“Buat apa nyari aku? Mau ngajak berantem lagi?” tanya Yuna
sambil menatap Refi.
Refi tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Yun, aku
terlalu lemah buat ngajak kamu berantem. Kamu lihat sendiri, aku bahkan nggak
punya kekuatan buat berdiri tegak. Gimana bisa aku ngajak kamu berantem?”
Yuna menarik napas, ia mencoba menenangkan perasaannya. Ia
tersenyum sambil menatap Refina. “Terus?”
“Aku cuma mau minta maaf sama kamu.”
“Nggak perlu,” sahut Yuna ketus.
“Aku serius, Yun. Aku mau datang ke sini karena mau minta
maaf. Setelah ini, aku nggak bakal ganggu hidup kalian lagi.”
Yuna tersenyum sambil menatap Refi. “Aku harap, kamu
bener-bener bisa berubah. Aku tahu, nggak mudah menghadapi hidup kamu yang
kayak gini. Kamu boleh bersandar sama siapa aja. Tapi, jangan sampai kamu
ngerusak kebahagiaan orang lain buat dapetin ambisi kamu.”
“Yun, aku nggak pengen ngerusak kebahagiaan kalian. Tapi,
kamu juga harus tahu kalau aku beneran sayang sama Yeriko. Cuma dia
satu-satunya orang yang peduli sama aku selama ini. Please, Yun! Biarin aku
sama dia, setidaknya sampai kakiku bener-bener sembuh!” pinta Refi.
Yuna menghela napas menatap Refi. “Ref, aku nggak pernah
ngelarang Yeriko ketemu sama kamu. Dia sama Chandra udah ngelakuin banyak hal
biar kamu bisa sembuh dan kembali ke kehidupan normal kamu. Kamu jangan
manfaatin kebaikan Yeri!” pintanya. “Aku nggak akan ngelepasin suamiku!” tegas
Yuna.
Refi menggigit bibirnya menatap Yuna. “Apa kamu selalu tahu
kalau Yeri jenguk aku ke rumah sakit?”
Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Aku yang minta dia buat
jenguk kamu. Walau aku nggak suka sama kamu, aku masih punya hati. Aku juga
percaya sama Yeri, dia nggak akan ngehianati aku.”
“Gimana kalo ternyata dia bohongin kamu?” tanya Refi.
“Mmh ... cukup ngasih hukuman kecil.” Yuna mendekatkan
bibirnya ke telinga Refi. “Aku suruh dia tidur di luar kamar dan aku pastikan
dia nggak akan tahan ngabisin waktu dua puluh empat jam tanpa belaian
istrinya,” bisik Yuna di telinga Refi. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan
tersenyum manis ke arah Refi.
Refi menatap Yuna penuh kebencian. “Kamu sengaja mau
manas-manasin aku?”
“Oh. Kamu panas?” Yuna mengedarkan pandangannya. “Nanti,
aku suruh Yeriko buat nambah AC di sini.” Ia tersenyum ke arah Refi.
“Setan kamu, Yun!” maki Refi.
Yuna tersenyum kecil menatap Refi. “Emang harus jadi setan
buat ngadepin iblis kayak kamu!” dengus Yuna sambil menjulurkan lidahnya.
Refi makin emosi melihat tingkah Yuna. “Aku heran, kenapa
Yeriko bisa tergila-gila sama cewek berandal kayak kamu. Kalo dia tahu kelakuan
asli kamu, udah pasti dia bakal ninggalin kamu secepatnya.”
Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Refi. “Yeriko yang
ngajarin aku kayak gini buat ngadepin kamu. So, kamu nggak perlu repot-repot
mikirin soal image aku di depan Yeri. Lebih baik, kamu pikirin aja diri kamu
sendiri!”
Refi menatap Yuna penuh amarah. Ia menatap wajah Yuna
dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak akan bisa melawan perkataan Yuna.
Satu-satunya cara, adalah membuat dirinya terlihat sangat lemah agar
mendapatkan simpati dari banyak orang.
Yuna mengernyitkan dahi begitu melihat Refi meneteskan air
mata. “Gila, nih cewek!” batin Yuna sambil mendelik ke arah Refi. “Bisa-bisanya
dia tiba-tiba nangis kayak gini?” gumam Yuna
Yuna mengedarkan pandangannya. Ia khawatir kalau reaksi
Refi kali ini akan mengundang banyak pasang mata ke arahnya, terutama mata
kamera wartawan yang ada di depan gedung.
“Yun, aku tahu kamu benci banget sama aku karena aku suka
sama suami kamu. Apa kamu nggak bisa maafin aku dan bersikap baik sama aku?”
tanya Refi sambil terisak.
“Ref, nggak usah nangis juga kali,” sahut Yuna. “Kamu
sengaja mau menarik perhatian banyak orang?”
“Aku cuma mau minta maaf sama kamu, Yun. Maafin aku ...”
“Iya, aku maafin kamu!” seru Yuna. “Nggak usah nangis
lagi!” pinta Yuna sambil berbalik dan melangkah pergi.
“Yun!” panggil Refi sambil bangkit dari kursi rodanya dan
menahan lengan Yuna.
Yuna memutar tubuhnya menatap Refi yang ada di belakangnya.
Refi langsung melepas genggaman tangannya dan menjatuhkan
tubuhnya ke lantai.
“Ref, kamu nggak papa?” Yuna berjongkok dan langsung meraih
pundak Refi untuk membantunya bangkit. “Sini, aku bantu!”
Refi langsung menepis kedua tangan Yuna sambil menangis.
“Ref ...! Kenapa?”
“Aargh ...!” teriak Refi sambil menangis histeris. “Tolong
...!” teriaknya sambil menoleh ke arah pintu gedung.
Wartawan yang berkerumun di depan pintu gedung langsung
menerobos masuk. Mereka menghampiri Yuna dan Refi. Dengan cepat, mata kamera
mereka membidik Yuna dan Refi.
Pikiran Yuna seketika kosong begitu melihat segerombolan
wartawan dan kamera yang menyorot ke arahnya. Ia langsung bangkit sambil
menatap Refi yang masih terisak di lantai.
“Yun, aku tahu aku salah. Aku ke sini cuma mau minta maaf
karena nggak bisa nurutin permintaan kamu buat ngerahasiain hubungan kita.
Kenapa kamu jahat banget sama aku? Aku udah minta maaf berkali-kali. Kamu
masih aja bersikap kasar sama aku,” tutur Refi bersama derai air matanya.
“Hah!?” Mulut Yuna menganga tanpa suara. Ia langsung
mengedarkan pandangannya dan menatap wartawan yang ada di hadapannya satu per
satu. Ia tak menyangka kalau sekarang ia sudah masuk ke dalam perangkap Refi
untuk kesekian kalinya.
“Kalian lihat sendiri, kan? Dia sering banget ngancam aku.
Waktu itu, aku lompat dari gedung memang karena paksaan dari dia. Saat aku mau
minta maaf, dia malah mau nyelakain aku lagi,” tutur Refi sambil menatap semua
wartawan yang ada di hadapannya.
“Apa bener yang diucapkan Mbak Refi?” tanya salah seorang
wartawan yang mendapat dukungan dari semua wartawan yang ada di sana.
Yuna tertawa kecil menanggapi pertanyaan wartawan. Ia
langsung menatap Refi sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Refi. “Bangun!”
pintanya.
Refi membuang wajahnya, ia sama sekali tak ingin menyambut
uluran tangan Yuna.
Yuna tertawa kecil. “Kamu pintar banget kalo akting,” tutur
Yuna. Ia menoleh ke arah semua wartawan yang ada di ruangan itu. “Kalian lihat
sendiri! Dia yang menolak bantuanku, bukan aku yang nyelakain dia.”
“Bohong! Mana ada maling mau ngaku! Pasti kamu yang
udah dorong Refi sampe jatuh!” sahut wartawan yang berdiri di paling belakang.
“Dorong? Siapa yang bilang aku dorong Refi? Ref, kamu nggak
ada bilang ke mereka juga kan?” tanya Yuna sambil menatap Refi. “Kamu mau
ngarang cerita lagi?” sentak Yuna sambil menunjuk pria berkacamata yang ada di
paling belakang.
“Aku nggak ngarang. Aku bisa lihat dari luar kalo kamu
dorong Refi sampe jatuh.”
Yuna langsung menatap pria berkacamata yang meneriaki
dirinya. “Emangnya kamu punya bukti?” tanya Yuna. “Jelas-jelas dia yang jatuhin
dirinya sendiri ke lantai,” jelasnya. Ia menatap Refi yang masih duduk di
lantai. “Ref, jelasin ke mereka!” pinta Yuna.
“Apa bener yang diucapkan Mbak Yuna?” tanya salah seorang
wartawan sambil mengarahkan kameranya ke wajah Refi.
“Hiks ... hiks ... Sebenarnya ... dia emang dorong aku.
Tapi, dia ngancam buat nggak ngasih tahu siapa pun. Di sini, nggak ada satu
orang pun yang percaya sama aku,” jelas Refi terisak.
“Kamu!?” Yuna geram menatap wajah Refi. “Mau kamu apa sih,
Ref? Aku sama suamiku udah baik banget sama kamu. Kamu malah kayak gini ke
aku?”
“Huu ... mana ada penjahat mau ngaku!” seru pria
berkacamata yang ada di barisan belakang.
“Diam kamu!” sahut Yuna sambil menunjuk wajah pria itu.
“Kamu kira, aku nggak tahu siapa kamu? Kamu sengaja berkomplot sama Refi buat
jatuhin aku di depan semua orang kan? Deny Kaswara? Kamu juga yang ikut andil
dalam konspirasi buatan Refi.”
“Kamu jangan nuduh sembarangan tanpa bukti!” sahut Deny
yang ada di balik kerumunan wartawan.
“Aku punya banyak bukti. Kita lihat aja nanti!” sahut Yuna.
Deny menerobos kerumunan wartawan dan langsung berhadapan
dengan Yuna. “Bukti apa yang kamu punya? Keluarin sekarang juga kalo emang
punya!” Ia menantang Yuna.
“Kami akan keluarin buktinya saat konferensi pers kalo kamu
masih cari masalah sama kami,” tutur Yeriko yang tiba-tiba muncul dan langsung menghampiri
Yuna.
Yuna tersenyum ke arah suaminya.
Yeriko melingkarkan lengannya ke pinggang Yuna sambil
menatap Refi yang masih duduk di lantai. “Bangun, Ref! Akting kamu cukup sampe
sini!” pinta Yeriko.
Refi mengepal tangan sambil menatap Yuna dan Yeriko yang
ada di hadapannya. Ia memukul lantai dan berusaha bangkit.
Yuna bergerak ingin membantu Refi bangkit, namun tangan
Yeriko menahannya.
“Dia udah bisa bangun sendiri,” tutur Yeriko.
“Tapi ...” Yuna tetap saja mengkhawatirkan keadaan Refi.
Yeriko menunjuk Refi dengan dagunya. Benar saja, Refi sudah
bisa bangkit sendiri dan kembali duduk di kursi roda.
Yuna tersenyum senang melihat perkembangan kaki Refi. Ia
berharap Refi bisa sembuh secepatnya dan berhenti menempel pada Yeriko.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus. Baca juga
karyaku yang lain ...
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi