Nanda tertunduk lesu sambil
memeluk pusara bertuliskan Axel Noah
Perdanakusuma, sang putera yang tidak sempat ia dengar tangis dan tawanya
ketika terlahir ke dunia.
“Nan, kita pulang! Udah sore,”
bisik Nia di telinga Nanda yang masih enggan pergi dari sana.
“Aku masih mau temenin dia, Ma.
Dia masih kecil,” ucap Nanda.
“Nan, anakmu sudah nggak ada.
Sadarlah! Hidupmu masih harus berjalan. Ada Roro Ayu yang membutuhkanmu. Jangan
sampai kamu menyesal lagi,” bisik Nia.
Nanda terdiam. Ia langsung
menoleh ke arah Nia begitu ia mendengar nama Roro Ayu disebut oleh wanita itu.
Ia langsung bangkit dari tanah. “Roro Ayu?” Ia bergegas melangkah pergi dari
tempat tersebut dan memacukan mobilnya menuju ke rumah sakit, tempat istrinya
itu mendapatkan perawatan.
Beberapa menit kemudian, Nanda
sudah sampai ke rumah sakit. Ia langsung menuju ke ruang VVIP, tempat Roro Ayu
mendapatkan perawatan.
Nanda mengedarkan pandangannya
ke seluruh ruangan yang kosong. Ranjang tidur yang tadinya terisi oleh tubuh
Roro yang dilengkapi peralatan medis, kini sudah terlihat rapi. Bahkan, tak ada
barang satu pun yang tertinggal di sana.
“Ayu, kamu di mana?” gumam
Nanda. Ia langsung berlari keluar ruangan dan menghampiri petugas yang berjaga.
“Suster, istri saya di mana?”
tanya Nanda sambil menghampiri perawat yang ada di sana.
“Istri Anda atas nama siapa?”
Perawat itu balas bertanya.
“Raden Roro Ayu Rizky
Prameswari,” jawab Nanda lengkap.
“Oh. Puteri keraton itu, ya?
Sudah dipindahkan, Mas.”
“Dipindahkan? Dipindahkan ke
mana?” tanya Nanda.
“Saya kurang tahu, Mas. Katanya
mau dipindahkan ke rumah sakit lain. Kalau mau lebih jelasnya, bisa tanyakan ke
bagian administrasi saja,” jawab perawat tersebut.
“Makasih, Sus!” ucap Nanda. Ia segera berlari menuju ke bagian
administrasi yang tidak jauh dari lobi.
“Suster!” panggil Nanda sambil
menghampiri petugas yang sedang berjaga.
“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau tahu ke mana istri
saya dipindahkan dan siapa yang memindahkan dia!” pinta Nanda.
“Atas nama siapa?”
“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”
“Keluarganya yang memindahkan
dia, Mas.”
“Oh ya? Dipindahkan ke mana?”
tanya Nanda.
“Ke salah satu rumah sakit yang
ada di luar negeri,” jawab perawat itu.
“Rumah sakit apa, Suster?”
“Maaf, Mas. Kami nggak tahu
kalau soal itu,” jawab suster tersebut.
Nanda terdiam selama beberapa
saat. Beberapa jam lalu, ayah mertuanya masih mengikuti acara pemakaman
puteranya. Jika mereka membawa Roro Ayu pergi, tentunya belum pergi jauh. Hanya
saja, waktu untuk mencapai bandara hanya tiga puluh menit saja. Artinya, Roro
Ayu bisa saja sudah berada di perjalanan yang entah ke mana.
Nanda segera berlari keluar
dari rumah sakit sambil meletakkan ponsel di telinganya. Ia berusaha
menghubungi nomor Bunda Rindu dan Ayah Edi, tapi nomor keduanya tidak bisa
dihubungi.
Dengan cepar, Nanda masuk ke
dalam mobil dan menekan nomor ponsel mamanya.
“Ma, angkat dong!” pintanya
lirih setelah beberapa kali men-dial nomor ponsel mamanya, tapi tak mendapatkan
jawaban.
Nanda menghela napas sejenak
sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia menatap nomor ponsel papanya. Ia
sudah mengecewakan papanya berkali-kali. Kali ini, apa yang dia lakukan tidak
akan pernah bisa termaafkan. Tidak tahu bagaimana cara mengatakan pada papanya
tentang hal ini. Mungkinkah papanya masih sudi membantunya saat ia sudah
membuat kondisi keluarganya berantakan?
Nanda menarik napas dalam-dalam
sambil menekan panggilan ke nomor papanya. Ia harap, papanya bisa membantunya
menemukan Roro Ayu.
“Halo ...!” sapa Andre dari
seberang sana.
“Pa, Nanda boleh minta bantuan?”
tanya Nanda pelan. Meski masa remajanya sangat nakal, pembuat onar, suka
tawuran dan beberapa kali ditahan polisi karena terlibat balapan liar, ia tidak
pernah sekalipun meminta bantuan dari papanya. Ia lebih sering menanggungnya
seorang diri dan tetap terlihat santai menjalaninya. Ia harap, sang papa mau
memberikan bantuan untuknya.
“Apa?”
Satu kata yang keluar dari
bibir Andre, membuat Nanda bisa bernapas lega. Artinya, papanya bersedia
membantunya meski suaranya terdengar sangat dingin.
“Roro Ayu dibawa pergi ke luar
negeri. Ayah Edi dan Bunda Rindu juga tidak bisa dihubungi,” ucap Nanda dengan
bibir gemetar.
“APA!? Sekarang, kamu di mana?”
Suara Andre terdengar sangat terkejut.
“Masih di parkiran rumah sakit,
Pa.”
“Kamu pergi ke bandara! Papa
akan minta bantuan temen papa untuk mendapatkan data penumpang penerbangan hari
ini,” perintah Andre.
“He-em.” Nanda mengangguk.
“Makasih, Pa!”
“Ya.” Andre segera mematikan
panggilan telepon dari Nanda.
Nanda menghela napas lega. Ia
segera menjalankan mobilnya perlahan menuju bandara yang letaknya tak jauh dari
rumah sakit tersebut. Ia langsung berlari melangkahkan kakinya perlahan
memasuki bandara tersebut.
TING!
Nanda langsung membuka pesan
yang masuk dari papanya.
[Daftar penumpang penerbangan
Internasional]
[Nan, Roro Ayu pergi bersama
tim dokter. Kedua orang tuanya tidak ada dalam daftar penerbangan mana pun.
Mereka sewa jet pribadi. Lokasi tujuannya, papa tidak mendapatkan informasi.
Datangi mertuamu dan memohonlah! ]
Nanda terdiam selama beberapa
saat ketika membaca pesan dari papanya. Ia berusaha menelan salivanya yang
tercekat. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh papa
mertuanya hingga membawa Roro Ayu pergi jauh dengan cara seperti ini.
“Aku harus temukan Ayu!” ucap
Nanda sambil melangkahkan kakinya keluar dari bandara tersebut. Ia segera
mengendari mobilnya menuju rumah mertuanya.
Beberapa menit kemudian, Nanda
sudah sampai di kediaman Edi Baskoro. Ia langsung menekan bel karena pagar
rumah tersebut tertutup rapat, tak seperti biasanya.
“Mas Nanda?” Seorang pria yang
bekerja di rumah tersebut, langsung membukakan pintu untuk Nanda. “Nyari
siapa?”
“Bunda dan ayah ada di rumah?”
tanya Nanda.
“Nggak ada, Mas. Lagi ke Solo.”
“Solo?”
“Iya. Lagi ke keraton, Mas.
Katanya ada urusan.”
“Keraton yang ...?”
“Keraton Surakarta cuma satu,
Mas,” sahut pria paruh baya itu sambil tersenyum lebar.
Nanda segera berbalik dan masuk
kembali ke dalam mobilnya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang
direncanakan oleh mertuanya itu. Menjauhkan Ayu darinya?
Nanda terus melajukan mobilnya
menuju ke kota Solo sambil menekan nomor ponsel Sonny. Beberapa kali menelepon,
ia masih belum mendapatkan jawaban. “Aargh ...! Shit! Anak ini pasti tahu ke
mana perginya Ayu,” ucapnya kesal.
Empat jam kemudian, Nanda sudah
memarkirkan mobilnya di pelataran keraton kesultanan Surakarta. Ia menatap
bangunan keraton yang sering ia lihat, tapi ia tidak pernah menginjakkan
kakinya ke sana meski menjadi bagian dari keluarga besan keraton tersebut.
Nanda langsung melangkah menuju
pintu keraton dan disambut oleh empat orang penjaga yang berdiri di sana.
“Orang luar dilarang masuk
keraton!” tegas penjaga pintu itu sambil menyilangkan pedang di tangannya,
menghalau tubuh Nanda.
Nanda melebarkan kelopak
matanya menatap dua pedang yang menyilang tepat di hadapannya. “Ini asli?”
gumamnya sambil memperhatikan mata pedang yang berkilauan. Ia langsung
memundurkan langkahnya menjauhi pedang tersebut.
“Kalian kenal sama Raden Roro
Ayu Rizky Prameswari?” tanya Nanda sambil menatap empat penjaga pintu yang ada
di sana.
Empat penjaga pintu itu saling
pandang.
“Sampeyan siapanya Ndoro
Puteri?” tanya salah satu penjaga yang ada di sana.
“Aku ... eh, saya suaminya,”
jawab Nanda sambil tersenyum lebar.
Empat penjaga itu kembali
saling pandang.
“Tunggu di sini!”
Nanda mengangguk. Ia tersenyum
lega sambil menegakkan tubuhnya. Menunggu dengan cemas dan berharap ia
mendapatkan akses ke dalam keraton tersebut.
Beberapa menit kemudian,
seorang abdi dalem datang bersama penjaga pintu yang tadi.
“Selamat malam, Mas! Mohon
maaf, keraton inti tidak menerima tamu saat malam hari. Silakan berkunjung lagi
besok pagi!”
“Tapi ... saya suaminya Roro
Ayu,” ucap Nanda.
“Ndoro Puteri sedang menjalani
hukuman dan dilarang menginjakkan kaki ke keraton, termasuk suaminya. Setelah
menjalani upacara kesucen, barulah Ndoro Puteri bisa masuk kembali ke keraton.”
“Apakah Pak Edi Baskoro ada di
dalam?” tanya Nanda.
“Ada, Mas. Raden Mas ada di
kediamannya.”
“Gimana caranya saya bisa
ketemu beliau? Beliau tidak bisa saya telepon.”
“Raden Mas sedang melakukan
rapat tertutup dengan keluarga. Tidak bisa menggunakan handphone. Sampeyan bisa
kembali lagi besok pagi, saya akan sampaikan ke beliau agar menemui Mas ...
siapa namanya?”
“Ananda Putera.”
“Oh. Iya. Besok pagi datang
lagi ke sini!”
“Besok pagi ... apa sudah pasti
bisa ketemu dengan Ayah Edi?”
“Saya belum tahu, Mas. Akan
saya tanyakan ke beliau.”
Pikiran Nanda semakin tidak
karuan karena ia tidak mendapatkan akses masuk ke dalam keraton tersebut.
Apakah ia harus melompat pagar atau memanjat atap keraton ini supaya dia bisa
bertemu dengan Ayah Edi? Melihat empat penjaga di pintu utama saja, ia tidak
bisa mengatasinya. Kalau dia memaksa diri menerobos masuk di sana, mungkin saja
kepalanya akan terpisah dari tubuhnya hanya dalam hitungan detik.
“Oh, God! Help me! Aku ingin
menebus kesalahanku. Tidak adakah kesempatan untukku ... sekali lagi?” batin
Nanda dengan perasaan tak karuan.
((Bersambung...))
Mohon maaf kalau lambat update
karena sekeluarga sedang sakit dan papaku harus diisolasi (positif covid-19).
Mohon doanya semoga author dan keluarga cepet sehat, bisa berkarya lagi dengan
tenang dan bahagia.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi