ini, Ay,” ucapnya sambil menunjuk wajahnya sendiri.

Ayu menghela napas saat melihat kulit di sekitar mata Nanda memang memerah. Tapi ia enggan memelihara pria itu di dalam rumahnya dan ingin membuatnya segera pergi dari sana.

Nanda melipat kedua tangan di dada sambil memejamkan mata.

“Nanda, pergi!” pinta Ayu sambil menarik lengan Nanda agar bangkit dari sofa.

Nanda langsung menguatkan lengannya dan menarik tubuh Ayu hingga wanita itu terjatuh tepat di atas dadanya.

Ayu melebarkan kelopak matanya ketika bibirnya tepat menyentuh hidung Nanda yang bangir. “Nan, lepasin!”

Nanda malah mengunci tubuh Ayu dan menatap wajah wanita itu. “Tadi kamu khawatir banget sama aku. Sekarang, kamu malah ngusir aku pergi? Apa kamu memang begitu tidak bertanggung jawab?”

“Bodo amat!? Lepasin!” sahut Ayu sambil berusaha melepaskan lengan Nanda yang melingkar di pinggangnya.

“Aku nggak akan lepasin kamu lagi!” sahut Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Jangan ngimpi! Aku udah pacar di sini. Kalau kamu macam-macam, aku bakal bikin kamu babak belur lagi. Mau?” sahut Ayu kesal.

Nanda langsung melonggarkan kuncian tangannya begitu mendengar ucapan Ayu.

Ayu langsung bangkit dari atas tubuh Nanda. “Keluar dari sini! Kalau nggak, aku yang akan keluar!”

“Iya, iya. Aku keluar.” Nanda bangkit dari sofa dan enggan melangkah keluar dari flat mungil itu. Otaknya berputar cepat, mencari cara agar Ayu mau mengizinkannya tetap di sana.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil tersenyum manis.

Ayu membuang pandangannya. Ia enggan menatap wajah pria itu. Tidak tahu apa yang membawa pria itu datang ke kota ini. Sudah pergi begitu jauh, kenapa takdir tetap membuatnya bertemu dengan pria ini.

“Ay, kamu laper ‘kan? Aku akan masak buat kamu. Sebagai imbalannya, aku boleh tinggal di sini?” tanya Nanda.

“Kalau niat bantu, nggak usah minta imbalan!” sahut Ayu kesal. Ia segera mendorong pria itu agar keluar dari dalam rumahnya.

“Iya, iya. Aku nggak akan minta imbalan,” sahut Nanda dengan cepat sambil menahan pintu rumah itu agar tidak tertutup rapat. “Aku akan masakin buat kamu. Setelah itu, aku langsung pergi. Gimana?”

Ayu terdiam mendengar ucapan Nanda. Ia enggan bersama dengan pria ini. Tapi perutnya yang sudah sangat lapar dan tubuhnya yang sudah lelah, membuatnya menginginkan ada seseorang yang menyuguhkan makanan untuknya.

“Gimana?” tanya Nanda lagi dengan wajah sumringah saat menyadari kalau kekuatan tangan Ayu mulai melonggar. Ia tersenyum dan mendorong pintu itu perlahan agar tubuhnya bisa masuk kembali ke dalam rumah tersebut.

“Cuma masak, ya! Setelahnya, kamu harus pergi! Aku mau mandi,” pinta Ayu sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya.

“Siap!” Nanda mengangguk. Ia tersenyum sambil mengepalkan tangannya. “Yes!” serunya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Yuk, dukung Nanda yang savage bersatu lagi dengan Ayu!

Karen cinta ... selayaknya membuat diri kita menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 


Bab 40 - Find You, Love

 


Nanda tersenyum lega saat ia sudah menginjakkan kakinya di Heathrow Airport, kota London. Ia langsung memesan taksi menuju Tennis Court Road yang berjarak sekitar 69,5 miles dari Heathrow Airport.

Sepanjang perjalanan, ia sudah mendapatkan informasi bahwa Roro Ayu tinggal di sekitar Tennis Court Road yang hanya berjarak sekitar lima menit ke University of Cambridge Judge Business School. Ia meminta bantuan dari salah satu teman lama yang tinggal di kota tersebut untuk mendapatkan tempat tinggal yang dekat dengan Roro Ayu, ia bahkan rela membayar mahal untuk mengambil alih tempat tinggal orang lain.

“Excuse, Me ...! I’m Mr. Perdanakusuma,” sapa Nanda begitu ia sampai di salah satu private Hall of Residence yang ada di sana. Ia sudah memesan satu flat untuk ia tinggal, tepat di sebelah studio flat milik Roro Ayu.

“Oh. From Indonesia?” balas petugas yang berjaga.

Nanda mengangguk.

Petugas itu segera mengambil kunci dari dalam laci dan bangkit dari tempat duduknya. “Ayo, ikut saya!”

“You can speak Bahasa?” tanya Nanda.

Pria itu mengangguk. “Anda ingin tinggal di sebelah Miss Roro. Dia tidak hanya bersekolah di kota ini. Tapi dia juga mengajar Bahasa Indonesia dengan baik di sini. Kami semua senang berbicara Bahasa dengannya,” jawabnya dengan aksen British yang kental.

Nanda tersenyum sambil mengingat wajah Roro Ayu. Ia sangat merindukan ketenangan dan kelembutan wanita itu. Apa yang ia lakukan tiga tahun lalu adalah kesalahan yang harus ia tebus dan membuatnya benar-benar memperjuangkan wanita yang layak menjadi pendamping hidupnya di masa depan.

“It’s your flat,” ucap pria itu setelah ia sampai ke pintu ruangan yang ia tuju. Ia segera memberikan kunci kamar tersebut ke tangan Nanda. “Semoga Anda senang tinggal di sini!”

“Terima kasih ...!” ucap Nanda sambil tersenyum manis.

Pria itu mengangguk dan segera pergi meninggalkan Nanda.

Nanda menghela napas sambil menatap nomor yang ada di atas pintu. Ia beringsut ke pintu sebelahnya dan membaca nomor pintu. “Roro beneran tinggal di sini atau nggak, ya?” gumamnya.

Nanda segera kembali ke pintu kamarnya. Ia memasukkan kunci dan membuka pintu tersebut. Ruangan itu tidak begitu besar, tapi cukup nyaman untuk tinggal seorang diri.

“Gimana caranya aku bisa temui Ayu, ya?” gumam Nanda sambil mondar-mandir di dalam ruangan tersebut. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa dan memainkan ponselnya.

Tanpa ia sadari, ia menekan nomor ponsel Ayu dan langsung terhubung.

“Halo ...!”

Nanda buru-buru mematikan sambungan teleponnya begitu ia mendengar suara Ayu di balik sana. “Dia nggak ganti nomor telepon?” gumamnya tersentak. Sementara, ia sudah mengganti nomor ponselnya berkali-kali.

Nanda mengelus dada dan bernapas lega saat ia menyadari kalau nomor ponselnya tidak akan dikenali oleh Ayu.

Di tempat lain ...

Roro Ayu mengerutkan wajah ketika ia melihat panggilan telepon dari nomor yang tidak ia kenal dan menggunakan kode negara Indonesia.

“Siapa, ya?” gumamnya sambil mengusap layar ponsel, menjawab panggilan telepon tersebut.

“Halo ...!”

Tut ... tut ... tut ...!

“Ngeselin banget call spam kayak gini!” gerutu Ayu sambil menggeletakkan ponselnya ke atas meja. “Bodohnya aku juga, sih. Kenapa aku angkat aja telepon dari nomor nggak dikenal? Biasanya juga aku cuekin.”

Ayu kembali fokus dengan laptop dan buku-buku di hadapannya.

“Roro Ayu, I wanna go home. You wanna stay here?” tanya salah seorang wanita yang selalu bersama Ayu di kampus tersebut.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. “Be carefull!”

Wanita berdarah Eropa itu tersenyum sambil menggenggam salah satu pundak Ayu. “You’e a good hooker in the world. Everyday, always dating with books. No bored?”

“No,” jawab Ayu sambil menggelengkan kepala. “I love this books. It’s make me unhurt and doing better in my future,” ucapnya sambil tersenyum manis.

Wanita itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. “I trust your brain. But, don’t forget to love someone! You won’t be alone forever, right?”

Ayu meringis ke arah wanita berambut blonde tersebut. “Give me a reason to love someone!”

“Never be alone,” jawab wanita itu.

“Hahaha. I never be alone. I have family and many friends like you,” jawab Ayu sambil tertawa kecil.

Wanita blonde itu mengangguk-anggukkan kepala. “Yeah. You’re right. But, your parents wouldn’t live forever. Your friends aren’t always by your side,” ucapnya sambil menepukkan telapak tangannya dan melangkah pergi meninggalkan Ayu.

Ayu tersenyum sambil menahan perih di matanya. Sudah tiga tahun berlalu, ia masih tak bisa menghadapi takdirnya sendiri dan memilih berlari ke tempat yang jauh. Meski ia sudah bekerja keras meningkatkan dirinya, ia tetap merasa tidak layak di sisi Sonny. Juga tidak memiliki keberanian untuk kembali pada Nanda. Terlebih mencari cinta yang baru untuknya. Ia terlalu takut dan terlalu melindungi dirinya sendiri.

“Aku tidak siap disakiti lagi,” gumam Ayu lirih sambil merogoh rantai kalung yang ia sembunyikan di balik kaosnya. Ia menatap cincin pernikahannya dengan Nanda. Meski tidak pernah ada cinta di antara mereka, tapi mereka pernah memiliki hubungan yang begitu dekat. Mereka pernah tidur bersama, makan dalam satu meja, menggunakan kamar mandi yang sama dan semua aktivitas kesehariannya tak pernah lepas dari pria ini.

Dalam waktu yang begitu singkat, hubungannya dengan Nanda berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan. Meski sakit, ia tidak pernah bisa lupa setiap adegan yang ia lakukan saat hidup bersama pria itu. Kisah yang hanya terjalin dalam hitungan bulan, begitu sulit untuk ia lupakan dalam tiga tahun terakhir.

“Nanda is a bad man, bad place and bad future,” gumam Ayu sambil menatap cincin yang menjadi liontin di kalungnya.

Ia buru-buru memasukkan kalung itu kembali ke kaosnya dan mengalihkan perhatiannya kembali fokus dengan bahan-bahan tulisannya. Ia memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan itu hingga larut malam. Tidak ada hal lain yang bisa mengusir kesedihan dalam hatinya kecuali buku. Tak peduli dengan orang lain yang menganggapnya sebagai kutu buku. Ia malah bahagia karena baginya ... orang-orang yang mencintai buku adalah orang-orang kelas atas dan ekslusif. Membuatnya begitu bahagia bisa membaca banyak buku, berbagi ilmu dan cerita lewat buku-buku yang ia tulis.

 

***

 

Nanda mondar-mandir di dekat pintu pagar gedung yang ia sewa. Sesekali ia melirik arloji di tangannya. Lima menit lagi, tepat pukul 24:00 waktu setempat dan ia belum melihat sosok Roro Ayu kembali ke flat tempat tinggalnya.

“Ini Ayu kuliah apaan sih sampai tengah malam gini belum pulang? Beneran kuliah atau jalan sama cowok lain?” gumam Nanda makin gelisah.

“Mr. Perdana ... are you okay?” sapa penjaga gedung tersebut sambil menghampiri Nanda.

Nanda langsung memutar tubuhnya. “Eh!? I’m OK. Mmh ... I have any question about Roro Ayu.”

“Yeah. Ada apa?”

“Apakah dia sering pulang tengah malam?” tanya Nanda.

“Oh. Kamu sedang mengkhawatirkan dia?”

Nanda langsung menganggukkan kepalanya.

“Dia terbiasa pulang tengah malam. Terkadang sampai pagi hari. Jika kamu tidak sabar menemui dia, kamu bisa pergi ke perpustakaan.”

“Perpustakaan?”

Pria itu mengangguk. “Kamu datang sangat jauh dari Indonesia untuk mencari Miss Roro. Hubungan kalian pasti tidak biasa.”

“Bisa tunjukkan di mana perpustakaannya?”  pinta Nanda.

Pria itu mengangguk. Ia segera menunjuk sebuah gedung yang bisa terlihat dari sana dan memberikan petunjuk untuk pergi ke sana.

Nanda tersenyum lega. Ia masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sesuatu dan bergegas pergi mencari keberadaan Ayu ke perpustakaan. Ia harap, Ayu bisa menerima kembali dan membawa wanita itu pulang bersamanya. Ia terus berlari-lari kecil sembari mengumpulkan banyak kekuatan untuk berhadapan langsung dengan wanita yang telah ia hancurkan hidupnya.

Nanda melangkah perlahan memasuki area perpustakaan yang sepi. Di salah satu sudut, lampu ruangan menyala paling terang dan seorang wanita sedang asyik bercengkerama dengan laptop dan buku-buku di depannya.

Nanda menarik napas berkali-kali sembari memegang buku di tangannya. Ia memberanikan diri melangkah perlahan mendekati wanita yang sedang sendirian di sana. Di sudut lain, terlihat beberapa orang masih ada di perpustakaan itu. Mahasiswa Cambridge memang begitu bekerja keras untuk menjadi yang terbaik. Tidak heran jika universitasnya sangat terkenal dan menjadi masuk ke daftar Top 10 Universitas Terbaik Dunia.

“Permisi ...! Boleh minta tanda tangan?” sapa Nanda sambil menyodorkan buku karya Roro Ayu yang ia dapatkan dari Sonny.

Roro Ayu mengangguk dan menarik buku tersebut. Ia langsung membubuhkan tanda tangannya di halaman pertama buku itu tanpa melihat siapa orang yang memintanya. Kemudian, ia menyodorkan kembali buku itu dan fokus menatap laptopnya lagi.

Nanda menaikkan kedua alis sambil menarik buku tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya di bibir meja yang ada di sebelah Ayu. Tak tahu apa yang harus ia katakan, ia hanya menikmati wajah Ayu yang nampak begitu cantik di balik kacamata bulatnya. Rambutnya yang diikat asal dan pakaiannya yang sederhana, terlihat sangat menarik di matanya.

Dulu, ia pikir seleranya yang turun drastis karena menganggap Roro Ayu adalah wanita yang cupu. Tapi saat kedewasaan dan kualitas hidupnya meningkat, ia akhirnya mengerti bahwa wanita yang memesona bukanlah mereka yang mengenakan pakaian seksi setiap hari. Tapi mereka yang mengenakan pakaian sederhana bahkan tertutup rapat dan tetap terlihat sangat seksi. Membuatnya enggan mengalihkan pandangannya pada dunia lain selain yang sedang ia nikmati saat ini.

 

 

((Bersambung...))

 

Hmm ... Roro Ayu sudah lupa sama suara Nanda? Atau dia nggak sadar sama kehadiran Nanda karena terlalu asyik sama buku-buku dan tugas kuliahnya?

 

Nantikan cerita selanjutnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 39 - I am Savage and I Change

 


 

Tiga tahun kemudian ...

 

“Pak Nanda, ini berkas yang harus bapak tanda tangani ...!” ucap seorang sekretaris sambil meletakkan beberapa map ke atas meja kerja Nanda.

Nanda mengangguk. “Hari ini jadwal saya apa aja?”

“Jam sembilan pagi ini meeting dengan investor, makan siang bersama klien dari Jakarta, setelah makan siang kunjungan ke lokasi proyek,” jawab sekretaris tersebut.

Nanda mengangguk. “Kamu boleh keluar!”

Sekretaris itu mengangguk dan segera keluar dari ruang kerja Nanda.

Nanda tersenyum kecil. Ia meraih bingkai foto yang terpajang di meja kerjanya. Potret seorang wanita yang berhasil membolak-balikkan kehidupannya, kemudian berlalu begitu jauh meninggalkannya.

“Ayu, apa sekarang aku sudah layak untuk mendapatkanmu? Aku sudah menjalani hari-hariku dipenjara selama setahun. Aku sudah merasakan sakitnya perusahaan keluargaku jatuh hingga aku bisa bangkit lagi. Terima kasih ...! Kamu sudah menghukumku dengan cara yang begitu indah,” ucap Nanda sambil menatap potret Ayu.

“Permisi, Pak ...! Lima menit lagi, meeting dimulai,” ucap sekretaris Nanda sambil melangkah masuk ke dalam ruang kerja pria itu.

Nanda mengangguk. Ia bangkit dari kursi dan meletakkan kembali bingkai foto Roro Ayu yang selalu menemaninya setiap hari di meja kerja itu.

Nanda melangkahkan kakinya perlahan menuju ke ruang meeting.

“Selamat pagi, Pak Nanda ...!” sapa semua orang yang sudah ada di dalam ruangan tersebut.

“Pagi ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis dan duduk di kursi kosong yang telah disediakan untuknya. Ia langsung membuka dokumen yang ada di tangannya dan segera memimpin rapat.

“Dalam dua tahun terakhir ini, Amora Internasional berhasil bangkit dari keterpurukan. Terima kasih untuk orang-orang yang begitu hebat yang ada di belakang saya hingga bisa membawa perusahaan ini berkembang lebih baik lagi. Terima kasih untuk para tim yang sudah bekerja keras, terima kasih juga kepada para investor yang telah mempercayakan investasinya di perusahaan kami. Semoga, Amora Internasional bisa berkembang menjadi perusahaan yang lebih baik lagi dan melebarkan sayap bisnis ke sektor-sektor ekonomi yang lebih luas lagi,” tutur Nanda setelah ia selesai mempresentasikan kinerja perusahaan selama dua tahun terakhir.

Setelah menyelesaikan meeting dan makan siangnya. Nanda segera berpindah menuju ke pembangunan proyek rumah sakit khusus ibu dan anak. Ia memeriksa progress pembangunan yang sudah mencapai delapan puluh persen.

Nanda terus melangkahkan kakinya perlahan sambil memperhatikan bangunan yang ada di sana dan menyesuaikan dengan sketsa biru yang ada di tangannya.

“Nanda ...!”

Panggilan seseorang di belakangnya, membuat Nanda memutar tubuhnya. Suara itu tak asing lagi di telinganya dan benar saja kalau pria yang ada di sana adalah Sonny, sahabatnya sejak kecil yang tidak pernah lagi ia temui sejak tiga tahun belakangan ini.

Sonny melangkahkan kakinya perlahan menghampiri Nanda. Ia mengulurkan sebuah kartu ke hadapan pria itu. “Kebetulan kita ketemu di tempat ini. Tadinya, aku ingin mengunjungimu untuk memberikan ini.”

Nanda tersenyum menatap kartu undangan yang ada di tangannya. Ia menatap nama Sonny dan nama seorang wanita yang tidak ia kenal. “Kamu mau nikah? Selamat, ya!”

Sonny mengangguk sambil tersenyum. “Makasih, Nan! Aku minta maaf karena pernah melukaimu tiga tahun lalu.”

Nanda tersenyum  menatap wajah Sonny. “Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah merebut wanitamu dengan cara biadab.”

Sonny tersenyum  menatap wajah Nanda. “Dia ditakdirkan bukan untukku, Nan. Saat dia tak lagi bersamamu, dia juga tidak kembali ke sisiku. Aku sudah ikhlas melepaskannya.”

Nanda balas tersenyum. Mereka yang dulu begitu akrab dan sedekat nadi, kini terasa sangat canggung.

Sonny tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas laptopnya. “Ini jurnal bisnis dari Cambridge University yang terbit tahun ini. Seseorang menuliskan profil tentangmu. Kamu masih ada di hati dia,” ucapnya.

Nanda terdiam menatap buku yang diulurkan Sonny ke arahnya. Ia tidak mengerti maksud pria itu dan tidak begitu tertarik membaca buku yang begitu tebal. Ia tidak begitu suka membaca. Melihat halamannya yang tebal, ia sudah enggan menyentuhnya.

Sonny menarik lengan Nanda dan meletakkan buku itu di telapak tangan Nanda. “Look at the writer!” ucapnya. Ia tersenyum manis dan menepuk pundak Nanda. “Jangan lupa datang ke pernikahanku! Aku ingin kamu datang membawa dia kembali di sisimu.” Ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Nanda.

Nanda terdiam dan menatap buku berwarna biru dengan tulisan warna putih. “4R Prameswari?” Ia melebarkan kelopak matanya. Kemudian membuka halaman-halaman buku itu dengan cepat.

Nanda duduk di birai yang ada di tempat tersebut. Ia membaca buku itu perlahan dan tidak menyangka kalau Roro Ayu memasukkan profil tentang dirinya yang membawa Amora Internasional bangkit dari keterpurukan hanya dalam dua tahun.

“Ay, kamu diam-diam masih memperhatikanku?” tanya Nanda sambil memeluk buku yang ada di tangannya. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri asisten pribadinya.

“Mas, carikan tiket pesawat menuju ke London secepatnya!” perintah Nanda sambil melangkahkan kakinya.

“London?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. Ia melangkahkan kakinya menuju mobil dan masuk ke dalamnya.

Asisten pribadi Nanda langsung mengikuti langkah pria itu, ia masuk ke dalam mobil. Duduk di belakang kemudi dan segera menyalakan mesin mobil tersebut. Pria muda itu melirik wajah Nanda yang terus tersenyum sambil memeluk buku di tangannya. Yang ia tahu, Nanda tidak begitu suka membaca buku. Juga tidak pernah tersenyum tanpa alasan selama dua tahun terakhir ini. Senyuman Nanda hanya tersungging di depan investor dan klien, itu pun tak seceria ini.

“Pak, Bapak yakin akan pergi ke London?” tanya asisten pribadi itu. “Jadwal kunjungan dan pekerjaan bapak masih padat.”

Nanda menoleh ke arah asisten pribadinya. “Ada kamu. Buat apa aku masih harus terjun ke lapangan?”

Asisten pribadi itu ternganga. Kata yang ingin ia ucapkan tercekat di kerongkongannya. Memang seharusnya dia bisa handle semua pekerjaan bosnya itu meski Nanda selalu turun tangan seorang diri.

“Mau berapa lama di London? Supaya saya bisa aturkan pekerjaan Bapak,” tanya asisten itu lagi.

“Mmh ... satu  minggu,” jawab Nanda sambil tersenyum. Ia rasa, waktu itu cukup untuk membuat Roro Ayu kembali ke pelukannya. Ia pikir, selama ini wanita itu kembali pada pria yang begitu dicintai sejak duduk di bangku SMA. Ia tidak menyangka jika Sonny malah menikahi wanita lain. Mungkin, Roro Ayu memang ditakdirkan untuknya meski cara yang ditunjukkan Tuhan begitu menyakitkan.

Setelah selesai mempersiapkan semuanya, Nanda terbang menuju kota London dengan harapan ... bisa membawa Roro Ayu kembali ke negara mereka. Kembali berada di sisinya dan menjalani semua hal sulit bersama-sama. Ia tahu, seluruh dunia akan menentangnya. Tapi ia juga tahu apa yang sedang dia inginkan di dunia ini. Meski wanita itu telah membuatnya mendekam dalam penjara selama satu tahun, membuat perusahaan keluarganya terpuruk, hubungan keluarga mereka dan persahabatannya hancur. Tapi ia tidak pernah bisa membenci Roro Ayu.

Ia pernah mengatakan benci pada wanita itu. Ia pernah ingin membalas perlakuan Ayu yang begitu kejam menghukum dirinya. Tapi semua itu tertepis oleh rasa rindu yang selalu memeluk hangat setiap malam-malamnya. Kehilangan dan penyesalan, membuatnya mengetahui hal paling berharga dalam hidupnya. Sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan, harus ia perjuangkan. Dan hari ini ... kota London akan menjadi saksi perjuangan cintanya terhadap wanita yang pernah ia hancurkan, tapi malah terlahir kembali menjadi lebih kuat.

“Ay, back to me ...!” bisik Nanda sambil menoleh ke luar jendela pesawat yang membawa tubuhnya menuju ke tempat yang ingin tuju. Ia telah berusaha keras memantaskan dirinya untuk mendapatkan wanita yang derajatnya begitu tinggi. Meski sulit digapai, ia tetap ingin berjuang membawa Ayu kembali.

“I am savage and I changed.”

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf kalau kemarin nggak sempat update, aku sibuk ngurus papa di RS dan akunya ikut sakit kepala karena kurang istirahat. Tetap setia nunggu karya aku ‘kan? Hehehe ...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 


Bab 38 - Bangkit dari Rasa Sakit

 



Tiga bulan kemudian ...

Bunda Rindu dan suaminya melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit St. Thomas Hospital yang ada di Westminster Bridge Road, kota London. Mereka langsung pergi ke rumah saskit tersebut saat mendapat kabar kalau tubuh Roro Ayu memberikan respon positif dan kemungkinan akan segera bangun dari komanya.

“Dokter, gimana keadaan puteri kami?” tanya Ayah Edi dalam bahasa Inggris.

“Puteri kalian memberikan respon yang baik akhir-akhir ini. Kami sudah melakukan berapa kali uji respon sarafnya. Perkiraan kami, hari ini dia bisa bangun jika tidak ada masalah,” jawab dokter tersebut.

Bunda Rindu tersenyum lega mendengar kondisi kesehatan Roro Ayu yang terus membaik. Ia tidak menyesal membawa puterinya itu ke luar negeri meski harus menghabiskan uang yang tidak sedikit.

Bunda Rindu dan Ayah Edi langsung menghampiri tubuh puterinya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit tersebut. Ia tersenyum lega ketika perawat tetap menjaga puterinya terlihat cantik dan baik.

“Roro, bunda sama ayah datang. Kamu bangun, ya! Kami kangen sama kamu. Kalau Roro bangun, bunda akan penuhi semua permintaan Roro, apa pun itu. Maafkan kami yang sudah memberikanmu pada orang yang salah. Bunda dan Ayah janji, tidak akan membiarkanmu menderita lagi,” bisik Bunda Rindu di telinga Ayu.

Ayu menggerakkan jemari tangannya perlahan. Ia bisa mendengar bisikan dari bundanya itu dengan jelas dan berusaha keras membuka matanya. “Bunda ...!” panggilnya lirih.

Bunda Rindu melebarkan kelopak mata dan menatap wajah Ayu yang sudah membuka matanya. “Bunda di sini ...! Ayu sudah bangun?” tanyanya sembari menitikan air mata. Ia langsung mengusap lembut kening Ayu, membelai rambutnya dengan hangat dan menciumi wajah puteri kesayangannya itu.

“Aku tidur berapa lama? Anakku mana, Bunda?” tanya Ayu lirih sambil mengusap perutnya yang sudah datar.

Bunda Rindu tersenyum sambil memeluk lengan Ayu. “Ayu jangan sedih, ya! Anak Ayu sudah bahagia sama Tuhan.”

“Maksud Bunda?” Ayu menatap nanar ke arah Bunda Rindu. “Dia nggak selamat?”

Bunda Rindu mengangguk. Ia berusaha untuk tetap tersenyum meski perasaannya sangat sakit. “Nggak usah sedih, ya! Dia sudah jadi anak yang baik selama bersamamu. Di atas sana, dia sedang berusaha membuatmu hidup dengan baik dan kembali ke sisi kami semua. Sudah tiga bulan Roro koma. Sekarang, kita di London.”

“London?” tanya Ayu lirih sambil menoleh ke luar jendela. Kemudian, mengalihkan pandangannya kembali pada Bunda Rindu dan Ayah Edi yang berdiri di belakangnya. “Nanda mana?”

Bunda Rindu dan Ayah Edi saling pandang. Mereka tidak menyangka kalau Ayu masih mempertanyakan keberadaan Nanda saat baru saja terbangun dari komanya.

“Nanda lagi keluar sebentar. Roro istirahat dulu, ya!” pinta Bunda Rindu saat tim dokter mulai menghampiri ranjang Ayu untuk memeriksa kondisi kesehatannya.

Ayu mengangguk kecil. Ia merasakan seluruh tubuhnya sangat sakit dan sulit untuk ia gerakkan. Ia hanya bisa menatap tubuh Bunda Rindu dan ayahnya yang sedang duduk di sofa yang tidak jauh dari ranjangnya. Menunggu dokter memeriksa kondisi kesehatannya.

Bunda Rindu dan Ayah Edi terus menjaga Roro Ayu hingga puteri kesayangannya itu benar-benar sehat dan bisa keluar dari rumah sakit.

“Bunda ...!” panggil Ayu saat ia sudah berdiri di depan halaman rumah sakit St. Thomas tersebut. Ia menggenggam paspor dan visa di tangannya.

“Ada apa?” tanya Bunda Rindu sambil menghentikan gerakan tangannya yang sedang membukakan pintu mobil untuk puterinya.

“Bolehkah aku melanjutkan S2 di kota ini? Aku belum mau kembali ke Indonesia,” ucapnya lirih sembari menahan rasa sesak di dadanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Kehilangan seorang anak dan suami, membuatnya tidak menginginkan apa pun. Ia harap, dengan menempuh pendidikan lagi, bisa mengalihkan kesedihannya dan membuat masa depannya lebih baik lagi. Ia ingin menebus kegagalan yang telah membuat kedua orang tua kecewa.

Bunda Rindu langsung tersenyum mendengar permintaan puterinya. Ia menoleh ke arah Ayah Edi untuk meminta persetujuan pria itu.

Ayah Edi mengangguk sambil tersenyum. “Kamu mau lanjut di universitas mana? Ayah akan bantu mengurusnya.”

“Cambridge,” jawab Ayu tanpa berpikir lama.

Ayah Edi menganggukkan kepala. “Ayah akan bantu mengurus tempat tinggal dan sekolahmu. Untuk sementara, kamu tinggal di hotel tempat kami menginap. Gimana?”

Ayu mengangguk. Ia segera masuk ke mobil dan menuju hotel tempat kedua orang tuanya menginap selama menjaganya di kota tersebut. Ia tahu, titik terapuh dalam hidup manusia adalah ketika ia berlari dan tidak berani menghadapi takdir yang sesungguhnya. Dan dia ... sedang berada di titik itu.

Ayu  menyalakan ponselnya yang baru saja disodorkan oleh ayahnya. Ia membuka semua aplikasi pesan yang ada di sana. Tidak ada satu pesan pun dari Nanda. Mungkin, pria itu memang tidak pernah mempedulikan bagaimana keadaannya. Tidak pernah mencarinya meski ia menghilang dalam waktu lama.

Pesan yang masuk secara beruntun ke dalam ponselnya, malah penuh dengan pesan perhatian dari Sonny. Sonny tahu, Ayu tidak akan pernah mengganti nomor ponselnya meski ponsel itu hilang. Membuat pria itu tidak berhenti mengirimkan pesan setiap harinya.

Membaca semua pesan dari Sonny, seharusnya ia sangat bahagia. Terlebih, kedua orang tuanya sudah mendapatkan surat pembatalan pernikahannya dengan Nanda. Tapi kali ini, pesan dari Sonny terasa hampa di hatinya. Ia tidak berniat membalas pesan tersebut dan memilih untuk meninggalkan semua masa lalunya bersama Sonny. Ia pikir, menjalani kehidupan masing-masing adalah cara paling baik agar tidak saling menyakiti.

Setelah kedua orang tuanya kembali ke Indonesia. Ayu memilih menjalani hari-harinya di kota London. Tidak hanya mengambil pendidikan di Cambridge, ia juga mengambil pekerjaan paruh waktu. Bekerja bukan karena kekurangan uang, tapi ia bekerja untuk menambah kesibukannya hingga ia lupa pada semua masa lalu yang begitu menyakitkan. Sibuk meningkatkan diri adalah cara terbaik untuk penyembuhan.

Setiap hari libur, Ayu selalu pergi ke perpustakaan kota. Tidak hanya membaca buku, ia juga menyempatkan diri untuk belajar menulis jurnal tentang bisnis. Setelah mendapatkan gelar sebagai lulusan terbaik di Melbourne University, ia juga ingin mendapatkan prestari yang baik di Cambridge. Andai ia tidak bisa lulus dengan nilai yang baik, ia masih bisa meninggalkan jurnal-jurnal ini untuk masa depan.

Jika nasib percintaannya tidak berakhir dengan baik, maka nasib pendidikan dan finansialnya harus berakhir baik. Setidaknya, ia masih memiliki satu alasan untuk tetap bertahan hidup dan membahagiakan orang-orang yang ia cintai.

Roro Ayu tersenyum sambil menatap satu eksemplar buku yang sudah berhasil diterbitkan oleh penerbit universitas tersebut. Tahun pertamanya di Cambridge University, ditutup dengan terbitnya jurnal bisnis yang ia susun selama satu tahun dan dijadikan sebagai referensi pendidikan untuk generasi selanjutnya. Nama Raden Roro Ayu Rizky Prameswari menjadi satu-satunya nama asli Indonesia yang mengukir sejarah International Woman Business Journal di seluruh dunia.

 

((Bersambung...))

 

Gimana dengan nasib Nanda?

Lihat di part selanjutnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas