Thursday, March 14, 2019

Ranting Ranti [Bab 2 - Gubuk Kecil]



BAB 2
-Gubuk Kecil-
Ranti menatap pusara kedua orang tuanya yang baru saja di pasang di atas gundukan tanah yang masih basah. Tangannya perlahan menaburkan bunga-bunga ke atasnya. Matanya sembab, namun air matanya tak lagi bisa mengalir. Air matanya telah habis, ia hanya sesenggukan tanpa air mata yang membanjiri tubuhnya. 
Tatapan Ranti menerawang jauh pada beberapa tahun silam saat masih bersama dengan kedua orang tuanya. Kenangan itu membuat air matanya kembali menetes sedikit demi sedikit. Namun, segera ia usap dengan kerudungnya. Ia tak ingin tangisnya semakin memberatkan kepergian Bapak dan Emak. Dia harus ikhlas dengan semua ini.Dia harus kuat menjalani hidup demi kedua adiknya yang masih kecil.
"Ran, ayo pulang!" Bu Yogi membuyarkan lamunan Ranti.
"Ranti masih mau di sini, Bu."
"Kamu sudah terlalu lama di sini. Lihatlah hari sudah beranjak senja. Ayo kita pulang!Kita persiapkan tahlilan untuk kedua orang tuamu." Bu Yogi mengusap pipi Ranti yang basah.
Ranti mengangguk. Dengan berat hati ia meninggalkan pusara kedua orang tuanya. Kembali ke rumah. Rumah yang penuh kenangan bersama kedua orang tuanya.
"Bapak sama Emak mana Mbak? Katanya mau belikan Sinta sepeda. Kok nggak pulang-pulang?" Sinta mencecar pertanyaan saat Ranti baru sampai di rumahnya. Pertanyaan yang sangat menyesakkan di dada Ranti.
"Mbak Ranti mandi dulu ya!" Ranti mengusap pipi Sinta. Bergegas menuju sumur yang ada di belakang rumahnya. Ia harus bergegas mandi sebelum gelap menutupi pandangannya untuk kembali ke rumah.
Sementara Andi menarik lengan adiknya untuk masuk ke dalam kamar. Ia mengajak adiknya bermain di kamar agar tidak menganggu ibu-ibu tetangga yang sedang membantu memasak di dapur mereka untuk tahlilan arwah kedua orang tua mereka.
"Kak, kenapa orang ramai-ramai di rumah kita?" tanya Sinta. Ia mendengar riuh suara ibu-ibu yang sedang sibuk berjibaku di dapur kecil milik mereka.
"Mereka sedang membantu Mbak Ranti memasak." Andi menatap wajah Sinta yang masih polos.
"Bukannya Mbak Ranti sudah bisa masak sendiri? Kenapa harus dibantu? Mbak Ranti sakit?" tanya Sinta lagi.
"Karena hari ini Mbak Ranti mau masak yang banyak untuk kita." Andi kembali mengajak adiknya bermain, agar Sinta tak lagi bertanya perihal keramaian di dalam rumahnya. Andi tidak tahu bagaimana menjelaskan pada Sinta. Bahkan dia sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya. Ia hanya rindu, sangat rindu pada Emak dan Bapak. Biasanya, jam segini Bapak sudah mengajak Andi bersiap pergi ke Surau. Bapak biasa menjadi muazin untuk memanggil orang-orang datang ke Surau. Andi bahkan sudah bisa menjadi muazin seperti Bapaknya. Namun, ia belum memiliki keberanian untuk mengeluarkan suaranya di depan pengeras suara Surau.
Tanpa disadari, air mata Andi jatuh bulir demi bulir. Merindukan sosok Bapak yang selama ini menjadi panutan. 
"Kenapa nangis?" Suara Sinta membuyarkan lamunan Andi.
"Nggak papa. Kakak cuma kelilipan matanya." Andi mengusap matanya yang basah.
"Bapak sama emak mana ya? Katanya mau belikan sepeda baru buat Sinta. Kok nggak pulang-pulang?" Sinta menatap jendela kamar.
Hari mulai gelap, satu per satu warga berdatangan untuk menghadiri tahlilan kedua orang tua Ranti. Acara tahlilan berlangsung dengan khusyuk dan khidmat. 
Lagi-lagi air mata Ranti kembali berderai saat malam mulai larut dan warga telah kembali ke rumahnya masing-masing. Menutup pintu rumah rapat-rapat dan semua lampu sudah padam.
"Mbak...!" Andi menghampiri Ranti yang masih duduk terisak di dapur.
"Eh... Andi? Belum tidur?" Ranti mengusap air matanya.
Andi menggeleng. "Aku tidak bisa tidur. Aku kangen sama Emak, sama Bapak." 
"Mbak juga kangen sama mereka. Tapi, mereka sudah bahagia di surga. Tugas kita mengirimkan do'a-do'a untuk mereka." Ranti mengusap rambut Andi. "Sinta mana? Sudah tidur?"
Andi mengangguk. Mereka bergeming untuk beberapa saat.
"Mbak...!" Andi menatap Ranti yang masih bergeming.
"Ya."
"Apa besok kita masih bisa sekolah?"
"Kenapa tanya seperti itu?" Ranti balas menatap Andi.
"Karena kita sudah tidak punya orang tua. Seperti Wawan, dia tidak bersekolah karena tidak punya orang tua." Andi menundukkan kepalanya, meremas jari jemarinya.
Ranti menghela napas. "Kita akan tetap sekolah. Walau Emak dan Bapak sudah tidak ada. Kita harus sekolah. Kamu ingat kan pesan Emak dan Bapak?"
"Anak-anak emak harus jadi sarjana. Walau hanya tinggal di gubuk, tapi isinya gubuknya gunung emas. Harus jadi anak yang cerdas supaya bisa membuat gunung emas di dalam gubuk kita!"
"Nah, bener. Jadi, Andi harus tetap sekolah. Mbak Ranti sekolahnya pakai beasiswa. Emak dan Bapak tidak pernah pusing mikir biaya sekolah Mbak Ranti. Andi juga harus jadi anak yang cerdas! Supaya bisa jadi sarjana!" Ranti tersenyum, mengacak rambut Andi.
Andi tersenyum sembari mengusap rambutnya. "Apa seragam sarjana itu bikin Andi lebih gagah dari pakai seragam SD Mbak?"
"Pasti." Ranti mengerdipkan salah satu matanya.
"Jadi, besok Andi tetap sekolah?" tanya Andi lagi.
Ranti mengangguk.
"Yang nyiapin seragam sekolah Andi siapa Mbak? Kan Emak nggak ada."
"Mbak Ranti yang akan nyiapin seragam sekolah Andi. Tapi, Andi harus belajar untuk menyiapkan keperluan sekolah sendiri ya!"
Andi mengangguk.
"Ya sudah. Ayo tidur! Ini sudah malam, besok mau sekolah kan?" Ranti beranjak meninggalkan dapur.
Andi mengikuti langkah Ranti. Tak perlu waktu lama untuk terlelap. Hanya dalam hitungan menit, Andi sudah mendengkur di sisi Sinta.
Ranti memandang wajah polos kedua adiknya. Mulai hari ini ia berniat untuk mandiri. Ia tak bisa lagi merengek pada Emak atau Bapak. Kini, ia akan jadi tempat rengekan kedua adiknya. Sungguh, dalam hati ia tak yakin bisa merawat dan membesarkan kedua adiknya. Tapi, ia akan berusaha sungguh-sungguh agar kedua adiknya bisa bersekolah hingga perguruan tinggi.
***
Beberapa warga berkumpul di Balai Desa untuk bermusyawarah mengenai hak asuh ketiga anak Pak Dillah. Bagaimanapun, mereka masih sangat kecil dan harus memiliki orang tua angkat. Oleh karenanya, Pak Ratno sebagai Kepala Desa mengumpulkan warga desa di Balai Pertemuan.
Ranti dan kedua adiknya juga diundang untuk menghadiri pertemuan. Ini juga  untuk menentukan siapa yang berhak menjadi orang tua angkat untuk Ranti dan kedua adiknya.
"Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Saya mengundang Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu ke sini untuk bermusyawarah mengenai hak asuh dari anak-anak Pak Dillah. Mengingat dan menimbang usia mereka sangat kecil, maka kami memberikan kesempatan pada seluruh warga, siapa saja yang berkenan untuk mengasuh ketiga anak Pak Dillah." Suara Pak Ratno menggema di dalam ruangan.
Warga yang berkumpul di Balai pertemuan saling menoleh dan berbisik.
"Biarkan kami yang mengasuh anak-anak Pak Dillah." Bu Yogi berdiri dari kursinya.
"Saya mau mengasuh Andi." Pak Bagiyo, salah seorang warga yang belum memiliki anak dan sangat menginginkan memiliki anak laki-laki.
"Tidak bisa Pak. Andi harus ikut dengan saya. Bersama Ranti dan adiknya!" Bu Yogi menyergah.
"Ya tidak bisa begitu, Bu. Anak Pak Dillah kan ada tiga. Harus kita bagi-bagi mengasuhnya. Jangan mentang-mentang orang kaya, Ibu mau mengasuh ketiganya!" Pak Bagiyo meninggikan suaranya.
"Kalau Pak Bagiyo ingin mengasuh Andi, Ranti dan Sinta juga harus ikut dengan Bapak. Kita tidak boleh memisahkan mereka!" Bu Yogi keukeuh
"Saya tidak mampu jika harus merawat ketiganya. Saya hanya mampu merawat satu saja. Saya bukan orang kaya seperti Bu Yogi," ujar Pak Bagiyo.
"Ya sudah kalau Pak Bagiyo tidak sanggup membiayai mereka, tidak usah mengasuh salah satunya!"
Perdebatan mereka semakin sengit. Ditambah lagi beberapa warga yang lain juga berebut ingin mengasuh salah satu anak Pak Dillah.
"Berhenti..!" teriak Pak Ratno menyaksikan kegaduhan di Balai Pertemuan.
"Biar Ranti yang memutuskan akan bersama dengan siapa!" Pak Ratno menambahkan. "Silahkan Ranti, kamu harus memutuskan dengan siapa kamu dan kedua adikmu akan tinggal."
Ranti bangkit dari tempat duduknya. "Kami tidak akan tinggal dengan siapapun. Kami tidak akan pernah meninggalkan rumah kami."
Seketika semua hening.
"Tapi, kalian masih kecil." Pak Ratno berbisik di telinga Ranti.
Ranti membusungkan dadanya dan menjawab dengan mantap. "Aku bisa merawat kedua adikku. Kami tidak akan meninggalkan rumah kami."
"Tapi, Ran..." Bu Yogi menatap Ranti kecewa.
"Kami akan baik-baik saja tanpa orang tua. Kami akan tetap tinggal di rumah kami. Kami tidak akan ikut siapapun!" Ranti menjawab dengan mantap.
Ranti tetap keukeuh dengan keputusannya. Akhirnya warga pulang ke rumah dengan rasa kecewa. Juga Bu Yogi yang sangat menyayangi ketiganya.
Pak Bagiyo melangkahkan kakinya keluar dari Balai pertemuan sembari mengutuk karena gagal menjadikan Andi sebagai anaknya.
Anak-anak Pak Dillah dikenal sebagai anak yang baik dan berprestasi. Sehingga banyak warga yang simpati dan menginginkan mereka menjadi anak angkatnya.
                Ranti menghela napas, kembali ke rumah dengan perasaan lega. Ia tak habis pikir dengan ide Pak Ratno yang membuat warga berebut ingin mengasuhnya. Ia lebih memilih di rumah ini. Rumah yang penuh kenangan bersama orang tuanya. Ia yakin, ia bisa merawat kedua adiknya dengan baik. Karena bagaimanapun, ia sangat menyayangi keduanya dan tak ingin berpisah.
                Ya Allah... berilah aku kekuatan untuk menjalani hari esok. Berilah aku kemudahan,” rintih Ranti dalam salatnya.

Cerita Selanjutnya ...

Ranting Ranti [Bab 1 - Tanpamu]



BAB 1 

-Tanpamu-


“Ran, Bapak sama Emak berangkat dulu ya! Jaga adik-adik di rumah dengan baik.” Pamit Mak Yati pada ketiga anaknya. Mereka berencana ke kota untuk memenuhi undangan.
“Iya Mak. Bapak sama Emak hati-hati ya!” Ranti mencium bahu tangan kedua orang tuanya. Diikuti oleh kedua adiknya yang masih kecil.
“Nanti Sinta dibelikan sepeda ya Pak!” pinta Sinta yang baru menginjak usia empat tahun.
“Iya Sayang. Nanti Emak belikan sepeda buat Sinta. Sinta di rumah yang pinter ya! Jangan nakal, jangan bikin repot Mbak Ranti. Juga jangan cengeng!” pesan Mak Yati sambil mencium kening Sinta.
“Andi, jaga adik kamu baik-baik ya! Jangan kelahi! Andi kan laki-laki sendiri. Harus bisa jagain Adek Sinta dan Mbak Ranti ya!” Pak Dillah menambahkan.
Andi mengangguk tanda mengerti.
Pak Dillah dan Mak Yati bergegas pergi dengan sepeda motor bututnya. Meninggalkan ketiga anaknya yang masih memandangi tubuh kedua orang tuanya di depan pintu rumah hingga mereka tak dapat terlihat lagi.
Ranti bergegas masuk ke dalam rumah, mengajak kedua adiknya bermain di dalam rumah. Menutup pintu rapat-rapat agar Sinta tidak keluar rumah sendirian.
“Kak, nanti Sinta mau dibelikan sepeda."  Sinta pamer pada kakak keduanya.
“Iya, pasti sepedanya bagus ya?” Andi tersenyum, menyenangkan hati adiknya.
“Iya dong. Nanti Kak Andi boleh pinjam kok. Nanti gantian pakainya.” Sinta tersenyum sembari menyisir rambut boneka kesayangannya.
“Kak Andi kan sudah punya sepeda. Nanti sepedanya Sinta pakai sendiri saja,” balas Andi.
“Tapi, sepedanya Kak Andi kan sudah jelek,” gumam Sinta.
“Nggak Papa. Kan masih bisa dipakai.” Andi sambil menatap sepeda miliknya dari balik jendela. Sepeda itu ia sandarkan di bawah pohon kelapa, tepat di samping rumah. Sepeda itu warisan dari Mbak Ranti. Sehingga keadaannya sudah tidak bagus lagi. Standartnya sudah putus hingga tidak bisa menopang tubuh sepeda saat tak dipakai. Remnya juga sudah rusak, Andi memasang potongan sandal di atas bannya, potongan sandal itulah yang ia gunakan untuk menahan bannya berputar saat mau berhenti. Warnanya juga sudah usang dan berkarat. Tapi, Andi masih memakainya karena cuma itu yang ia punya. Ia tidak mau merepotkan kedua orangtuanya dengan merengek meminta sepeda baru.
Ranti mendengarkan percakapan mereka dari bilik dapur. Sesekali ia memperbaikai dan meniup kayu bakar yang terkadang mati jika ditinggalkan. Tangannya sibuk memotong sayur kangkung yang ia petik dari belakang rumah. Satu jam kemudian, nasi, sayur kangkung dan ikan asin goreng sudah siap di atas meja dapur. Ia mengajak kedua adiknya untuk makan bersama.
“Sinta mau teh!” Sinta merengek, menepis tangan Ranti saat memberikan air putih.
“Sebentar ya Mbak buatkan.” Ranti bergegas menuju termos yang berisi air panas. Menuangkan satu setengah sendok gula dan teh ke dalam gelas. Kemudian menuangkan air panas ke dalam gelas.
Tarrrr....!
Tiba-tiba gelas yang diisi air panas pecah diiringi teriakan kecil Ranti, sebab kakinya terkena percikan air panas.
“Kenapa Mbak?” Andi bergegas menghampiri Ranti.
“Nggak Papa. Sepertinya gelas ini memang sudah rapuh.” Ranti gelisah. Tiba-tiba jantungnya berdetak hebat. Tubuhnya  gemetar, wajahnya memucat. Hatinya di serang perasaan gelisah. Bayangan kedua orang tuanya bergelayut di pikirannya. "Semoga Bapak dan Emak baik-baik saja," batin Ranti sembari mengaduk teh hangat yang untuk Sinta.
Usai makan, Sinta dan Andi kembali bermain bersama. Sinta asyik berlari-larian hingga terjerembab di teras rumah. Lutut kirinya lecet dan itu membuatnya tidak berhenti menangis. Ranti semakin bingung. Karena Sinta sulit sekali untuk dihibur, bahkan lukanya tidak boleh tersentuh sedikit saja apalagi diberi obat.
“Bapak sama Emak lama ya Ndi? Ini sudah hampir senja. Biasanya selepas Ashar mereka sudah kembali. Sinta juga nggak berhenti-berhenti nangisnya.” Ranti mulai gelisah. Ia terus menggendong Sinta yang masih menangis.
“Ia Mbak, kok belum pulang juga ya? Biasanya kalau ke kota itu jam segini sudah pulang. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Bapak dan Emak.” Andi tak kalah gelisah.
"Hush..! Jangan bicara seperti itu. Mereka pasti baik-baik saja. Mungkin mereka terlambat pulang karena masih mencari sepeda yang bagus untuk Sinta." Ranti menatap lembayung senja dari teras rumahnya. Sungguh, hatinya sangat gelisah. Namun ia tak ingin menunjukkan kepada kedua adiknya.
“Ranti...!” Pak Yogi , ketua RT datang dengan tergopoh-gopoh. Diikuti beberapa warga dibelakangnya.
Ranti menatap mereka penuh tanya. Tidak biasanya warga datang beramai-ramai ke rumahnya, kecuali di hari raya. Lagi pula kedua orang tua mereka sedang tidak di rumah.
“Ada apa Pak? Emak sama Bapak sedang tidak di rumah.” Ranti menatap wajah Pak Yogi yang gelisah.
“Ayo masuk dulu ke rumah! Bapak mau bicara denganmu.” Pak Yogi  masuk ke dalam rumah Ranti dan duduk bersama.
Pak Yogi mengerutkan kening dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal setiap kali menatap ketiga wajah polos yang ada di hadapannya.
"Kamu saja yang sampaikan, Man! Saya bingung." Pak Yogi menyenggol lengan salah seorang warga.
"Bapak saja. Bapak ketua RT." Yang ditunjuk malah menunjuk balik. Bahkan mereka saling tunjuk dan berbisik.
Hal ini membuat Ranti curiga. Ranti menatap wajah Pak Yogi dan beberapa warga satu per satu. Semuanya terlihat bingung. Sama bingungnya dengan Ranti.
"Mmm... begini Nak Ranti." Pak Yogi berdehem untuk memulai pembicaraannya.
"Ya, Pak?" Ranti menatap Pak Yogi penuh tanya.
Pak Yogi kembali menggaruk kepalanya. Menoleh ke beberapa warga yang memberikan semangat untuk melanjutkan kalimatnya.
“Ran... baru saja Bapak dapat telpon dari rumah sakit." Suara Pak Yogi tercekat. "Bapak dan Emak kamu kecelakaan, nyawanya tidak dapat tertolong.” Pak Yogi menahan napas di dadanya. Menyaksikan ketegangan di wajah Ranti.
Deg... jantung Ranti terasa berhenti berdetak. Kalimat yang keluar dari Pak Yogi bagai sambaran petir yang menyerang tubuhnya jutaan kali. Air matanya tumpah begitu saja. Teriakkannya histeris memanggil nama kedua orang tuanya. Nama yang tak akan pernah lagi mendengar panggilannya apalagi menyahut. Ia terus menangis histeris. Beberapa warga mencoba menenangkannya.
"Sabar Ranti.. ini sudah takdir Allah. Kamu harus kuat!" Bu Yogi memeluk tubuh Ranti yang masih memangku adik bungsunya. Adik bungsunya masih menangis kesakitan karena jatuh, ia belum mengerti apa itu kematian.
Ranti terus terisak dalam pelukan Bu Yogi. "Ranti gimana kalo Bapak sama Emak nggak ada, Bu? Andi dan Sinta masih kecil-kecil."
Bu Yogi menelan ludah mendengar ucapan Ranti. Ia hanya bisa mengelus-elus bahu Ranti. Tak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya. Hanya air mata yang membasahi pipinya. Menyaksikan tiga anak kecil yang tiba-tiba ditinggalkan kedua orang tuanya. Mereka masih terlalu kecil untuk merawat diri mereka sendiri. Bagaimana nasib mereka tanpa orang tua?
Sementara Andi meringkuk di sudut ruangan. Ia tak kuasa menahan air matanya berderai. Membenamkan wajahnya dalam-dalam di lipatan tangan dan kakinya. Ia masih tak percaya jika Bapak pergi meninggalkan mereka. Pergi meninggalkan Andi yang baru saja mendapatkan kebahagiaan karena akhirnya bisa mengenakan seragam merah putih. "Baru kemarin Bapak bilang Andi gagah dengan seragam sekolah yang baru. Kenapa sekarang Bapak malah pergi? Andi baru punya satu seragam. Bapak belum lihat Andi pakai seragam putih abu-abu. Bukannya Bapak pengen lihat Andi bisa sekolah tinggi?" batin Andi dalam tangisnya.


Cerita Selanjutnya ...

[Sinopsis] - Ranting Ranti


RANTING RANTI
A Novel by Rin Muna (Walrina Munangsir)


Sinopsis:
Ranti, gadis kecil yang baru duduk di kelas 4 SD harus menerima kenyataan kepergian kedua orang tuanya untuk selamanya. Ia harus merawat kedua adiknya yang masih sangat kecil tanpa kasih sayang orang tua.
Menjadi dewasa tanpa kasih sayang orang tua tentunya hal yang tidak mudah. Bagaimana ia menjalani kehidupannya? Merawat dan mendidik dua adiknya hanya untuk mewujudkan cita-cita kedua orang tuanya yang telah tiada.
Kehidupannya keras. Ia tetap menerima semua rasa sakit dengan lapang dada. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk menghindar bahkan menjauhinya.
Seperti sebuah pedang
Ia harus dibakar ... ditempa ...
Dibakar ... ditempa ...
Dibakar lagi ... ditempa lagi ...
Sampai ia menjadi tajam dan berharga.
Bahkan mampu membunuh semua luka dalam hidupnya.

#LoveStory
#InspiringStory
#YoungAdult
#Romance




BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10








Wednesday, March 13, 2019

Belajar Hidup dari Ikan

Ariesa66



Ikan adalah salah satu hewan yang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Omega 3 yang terkandung dalam ikan bermanfaat untuk kesehatan jantung. Selain itu, mengkonsumsi ikan juga bermanfaat untuk meningkatkan kecerdasan otak, menekan resiko kanker, menyehatkan mata, merawat kulit, mengatasi depresi dan lain sebagainya.
Ikan memiliki banyak manfaat untuk kehidupan manusia. Namun, ia tidak sombong, tak lantas membuatnya hidup di daratan atau di tempat yang lebih tinggi. Ia tetap hidup di dasar air. Sebagai makhluk yang posisinya paling rendah, hidup di bawah kaki manusia tapi memiliki banyak manfaat.
Ikan ada yang hidup di air asin, air keruh bahkan di tempat yang berlumpur. Namun, tak membuat dirinya menjadi asin atau menjadi barlumpur. Buktinya tetap saja enak di konsumsi oleh manusia. Hal ini menunjukkan kalau ikan memiliki pendirian yang teguh. Sekalipun ia berada di tempat yang asin, di tempat yang kotor. Tidak menjadikan tubuhnya asin atau berbau lumpur. Baunya tetap sama, tetap amis. Hidupnya tetap teguh pada pendiriannya. Tidak mudah berubah mengikuti kondisi lingkungannya. Di sini kita belajar, bahwa kita bisa berada di mana saja, berteman dengan siapa saja. Bahkan, berteman dengan orang paling nakal sekalipun tidak lantas membuat kita ikut nakal. Dari merekalah kita bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Bukan kemudian ikut-ikutan menjadi buruk. Kalau kita ada di dalam lingkungan yang baik. Tentulah kita termasuk orang yang beruntung. Maka, kita harus belajar menjadi lebih baik. Jika kita berada dalam lingkungan yang buruk, kita juga harus belajar membentengi diri agar kita tidak mudah terpengaruh dan selalu bisa mawas diri menjadikan diri kita lebih baik lagi.
Ikan berenang melawan arus. Contohnya ikan Salmon. Ikan Salmon sanggup melawan arus air, naik ke atas, rela luka-luka, berani mengambil resiko di makan pemangsa hanya untuk mencapai tujuan hidupnya yakni bertelur di hulu sungai. Dalam hidup ini pasti ada resiko. Bukan tentang menjalani hidup apa adanya seperti air mengalir, tapi bagaimana kita berani menghadapi resiko demi mencapai tujuan kita.
Sama halnya Ketika aku memutuskan untuk menulis, maka aku harus mengambil resikonya. Resiko tidak ada pembaca yang membaca tulisanku. Resiko mendapat kritikan pedas ketika aku menulis sebuah opini. Resiko mendapatkan hujatan karena tulisan kita dianggap tidak bermanfaat dan lain-lain. Setiap apapun yang kita kerjakan pasti ada resikonya. Tidak ada satupun dalam kehidupan ini yang tidak beresiko. Maka, kita harus menjadi orang yang berani, tangguh, sabar dalam menghadapi resiko. Jangan menyerah walau dicaci! Jangan menyerah walau jatuh berkali-kali!
Hidup ini indah jika kita selalu bersyukur. Berani memeluk semua rasa sakit dengan penuh cinta. Berani menjadikan resiko adalah cinta kasih dari Tuhan yang menginginkan kita menjadi manusia yang lebih baik lagi. Jangan pernah takut. Tetaplah berikhtiar dan mulailah segala sesuatu dengan ucapan “Bismillah” supaya kita kuat menjalani resiko apa pun.

Selamat malam ...
Semoga esok menjadi hari yang menyenangkan.
Tetap semangat ya ...!


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Rumah


Rumah

Fietzfotos

Aku jejaki setiap ruang
Kemudian pergi mencari uang
Tak tentu kapan akan pulang
Menunggu hari-hari luang

Hari-hari luang aku pulang
Merebahkan diri bermimpi di atas ranjang
Jam-jam luang aku pulang
Menyapa jiwa-jiwa yang aku sayang

Terkadang berbulan-bulan aku tak pulang
Dirindukan orang-orang yang aku sayang
Sejauh apa pun aku melayang-layang
Rumah, tempatku kembali pulang
Sejauh mana pun aku terbang
Rumah, tempatku rindu memadu kasih sayang

Sejauh mana pun aku melangkah
Rumah adalah tempat terbaik untuk pulang
Sejauh mana pun aku berkelana
Rumah adalah tempat terindah untuk pulang
Sejauh apa pun kaki ini pergi
Ia tak pernah lupa rumahnya untuk pulang


~Rin Muna~
Kalimantan Timur, 01 November 2018

Aku Tak Peduli

Aku Tak Peduli
ThuyHabich


Aku tak peduli siapa kamu
Aku cinta
Aku tak peduli seperti apa dirimu
Aku terlanjur cinta
Aku tak peduli bagaimana dirimu
Aku sudah cinta

Aku tak peduli langit menghitam
Aku tetap cinta
Aku tak peduli ombak lautan menghantam
Aku tetap cinta

Aku tak peduli seribu pedang menembus dada
Aku akan cinta
Aku tak peduli sejuta panah bersarang di kepala
Aku akan tetap cinta

Aku tak peduli ratusan pisau menyayat kulitku
Aku sudah cinta
Aku tak peduli puluhan belati menembus jantungku
Aku sudah cinta

Aku tak peduli jutaan orang akan menjatuhkan langkahku agar berhenti mencintaimu
Aku sudah terlanjur cinta
Aku tak peduli miliaran kata biadab menghujani hatiku agar berhenti mencintaimu
Aku sudah terlanjur cinta


Ditulis Oleh Rin Muna
Kutai Kartanegara, 3 Agustus 2018
Teruntuk dirimu, yang membuatku jatuh cinta tanpa alasan (Alifia Shaumi Aleshana)

Kopiku Sendiri


Kopiku Sendiri

freephotocc


Kopiku
Masih hangat
Kusesap sendiri berteman sepi
Secangkir saja
Sunyi

Kopiku sendiri
Satu cangkir di meja sudut ruang
Tak berdenting bertemu cangkir yang lain
Tak bersapa dengan kopi yang lain

Di seberang meja
Kopi-kopi riuh penuh canda tawa
Cangkir-cangkir berdenting saling menyapa
Tawa bahagia dari penikmatnya

Kutatap kursi kayu di depanku
Kosong ...
Tak ada senyum penikmat kopi menemani
Aku tersenyum pada diri sendiri
Aku tertawa untuk diriku sendiri

Kopiku sendiri.
Sama dengan jiwaku

Menanti hadirmu
Sendiri!

~Rin Muna~
Kalimantan Timur, 16 Oktober 2018

TSUNAMI


Tsunami
Bumi bergetar
Merangkak memeluk alam
Dalam derap langkah dan jeritan
Luka menghampiri tanpa bisa dihindarkan

Bumi berguncang
Merayap-rayap aspal jalanan
Tanah penghisap angkara merekah

Bumi bergoyang
Gedung tinggi runtuh
Rumah-rumah runtuh
Jalan-jalan jatuh meluruh

Lautan menjerit layaknya bocah tantrum
Sulit hentikan riakannya
Sulit hentikan tangisannya

Pecah...!
Buyar...!
Tumpah...!

Melahap semua yang ada di hadapannya
Tanpa ampun...
Tanpa permisi...
Semua hancur, semua melebur

Apa yang telah dibangun dengan keindahan dan kebahagiaan
Kini raib ... menyisakan air mata tanpa kata-kata

Tsunami ... namamu begitu indah kala kau damai dalam pembaringan
Tsunami ... namamu begitu menakutkan kala kau menjerit tanpa bisa dihentikan

Kaulah alam yang memarah, yang memeluk alam dalam tangisan
Lalu kau tumpahkan tanpa peringatan
Banyak nyawa kau rebut atas nama Tuhan
Hadirmu adalah peringatan
Agar manusia ingat pada siapa yang menciptakan.


-Rin Muna-
Kalimantan Timur, 29 September 2018
Turut Berduka cita atas Tsunami Palu, 28 Septermber 2018

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas