rinmuna.com |
Hari ini aku dibuat gelisah karena putri kecilku tiba-tiba sakit lagi. Sejak dua minggu yang lalu kondisi tubuhnya tidak stabil. Tapi ia sulit sekali dibawa periksa ke dokter. Banyak sekali alasan yang ia lakukan agar aku tidak membawanya pergi ke dokter. Akhirnya, aku harus memikirkan cara agar dia bisa diajak keluar.
Puteri kecilku sangat suka dengan permen Yupi. Akhirnya, aku
mengajaknya keluar untuk membeli permen Yupi sembari mampir ke dokter praktek.
Saat sampai di sana, si kecil tidak mau diajak turun dari
motor. Dia tidak mau dibawa periksa ke dokter.
“Ma, beli obat aja! Nggak usah periksa!” rengeknya sambil
memeluk erat pinggangku.
Aku tersenyum dan mengatakan hal yang bisa membuatnya tidak
ketakutan.
Akhirnya, dia mau turun dari motor digendong oleh Mamaku.
Kami masih harus menunggu selama lebih dari satu jam untuk mendapatkan layanan
pemeriksaan.
Di tengah waktu menunggu. Aku memikirkan banyak hal.
Terutama masalah keuangan yang sedang aku alami. Ya, aku memang sedang
kesulitan mendapatkan uang. Beberapa hari yang lalu, aku bahkan hanya memiliki
uang tiga puluh ribu rupiah. Aku sangat khawatir kalau tidak bisa membayar obat
untuk anakku.
Alhamdulillah ... hari ini aku bisa mendapatkan uang dua
ratus ribu rupiah dari hasil menjahit dan menjual pernak-pernik. Aku harap;
uang ini cukup untuk kupakai memeriksakan anakku.
Sebenarnya, aku mengumpulkan uang untuk keperluan USG.
Karena aku juga sedang mengandung seorang bayi di dalam perutku dan harua
segera melakukan USG agar aku bisa mengetahui berapa usia kehamilanku
sebenarnya.
Aku terlalu sibuk dengan kegiatanku sehingga aku tidak
menyadari kalau aku sudah telat haid selama beberapa bulan. Aku sampai tidak
menyadari kalau ternyata aku sedang hamil.
Aku mengambil banyak kegiatan dan kesibukan untuk
mengalihkan kesedihanku.
Sejak aku memutuskan untuk menjalani kehidupanku sendiri tanpa suami. Tentu aku harus lebih menguatkan lagi pundakku untuk memikul beban yang lebih berat. Aku masih harus menghidupi kakek dan nenekku yang sudah renta. Menghidupi anak-anakku yang masih kecil-kecil. Tanpa pekerjaan tetap. Aku hanya bisa mengandalkan uang dari hasil aku menulis novel. Tidak banyak, tapi sudah bisa aku buat untuk membeli satu unit sepeda motor. Sebab aku membutuhkan kendaraan untuk banyak kegiatanku.
Huft ... rasanya memang melelahkan.
Aku memilih hidup sendiri bukan tanpa sebab.
Bagiku, punya suami dan tidak punya suami rasanya sama saja.
Dia lebih seperti seorang anak daripada seorang suami apalagi disebut sebagai kepala rumah tangga.
Sudah hampir enam tahun kami menikah, ia tak juga menjadi dewasa. Masih seperti anak-anak. Aku masih harus bekerja setiap hari untuk menghidupi keluargaku. Sementara, ia hanya menghabiskan waktunya untuk bermain game semalaman. Siangnya, ia habiskan waktunya untuk tidur sampai sore.
Selama lima tahun lebih aku harus menahan kesabaranku hidup bersama seorang pria yang aku sendiri tidak tahu ke mana arah tujuan hidupnya. Setiap kata yang ia ucapkan, tak sesuai dengan kenyataan yang ada. Kalau dibilang tertipu, mungkin dulu aku sudah tertipu dengan ucapan manisnya sebelum kami menikah. Kenyataannya, tak seperti yang ia ucapkan dulu. Sampai akhirnya, aku berada di titik paling lelah dan memilih menjalani semuanya sendiri.
Sungguh berat aku menuliskan semua kisahku. Banyak kata yang aku simpan selama ini di dalam hati. Tak mampu kuungkapkan pada siapa pun bahkan pada Mamaku sendiri. Tapi ... aku tidak tahu sampai kapan aku harus menyimpannya. Semakin hari semakin bertambah dan aku merasa sangat berat menjalaninya.
Kata orang, aku sangat sabar menjalani semuanya. Bahkan sampai sekarang aku masih terus bersabar menerima semua penderitaan yang memang sudah seharusnya aku nikmati.
Sampai kapan?
Terkadang aku pula bertanya pada diriku sendiri. Sampai kapan aku harus bersabar? Apakah dengan menyerah dan memilih menjalani semuanya sendiri, itulah batas kesabaranku?
Ternyata tidak. Masih ada banyak hal yang menguji hatiku untuk terus bersabar. Sampai akhirnya aku merasa kalau rasa sabar yang diciptakan Tuhan itu tidak berbatas. Hanya aku saja yang memberi batas kesabaran itu sendiri. Setiap hari, aku bahkan melatih hatiku untuk mengendalikan emosi. Sesakit apa pun, sesulit apa pun, aku ingin tetap tersenyum. Sebab senyumlah yang memberikan aku kekuatan saat aku ingin menyerah. Senyumlah yang menunjukkan padaku, bahwa rasa sabar itu tidak pernah ada batasnya. Jika suatu hari aku berhenti bersabar, itu artinya hatiku telah kalah dikendalikan oleh emosi dan keegoisanku sendiri.