Bab 3
-Survive-
“Andi... bangun! Sebentar lagi azan subuh.” Ranti melirik jam dinding sembari menggoyangkan tubuh Andi.
Andi mengangkat tubuhnya sembari mengucek kedua matanya yang masih mengantuk.
“Cepat mandi! Surau sudah menunggumu!” Ranti mengikat rambutnya dan bergegas ke dapur untuk menjerang air panas.
Andi bergegas ke sumur dengan menggunakan senter untuk menerangi jalannya. Secepatnya ia mandi, tubuhnya yang kecil menggigil setiap tersentuh air sumur di subuh hari. Namun, ia tak pernah menyerah. Pada siraman ketiga, ia akan terbiasa dan menikmatinya.
Pagi buta mereka sudah sibuk, melakukan aktivitas yang biasa dilakukan kedua orang tuanya. Ranti berperan sebagai ibu untuk Sinta dan Andi. Andi yang masih berusia tujuh tahun, cukup mengerti keadaan yang mereka jalani saat ini. Berbeda dengan Sinta yang masih terus menanyakan keberadaan kedua orang tuanya.
Ranti menghela napas saat menakar beras yang akan ia masak. Hanya tersisa segenggam beras untuk mereka makan esok.
Ranti mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Melihat kebun kecil mereka yang terisi aneka tanaman. Ranti memang sangat senang berkebun bersama Emak. Itulah sebabnya di pekarangan belakang rumahnya ditumbuhi aneka tanaman sayur dan buah.
“Jika beras habis, aku masih bisa menggantinya dengan singkong,” gumam Ranti sembari tersenyum menghibur dirinya sendiri. Ia tak ingin menyerah dengan keadaan. Ia tak ingin mengharap belas kasih dari orang lain. Namun, ia tetap tak pernah bisa menolak ketika Bu Yogi memberi aneka sembako untuknya.
“Ini rejeki untuk adik-adikmu. Jangan menolaknya! Ibu hanya perantara.” Kalimat itu terus terngiang di telinga Ranti, membuatnya tak bisa menolak pemberian Bu Yogi.
“Mbak, kaos kaki aku di mana?” teriakan Andi membuyarkan lamunan Ranti.
“Cari saja di lemari!” Suara Ranti tak kalah kerasnya.
“Nggak ada Mbak.” Andi masih berteriak dari dalam kamarnya.
Ranti bergegas masuk ke dalam kamar. Mencari kaos kaki yang dicari Andi. Akhirnya ia menemukannya di bawah ranjang tidur mereka. “Lain kali jangan taruh sembarangan!”
“Maaf Mbak.” Andi meraih kaos kaki dari tangan Ranti.
“Mbak masih buat sarapan. Bangunkan Sinta dan ajak dia mandi dulu!” pinta Ranti bergegas kembali ke dapur.
Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk di meja makan dengan seragam sekolahnya. Sinta belum bersekolah, namun Ranti selalu membawanya serta ke sekolah. Sebab tak ada yang menjaganya di rumah. Ia tak mungkin terus-menerus merepotkan tetangga. Hanya sesekali ia mengiyakan tawaran Bu Yogi untuk meninggalkan Sinta bersamanya. Kini, Ranti sudah di penghujung kelulusan SD. Ia masih tidak tahu akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi atau memilih berhenti mengejar cita-cita demi kedua adiknya.
***
Sepulang sekolah, Ranti langsung berganti pakaian. Bergegas menuju kebun untuk mengambil singkong dan beberapa sayuran. Ia tak pernah meninggalkan Sinta, selalu ia bawa kemana saja bahkan ke kebun sekalipun.
Karena hanya memiliki segenggam beras, Ranti harus pandai membuat hidangan untuk kedua adiknya.
“Sinta, kamu jangan ke mana-mana ya! Mbak mau masak dulu.” Ranti meletakkan keranjang sayuran di atas meja. Memastikan Sinta duduk manis di kursi.
Sinta mengangguk, asyik mengajak boneka kesayangannya bercerita.
Ranti tersenyum melihat Sinta yang sudah asyik bermain. Ia sudah jarang menanyakan keberadaan kedua orang tuanya. Lama-lama, Sinta akan melupakannya.
Ranti memotong-motong kangkung, jagung dan singkong untuk ia masak bersama segenggam beras yang masih tersisa. Mungkin ini akan terasa aneh. Tapi, setidaknya cukup untuk mereka makan bertiga.
“Ini makanan apa Mbak?” tanya Andi ketika Ranti menghidangkan makanan yang baru saja selesai ia masak. Ia mengamati makanan yang terhidang di depannya. Seperti sayuran, tapi ada bubur nasinya. “Ini sayur atau bubur?”
“Makan saja!” suara Ranti parau, tak kuasa menahan kesedihan. Seandainya Bapak dan Emak masih ada. Pastilah kebutuhan gizi kedua adiknya akan selalu terpenuhi.
Andi tak banyak bicara. Ia melahap habis makanan yang dihidangkan Ranti. Sama dengan Sinta. Ia hanya menurut saja apa kata Mbak Ranti.
Keesokan harinya, Ranti hanya bisa menghidangkan singkong.
Andi menyadari kesulitan Mbak Ranti. Namun, ia tak ingin banyak bertanya. Itu akan membuat Mbak Ranti semakin marah.
Andi berjalan perlahan menuju kandang ayam. Ia membawa sekaleng biji jagung untuk pakan ayam-ayamnya.
Andi memperhatikan satu per satu ayam-ayam miliknya. Sebenarnya ini ayam-ayam milik Bapak. Bapak senang sekali memelihara ayam. Dan selalu mengajak Andi untuk memberi pakan ayam-ayamnya.
Dua ekor induk ayam baru saja turun dari kandangnya. Ia mengintip dari celah-celah kandang. Sudah ada empat telur di sana. Andi tersenyum senang. “Akan ada penghuni baru di kandang ini,” batin Andi.
Andi menangkap seekor ayam yang lumayan gemuk. Membawanya ke pasar untuk ia jual. Lumayan, hasil penjualan ayam ini bisa ia berikan ke Mbak Ranti untuk membeli beras.
“Mbak, ini ada sedikit uang untuk membeli beras.” Andi mengulurkan beberapa lembar uang untuk Ranti.
“Kamu punya uang dari mana? Tidak mencuri, kan?” Ranti mendelik.
Andi menggeleng.
“Lalu dapat dari mana? Mengemis?”
Andi menggeleng lagi.
“Bilang sama Mbak. Kamu dapat uang ini dari mana!?” Ranti meninggikan nada suaranya.
“Tadi aku menjual satu ekor ayamku ke pasar. Ini uang hasil jual ayam Mbak. Aku tidak mencuri dan tidak mengemis.” Andi menyodorkan kembali uang itu di wajah Ranti.
“Kamu jual ayam Bapak?”
“Aku merawatnya bersama Bapak. Aku juga berhak atas ayam itu Mbak. Lagipula, dua ekor betinaku sedang bertelur. Aku berniat untuk menekuni hobiku beternak. Kalau dijual ke pasar, hasilnya lumayan Mbak.” Andi mengerdipkan matanya.
“Tapi An...”
“Andi masih kecil?”
Ranti tersenyum memandang tubuh Andi yang tak lagi semungil dulu.
“Andi laki-laki. Tidak harus menjadi dewasa dulu untuk menjaga Mbak Ranti dan Sinta.”
“Oke. Kalau gitu, gimana kalau Mbak Ranti menjual sayuran-sayuran itu ke pasar?” Ranti tersenyum melipat kedua tangannya di dada. Memandang kebun kecil yang penuh aneka sayuran yang ia tanam.
Andi mengangguk gembira. “Ide bagus Mbak. Jadi, Andi jual ayam kampung dan Mbak Ranti jual sayuran.” Andi tertawa sumringah.
“Yes! Kita tidak perlu makan singkong setiap hari.” Ranti berjingkat memeluk adiknya.
“Assalamu’alaikum...!” Suara Bu Yogi terdengar dari kejauhan.
Ranti dan Andi saling memandang. “Bu Yogi!” ucap mereka bersamaan. Mereka bergegas membukakan pintu rumah.
“Wa’alaikumussalam.” Andi dan Ranti menjawab salam sembari membukakan pintu lebar-lebar.
Bu Yogi datang dengan dua kantong plastik berisi sembako. “Ini ada sedikit rejeki untuk kalian.”
Andi dan Ranti saling pandang. “Tapi Bu, Ibu suda terlalu sering memberi kami makanan. Kami tidak bisa terus menerus menerimanya,” ucap Ranti.
“Tidak baik menolak rejeki.” Bu Yogi berjalan masuk ke dapur tanpa dikomando.
“Bu, apa ada yang bisa kami lakukan untuk membalas kebaikan Ibu?” Ranti mengikuti langkah Bu Yogi yang sedang melihat-lihat isi dapur. Sesekali ia membelalak karena tidak ada makanan atau bahan makanan sedikitpun. Hanya ada dua potong singkong rebus di atas piring.
“Tidak ada. Ibu tidak meminta balasan apapun.”
“Bu, apa aku boleh angon bebek-bebek Ibu?” Andi sumringah menyela pembicaraan.
Bu Yogi tersenyum menatap Andi. “Mau?”
Andi mengangguk penuh semangat.
“Lebih baik Mbak Ranti saja yang menggembala bebek-bebek itu. Sebentar lagi Mbak Ranti sudah lulus sekolah. Kamu masih harus sekolah.” Sahut Ranti.
“Tapi, Mbak...” Andi merengut.
“Kamu tidak lanjut sekolah?” Bu Yogi menatap Ranti.
Ranti menggelengkan kepalanya. “Biaya masuk SMP tidak sedikit Bu. Lagipula, Sinta sudah harus masuk sekolah. Ranti mau kerja saja.”
“Kamu tidak perlu khawatir soal biaya. Ibu akan biayai sekolah kalian.”
Ranti menggeleng. “Ranti tidak ingin sekolah, Bu.”
“Bukankah kamu ingin jadi dokter?”
“Itu dulu, saat Bapak masih hidup. Sekarang beda Bu. Aku tidak akan pernah menjadi dokter.”
“Ranti yang Ibu kenal tidak seperti ini. Ranti yang ibu kenal selalu punya semangat untuk maju.”
Ranti menundukkan kepalanya, meremas jari jemarinya. Jauh dalam lubuk hati, ia ingin sekali mengejar mimpi-mimpinya. Ia sangat memimpikan gelar sarjana, seperti harapan kedua orang tuanya. Namun, ia tidak ingin mengorbankan kedua adiknya. Ia harus berjuang demi Andi dan Sinta. Ia ingin melihat Andi dan Sinta sukses menjadi sarjana. Dan ia harus berjuang mewujudkan mimpinya. Jika ia tak bisa mewujudkan mimpinya memakai toga, maka ia harus bisa melihat Andi dan Sinta memakai toga.