Nanda menghentikan mobilnya di
tepi pantai Kenjeran usai ia dan Ayu keluar dari pesta ulang tahun Nyonya Besar
keluarga Hadikusuma.
“Kenapa kita ke sini?” tanya
Ayu sambil mengedarkan pandangannya ke luar jendela mobil.
Nanda tersenyum. Ia segera
keluar dan membukakan pintu untuk Ayu. “Kita santai di sini dulu. Lagipula, ini
masih jam sepuluh.”
“Oh.” Ayu mengangguk dan
melangkah keluar dari dalam mobil tersebut.
Nanda dengan cepat menyambar
pinggang Ayu dan meletakkan tubuh wanita itu ke atas kap mobilnya. “Ayu, kita
bisa bicara dari hati ke hati?” tanyanya.
Ayu terdiam sambil menatap
wajah Nanda.
Nanda tersenyum manis. Kedua
telapak tangannya bertumpu pada kap mobil dan mengunci tubuh Ayu di tengahnya.
“Apa aku masih kurang ganteng, Ay?”
“Kenapa kamu tanya begitu?”
“Karena kamu selalu dingin sama
aku,” jawab Nanda.
“Masa, sih? Mungkin perasaanmu
aja karena sudah ada orang lain yang lebih menghangatkanmu,” sahut Ayu.
Nanda menghela napas. “Bisa
nggak, kamu positif thinking ke aku, Ay? Kamu masih curiga kalau aku punya
banyak cewek di luar sana?”
Ayu menggeleng. “Aku tahu
mereka nggak akan berani deketin kamu saat mereka tahu kalau kamu sudah
menikah.”
“Nah, itu pinter. Kalau gitu,
berhenti menyelidikiku! Aku akan sayangi kamu setiap hari,” pinta Nanda sambil
mengecup bibir Ayu.
Ayu tersenyum kecut menanggapi
ucapan Nanda. “Kamu pura-pura manis ke aku supaya kamu bisa jalan sama
perempuan lain tanpa merasa bersalah?”
“Ck. Kenapa kamu masih mikir
negatif kayak gini, sih? Aku mana mungkin jalan sama perempuan lain. Aku sudah
punya istri yang cantik dan baik hati kayak gini,” ucap Nanda sambil menjepit
dagu Ayu.
Ayu tersenyum dan menatap
hangat ke arah Nanda. “Udah sadar?”
Nanda menganggukkan kepala
sambil tersenyum. “Kamu nggak akan terima tawaran Galaxy ‘kan?”
“Aku nggak bisa nolak. Juga
nggak bisa menerima.”
“Jadi?”
“Kalau kamu mengizinkan, aku
akan bergabung dengan Galaxy,” jawab Ayu.
“Jangan, dong! Papa pasti pecat
aku jadi anaknya kalau kamu sampai bergabung sama Galaxy. Papa akan siapkan
jabatan buat kamu di Amora. Kamu bisa kerja dari rumah tanpa mengabaikan tugas
dan kewajibanmu sebagai istri. Gimana?”
Ayu mengangguk setuju.
Nanda tersenyum lebar menatap
wajah Ayu. Ada baiknya juga punya istri bangsawan yang terikat dengan aturan
dan norma keluarga yang dijunjung tinggi. Meski Ayu terlihat membangkang dan
menyebalkan, tapi tetap saja menurut dan melakukan banyak hal di luar sana atas
izin suami terlebih dahulu.
“Nan, pulang yuk! Aku
kedinginan,” ajak Ayu sambil menatap wajah Nanda yang berada tepat di hadapannya.
Nanda tersenyum dan mengangguk
kecil. Ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Ayu dan melumatnya perlahan.
Ayu menelan salivanya sambil
menatap wajah Nanda yang menempel di wajahnya. Ia memejamkan mata perlahan.
Aroma alkohol yang menyeruak dari mulut Nanda, menyusup ke dalam hatinya dan
membuatnya minta diperlakukan lebih.
Nanda semakin bergairah saat
Ayu membalas ciumannya. Ia memainkan telapak tangannya dengan liar di punggung
wanita itu. Perasaannya semakin tak karuan saat bagian bawah tubuhnya tergerak.
“Shit!” umpatnya dalam hati. Dengan cepat, ia menggendong tubuh Ayu. Membawanya
masuk kembali ke dalam mobil dan bergegas pulang ke rumah untuk melampiaskan
gairahnya pada istrinya itu.
...
Hari-hari berikutnya, Ayu
disibukkan dengan rutinitas seperti biasanya. Kehamilannya yang semakin
membesar, membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Menonton
film atau membaca buku untuk mengusir kebosanan.
“Sore, Sayang ...!” sapa Nanda
saat ia pulang ke rumah. Ia langsung mencium kedua pipi Ayu sembari mengulurkan
bucket bunga mawar yang ada di tangannya.
“Sore ...! Tumben bawain
bunga?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.
“Iya. Tadi lewat toko bunga.
Sekalian aku beliin buat kamu. Oh ya, aku tadi dari agen property,” ucap Nanda
sambil membuka tas laptopnya. “Kamu pilih aja design kamar anak yang kamu mau!”
Ia menyodorkan katalog interior ke hadapan Ayu.
Ayu tersenyum dan meraih
katalog tersebut. Ia membuka katalog itu dan memperhatikan detail design kamar
anak satu per satu.
Nanda tersenyum sambil mengelus
perut Ayu yang sudah menginjak usia tujuh bulan. “Ay, di adat kamu itu ada
acara tujuh bulanan ‘kan? Kenapa keluarga kamu nggak pernah bahas ini sama
kita?”
“Anak yang hamil di luar nikah,
dilarang melakukan upacara sakral,” jawab Ayu sambil menatap katalog yang ada
di tangannya.
“Oh ya? Tapi ... banyak aja
temen-temenku yang hamil di luar nikah dan mereka tetap lakukan acara tujuh
bulanan,” ucap Nanda.
“Setiap keluarga punya aturan.
Di keluargaku, wanita yang hamil di luar nikah dilarang melakukan upacara
sakral. Aku juga dilarang menginjakkan kakiku ke keraton sampai anak ini
lahir.”
DEG!
Kalimat terakhir Ayu, seolah
menghujam jantung Nanda. “Ma-maksudnya ...? Keluargamu nggak menerima kehadiran
anakku ini?”
Ayu mengangguk tanpa ragu.
Nanda menghela napas. Ia
terduduk lemas di hadapan Ayu. “Apa anakku juga tidak akan diperbolehkan
memasuki keratonmu itu?”
“Boleh. Setelah melahirkan,
kami harus melakukan upacara suci supaya kami bisa memasuki keraton.”
“Ribet amat, sih?” gumam Nanda.
Ayu hanya melirik sekilas,
kemudian bangkit dari sofa. “Mau mandi? Aku siapin air hangat untukmu.”
Nanda mengangguk sambil
tersenyum. Ia menghela napas lega karena Ayu tak lagi mengurusi pekerjaannya di
luar sana dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Membuatnya lebih bebas
melakukan banyak hal di luar sana tanpa rasa was-was.
Di saat bersamaan ...
Sonny melangkahkan kakinya
menyusuri koridor Galaxy Hotel. Kali ini, ia harus pergi ke kota ini karena
diminta untuk mengisi seminar parenting yang diselenggarakan salah satu
universitas ternama di kota Surabaya.
“Ners, jam berapa jadwal
seminar saya?” tanya Sonny pada asisten perawat pria yang ikut mendampinginya.
“Jam delapan, Dok,” jawab
perawat yang ditanya.
Sonny melirik arloji di
tangannya. “Lima belas menit lagi. Kita udah nggak sempat makan dan istirahat,”
ucapnya. Karena terjebak macet, mereka harus tiba di kota Surabaya dalam waktu
yang begitu mepet.
“Nggak papa, Mas. Tadi sudah
ngemil di mobil. Saya nggak laper kok, Dok.”
“Ya udah. Kita makan abis
seminar aja. Kamu reservasi, ya! Katanya, makanan di restoran hotel ini juga
enak-enak,” perintah Sonny sambil menghentikan langkahnya saat ia sudah sampai
di depan pintu nomor kamar yang sama dengan kartu yang ada di tangannya.
Belum sampai pintu itu terbuka,
pandangannya langsung teralih pada sosok wanita seksi yang melangkah menuju
pintu hotel yang berjarak satu pintu dari tempatnya berdiri. Wajah wanita itu
tak asing lagi baginya. Ia langsung menarik asisten perawat yang ikut bersamanya
agar menutupi tubuhnya. Dari balik tubuh pria muda itu, ia bisa melihat jelas
Arlita memasuki pintu hotel dengan santai dan dalam keadaan sadar.
“Kenapa, Dok? Kenal sama cewek
itu?” tanya asisten perawat itu sambil menatap Sonny.
“Temen SMA.”
“Wah ...! Cantik dan seksi,
Dok! BO-an, ya?”
“Lihat aja kalau cewek
begituan.” Sonny menoyor kepala asistennya dan masuk ke dalam kamar tersebut.
Ia bergegas mengganti pakaiannya sembari menerka-nerka, siapa pria yang akan
bersama dengan Arlita di kamar hotelnya. Ia harap, pria itu bukan Nanda. Sebab,
ia tidak ingin melihat Roro Ayu terluka karena dikhianati oleh suaminya
sendiri.
Beberapa menit kemudian, Sonny
sudah berada di ballroom ruang seminar yang ada di hotel tersebut. Pertemuannya
dengan Arlita, tiba-tiba mengganggu pikirannya. Ia terus memikirkan bagaimana
rumah tangga Ayu dan Nanda yang sebenarnya. Ia tidak ingin melihat wanita yang
paling ia cintai itu terluka. Ia merelakan Ayu bersama Nanda agar wanitanya itu
bisa hidup bahagia. Tapi jika tidak ada kebahagiaan dalam kehidupan Ayu saat
ini, maka ia akan merasa bersalah telah menyerahkan wanita itu pada sahabatnya.
Di tengah kemelut hatinya,
Sonny tetap bersikap profesional. Ia berusaha menepis hal-hal buruk yang
membayangi pikirannya. Berharap, Ayu tidak akan pernah dilukai oleh sahabatnya
itu.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah menjadi
sahabat setia berkarya dan bercerita!
Dukung terus biar author makin
semangat nulisnya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi