Sumber gambar : Pexels/freestock |
Bilakah suara itu kudengar? Bukan sekadar degupan jantung yang hanya diriku saja mendengar saat kita bertemu.
Aku ingin ada suara berat yang menyatakan bahwa “aku akan memperjuangkanmu”.
Kadang aku merasa mustahil. Kadang pula seperti ada secercah cahaya yang memberi harapan.
Kadang layu begitu saja. Kadang tumbuh hanya karena melihat cuaca. Memang perihal menunggu, menjadi sebegitunya.
Aku pernah menunggu, namun tak pernah sejatuh ini. Aku pernah jatuh cinta, namun tak pernah sejatuh ini.
Aku yang sedari tadi masih betah berbaring di atas kasur, masih saja menerawang lebih dalam pikiranku sendiri.
Apa yang menyebabkan aku bertahan menunggu sampai sejauh ini? Bukankah sampai hari ini, hari yang masih saja matahari terbit dengan cerah, ia tak kunjung datang menemuiku?
Sesekali aku membalikkan badanku. Betapa kusutnya pikiranku, hari-hariku masih saja dipenuhi dengan namanya. Dipenuhi dengan pertanyaan yang kubuat sendiri dan tentunya masih belum kutemui jawabannya.
“dia apa kabar?”
“apakah dia mengingatku?”
“apakah dia akan kembali untuk menjemputku kali ini, agar kami bisa hidup bersama?”
“apakah hanya aku yang mengingatnya?”
“jangan-jangan perasaan ini sedang menepuk udara?”
Arrrgh. Sekali lagi kubalikkan badanku, membelakangi lemari baju, rak buku, meja belajar yang berdekatan dengan tempat tidur ku. Sejujurnya aku lelah. Aku ingin saja kalah dengan keadaan.
Membiarkan semua perasaanku terbang ke udara, menguap ke mana saja, dan tak peduli akan kembali atau tidak.
Namun jauh di dalam hatiku, aku ingin menang. Aku ingin suatu saat dia kembali dengan menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku. Lalu apa aku siap bila suatu saat aku ditinggal pergi lagi?
Ah sungguh, perempuan memang serumit itu.
Kali ini aku lelah. Aku bangkit menuju kamar mandi dengan jalan sempoyongan. Rasanya kepalaku nyaris meledak. Kalau beneran meledak, aku ingin bersyukur.
Sebab dengan begitu akan keluar isinya, lalu keluar pula namanya, sehingga aku bisa menggunakan kepalaku kembali dengan ringan dan jernih tanpa namanya lagi. Pemikiran konyol apa lagi ini.
Mungkin kau memang tak pernah tahu, bahwa ada aku yang menunggu. Sebab hari itu, kita saling pergi dan meninggalkan dengan menyeret seluruh barang kenangan.
Namun tanyaku masih tertinggal. Bukan saja tentang apakah kau akan mengingatku setelah ini. Bukan.
Melainkan apa maksud semua kalimatmu di hari-hari yang pernah kita lalui? Hatiku pernah berbunga, mekar dan mewangi. Hatiku pun pernah berdesir hanya karna menerima pesan darimu.
Aku pun berjingkrak bahagia ketika aku menertawakan betapa lucunya obrolan kita.
Katanya, lelaki baik menanggapi percakapan perempuan hanya karna nyaman belum tentu menaruh perasaan. Sebab semua lelaki memang baik. Saat perempuan meminta pertolongan, ia bisa sigap datang dan membantu. Saat perempuan ingin didengarkan, ia menyiapkan telinganya untuk mendengarkan.
Benarkah hanya aku yang memiliki perasaan jatuh dan sedang menepuk udara? Tanganku tak bersambut. Kau masih saja kutunggu. Kau pun masih saja tak kunjung datang. Di setiap pergantian hari, aku melangitkan doa. Di setiap pergantian waktu, aku melirik jam yang berdetak. Di setiap yang berlalu lalang, ku menaruh harap yang dirangkai dalam doa,
“semoga kau salah satunya, dan ingin menetap.”
Aku ke luar dari kamar mandi. Selama di dalam kamar mandi aku merasa seperti sedang berbicara dengan diri sendiri. Mengingat kembali, mengenang, bertanya, menjawab, lalu ditutup dengan penerimaan. Barangkali suaranya tak perlu kudengar saat ini. Tanyaku pula tak perlu dijawab sekarang. Suatu hari yang masih kusemogakan, kau berkenan hadir dan memberi jawaban. Tidak lagi membiarkan aku menunggu.