"Ma, kenapa Mamak dan Bapak bercerai?"
“Mak, kenapa Mamak Bapak bercerai?” Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul dari bibir putri kecilku saat dia mengetahui aku dan ayahnya bercerai. Aku tidak menyangka jika di usianya yang baru 6 tahun dia bisa melontarkan pertanyaan seperti itu.
“Mbak Pii tahu dari mana kalau Mamak dan Bapak bercerai?” tanyaku balik. Sebab, aku tidak pernah mengungkapkan perihal perceraianku pada puteriku. Dia masih terlalu dini untuk menanggung semua beban mental dari perpecahan rumah tanggaku.
Livia terdiam. Tapi dapat kutangkap jika raut wajahnya sangat terluka dan kecewa. Sebagai seorang anak, tentunya dia ingin dekat dengan ibu bapaknya.
Aku berusaha mengajaknya bermain saja agar pikirannya teralihkan pada hal lain.
Beberapa waktu kemudian, aku menyadari jika aku telah melakukan sebuah kesalahan. Aku melihat sebuah dokumen terbuka di atas meja kerjaku.
“Oh, mungkin ini yang membuat Livia tiba-tiba mempertanyakan soal perceraianku dan bapaknya,” batinku sembari menatap dokumen bertuliskan ‘AKTA CERAI’ yang berada di atas meja. Seingatku, dokumen ini sudah aku simpan dengan baik bersana dokumen-dokumen lain. Apakah aku sempat mengeluarkannya? Atau aku lupa?
Hmm ... apa pun itu, aku sudah tidak sanggup untuk mengingatnya lagi. Aku terlalu sibuk memikirkan cara untuk bertahan hidup dan menghidupi kedua anakku.
“Mak, Kenapa Mamak dan Bapak bercerai?” Kalimat itu terlontar kembali dari bibir puteriku saat dia sedang makan. Sementara aku menyuapi adiknya lagi yang baru berusia 1,5 tahun.
Aku terdiam sejenak sambil mengambil napas perlahan. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semua yang terjadi pada puteri kecilku.
“Suatu saat nanti, Mbak Pii akan mengerti kalau mamak dan bapak sudah nggak bisa hidup sama-sama lagi. Mbak Pii sama adek nggak usah takut! Mamak bakal bahagiain kalian, kok. Bapak juga akan tetap sayang sama kalian dari jauh. Mbak Pii dan adek juga harus tetap sayang sama Bapak, ya!” jawabku sambil tersenyum manis.
“Tapi Mbak Pii pengen sama Bapak, sama Mama juga!” rengek Livia dengan mata berkaca-kaca.
Sungguh, bulir-bulir air mata Livia seperti sebuah paku yang sedang menusuk-nusuk sanubariku. Tapi aku sudah mengambil keputusan dan mempertimbangkannya sangat matang dalam waktu yang cukup lama. Aku tidak akan pernah kembali ke masa lalu yang menyakitiku dan membuatku sangat tersiksa. Aku memilih untuk berjuang sendiri meski aku tidak sedang sendiri.
“Kalau pengen sama Bapak, nanti Mamak suruh Bapak jemput Mbak Pii, ya!” ucapku sambil tersenyum manis.
“Tapi sama Mamak, sama Adek juga!”
“Nggak bisa, Sayang. Mamak kan harus cari uang. Adek juga masih ASI. Nggak boleh jauh-jauh dari Mamak,” ucapku.
Mata Livia kembali berkaca-kaca. Hampir setiap hari ia meminta ayahnya kembali ke rumah ini, rumah yang aku bangun sendiri dengan darah dan air mata untuk keluarga kecilku. Sedang suamiku saat itu, hanya menjadi penonton atas perjuangan yang aku lakukan seorang diri.
“Nak, kamu jangan sedih terus, ya! Suatu saat kalian berdua akan mengerti kenapa Mamak dan Bapak harus berpisah. Kami berpisah karena kami sayang sama kalian dan masa depan kalian. Yang penting, Mbak Pii dan adek bisa jadi anak yang pinter nantinya. Nanti, Mbak Pii akan tahu dengan sendirnya,” ucapku pada Livia, puteri kecilku yang kerap aku panggil Mbak Pii supaya adiknya terbiasa mendengar sapaan itu.
Tak butuh waktu lama. Tak sampai satu tahun, Livia akhirnya mengerti kenapa aku dan bapaknya harus berpisah. Beberapa kali Livia menginap di rumah orang tua bapaknya saat liburan sekolah. Bahkan, dia sempat merengek minta lanjut sekolah SD di kota Balikpapan.
Tapi pada akhirnya, rumah paling nyaman bagi anak-anak adalah ibunya. Livia akhirnya melanjutkan sekolahnya di desa, meski semua fasilitas masih apa adanya. Yang penting, bisa sekolah dulu.
Usai resmi masuk sekolah dasar, kemampuan berpikir puteriku cukup tajam dan kritis. Ia kemudian bisa memahami bagaimana sifat dan sikap sang ayah yang sebenarnya. Hingga sampai di titik dia tidak mau lagi berkunjung ke rumah bapaknya, meski kami sering ke kota Balikpapan.
Puteriku tak lagi mempertanyakan kenapa Mamak dan bapaknya bercerai. Ia mulai mengerti bahwa hal terbaik dalam keluarga kecil kita adalah berjuang tanpa seorang ayah yang toxic.
Kenapa kami harus bercerai?
Tentunya karena ingin memberikan yang terbaik bagi kesehatan jiwa dan rumah tangga kami. Aku telah memutuskan untuk membesarkan kedua anakku tanpa seorang ayah. Maka, aku yang akan bekerja keras menghidupi dan membahagiakan mereka hingga mereka tidak pernah mempertanyakan sosok ayah dalam perjalanan hidup mereka..
Semangat untuk terus berkarya yah mba...
ReplyDelete