Nanda menghela napas sambil
membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur. Sudah jam sebelas malam dan ia masih
belum bisa tidur. Ia bahkan belum mandi sejak sore karena takut kalau luka di
alat vitalnya akan basah dan ia malas mengganti perban seorang diri.
Sesekali, Nanda memeriksa alat
vitalnya. Ia hanya menggunakan kaos oblong dan sarung saja setiap harinya.
“Anjirr ...! Sunat dua kali,” gumamnya kesal. “Awas kamu, Son! Kalau sampai
lukaku sembuh dan barangku nggak bisa bangun lagi. Aku bakal bikin kamu kayak
gini juga!”
Nanda menghela napas. Ia meraih
ponsel di atas nakas dan menatap layar tersebut. Ia sudah beberapa kali
melakukan itu. Berharap kalau Ayu mengirim pesan kepadanya. Tapi hingga saat
ini, wanita itu tak kunjung mengirim pesan.
“Heh, aku ini masih suamimu.
Nggak kangen sama aku?” tanya Nanda kesal sambil menatap layar ponselnya.
Nanda membuka aplikasi whatsapp
yang ada di ponselnya. Ia membuka chat dari Ayu dan membaca semua chat yang ada
di sana sejak awal. Tidak banyak pesan yang bisa ia baca karena mereka memang
jarang sekali berkomunikasi lewat pesan singkat. Hanya beberapa pesan dari Ayu
yang terkadang enggan untuk ia balas. Hanya ia baca sekilas dan dibiarkan
berlalu begitu saja.
[Nan, malam ini aku tampil
menari di acara ulang tahun kota. Datang, ya!]
DEG!
Nanda terkejut membaca pesan
teratas yang masuk ke ponselnya. “Ayu pernah ngirim pesan kayak gini?”
gumamnya. Ia langsung memeriksa pesan lainnya dengan teliti.
[Nan, hari ini Sonny dan Nadine
akan ke Surabaya. Aku akan ketemu mereka di kafe. Kalau ada waktu, datang, ya!]
[Nan, aku ke rumah Mama Rindu
sampai malam. Makanan udah aku siapin. Kalau mau makan, panasin dulu, ya!]
[Nan, kalau ada waktu, temani
aku USG, ya!]
[Makasih untuk kamar bayinya.
Aku suka]
Nanda terdiam sambil menatap kosong
ke arah kakinya. Di bawah sana, tepat di sisi kasur ... setiap harinya Ayu
selalu menyiapkan pakaian ganti untuknya. Menyiapkan air hangat dan memastikan
semua kebutuhannya tersedia.
Nanda menyibakkan selimut dan
turun dari ranjang. Ia memperbaiki ikatan sarung yang ia selipkan asal-asalan dan melangkah
keluar dari kamar.
“Nan, belum tidur? Mau
kubuatkan susu hangat?” tanya Ayu sambil tersenyum manis dari arah dapur.
Nanda tersenyum sembari
melangkahkan kakinya, menuruni anak tangga dan masuk ke area pantry yang ada di
bawah tangga. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari tubuh Ayu di sana. “Ayu
...!” panggilnya.
Detik berikutnya, ia menyadari
kalau Ayu tidak ada di rumah itu. Ia menghela napas dan mengusap wajahnya yang
terlihat sangat kacau. Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan beringsut
duduk ke sofa yang ada di ruang keluarga. Ia menyalakan televisi dan duduk
santai di sana.
“Kamu nggak usah sok-sokan
menghantuiku, Ay! Kamu pikir, aku nggak bisa hidup tanpa kamu, hah!?” ucapnya
kesal sambil terus mengganti channel televisi tersebut tanpa berniat ingin
menontonnya. Semuanya, terasa tidak menarik sama sekali baginya.
Nanda mengerjapkan mata saat ia
melihat wajah Ayu berada di dalam televisi tersebut. Ia menekan remote kembali
untuk mengganti siaran dan wajah Ayu tetap ada di setiap adegan yang tergambar
di televisi tersebut.
“Shit! Apa aku udah gila?
Kenapa muka Ayu di mana-mana?” umpat Nanda sambil mematikan televisinya. Ia
menyandarkan kepala dan memejamkan mata.
Bayangan semasa SMA saat ia dan
Ayu sering terluka bersama, tiba-tiba terlintas di kepalanya.
[...]
Ay meringis kesakitan sambil
menatap pria gondrong dengan kumis dan jenggot lebat di wajahnya. Ia memegangi
perutnya yang tertusuk pisau. Perlahan, ia merasakan keram pada perutnya,
diikuti dengan rasa nyeri dan sakit yang luar biasa.
“AYU!!!” teriak Nanda saat
menyadari kalau gadis yang menghalaunya adalah Roro Ayu, pacar sahabatnya.
Pria berambut gondrong itu
membelalakkan mata begitu menyadari kalau pisaunya menembus perut seorang gadis
yang tidak bersalah. Ia langsung menyabut pisau itu dari perut Ay.
Ay merasakan sakit yang luar
biasa saat pisau yang tertancap di perutnya ditarik. Ia berusaha sekuat tenaga
untuk menahan rasa sakit. Namun tubuhnya terhuyung. Dengan cepat, Nanda menangkap
tubuh Ay yang terjatuh.
“Ay, bertahan!” pinta Nanda
sambil menepuk pelan pipi Ay.
Nanda menatap pria bertubuh
kekar yang berdiri di hadapannya. “Aku bakal bikin perhitungan sama kalian!”
teriak Nanda penuh kebencian.
Pria berkepala gundul hanya tersenyum
sinis menanggapi ancaman dari Nanda. “Lebih baik kamu urus perempuan yang lagi
sekarat ini. Dia rela mati cuma buat ngelindungi bajingan kayak kamu. Kalau
sampe dia mati, kamulah pembunuhnya.”
“Bangsat kalian!” seru Nanda.
“Aku bakal laporin kalian ke polisi!” ancam Nanda.
“Silakan! Kami nggak takut
dengan penjara. Hahaha.” Mereka tertawa bersama sembari meninggalkan Nanda yang
sedang memeluk tubuh Ay.
Nanda menatap wajah Ay yang
masih setengah sadar. Ia langsung melepas jaketnya dan membelitkannya ke perut
Ay untuk mengurangi pendarahan. “Bertahan, Ay!” pinta Nanda. Ia langsung
menggendong tubuh Ay dan membawanya berlari menuju mobilnya yang berjarak
sekitar lima ratus meter darinya.
Nanda segera memasukkan Ay ke
dalam mobilnya. Memasangkan safety belt ke tubuh Ay dan bergegas melajukan
mobilnya ke rumah sakit terdekat.
“Bunda …!” panggil Ay lirih. Ia
merasakan jiwanya seperti melayang. Yang ada dalam benaknya hanya Bunda Rindu
dan semua orang yang ia sayangi. Tubuhnya semakin lemas dan denyut nadinya
terus melemah.
“Jangan tidur Ay!” teriak
Nanda. “Tetap buka mata kamu!” pintanya makin panik. “Sebentar lagi kita sampai
rumah sakit. Bertahanlah!” pinta Nanda.
Ay mengangguk pelan. Ia masih
bisa mendengar semua suara yang ada di sekelilingnya. Namun pandangannya tak
lagi baik. Ia melihat semua cahaya lampu yang ada di jalanan semakin meredup.
Lalu, ia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengar suara yang
terus memanggil namanya.
“Ay …!”
“Ayu …!”
“Roro …!”
“Roro Ayu!”
[Flashback “After Savage”
teenlit version]
“AYU ...!” teriak Nanda sambil
membuka matanya lebar-lebar. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Bayangan masa SMA itu tiba-tiba masuk ke dalam mimpinya. Ia menoleh ke arah jam
dinging yang ada di ruang keluarga tersebut. Tidak terasa, ia sudah tertidur
selama lima jam di sana dan terus dihantui oleh bayangan masa remajanya bersama
Roro Ayu.
“Kenapa mimpi ini tiba-tiba
menghantuiku?” tanya Nanda pada dirinya sendiri. Semua yang diucapkan Nyonya Ye
sore ini, benar-benar membuatnya dihantui oleh bayangan masa lalu yang sudah
lama ia singkirkan dari hidupnya.
“Ayu, kapan sih kamu itu nggak
mengacaukan hidupku? Tiap ketemu kamu, hidupku kacau mulu. Nggak ada
senang-senangnya sedikit pun. Masa iya seleraku turun, sih? Apa enaknya punya
pasangan alim? Nggak bisa diajak main ke klub malam,” gerutu Nanda sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tanpa ia sadari, hati dan pikirannya
terus berlawanan. Ia ingin memikirkan yang lain, tapi hatinya terus tertuju
pada Roro Ayu. Satu-satunya wanita yang telah berhasil membuat hari-harinya tak
karuan.
***
Pagi-pagi sekali, Roro Ayu
sudah berada di dapurnya bersama Bunda Rindu. Sesekali ia menatap ke luar
jendela. Saat ini, hatinya benar-benar tak karuan. Rasanya, ia ingin kembali
pada Sonny. Tapi ada banyak hal lain yang membuatnya ingin tetap bertahan
bersama Nanda.
“Roro, kenapa ngelamun di
dapur? Khawatir sama Nanda?” tanya Bunda Rindu sambil tersenyum manis.
Ayu menggeleng pelan dan
membasuh sayuran yang ada di tangannya.
“Nggak usah bohong! Bunda
mengerti perasaanmu. Bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari anakmu ini. Kalian
pasti punya ikatan. Baru semalam kamu meninggalkan dia, kamu sudah merasa rindu
‘kan?” goda Bunda Rindu.
Ayu menggeleng. “Buat apa aku
rindu sama laki-laki seperti itu, Bunda?”
“Beneran nggak rindu? Nggak
kepikiran? Jujur ke bunda! Sekarang kamu lebih banyak memikirkan Nanda atau
Sonny?” tanya Bunda Rindu.
Ayu menggeleng kecil. “Nggak
tahu, Bunda.”
“Your feeling?”
Ayu menghela napas dan memutar
tubuhnya menatap wajah Bunda Rindu. “Apa aku sudah jatuh cinta ke Nanda, Bunda?
Aku lebih mengkhawatirkan dia daripada Sonny. Aku selalu berusaha memikirkan Sonny,
tapi tidak sekhawatir ini. Sonny ... dia pria yang baik, mandiri dan bijaksana.
Sedangkan Nanda, kalau nggak disiapin air panas, dia belum tentu mau mandi.
Kalau nggak dibuatkan minum, belum tentu dia bisa bikin minum sendiri. Apalagi
aku pergi saat dia belum benar-benar pulih. Apa aku sudah keterlaluan, Bunda?”
Bunda Rindu tersenyum dan
mengusap lembut rambut Ayu. “Kamu nggak keterlaluan. Ini pelajaran buat dia,
Ro. Roro sudah melakukan banyak hal untuk dia, tapi dia tidak menghargaimu. Kalau
kamu pergi dan dia tidak mencarimu, itu artinya kamu bukan prioritas di hidup
dan masa depan dia. Lebih baik, menyingkir daripada memaksakan diri menjalani
hari-hari yang sakit. Bunda janji, bunda yang akan merawat anak kamu dan kamu
bisa memulai kehidupan yang baru.”
Ayu menatap wajah Bunda Rindu
dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung merangkul tubuh wanita itu dan
menyandarkan kepala ke dadanya. “Bunda, maafin Ayu ...! Ayu sudah mengecewakan
bunda. Ayu sudah jadi aib untuk keluarga ini. Ayu sudah menghancurkan
mimpi-mimpi dan harapan bunda. Ayu nggak bisa jadi puteri yang baik untuk
bunda,” ucapnya lirih dengan berlinang air mata.
Bunda Rindu tersenyum sembari
mengusap lembut air mata puterinya. “Ayu sudah jadi puteri yang baik untuk
bunda. Ayu sudah jadi anak yang berprestasi, mandiri, baik hati dan tetap sabar
meski disakiti. Tidak perlu menjadi hebat untuk tetap menjadi kebanggaan bunda.
Asalkan kamu tetap memilih jalan kebaikan di ujian hidup yang paling berat, itu
adalah kebanggan untuk bunda.”
Ayu mengeratkan pelukannya. Ada
banyak mimpi-mimpi yang pernah ia ucapkan sejak ia masih kecil di hadapan
bundanya. Tapi mimpi itu sirna dalam sekejap ketika Nanda merenggut
kesuciannya. Ingin sekali ia membalas perlakuan pria itu dan membuat seluruh
hidupnya menderita. Tapi setiap kali memikirkannya, ia lebih banyak tidak tega.
Mungkin, bayi dalam perutnya yang membuatnya tidak mengizinkan ia menyakiti
ayahnya sendiri.
“Sonny, I’m sorry ...! I can’t
go back. Nanda, I’m sorry ...! I will attack your future,” bisiknya dalam hati.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Doain author sehat terus dan
dijauhkan dari hal-hal yang mendistraksi saat nulis.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi