Minggu pagi, Ayu sudah terlihat rapi. Gaun warna putih
dengan gambar ilustrasi bunga Allamanda warna kuning dan rambutnya yang lurus
terurai, membuatnya terlihat lebih fresh dari biasanya.
“Ay, kamu mau ke mana?” Kening Nanda berkerut saat
melihat istrinya itu sudah berpenampilan rapi pagi-pagi sekali.
“Ini weekend. Aku mau main ke rumah bunda. Kamu nggak
kerja ‘kan? Aku nggak perlu siapin pakaian dan sarapan untuk kamu. Makan di
luar sama Arlita aja kayak biasanya. Aku juga ada janji sama Dokter Nadine dan
Dokter Sonny. Kebetulan, mereka lagi main ke Surabaya,” tutur Roro sambil
tersenyum manis.
“Oh. Kamu nyuruh aku pergi sama Arlita karena kamu mau ketemu sama Sonny?”
tanya Nanda.
“He-em.” Ay mengangguk sembari menatap tubuhnya di
depan cermin sekali lagi untuk memastikan tidak ada yang minus dari
penampilannya.
Nanda terdiam sambil melirik tubuh Ayu. Kulit wanita
itu tidak terlalu putih, tapi sangat mulus. Tidak ada bekas luka sedikit pun di
tubuhnya dan terlihat mengkilap. Tanp sadar, ia mendekati tubuh Ayu dan
menyentuh bagian punggungnya yang terbuka.
“Kamu apaan, sih!?” Ayu langsung beringsut menghindar.
“Ay, bukannya kemarin kita udah baikan? Mmh … kamu
nggak berniat bawa aku? Kalau bundamu nanyain kenapa kita nggak dateng bareng,
kamu mau ngomong apa?” tanya Nanda.
“Bilang aja kalau kamu lagi pergi weekend sama pacar
kamu dan nggak ada waktu buat nemenin istri,” jawab Ayu santai.
“Kamu mau bikin aku dan orang tuaku berantem?” tanya
Nanda.
“Berantem kenapa? Bukannya kamu udah biasa juga jalan
sama pacar?” tanya Ayu balik. “Kalau mau jalan sama dia, kamu juga nggak pernah
mikir perasaanku, perasaan orang tua kita.”
“Maksud kamu apa ngomong kayak gini? Asal kamu diam,
mereka nggak akan tahu.”
“Oh. Kamu pikir, mereka itu buta? Tanpa aku kasih
tahu, mereka akan tahu dengan sendirinya. Kamu datang ke acara ulang tahun kota
sambil gandeng Arlita. You know, semua keluargaku juga ada di perjamuan itu
termasuk ayah. Mereka diam bukan berarti nggak tahu kelakuan kamu, Nan. Aku
tinggal bilang ke mereka kalau aku nggak mau melanjutkan hubungan rumah tangga
ini dan semuanya kelar. Kita nggak perlu pura-pura bahagia.”
“Kamu ini kenapa? Kemarin, kita udah baikan dan
baik-baik aja. Kamu ngomong kayak gini karena mau ketemu sama Sonny, makanya
hatimu berubah!?” tanya Nanda.
“Aku sama Sonny Cuma berteman. Meski udah putus, nggak
ada salahnya silaturahmi. Toh, kami ketemu nggak cuma berduaan doang. Ada
Dokter Nadine juga di sana,” jawab Ayu.
“Aku ikut!” pinta Nanda.
“Eh!? Bukannya kamu ada janji jalan sama Arlita siang
ini?”
“Kamu tahu dari mana?”
“Arlita kirim pesan ke aku,” jawab Ayu sambil
menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Nanda. Memperlihatkan pesan dari Thalita
beberapa jam lalu yang mengatakan akan meminjam suaminya itu untuk pergi
berlibur. Entah kenapa, hatinya mulai kesal saat Arlita masih terus menempel
pada Nanda. Meski ia tidak mencintai Nanda, tapi dia adalah istri sahnya dan
Arlita terang-terangan mengajak suaminya pergi keluar. Rasanya, ia masih tidak percaya
bisa hidup dalam rumah tangga yang rumit, rumah tangga yang tidak ada impian di
dalamnya meski hanya secuil saja.
“Nan, lebih baik kamu urus pacar kamu ini, ya!
Meresahkan banget. Aku males berantem, males ribut-ribut. Jangan sampai aku
ketemu langsung sama dia. Meski kamu nggak cinta sama aku, aku tetap istri sah
kamu dan aku bisa nuntut kamu karena sudah menelantarkan istrimu.”
“Menelantarkan gimana? Aku nafkahi kamu setiap hari,
Ay.”
“Nafkah dalam rumah tangga itu bukan sekedar uang,
Nan. Kamu sama sekali nggak cocok jadi suami, apalagi jadi seorang bapak. Kalau
bukan karena desakan keluarga, aku lebih baik jadi single mom seumur hidupku
daripada harus menikah sama kamu.”
“Ay, kamu jangan mancing emosiku, ya! Aku sudah minta
maaf dan ngajak kamu baikan. Kenapa kamu malah kayak gini? Bilang aja kalau
kamu tuh mau ketemu mantan pacar kamu itu!” sahut Nanda kesal.
“Ya. Aku memang mau ketemu sama mantan pacarku dan
kamu nggak perlu ikut karena bisa mengacaukan suasana!” tegas Ayu sambil
berlalu pergi.
Nanda mendengus kesal. Ia menarik lengan Ayu dan
langsung menghisap kuat leher wanita itu. Meninggalkan bercak merah di sana
dengan sengaja.
“Kamu apa-apaan sih, Nan!?” seru Ayu sambil berusaha
mendorong tubuh Nanda.
Nanda semakin menarik kuat tubuh Ayu dan kembali
menghisap leher dan dada wanita itu dengan paksa. Meninggalkan bercak merah di
tubuh wanita itu. “Silakan ketemu sama Sonny dan dia akan berpikir apa kalau
lihat kissmark ini?”
Ayu menghela napas sambil menatap wajah Nanda. “Sonny
itu pria yang dewasa dan baik hati. Dia nggak akan menolak kehadiranku hanya
karena bekas cupangan di tubuhku ini. Meski seluruh tubuhku merah karena
kissmark dari kamu, aku akan tetap ketemu sama Sonny dan Nadine!” tegasnya dan
berlari keluar dari dalam kamar.
Nanda mendengus kesal sambil menatap punggung Ayu yang
bergerak menghilang dari pandangannya. Ia berusaha mengejar langkah Ayu, namun
dering ponsel yang ada di atas nakas … mengurungkan niatnya.
Nanda langsung meraih ponsel tersebut dan menjawab
panggilan telepon dari Arlita.
“Nan, kamu bisa temani aku shopping ‘kan? Aku kangen
sama kamu, Nan,” rengek Arlita dengan suara mendesah yang sengaja dibuat-buat.
Nanda menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan
matanya. “Iya. Aku temani kamu. Mau belanja apa, sih?”
“Belanja bulanan seperti biasa. Jemput aku di
apartemen, ya!” pinta Thalita dari seberang telepon.
“Jam berapa?”
“Jam sembilan aja. Aku udah izin sama istri kamu. Dia
nggak akan ganggu kita. Jadi, kamu bisa temani aku keluar sampe sore ‘kan?”
Nanda menghela napas sambil mondar-mandir di dalam
kamarnya. Hatinya yang dulu pasti, kini mulai bimbang. Ia tidak tahu mana yang
harus ia pilih. Menemani Arlita pergi berbelanja atau menyusul Ayu ke rumah
orang tuanya dan ke restoran tempat ia janjian ingin bertemu dengan Sonny.
“Nan …! You hear me?” Suara Arlita membuyarkan lamunan
Nanda.
“Yes, I hear. Aku jemput kamu jam sembilan.”
“Oke. Makasih, Sayang! Emmuach …!”
“Mmuaach …!” balas Nanda dan ia mematikan panggilan
telepon dari Arlita.
Nanda menghela napas. Ia bergegas mempersiapkan
dirinya untuk pergi bersama Arlita.
Sementara, Ayu memilih untuk pergi ke rumah bundanya.
Berbincang beberapa hal tentang masa depannya sebelum ia menyusul Nadine dan
Sonny di salah satu restoran yang telah ia janjikan sebelumnya.
Tepat di jam dua belas siang, Ayu melangkahkan kakinya
perlahan, masuk ke dalam restoran bintang lima yang sudah dipesan Nadine dan ia
segera pergi ke VIP Room.
“Siang …!” sapa Ayu sambil melangkah masuk ke ruang
VIP yang sesuai dengan nomor yang diberikan Nadine.
“Siang, Roro Ayu …!” balas Nadine sambil menghampiri
Ayu dan merangkulnya penuh ceria. “Look! Aku bawa siapa?” Ia memainkan mata ke
arah Sonnya yang duduk di kursinya sambil tersenyum menatap Ayu.
“Aku sudah tahu, Nad. Kemarin, kamu sudah bilang
‘kan?” sahut Ayu.
“Mmh … iya juga, sih. Ayo, duduk!” pinta Nadine sambil
mengajak Ayu untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Sonny.
“Gimana kabar kamu, Ay?” tanya Sonny.
“Baik. Kamu gimana?” tanya Ayu sambil menatap pria
berkacamata dengan kulit sawo matang. Mata sipit dengan alis tebal dan hidung
bangir … bagi Ayu, Sonny adalah pria tampan versi dirinya sendiri. Bukan hanya
terlihat berwibawa di luar, Sonnya juga selalu bersikap lembut dan baik hati.
Sebagai dokter muda, ia juga masuk dalam daftar mahasiswa terbaik. Ia
benar-benar merasa hidupnya sangat menderita. Sudah memiliki kekasih yang
begitu sempurna dan sesuai impiannya, tapi malah terenggut oleh tindakan biadab
seorang pria yang kini berstatus sebagai suaminya.
Nadine menatap nanar ke arah Ayu yang matanya kini
berkaca-kaca. “Ay, apa kamu butuh waktu untuk bicara berdua aja sama Sonny?”
“Nggak perlu, Nad. Ayu sudah menikah. Tidak pantas
kalau aku hanya bicara berdua dengnnya. Kamu bisa jadi saksi pembicaraan kami.
Dengan begini, aku akan lebih mudah menjelaskan pada Nanda jika dia
mempertanyakan pertemuan ini,” tutur Sonny.
“Aku sudah bilang ke Nanda
kalau ketemu kamu di sini. Dia juga lagi
pergi sama Arlita,” ucap Ayu lirih.
“Arlita siapa?” tanya Nadine.
“Pacarnya Nanda,” jawab Sonny.
Nadine mengernyitkan dahi. “Hubungan
kalian ini gimana, sih? Aku nggak paham. Asli. Roro nikah sama Nanda. Tapi dia
jalan sama Sonny. Terus, suami kamu itu masih punya pacar? Aku pusing
mikirinnya, Ro.” Ia mengaduk-aduk orange juice di hadapannya dan menyesapnya
perlahan sambil menatap wajah Ayu.
“Nggak usah dipikirin, Nad.
Kalau bukan karena desakan keluarga, aku nggak akan nikah sama Nanda, sementara
aku sudah tunangan sama Sonny. Aku ...” Ayu menghentikan ucapannya sambil
melirik ke arah Sonny.
Nadine menaikkan kedua alisnya,
menunggu Ayu melanjutkan ucapannya.
“Aku hamil anak Nanda, Nad,”
ucap Ayu lirih sambil menundukkan kepala. Ia tidak bisa lagi menutupi hal ini
dari Nadine. Toh, Sonny juga sudah mengetahui jika ia sudah mengandung anak
dari Nanda.
Slrrrr ...!
Orange juice yang ada
di dalam mulut Nadine langsung keluar begitu saja tanpa bisa dikendalikan.
“Nadine ...!” seru Ayu kesal
saat tangannya ikut terkena percikan jus dari mulut Nadine.
“Sorry ... sorry ...!” Nadine
langsung menarik tisu dan memberikannya pada Ayu. Ia menoleh ke arah Sonnya
yang duduk di samping Ayu. “Son, kamu diam aja? Tunanganmu hamil anak orang
lain dan kamu masih bisa baik sama dia? Hebat kamu, Son!” Ia mengacungkan jempol
ke arah Sonny.
“Aku nggak punya alasan buat
jahat sama Ay. Ini kecelakaan, Nad. Daripada keluarga ribut, lebih baik
membiarkan Ay menikah dengan Nanda,” jawab Sonny.
Nadine menghela napas.
“Hubungan kalian ini bikin aku sakit kepala.”
“Nggak usah ikut mikirin, Nad!
Aku baik-baik aja, kok. Aku sama Sonny, masih bisa berteman meski kami nggak
bisa bersama. Mungkin, jodoh kami hanya sampai bertunangan dan Tuhan punya
rencana lain untuk kami,” ucap Ay sambil menatap wajah Sonny. Ia terus
menyunggingkan senyuman ke arah pria itu. Jujur, ia sangat merindukan pria ini.
Rindu tertawa bahagia bersamanya sembari melakukan banyak hal.
Sonny balas tersenyum ke arah
Ayu. “Mungkin ... ini yang dibilang mencintai tak harus memiliki. Sekalipun aku
nggak bisa miliki kamu, aku akan tetap cinta sama kamu.”
Ayu tersenyum dengan mata
berkaca-kaca.
“Roro, nggak usah sedih! Jangan
nangis!” pinta Nadine sambil menggenggam tangan Ayu. “Son, kamu jangan bikin
Roro Ayu sedih, dong! Udahlah, kalian ikhlas dan hidup untuk masa depan
masing-masing. Masih bisa berteman kayak dulu ‘kan?” Nadine tersenyum sambil
mengerdip-ngerdipkan matanya.
Ayu dan Sonny saling pandang.
Kemudian tersenyum dan mengangguk setuju.
“Nggak ada gunanya kalau kalian
saling membenci. Lebih baik, saling support. Itu bisa bikin masa depan kita
jauh lebih tenang. Aku tahu, kalian pasti jadi canggung. But, lama-lama akan
terbiasa, kok,” tutur Nadine sambil tersenyum manis.
Ayu mengangguk setuju. Ia tidak
memiliki pilihan lain. Bisa melihat Sonny dari dekat saja, ia sudah bahagia
meski tidak bisa memiliki pria itu.
“Gitu, dong. Kamu jaga anak itu
baik-baik, Ro. Meski kamu tidak menginginkannya, tapi Tuhan sudah
mengirimkannya untukmu. Di luar sana, ada banyak orang yang kesulitan untuk
mendapatkan keturunan. Kamu bersyukur karena Tuhan memberikanmu amanah.
Kesempurnaan seorang wanita adalah menjadi seorang ibu,” tutur Nadine.
Ayu mengangguk tanda mengerti.
“Aku dokter kandungan dan Sonny
dokter spesialis anak. Kamu bisa konsultasi sama kami sejak dini. Perkembangan anak
harus diperhatikan dari seribu hari pertama kehidupan. Mulai dari dalam
kandungan sampai usia dua tahun adalah saat-saat terpenting. Harus perhatikan
asupan nutrisinya. Ibu hamil juga nggak boleh setress. Singkirkan semua masalah
yang sedang kamu hadapi dan fokus untuk perkembangan anakmu dulu. Oke?” pinta
Nadine sambil tersenyum manis.
Ayu mengangguk lagi. Ia merasa
beruntung mendapatkan teman seperti Nadine. Andai saja ia bertugas di Surabaya,
akan terasa lebih baik karena setiap hari bisa bertemu dan memiliki teman untuk
berbagi. Sebab, Nanda yang masih terus bersama Arlita ... memang cukup
mengganggu pikirannya.
“Selamat siang, Dokter Cantik
...!” sapa Rocky sambil berbisik di telinga Nadine.
Nadine langsung memutar
kepalanya dan bibirnya tak sengaja menempel di pipi Rocky.
Rocky tersenyum manis. “Makasih
ciuman sambutannya!”
Nadine buru-buru menarik
wajahnya. “Kamu bener-bener cari kesempatan, hah!?” dengusnya.
“Mmuach ...!” Rocky langsung
mengecup pipi Nadine dan merangkul pundak wanita itu. “Kangen sama aku? Makanya
datang ke sini?” bisiknya.
“Kepedean banget, sih? Aku ke
sini mau lihat kakek,” jawab Nadine.
“Sekalian ketemu aku ‘kan?”
tanya Rocky sambil memainkan alisnya.
Nadine mengerutkan wajah sambil
memutar bola matanya.
“Kalian berdua udah jadian
lagi?” tanya Ayu sambil tersenyum bahagia melihat Nadine dan Rocky.
“Nggak Ro, males aku jadian
sama cowok kayak gini,” sahut Nadine.
“Males tapi mau dicium juga,”
goda Rocky sambil menyolek dagu Nadine.
“Apaan sih, Ky?” Nadine menepis
tangan Rocky. “Nggak sengaja. Lagian, kamu kebiasaan banget main cium-cium
aja!”
Ayu dan Sonny tertawa kecil
melihat tingkah Rocky dan Nadine. Mereka terlihat saling mencintai, tapi enggan
untuk berkomitmen. Mungkin karena Rocky yang don juan, membuat Nadine enggan dengan
pria itu meski ada cinta di dalam hatinya.
“Nggak papa kamu nolak aku
terus. Yang penting, papamu nggak nolak aku sebagai calon mantu dia,” tutur
Rocky sambil duduk santai di sebelah Nadine. Tangan satunya, terlentang di
belakang punggung wanita idamannya itu.
“Nggak usah bawa-bawa papa,
ya!” dengus Nadine.
“Hehehe. Yah, mau gimana lagi.
Aku nggak punya cara lain selain deketin papamu. Abisnya, kamu nolak aku terus.
Jadi, aku harus bisa buat papamu menolak pria mana pun yang ngelamar kamu. Cuma
aku yang boleh jadi suamimu,” ucap Rocky penuh percaya diri.
“Possesive!” dengus Nadine.
“Yah, daripada kamu dimiliki
sama cowok lain. Apalagi kamu ke sini sama Dokter Sonny. Dokter Sonny baru aja
putus sama tunangannya. Bisa aja kamu dilahap sama dia ‘kan?” sahut Rocky.
Sonny tertawa kecil sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nadine sudah seperti saudariku sendiri. Nggak
akan seperti itu, Ky.”
“Bener, ya! Aku pegang
omonganmu ini. Nadine Cantika hanya milik Enrocky seorang. Nggak ada yang boleh
deketin dia!” tegas Rocky.
Nadine memutar bola matanya.
“Kamu kebiasaan banget, sih? Aku nggak suka kalau kamu kayak gini, Ky. Emangnya
kamu bisa dua puluh empat jam ada di sampingku? Aku juga berhak punya
kehidupan. Kamu aja masih bisa jalan sama cewek lain, godain cewek-cewek cantik
di luar sana. Kenapa aku dikaplingkan tanpa izin kayak gini?” protesnya.
Rocky terkekeh geli mendengar
kalimat protes dari Nadine. “Kamu itu perempuan. Beda sama laki-laki. Perempuan
itu harus setia!”
“Terus, laki-laki nggak boleh
setia, gitu?” tanya Nadine.
“Boleh. Tapi ... laki-laki itu
memang harusnya berkelana. Supaya bisa lihat banyak dunia. Supaya bisa tahu ...
dari ribuan cewek yang aku kenal dan aku deketin. Cuma kamu satu-satunya wanita
terbaik yang bikin hatiku bergetar,” jawab Rocky sambil tersenyum.
“Hmm ... kalau soal gombal,
kamu emang paling pandai,” celetuk Nadine.
“Iya, dong. Ayahku paling jago
kalau gombalin bundaku. Bunda seneng aja tuh digombalin sama ayah. Kenapa kamu
nggak ada seneng-senengnya sama sekali kalau digombalin?” tanya Rocky.
“Aku nggak suka bertele-tele,
Ky.”
“Ya udah, besok aku lamar kamu.
Gimana?” Rocky memainkan alisnya menatap Nadine.
“Ogah!”
“Aih. Kapan sih kamu terima
aku, Nad?” tanya Rocky sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Tunggu kamu berubah,” sahut
Nadine.
“Berubah jadi apa? Cinta itu
harus terima apa adanya,” tanya Rocky.
“Kalimat itu hanya berlaku
untuk pria yang nggak mau berusaha,” sahut Nadine sambil mengunyah makanan di
mulutnya.
“Kamu ...!?” Rocky menatap
kesal ke arah Nadine.
Ayu terus tertawa melihat
perdebatan dan pertikaian antara Nadine dan Rocky. Ia selalu terhibur melihat
dua pasangan itu. Hubungan mereka yang pasang surut, tetap saja terlihat
romantis dan selalu ada cinta di mata mereka masing-masing.
Di tempat lain ...
Nanda mulai jengah saat ia
melangkahkan kakinya menemani Arlita berkeliling di pusat perbelanjaan.
Biasanya, dia selalu menemani wanita ini dengan senang hati. Tapi kali ini,
perasaannya sungguh berbeda. Pikirannya terus melayang jauh pada Sonny dan Ayu
yang sedang janjian untuk makan siang bersama.
“Nan, yang ini bagus atau
nggak?” tanya Arlita sembari menunjukkan sebuah gaun malam seksi yang ia pilih
untuk dirinya sendiri.
“Bagus,” jawab Nanda tanpa
melihat ke arah Arlita. Ia meletakkan semua paper bag yang ia bawa dan duduk di
sofa yang ada di butik tersebut.
Arlita tersenyum. Ia sibuk
memilih pakaian lain yang ia suka dan bisa ia gunakan untuk pergi party bersama
teman-temannya.
Nanda menggigit bibir bawahnya
sambil mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Ia ingin mengirim pesan pada Ayu,
tapi tidak tahu kalimat apa yang harus ia tanyakan pertama kali pada istrinya
itu. Beberapa kata yang sudah ia tulis, ia hapus lagi. Mengirimkan pesan pada
istrinya saja, ia menjadi sangat bimbang seperti ini.
Nanda menghela napas kesal. Ia
akhirnya men-dial nomor Ayu untuk mempertanyakan keberadaan wanita itu.
“Halo ...!” suara merdu Roro
Ayu langsung menggema di telinga Nanda.
“Ach, sial ...!” umpat Nanda
dalam hati. Ia memijat kepalanya yang berdenyut saat mendengar suara Ayu yang
begitu sensual di telinganya. Dadanya tiba-tiba penuh sesak hanya karena
mendengar satu kata lembut saja dari bibir wanita itu.
“Halo, Nanda ...! Are you
there?” tanya Ayu lembut.
Nanda menarik napas dalam-dalam
dan membuangnya dengan kasar. “Kamu di mana? Sudah selesai makannya?”
“Masih di restoran sama Nadine,
Rocky dan Sonny,” jawab Ayu.
“Rocky itu siapa lagi?” tanya
Nanda.
“Pacarnya Nadine,” jawab Ayu
lembut.
“Di restoran mana?” tanya Nanda
lagi.
“Kamu mau nyusul?” tanya Ayu
balik.
Nanda terdiam selama beberapa
saat.
“Kalau kamu mau nyusul, aku
akan kasih tahu tempatnya. Without Arlita,” jawab Ayu.
“Kamu bisa pergi sama Sonny,
kenapa aku nggak bisa bawa Lita?” tanya Nanda.
“Sonny dan Arlita itu berbeda,”
jawab Ayu dan langsung memutuskan panggilan telepon dari Nanda.
Nanda mendengus kesal sembari
menatap layar ponselnya yang sudah mati. “Shit!”
“Kenapa, Nan?” tanya Arlita
saat mendengar Nanda mengumpat kesal. Ia langsung duduk di samping Nanda dan
bergelayut manja.
“Ayu nih ngeselin banget. Waktu
dia masih pacaran sama Sonny, dia selalu baik sama aku. Dia juga penurut banget
sama pacarnya itu. Giliran udah jadi istriku, dia selalu aja ketus sama aku dan
pembangkang. Aku udah coba buat bersikap baik sama dia. Eh, besoknya tetep aja
masih nyebelin. Aku kayak nggak ada harganya sebagai suami,” jawab Nanda sambil
menahan kesal.
“Nan, Ayu itu emang independen
woman. Mana mau dia diperintah sama laki-laki. Aku tahu banget sifat dia yang
dominan dan sok star itu. Kamu pelihara aku aja! Aku akan nurutin semua yang
kamu mau. Bisa menemanimu bersenang-senang setiap hari kalau kamu jengah dengan
istrimu di rumah.” Arlita berbisik di telinga Nanda.
Nanda menghela napas dan
menatap lekat wajah Arlita. “You’re a good puppy,” ucapnya sambil tersenyum dan
menjepit dagu Arlita.
Arlita balas tersenyum dan
menatap wajah Nanda penuh cinta. “Setelah Ayu melahirkan, kamu ceraikan dia nikahi
aku, ya!” pintanya manja.
Nanda mengangguk. “Udah selesai
pilih bajunya?”
“Udah. Udah aku taruh di
kasir,” jawab Arlita sambil menunjuk meja kasir dengan dagunya.
Nanda langsung bangkit. Ia
menghampiri meja kasir dan mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya.
Arlita tersenyum puas saat
Nanda masih terus menjamin kelangsungan hidupnya. Baginya, Nanda adalah ladang
uang yang tidak akan ia lepaskan dengan mudah begitu saja. Baginya, Roro Ayu
tidak ada apa-apanya dan ia akan menyingkirkan wanita itu perlahan.
Hubungan pertemanan yang
terjalin di antara mereka, sudah terputus sejak Roro Ayu mengkhianatinya dan
mengandung anak dari Nanda. Karena wanita itu sudah menghancurkan semua
rencananya dan nyaris kehilangan Nanda. Ia tidak peduli dengan status Nanda
saat ini. Dia masih sangat mencintai Nanda dan membutuhkan pria itu dalam
hidupnya.
“Mau cari apa lagi?” tanya
Nanda setelah ia selesai membayar semua tagihan belanja milik Thalita.
“Mmh ... nggak ada. Semuanya
udah lengkap. Gimana kalau kita pergi makan?”
“Mau makan di mana?” tanya
Nanda.
“de Soematra enak. Gimana?”
tanya Arlita balik sambil meraih banyak paper bag yang tergeletak di lantai dan
memberikannya sebagian ke tangan Nanda.
“Boleh.” Nanda mengangguk. Ia
bergegas keluar dari pusat perbelanjaan Galaxy Mall dan menuju ke sebelah barat
kota tersebut untuk mencapai rumah makan yang bisa ditempuh dengan waktu
sepuluh menit saja saat jalanan lengang.
((Bersambung ...))
DAFTAR BACAAN :
Bab 1 - Pesta Malapetaka
Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan
Bab 3 - Pukulan untuk Ayah
Bab 4 - Tak Ingin Berdamai
Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak
Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu
Bab 7 - Tak Harmonis
Bab 8 - Mulai Cemburu
Bab 9 - Membangun Hubungan
Bab 10 - Nyaman Bersama Mantan
______________________
Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.
©Copyright www.rinmuna.com