Bibi War masuk ke dalam
kamar, ia tersenyum bahagia melihat Yuna dan Yeriko yang sedang berpelukan dan
kembali akur.
“Bibi ...?” sapa Yuna
sambil melepas pelukannya.
Bibi
War tersenyum ke arah Yuna. Ia melangkahkan kakinya mendekati Yuna sembari
memberikan semangkuk kecil sup jahe untuk memulihkan tubuh Yuna.
“Minumlah sup jahe buatan
Bibi. Biar badan Mbak Yuna enakan.”
“Makasih, Bi!” ucap Yuna
sambil mengambil mangkuk dari tangan Bibi War.
Bibi War mengangguk dan
bergegas keluar dari kamar.
“Sini! Biar aku suapin,”
pita Yeriko.
Yuna menggelengkan kepala.
“Aku bisa sendiri.” Yuna langsung meminum sup jahe buatan Bibi War dan
menghabiskannya. Ia merasa lebih bersemangat setelah mendengar kalimat yang
menenangkan dari mulut Yeriko.
Yeriko tersenyum sambil
menatap Yuna. “Lain kali, jangan menyiksa diri sendiri seperti ini lagi!”
pintanya.
“Bukannya kamu yang udah
bikin aku kayak gini?” sahut Yuna. “Semalaman kamu nggak pulang, nggak balas
pesan, nggak jawab telepon. Kamu ke mana aja?”
“Aku diajak Lutfi ke bar.”
“Bukan sama cewek itu?”
Yeriko menghela napas.
“Cemburunya masih berlanjut?” tanyanya sambil menatap tajam ke arah Yuna.
Yuna menggigit bibir
bawahnya.
“Sudahlah. Kata dokter,
kamu nggak boleh stress. Jangan berpikir terlalu jauh!”
“Tapi aku selalu kepikiran
kalau kamu ...”
Yeriko tersenyum menatap
Yuna. “Aku akan selalu ada di dekat kamu. Kita akan selalu bersama walau banyak
badai menerpa hubungan kita. Kamu tahu, sainganku juga bukan orang yang mudah.”
“Maksud kamu?”
“Aku tahu. Lian, mantan
pacar kamu itu masih selalu deketin kamu. Sekarang, datang lagi si Andre, teman
masa kecil yang juga suka sama kamu diam-diam. Satunya CEO Wijaya Group,
satunya lagi CEO perusahaan internasional. Kamu pikir, akan mudah bersaing dengan
mereka?”
Yuna tertawa kecil
mendengar ucapan Yeriko.
“Kenapa malah ketawa?”
“Kamu cemburu?”
Yeriko menggelengkan
kepala.
“Beneran nggak cemburu?”
Yeriko menggelengkan
kepala.
Yuna tersenyum kecil. “Aku
sama Lian, sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Dia juga sudah mau nikah sama
sepupuku. Kalau Andre, dia memang teman baikku sejak kecil. Kami udah seperti
saudara. Dia nggak pantas buat dicemburui atau pun dijadikan saingan.”
Yeriko mengangguk-anggukkan
kepala. “Aku harap begitu.”
Yuna tersenyum menatap
Yeriko. “Muka kamu kelihatan jelek banget. Nggak tidur semalaman?”
“Sama kayak kamu.”
Yuna tersenyum. “Aku nggak
akan bisa tidur kalau nggak ada kamu di sampingku.”
Yeriko tersenyum kecil.
“Kalau gitu, tidurlah!” pintanya sambil membantu Yuna berbaring kembali.
Yuna mengangguk kecil.
“Kamu temani aku tidur!” pintanya manja.
Yeriko tersenyum kecil
sambil menganggukkan kepala. Ia naik ke atas tempat tidur dan berbaring di
sebelah Yuna. Ia tidak langsung memejamkan mata. Ia mengambil ponsel dan
langsung menelepon Riyan.
“Nggak mau tidur?” tanya
Yuna sambil menatap Yeriko yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Sebentar, aku telepon
Riyan dulu.” Yeriko menarik tubuh Yuna ke dalam pelukannya.
“Oh.” Yuna tersenyum sambil
membenamkan wajahnya di dada Yeriko.
“Halo ...!” sapa Riyan
begitu panggilan telepon Yeriko tersambung.
“Halo ...! Yan, bisa atur
ulang semua jadwal meeting hari ini? Aku nggak bisa ngantor, Yuna sakit.”
“Siap, Bos!”
Yeriko langsung mematikan
panggilan teleponnya. Ia menjatuhkan kepalanya di atas bantal. Ia mengecup
kening Yuna yang sudah terlelap di dalam pelukannya.
Baru saja memejamkan mata,
ponsel Yuna berdering. Yeriko langsung membuka mata dan meraih ponsel Yuna. Ia
tidak ingin waktu istirahat Yuna terganggu karena dering ponsel yang terus
berbunyi. Ia langsung mengangkat telepon dari salah satu teman kantor Yuna.
“Yun, jam segini belum
masuk kenapa?” tanya Selma lewat panggilan telepon.
“Yuna sakit, ini suaminya.”
“Hah!? Sakit apa?”
“Demam tinggi dan sempat
pingsan.”
“Oh ... oke. Aku sampaikan
ke bos. Semoga
dia cepat sembuh, ya!”
“He-em.”
Panggilan telepon langsung
ditutup. Yeriko menatap layar ponsel Yuna sejenak dan langsung menonaktifkan
ponsel tersebut. Ia juga mematikan ponselnya. Ia tidak ingin ada orang lain
yang mengganggu waktu istirahat Yuna.
Di lantai bawah, tak diduga
Rullyta datang untuk mengunjungi anak dan menantunya. “Bi, Yeriko sama Yuna ke
mana? Mereka masih kerja?”
“Tidur, Bu.”
“Jam segini tidur?”
Bibi War menganggukkan
kepala.
Rullyta mengernyitkan dahi.
“Mbak Yuna lagi sakit.
Semalaman nggak tidur, gitu juga sama Mas Yeri.”
“Sakit? Kenapa nggak
kabarin saya?”
“Cuma demam. Itu juga
karena mereka ada masalah.”
“Masalah apa?”
Bibi War menghela napas.
“Kata Mbak Yuna, Mas Yeri nyuekin dia. Dia kelihatan sedih banget. Nggak mau
makan dan terus nunggu Mas Yeri pulang sampai pagi.”
“Pagi? Dia nggak pulang
semalaman?”
Bibi War menggelengkan
kepala. “Dia baru pulang sekitar jam setengah empat subuh.”
“Anak itu ... bener-bener
keterlaluan!” Rullyta melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Ia membuka
lebar pintu kamar Yeriko yang sudah setengah terbuka. Ia melihat Yeriko dan
Yuna sedang terlelap sambil berpelukan.
Rullyta tersenyum melihat
kemesraan keduanya. “Untunglah sudah berbaikan.” Ia tidak tega membangunkan
putera dan menantu kesayangannya itu. Ia lebih memilih untuk turun ke bawah dan
berbincang dengan Bibi War.
“Bi, apa mereka sering
berantem?” tanya Rullyta.
“Baru ini mereka bertengkar
cukup serius.”
“Sebenarnya, masalah mereka
apa, Bi?”
“Kayaknya sih karena
sama-sama cemburu, Bu.”
“Cemburu?”
Bibi War menganggukkan
kepala.
“Apa Yeriko cemburu dengan
pria lain? Ternyata, dia terlalu impulsif sampai bisa bikin Yuna sakit.”
Bibi War tersenyum. “Tapi
... Bibi senang melihat mereka. Mas Yeri kelihatan sangat mencintai Mbak Yuna.
Mas Yeri nggak pernah pacaran, begitu menikah, dia jadi sangat penyayang dan
banyak berubah.”
Rullyta tersenyum. “Saya
juga merasa dia sudah banyak perkembangan. Kehadiran Yuna memang selalu
menghidupkan suasana. Dia gadis yang baik, lucu dan perhatian. Saya selalu
rindu candaannya dia.”
“Iya, Bu. Semenjak dia ada
di rumah ini, rumah ini menjadi lebih hidup.”
Rullyta tersenyum senang.
Ia meraih kertas undangan yang tergeletak di atas meja. “Ini undangan dari
mana, Bi?” tanyanya.
“Kurang tahu, Bu.
Sepertinya, temannya Mas Yeri.”
Rullyta memerhatikan
undangan tersebut dan membukanya. “Wijaya Group?” ia mengernyitkan dahi.
“Mereka mau datang ke pesta pertunangan CEO Wijaya Group?”
Bibi War menggelengkan
kepala. “Bibi kurang paham.”
Rullyta tersenyum sambil
menghela napas dan meletakkan undangan pertunangan itu ke atas meja. “Kalau
gitu, saya pulang dulu!” pamit Rullyta. “Bibi nggak usah bilang ke mereka kalau
hari ini saya ke sini!” pintanya sambil bangkit dari sofa.
“Baik, Bu.” Bibi War
menganggukkan kepala.
Rullyta tersenyum dan
bergegas keluar dari rumah Yeriko. Ia punya rencana yang sangat bagus untuk
putera dan menantu kesayangannya itu.
Bibi War kembali ke dapur,
ia membuatkan bubur ayam untuk Yuna. Saat majikannya bangun, Yuna bisa segera
memakan bubur ayam buatannya.
“Bi, masak apa?” tanya
Yeriko sambil mengucek matanya.
“Eh, Mas Yeri? Sudah
bangun?”
Yeriko menganggukkan
kepala. “Buatin kopi ya!” perintahnya.
Bibi War menganggukkan
kepala. “Bibi sudah belikan obatnya Mbak Yuna. Bibi juga buatkan bubur ayam
untuk dia. Dia sudah bangun atau belum?” tanya Bibi War.
Yeriko menggelengkan
kepala. “Dia masih tidur. Biarkan dia istirahat dulu! Nanti, biar aku bawa naik
sendiri bubur dan obat untuk Yuna.”
Bibi War menganggukkan
kepala dan bergegas membuatkan secangkir kopi untuk Yeriko.
Yeriko merebahkan tubuhnya
di sofa sambil menyandarkan kepalanya. Ia mengendus aroma ruangan yang tak
asing lagi di hidungnya. “Bi, Mama habis dari sini?”
“Eh!? Kok, tahu?”
“Aroma parfum mama masih
tertinggal di sini. Belum lama pergi?”
Bibi War tersenyum sambil
menganggukkan kepala. Ia langsung menghampiri Yeriko sambil meletakkan
secangkir kopi di atas meja, tepat di hadapan Yeriko.
“Dia tahu Yuna sakit?”
tanya Yeriko.
“Tahu. Tadi, ibu sempat
nengok ke kamar. Mas Yeri sama Mbak Yuna masih tidur.”
Yeriko langsung mengusap
wajahnya. “Bibi nggak bilang kan masalah aku sama Yuna?”
Bibi War menggelengkan
kepala.
“Syukurlah.” Yeriko
menghela napas lega. “Kalau Mama sampai tahu, aku bisa diomelin habis-habisan.”
Ia merasa sangat senang dan berharap bisa menyelesaikan masalah rumah tangganya
sendiri.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment