Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Monday, March 10, 2025

Kenapa Kita Ditinggal Di Hutan?


“Mak, kenapa kita ditinggal di hutan? Sedangkan bapak di kota?”
Lagi-lagi, pertanyaan itu muncul dari bibir mungil milik puteriku, Livia.
Beberapa jam lalu, kami baru saja kembali dari minimarket. Livia yang masih berusia 6 tahun, mengajak untuk jajan ke minimarket yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari rumah. Sebenarnya, ada banyak toko di desaku, tapi Livia minta ke luar karena aku tahu yang sebenarnya dia inginkan adalah jalan-jalan.
Saat perjalanan pulang, tiba-tiba Livia mengajukan pertanyaan itu. Aku cuma tersenyum dan menjawab “Bapak kerja, Nak. Makanya dia di kota”.
Di tahun itu, Livia masih sangat menginginkan kedekatan dengan ayahnya. Ia masih sering mempertanyakan keberadaan sang ayah. Dia tidak mengetahui jika aku dan ayahnya sudah bercerai. Kami tidak bisa lagi tinggal bersama.
Aku sudah sering bilang pada mantan suami kalau soal anak, kita urus sama-sama. Yah, meski pada akhirnya aku harus mengurus semuanya sendiri. Karena dia tidak peduli sama sekali pada anak-anaknya.
Aku harus banting tulang setiap hari. Memikirkan bagaimana caranya bisa menghidupi dua anakku yang masih kecil-kecil. Livia masih duduk di bangku TK, sementara adiknya baru berusia 1,5 tahun.
Rasanya sangat berat, apalagi aku tinggal di wilayah pelosok yang tidak banyak lapangan kerja. Aku masih dilema memilih antara mengurus anak dan pergi bekerja. Karena aku sangat menyayangi kedua anakku dan akulah yang tidak bisa hidup tanpa mereka.
“Bapak jahat sama kita!” ucap Livia lagi. “Masa kita ditinggal di hutan, sedangkan bapak enak di kota.”
“Bapak itu nggak jahat. Bapak sayang sama Mbak Pii sama adek, kok. Sekalipun nanti bapak jadi jahat dan nggak mau sayang sama kalian, Mbak Pii dan adek harus tetap sayang sama bapak, ya!” ucapku dengan lembut sembari mengelus pipi mungil Livia.
Livia mengangguk tanda mengerti. Tapi tak dapat kubaca bagaimana isi hatinya. Manik matanya menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang bisa aku pahami karena ia harus kehilangan sosok ayah dalam hidupnya, padahal sosok itu masih ada di dunia ini.
“Ya udah, unboxing dulu jajannya, ya! Tadi Mbak Pii beli apa aja?” pintaku sembari menatap ke arah kantong belanja yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Livia mengangguk. Ia dengan semangat membuka kantong belanja tersebut. Mengeluarkan barang satu per satu. Ada beberapa jajanan yang ia pilih untuk ia berikan pada adik tercintanya. Setiap kali ia pergi keluar untuk jajan, ia tidak pernah lupa membelikan susu kotak kesukaan sang adik yang baru berusia satu setengah tahun.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Aku mendapati ibuku sedang tertidur pulas di kamar bersama Arga. Tapi, Arga sudah bangun lebih dahulu. Ia duduk di atas kasur sambil memainkan mainannya. Ia langsung turun dari tempat tidur dan berlari ke arahku begitu ia menyadari keberadaanku.
“Mama ...!” seru Arga. Ia langsung memeluk kedua kakiku dengan hangat.
Aku tersenyum. Aku segera menggendong Arga, kemudian kuciumi kedua pipinya dengan gemas. Aku kembali menutup pintu kamar perlahan agar ibuku tidak terganggu tidur lelapnya. Dia pasti sudah sangat lelah menjaga Arga lebih dari setengah hari. Terlebih, putera kecilku ini termasuk anak yang hyperaktif. Menemaninya bermain selama dua jam saja sudah sangat terasa lelahnya.
“Itu, Mbak Pii belikan jajan buat adek,” ucapku sambil melangkah menghampiri Livia yang masih asyik menyusun barang-barang belanjaannya di lantai.
Livia langsung tersenyum. Ia segera bangkit dan mengajak adiknya untuk bermain. Tak lupa, ia memberikan satu buah kotak susu cokelat berukuran kecil.
“Jagain adek, ya! Mama mau masak dulu.”
Livia mengangguk tanda mengerti. Aku pun segera melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Tidak ada menu istimewa malam ini, sama seperti biasanya. Hanya ada seikat kacang panjang pemberian tetangga. Tetangga kerap mengirimkan sayur-mayur ke rumah untuk nenekku. Selain merawat dua anak, aku juga merawat nenekku yang sudah renta. Meski terkadang menyebalkan karena tingkahnya seperti anak kecil, aku tetap menyayanginya sepenuh hati.
Aku menghela napas sambil menatap dua butir telur yang ada di dapur. Tidak ada makanan lain lagi selain telur ini. Aku juga sudah tidak punya uang untuk belanja dapur. Setiap kali anakku meminta sesuatu, aku selalu mendahulukan keinginannya. Tak apa aku menahan kebutuhanku dulu. Karena aku tidak tega melihat anak-anakku bersedih karena tidak bisa beli jajan seperti yang lain.
Pagi tadi, uangku hanya tersisa lima puluh ribu rupiah. Livia merengek minta jajan ke minimarket. Akhirnya, aku pilih menghaniskan uang untuk menyenangkan anakku. Aku hanya berdoa, semoga Allah cepat kembalikan dan aku bisa mendapatkan uang lagi untuk biaya hidup keesokan harinya, entah dari mana saja.
Menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, rasanya sangat berat. Terutama ketika dihadapkan oleh dua pilihan, bekerja atau mengurus rumah. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kedua anakku dan nenekku terlalu lama. Tapi, aku juga tidak bisa berdiam diri di dalam rumah tanpa uang. Bagaimana aku bisa menghidupi mereka semua?
“Ya Allah ... kenapa takdirku begitu berat? Jika memang sudah ini jalannya, maka kuatkanlah aku, ya Allah. Aku tidak minta bebanku diringankan, tapi aku minta Engkau selalu memberikan kekuatan di setiap tahapan ujian kehidupan ini,” batinku sambil menitikan air mata.
Kuraih dua butir telur ayam yang tersisa di dapur hari ini. Tidak ada lagi stok makanan untuk besok. Hari sudah mulai gelap dan aku tidak tahu harus pergi ke mana mencari uang agar anak-anakku tetap bisa makan esok hari.
“Oh, God! Help us!”

Sunday, March 2, 2025

Puisi "Dalam Jengkal" oleh Rin Muna

                                                                DALAM JENGKAL 



Dunia terlalu kejam mencabik-cabik tubuhku yang mungil

Dalam sejengkal, aku ditusuk belati berkali-kali. 

Dalam dua jengkal, aku diiris-iris oleh orang yang kucintai. 



Dalam tiga jengkal, dadaku ditusuk pedang oleh orang yang selalu aku perjuangkan

Dalam empat jengkal, aku dihantam oleh batu-batu yang terlahir dari sebuah pengorbanan. 


Dunia terlalu kejam mencabik-cabik tubuhku yang lemah. 

Dalam lelah, aku dihimpit oleh perkara tanpa kata-kata

Dalam letih, aku diterpa oleh badai tanpa pilih kasih. 

Dalam lelap, aku dihantui oleh neraka tanpa kisah gemerlap. 


Oh, dunia ... 

Kurasa kamu ilusi, tapi sakitnya sampai ke ulu hati. 

Bisakah aku gadaikan waktuku agar kita sering bertemu?



Kutai Kartanegara, 21 Februari 2025


Rin Muna

Wednesday, February 26, 2025

Perfect Hero Bab 178 : Sandiwara || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Buat apa nyari aku? Mau ngajak berantem lagi?” tanya Yuna sambil menatap Refi.

 

Refi tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Yun, aku terlalu lemah buat ngajak kamu berantem. Kamu lihat sendiri, aku bahkan nggak punya kekuatan buat berdiri tegak. Gimana bisa aku ngajak kamu berantem?”

 

Yuna menarik napas, ia mencoba menenangkan perasaannya. Ia tersenyum sambil menatap Refina. “Terus?”

 

“Aku cuma mau minta maaf sama kamu.”

 

“Nggak perlu,” sahut Yuna ketus.

 

“Aku serius, Yun. Aku mau datang ke sini karena mau minta maaf. Setelah ini, aku nggak bakal ganggu hidup kalian lagi.”

 

Yuna tersenyum sambil menatap Refi. “Aku harap, kamu bener-bener bisa berubah. Aku tahu, nggak mudah menghadapi hidup kamu yang kayak gini. Kamu boleh bersandar sama siapa aja. Tapi, jangan sampai kamu ngerusak kebahagiaan orang lain buat dapetin ambisi kamu.”

 

“Yun, aku nggak pengen ngerusak kebahagiaan kalian. Tapi, kamu juga harus tahu kalau aku beneran sayang sama Yeriko. Cuma dia satu-satunya orang yang peduli sama aku selama ini. Please, Yun! Biarin aku sama dia, setidaknya sampai kakiku bener-bener sembuh!” pinta Refi.

 

Yuna menghela napas menatap Refi. “Ref, aku nggak pernah ngelarang Yeriko ketemu sama kamu. Dia sama Chandra udah ngelakuin banyak hal biar kamu bisa sembuh dan kembali ke kehidupan normal kamu. Kamu jangan manfaatin kebaikan Yeri!” pintanya. “Aku nggak akan ngelepasin suamiku!” tegas Yuna.

 

Refi menggigit bibirnya menatap Yuna. “Apa kamu selalu tahu kalau Yeri jenguk aku ke rumah sakit?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Aku yang minta dia buat jenguk kamu. Walau aku nggak suka sama kamu, aku masih punya hati. Aku juga percaya sama Yeri, dia nggak akan ngehianati aku.”

 

“Gimana kalo ternyata dia bohongin kamu?” tanya Refi.

 

“Mmh ... cukup ngasih hukuman kecil.” Yuna mendekatkan bibirnya ke telinga Refi. “Aku suruh dia tidur di luar kamar dan aku pastikan dia nggak akan tahan ngabisin waktu dua puluh empat jam tanpa belaian istrinya,” bisik Yuna di telinga Refi. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan tersenyum manis ke arah Refi.

 

Refi menatap Yuna penuh kebencian. “Kamu sengaja mau manas-manasin aku?”

 

“Oh. Kamu panas?” Yuna mengedarkan pandangannya. “Nanti, aku suruh Yeriko buat nambah AC di sini.” Ia tersenyum ke arah Refi.

 

“Setan kamu, Yun!” maki Refi.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Refi. “Emang harus jadi setan buat ngadepin iblis kayak kamu!” dengus Yuna sambil menjulurkan lidahnya.

 

Refi makin emosi melihat tingkah Yuna. “Aku heran, kenapa Yeriko bisa tergila-gila sama cewek berandal kayak kamu. Kalo dia tahu kelakuan asli kamu, udah pasti dia bakal ninggalin kamu secepatnya.”

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Refi. “Yeriko yang ngajarin aku kayak gini buat ngadepin kamu. So, kamu nggak perlu repot-repot mikirin soal image aku di depan Yeri. Lebih baik, kamu pikirin aja diri kamu sendiri!”

 

Refi menatap Yuna penuh amarah. Ia menatap wajah Yuna dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak akan bisa melawan perkataan Yuna. Satu-satunya cara, adalah membuat dirinya terlihat sangat lemah agar mendapatkan simpati dari banyak orang.

 

Yuna mengernyitkan dahi begitu melihat Refi meneteskan air mata. “Gila, nih cewek!” batin Yuna sambil mendelik ke arah Refi. “Bisa-bisanya dia tiba-tiba nangis kayak gini?” gumam Yuna

 

Yuna mengedarkan pandangannya. Ia khawatir kalau reaksi Refi kali ini akan mengundang banyak pasang mata ke arahnya, terutama mata kamera wartawan yang ada di depan gedung.

 

“Yun, aku tahu kamu benci banget sama aku karena aku suka sama suami kamu. Apa kamu nggak bisa maafin aku dan bersikap baik sama aku?” tanya Refi sambil terisak.

 

“Ref, nggak usah nangis juga kali,” sahut Yuna. “Kamu sengaja mau menarik perhatian banyak orang?”

 

“Aku cuma mau minta maaf sama kamu, Yun. Maafin aku ...”

 

“Iya, aku maafin kamu!” seru Yuna. “Nggak usah nangis lagi!” pinta Yuna sambil berbalik dan melangkah pergi.

 

“Yun!” panggil Refi sambil bangkit dari kursi rodanya dan menahan lengan Yuna.

 

Yuna memutar tubuhnya menatap Refi yang ada di belakangnya.

 

Refi langsung melepas genggaman tangannya dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai.

 

“Ref, kamu nggak papa?” Yuna berjongkok dan langsung meraih pundak Refi untuk membantunya bangkit. “Sini, aku bantu!”

 

Refi langsung menepis kedua tangan Yuna sambil menangis.

 

“Ref ...! Kenapa?”

 

“Aargh ...!” teriak Refi sambil menangis histeris. “Tolong ...!” teriaknya sambil menoleh ke arah pintu gedung.

 

Wartawan yang berkerumun di depan pintu gedung langsung menerobos masuk. Mereka menghampiri Yuna dan Refi. Dengan cepat, mata kamera mereka membidik Yuna dan Refi.

 

Pikiran Yuna seketika kosong begitu melihat segerombolan wartawan dan kamera yang menyorot ke arahnya. Ia langsung bangkit sambil menatap Refi yang masih terisak di lantai.

 

“Yun, aku tahu aku salah. Aku ke sini cuma mau minta maaf karena nggak bisa nurutin permintaan kamu buat ngerahasiain hubungan kita. Kenapa kamu jahat banget sama aku? Aku udah minta maaf  berkali-kali. Kamu masih aja bersikap kasar sama aku,” tutur Refi bersama derai air matanya.

 

“Hah!?” Mulut Yuna menganga tanpa suara. Ia langsung mengedarkan pandangannya dan menatap wartawan yang ada di hadapannya satu per satu. Ia tak menyangka kalau sekarang ia sudah masuk ke dalam perangkap Refi untuk kesekian kalinya.

 

“Kalian lihat sendiri, kan? Dia sering banget ngancam aku. Waktu itu, aku lompat dari gedung memang karena paksaan dari dia. Saat aku mau minta maaf, dia malah mau nyelakain aku lagi,” tutur Refi sambil menatap semua wartawan yang ada di hadapannya.

 

“Apa bener yang diucapkan Mbak Refi?” tanya salah seorang wartawan yang mendapat dukungan dari semua wartawan yang ada di sana.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi pertanyaan wartawan. Ia langsung menatap Refi sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Refi. “Bangun!” pintanya.

 

Refi membuang wajahnya, ia sama sekali tak ingin menyambut uluran tangan Yuna.

 

Yuna tertawa kecil. “Kamu pintar banget kalo akting,” tutur Yuna. Ia menoleh ke arah semua wartawan yang ada di ruangan itu. “Kalian lihat sendiri! Dia yang menolak bantuanku, bukan aku yang nyelakain dia.”

 

 “Bohong! Mana ada maling mau ngaku! Pasti kamu yang udah dorong Refi sampe jatuh!” sahut wartawan yang berdiri di paling belakang.

 

“Dorong? Siapa yang bilang aku dorong Refi? Ref, kamu nggak ada bilang ke mereka juga kan?” tanya Yuna sambil menatap Refi. “Kamu mau ngarang cerita lagi?” sentak Yuna sambil menunjuk pria berkacamata yang ada di paling belakang.

 

“Aku nggak ngarang. Aku bisa lihat dari luar kalo kamu dorong Refi sampe jatuh.”

 

Yuna langsung menatap pria berkacamata yang meneriaki dirinya. “Emangnya kamu punya bukti?” tanya Yuna. “Jelas-jelas dia yang jatuhin dirinya sendiri ke lantai,” jelasnya. Ia menatap Refi yang masih duduk di lantai. “Ref, jelasin ke mereka!” pinta Yuna.

 

“Apa bener yang diucapkan Mbak Yuna?” tanya salah seorang wartawan sambil mengarahkan kameranya ke wajah Refi.

 

“Hiks ... hiks ... Sebenarnya ... dia emang dorong aku. Tapi, dia ngancam buat nggak ngasih tahu siapa pun. Di sini, nggak ada satu orang pun yang percaya sama aku,” jelas Refi terisak.

 

“Kamu!?” Yuna geram menatap wajah Refi. “Mau kamu apa sih, Ref? Aku sama suamiku udah baik banget sama kamu. Kamu malah kayak gini ke aku?”

 

 “Huu ... mana ada penjahat mau ngaku!” seru pria berkacamata yang ada di barisan belakang.

 

“Diam kamu!” sahut Yuna sambil menunjuk wajah pria itu. “Kamu kira, aku nggak tahu siapa kamu? Kamu sengaja berkomplot sama Refi buat jatuhin aku di depan semua orang kan? Deny Kaswara? Kamu juga yang ikut andil dalam konspirasi buatan Refi.”

 

“Kamu jangan nuduh sembarangan tanpa bukti!” sahut Deny yang ada di balik kerumunan wartawan.

 

“Aku punya banyak bukti. Kita lihat aja nanti!” sahut Yuna.

 

Deny menerobos kerumunan wartawan dan langsung berhadapan dengan Yuna. “Bukti apa yang kamu punya? Keluarin sekarang juga kalo emang punya!” Ia menantang Yuna.

 

“Kami akan keluarin buktinya saat konferensi pers kalo kamu masih cari masalah sama kami,” tutur Yeriko yang tiba-tiba muncul dan langsung menghampiri Yuna.

 

Yuna tersenyum ke arah suaminya.

 

Yeriko melingkarkan lengannya ke pinggang Yuna sambil menatap Refi yang masih duduk di lantai. “Bangun, Ref! Akting kamu cukup sampe sini!” pinta Yeriko.

 

Refi mengepal tangan sambil menatap Yuna dan Yeriko yang ada di hadapannya. Ia memukul lantai dan berusaha bangkit.

 

Yuna bergerak ingin membantu Refi bangkit, namun tangan Yeriko menahannya.

 

“Dia udah bisa bangun sendiri,” tutur Yeriko.

 

“Tapi ...” Yuna tetap saja mengkhawatirkan keadaan Refi.

 

Yeriko menunjuk Refi dengan dagunya. Benar saja, Refi sudah bisa bangkit sendiri dan kembali duduk di kursi roda.

 

Yuna tersenyum senang melihat perkembangan kaki Refi. Ia berharap Refi bisa sembuh secepatnya dan berhenti menempel pada Yeriko.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus. Baca juga karyaku yang lain ...

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Perfect Hero Bab 177 : Gelisah || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Van, ikut kami ya!” ajak Yeriko saat ia melangkah menuruni anak tangga bersama Yuna dan Irvan.

 

“Nggak bisa, Yer. Aku masih ada job lain.”

 

“Sibuk banget ya? Pegawai kamu banyak. Suruh mereka tangani!”

 

“Mmh ...” Irvan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

“Kenapa?”

 

“Gimana ya, Yer? Aku nggak bisa ninggalin klienku kali ini. Dia minta aku langsung yang ngerias dia. Apalagi, lokasinya lumayan jauh.”

 

“Ah, sudahlah. Kamu urus kerjaanmu aja!” pinta Yeriko. “Kasih asistenmu satu orang buat dateng ke kantorku!” pinta Yeriko. “Kamu tahu kalo istriku nggak pandai dandan. Aku mau, penampilannya tetap terjaga.”

 

“Nggak usah kali, Yer,” sahut Yuna. “Make up aku bagus-bagus aja, kok. Bakal tahan lama sampe sore.”

 

Yeriko memerhatikan detail wajah Yuna. “Aku nggak yakin.”

 

“Kamu nggak yakin sama hasil karya Irvan?” sahut Yuna.

 

“Bukan itu. Aku nggak yakin sama kamunya.”

 

Yuna memonyongkan bibirnya.

 

“Ayo, kita berangkat!” Yeriko merangkul pinggang Yuna, membawanya masuk ke dalam mobil.

 

“Jalan, Yan!” perintah Yeriko pada Riyan yang duduk di belakang kemudi.

 

Riyan mengangguk dan bergegas melajukan mobilnya menuju gedung kantor Galaxy Group.

 

Yuna menarik napas beberapa kali. Ia teringat beberapa waktu lalu saat wartawan mengejarnya di depan kantor Wijaya Group. Ia sangat takut dengan banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya, juga banyak mata kamera yang membidik wajahnya.

 

Yeriko menyadari kegelisahan yang ada dalam hati Yuna. Ia langsung menggenggam tangan Yuna yang dingin. “Jangan khawatir!” pintanya.

 

Yuna tersenyum kecut sambil menatap Yeriko. “Aku takut,” ucap Yuna lirih.

 

Yeriko langsung memeluk tubuh Yuna. “Nggak ada yang perlu ditakutkan. Ini cuma konferensi pers.”

 

Yuna tersenyum. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Yeriko.

 

“Yan, Ibu udah berangkat?”

 

“Udah sampai duluan, Pak Bos,” jawab Riyan.

 

“Hati-hati, Yan!” seru Yuna saat sebuah mobil melaju kencang dari arah persimpangan dan bersiap menghantam mobilnya.

 

“Aaargh ...!” Yuna berteriak sambil menutup matanya.

 

Riyan langsung membanting setir menghindari tabrakan dengan mobil Jeep yang nyaris menabrak badan mobilnya.

 

CIIIT ...!

 

Ban mobil Yeriko berdecit saat Riyan tiba-tiba menginjak rem mobilnya.

 

Yeriko memeluk erat tubuh Yuna agar tak terbentur. “Kamu nggak papa?” tanya Yeriko.

 

Yuna membuka mata dan menatap wajah Yeriko. “Nggak papa.” Ia mengedarkan pandangannya ke luar jendela. 

 

“Hati-hati, Yan!” perintah Yeriko.

 

Riyan mengangguk. Ia menjalankan mobilnya perlahan. “Pak Bos, apa perlu nambah orang untuk keamanan?”

 

“Orang Mama udah berapa?”

 

“Sepuluh.”

 

“Cukup. Security kantor hari ini masuk semua kan?”

 

Riyan menganggukan kepala. Ia kembali melajukan mobilnya menuju kantor Galaxy Group.

 

Yuna langsung mencengkeram paha Yeriko saat melihat banyak wartawan berkerumun di depan kantor suaminya. “Banyak banget orangnya?”

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Nggak usah khawatir!”

 

Riyan tidak menjalankan mobilnya ke depan pintu masuk gedung. Ia memutar lewat pintu belakang gedung sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan kepadanya.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam, perlahan ia keluar dari mobil dan memasuki kantor beriringan dengan langkah Yeriko.

 

“Mama di mana?” tanya Yuna.

 

“Tuh!” Yeriko menunjuk Rullyta dengan dagunya.

 

Yuna langsung menghampiri Rullyta yang sedang berbincang dengan Kepala Departemen Humas.

 

“Pagi, Ma!” sapa Yuna. Ia langsung menyalami tangan Rullyta.

 

“Pagi ...!” balas Rullyta langsung bersalaman pipi dengan Yuna. “Gimana? Udah siap?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum.

 

“Rileks ya, jangan tegang kayak gitu wajahnya!” pinta Rullyta.

 

“Kelihatan kalo aku tegang?” tanya Yuna.

 

Rullyta mengangguk. “Santai ya!” pinta Rullyta sambil menggenggam pundak Yuna.

 

“Mmh ... aku nggak terbiasa di depan kamera. Apalagi, disorot wartawan sebanyak itu, Ma.”

 

“Kamu harus membiasakan diri!”

 

“Hah!?”

 

“Yun, kamu istrinya direktur di perusahaan ini. Kamu harus percaya diri. Ini baru awal. Suatu hari, kamu bakal sering berbicara di depan orang banyak menemani Yeri. Mama percaya sama kamu.”

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

Yeriko tersenyum menatap dua wanita yang ada di hadapannya. “Aku mau naik dulu, kamu mau ikut?” tanyanya sambil menatap Yuna.

 

“Nggak usah. Aku di sini aja sama Mama.”

 

“Oke.” Yeriko bergegas melangkahkan kakinya menuju lift untuk mencapai ruang kerjanya yang berada di lantai paling atas.

 

“Ma, si Refi udah datang?” tanya Yuna.

 

“Mama belum tahu. Mama juga baru sampai.”

 

Yuna memaksa bibirnya untuk tersenyum.

 

“Mbak, silakan istirahat di dalam ruangan!” Salah seorang karyawan menunjuk ruang kerja yang tak jauh dari tempat Yuna dan Rullyta berdiri.

 

“Istirahatlah dulu! Mama mau lihat persiapan di depan,” perintah Rullyta.

 

Yuna mengangguk. Ia menatap pintu ruangan bertuliskan PR Manager. Ia langsung masuk ke dalam ruangan tersebut dan duduk di sofa. Di lantai dasar gedung kantor Galaxy Group memang diisi oleh staff PR (Public Relation) atau Departemen Humas dan bagian pelayanan yang menangani tujuh belas anak perusahaan dan empat puluh outlet penjualan yang tersebar di seluruh Indonesia.

 

“Huft, ternyata jadi istri orang kaya raya memang cukup melelahkan. Rasanya, pengen balik ke zaman sekolah. Walau banyak tugas, aku cuma perlu bertanggung jawab sama diriku sendiri” celetuk Yuna.

 

“Eh, Nyonya Direktur di sini?” Salah seorang pria tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

“Saya Manager Humas di sini.”

 

“Oh. Ini ruangan Bapak? Maaf, saya nyelonong masuk.”

 

“Ah, semua ruangan yang ada di sini milik Nyonya Ye. Lagipula, di ruangan ini memang bebas untuk siapa saja keluar masuk.”

 

“Oh. Gitu ya?”

 

Manager tersebut mengangguk

 

 Ia meraih map di atas meja. “Istirahatlah dulu! Konferensi pers kita mulai setengah jam lagi,” tutur manager tersebut sambil melangkah keluar dari ruangannya.

 

“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.

 

Tok ... tok ... tok ...!

 

Yuna langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka. Ia menatap seorang wanita dengan setelan rapi berdiri di depan pintu.

 

“Permisi, Nyonya. Ada orang yang nyari Nyonya.”

 

“Siapa?”

 

“Nggak tahu, Nyonya. Orangnya nunggu di depan.”

 

“Oke.” Yuna bangkit dari sofa dan melangkah mengikuti pegawai tersebut.

 

Pegawai tersebut menghampiri seorang wanita cantik yang duduk di kursi roda. Dari kejauhan, Yuna sudah bisa mengenali wanita yang ada di kursi roda tersebut.

 

Yuna melangkah perlahan mendekati Refi yang sedang duduk di kursi roda. Pandangannya tertuju pada sekelompok wartawan yang berkerumun di depan gedung.

 

“Hai ...!” sapa Refi sambil tersenyum manis ke arah Yuna. Ia terlihat sangat tenang menghadapi Yuna yang berdiri di hadapannya.

 

Yuna memaksa bibirnya untuk tersenyum ke arah Refi. Senyuman di wajah Refi penuh tanda tanya. Ia tidak bisa membedakan senyuman tulus dan niat buruk yang akan dilakukan Refi pada konferensi pers kali ini.

 

“Apa kabar, Nyonya Ye?” sapa Refi sambil menatap Yuna.

 

“Baik.” Yuna tersenyum. Matanya masih saja tertuju pada sekelompok wartawan yang berkerumun di depan kantor.

 

Refi tersenyum. Ia bisa menangkap kegelisahan yang ada dalam diri Yuna. Ia ikut melirik ke luar, bibirnya menyunggingkan senyum sambil menatap Yuna. Ia memerhatikan gaun mewah yang dikenakan oleh Yuna.

 

Kemewahan yang didapat oleh Yuna, membuatnya semakin kesal dan murka setiap kali menatap wajah Yuna. Sementara, ia sengaja membuat penampilannya berantakan agar berhasil menarik simpati banyak orang.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

Perfect Hero Bab 176 : Persiapan Konferensi Pers || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yer, di bawah ada apa sih? Kok, ribut banget?” tanya Yuna yang masih enggan membuka mata.

 

“Nggak tahu,” jawab Yeriko yang masih setengah sadar dari mimpinya.

 

“Ini jam berapa?” tanya Yuna lagi.

 

Yeriko mengangkat kepala, memicingkan mata menatap jam dinding yang ada di kamarnya. “Masih jam empat subuh. Tidur lagi! Aku masih ngantuk.”

 

“Aku juga masih ngantuk,” sahut Yuna dengan suara melayang.

 

Tok ... tok ... tok ...!

 

“Ini masih pagi banget. Kenapa udah ada yang ngetok pintu kamar kita?” gumam Yuna.

 

“Buka pintunya! Aku masih ngantuk.” Yeriko berbalik membelakangi Yuna.

 

“Aku juga masih ngantuk,” sahut Yuna. Ia memaksa diri mengangkat tubuhnya dan bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah perlahan menuju pintu sambil mengucek matanya. Ia langsung membuka pintu kamarnya.

 

“Halo ...!” sapa seorang pria yang sudah berdiri di depan pintu kamar.

 

Yuna langsung melebarkan pandangannya. Ia mengucek matanya beberapa kali. “Irvan!?” serunya. “Ngapain pagi-pagi ke sini?”

 

“Siapa?” tanya Yeriko saat mendengar teriakan Yuna.

 

“Irvan,” jawab Yuna.

 

Yeriko mengangkat tubuhnya sambil menatap ke arah pintu. “Van, ngapain sih pagi-pagi udah ganggu orang? Lagi enak-enaknya kelonan.”

 

Irvan tertawa kecil. “Sorry ...! Bu Rully yang nyuruh aku ke sini pagi-pagi. Suruh dandanin Mbak Yuna. Katanya, mau ada konferensi pers gitu ya?”

 

Yuna langsung mengernyitkan dahi menatap Irvan. “Mama Rully? Emangnya mau konferensi pers harus pake make up artis segala ya?”

 

“Harus, dong! Biar kelihatan cantik dan mengagumkan di depan kamera.”

 

Yeriko turun dari tempat tidur. Ia melangkah mendekati pintu. “Urus, Van!” pintanya sambil menepuk bahu Irvan. Ia keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang kerjanya.

 

“Kamu mau ke mana?” seru Yuna sambil menatap punggung suaminya.

 

“Lanjut tidur,” jawabnya santai. Ia bergegas masuk ke ruang kerja yang tak jauh dari kamarnya dan berbaring di sofa.

 

Yuna mengernyitkan dahi. “Enak banget, malah tidur lagi,” celetuknya.

 

“Udah, biarin aja! Laki-laki mah santai. Nggak perlu dandan berjam-jam kayak perempuan.” Irvan masuk ke dalam kamar Yuna.

 

“Ayo, bawa masuk semua!” pinta Irvan pada dua orang asistennya.

 

Dua asisten Irvan langsung menyeret koper dan masuk ke dalam kamar Yuna.

 

Yuna merebahkan tubuhnya ke atas kasur. “Van, bisa nggak kalo dandaninnya jam enam aja? Aku masih ngantuk banget.”

 

“Nggak bisa. Harus perawatan tubuh full biar seger waktu acara nanti. Rania sama Sinta yang bakal ngerawat kamu. Aku turun dulu!”

 

“Mmh .. dipijit?”

 

“Iya.”

 

“Baguslah. Aku bisa sambil tidur,” sahut Yuna. “Lama-lama aja di bawah!” seru Yuna sambil menatap punggung Irvan yang melangkah keluar dari kamarnya. “Kopi buatan Bibi War enak banget,” tambahnya sambil tertawa senang.

 

“Mbak, kita mulai sekarang ya?”

 

“Lama atau nggak nih?” tanya Yuna pada dua asisten Irvan.

 

“Satu setengah jam. Sisa waktunya, Mas Irvan yang make up.”

 

“Oh. Oke.”

 

Dua asisten Irvan memasang matras di atas tempat tidur Yuna.

 

“Di bawah aja!” pinta Yuna sambil menunjuk lantai.

 

Dua asisten tersebut mengangguk dan menurunkan matras tersebut ke lantai.

 

“Bisa ngomel sampe setahun suamiku kalo tempat tidurnya dikotorin,” celetuk Yuna.

 

“Maaf, Mba.”

 

“Udah, nggak papa.” Yuna langsung turun dari tempat tidur dan melepas pakaiannya. Ia langsung menelungkupkan tubuhnya di atas matras kecil yang dibawa oleh Irvan untuknya.

 

“Kita lulur sambil pijat dulu ya, Mbak.”

 

Yuna mengangguk. “Yang enak mijatnya!” pintanya. “Ntar aku kasih bonus kalo pijatan kamu enak.”

 

“He-em.” Rania menganggukkan kepala. “Sin, kamu siapin airnya buat berendam ya!”

 

Sinta mengangguk. Ia bergegas masuk ke kamar mandi dan menyiapkan peralatannya untuk memandikan Yuna.

 

Yuna menenggelamkan wajahnya ke bantal yang ada di bawahnya. Pijatan-pijatan kecil dari tangan Rania, membuatnya kembali terlarut dalam mimpi.

 

“Mbak, Mbak Yuna!” panggil Rania lirih di telinga Yuna.

 

“Hmm ...”

 

“Sudah selesai, Mbak. Waktunya berendam.”

 

Yuna mengangkat dan meliukkan tubuhnya. Ia menggulung kain yang menyelimuti tubuhnya dan berjalan menuju kamar mandi. Aroma segar dari bunga-bungaan menyeruak ke seluruh ruang kamar mandinya.

 

“Wangi banget!” tutur Yuna. Ia langsung melangkah masuk dan berendam di dalam bathtub.

 

“Mbak, laper atau nggak?” tanya Sinta.

 

Yuna menggeleng dan menyandarkan kepalanya.

 

“Haus?”

 

Yuna mengangguk.

 

“Aku ambilkan minum dulu. Mbak Yuna mau minum apa?”

 

“Apa aja.”

 

Sinta mengangguk dan bergegas keluar dari kamar mandi. Ia langsung turun ke dapur.

 

“Bi, Mbak Yuna biasanya minum apa?”

 

“Oh. Mijatnya udah?”

 

Sinta mengangguk. “Sekarang lagi berendam.”

 

“Kasih cokelat hangat atau susu aja, Sin,” sahut Irvan yang sedang duduk di meja makan.

 

Sinta mengangguk.

 

“Biar Bibi aja yang siapin buat Mbak Yuna. Kamu temenin Mbak Yuna aja di atas. Nanti, Bibi antar ke atas.”

 

“Nggak papa, Bi. Ada Rania di atas.”

 

“Oh. Kamu tunggu dulu! Biar Bibi yang buatkan minum buat Mbak Yuna.”

 

Sinta mengangguk. Ia memerhatikan Bibi War yang sedang membuatkan cokelat hangat untuk Yuna.

 

“Ini, kasih ke Mbak Yuna!” Bibi War menyodorkan nampan berisi segelas cokelat hangat dan beberapa potong buah-buahan segar di atas piring.

 

Sinta mengangguk. “Makasih, Bi!”

 

Bibi War mengangguk.

 

Sinta bergegas naik ke kamar Yuna dan langsung membawa nampan tersebut ke hadapan Yuna.

 

“Mmh ... Mbak!” panggil Sinta lirih karena Yuna menyandarkan kepala sambil memejamkan matanya.

 

Yuna langsung membuka mata dan menatap Sinta. “Ya.”

 

“Ini, minuman dan cemilan yang disiapin sama Bibi.”

 

“Oke. Makasih, ya!” Yuna mengambil gelas dari nampan dan meminumnya. “Taruh aja di situ! Nanti aku makan,” pinta Yuna sambil menunjuk meja kecil yang ada di samping bathtub.

 

Sinta mengangguk dan bergegas keluar dari kamar mandi.

 

Usai berendam dan membersihkan tubuhnya. Yuna akhirnya duduk di meja rias bersama Irvan yang sudah ada di dalam kamarnya.

 

“Baju kamu cantik banget! Pasti mahal ya?” tanya Irvan sambil memakaikan Hairdresser Cape Gown  ke tubuh Yuna.

 

Yuna tersenyum kecil. “Nggak juga, kok.”

 

“Huu ... nggak juga, tapi harganya jutaan.”

 

“Nggak tahu kalo soal harga.”

 

“Dibeliin Yeri?”

 

Yuna mengangguk.

 

“Dia itu emang suami idaman. Kalo aku jadi cewek, udah aku kejar-kejar tuh dia,” celetuk Irvan sambil mengeluarkan peralatan tempurnya untuk mengubah wajah Yuna menjadi lebih memesona.

 

“Untungnya kamu bukan cewek,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.

 

“Biar cowok, kalo Yeriko mau, aku juga mau.”

 

“Apa!?” Yuna langsung memutar kepalanya menatap Irvan.

 

“Bercanda. Kamu serius banget,” sahut Irvan. “Duduk yang bagus! Ntar make up-nya berantakan!” perintah Irvan.

 

Yuna memonyongkan bibirnya, ia kembali menatap wajahnya di cermin.

 

“Jangan cemberut kayak gitu! Jelek tahu!” seru Irvan. “Aku nggak mau make-up kalo kamu masih kayak gini.”

 

“Iya. Iya. Cepet make up-nya. Ntar kamu godain suamiku pula,” sahut Yuna.

 

“Nggak, Mbak Yuna yang cantik. Aku cuma bercanda.” Irvan mulai merias wajah Yuna dengan serius.

 

“Van ...!”

 

Irvan tak menyahut panggilan Yuna.

 

“Mas Irvan!” seru Yuna.

 

“Eh!? Kenapa?”

 

“Mmh ... apa bener, di luar sana banyak cewek yang suka sama Yeriko?”

 

Irvan mengangguk. “Siapa sih cewek yang nggak mau punya pasangan kayak Yeriko? Semua juga mau, kali. Udah ganteng, kaya raya pula.”

 

Yuna memonyongkan bibirnya mendengar pendapat Irvan.

 

“Kamu harusnya senang, dong. Dari jutaan cewek di dunia ini, Yeriko milih kamu sebagai istri. Pasti nggak mudah ya dapetin hatinya dia? Walau ganteng, dia itu dingin dan sombong banget.”

 

“Tahu dari mana?”

 

“Mmh ... aku ini make-up artist. Banyak model yang aku kenal. Mereka semua ngincar suami kamu. Tapi ... mereka bilang, Yeriko terlalu dingin dan nggak mudah buat ditaklukan.”

 

“Oh ya?” Yuna merasa sangat bahagia karena ia berhasil mendapatkan hati Yeriko dengan mudah.

 

“Masih lama, Van?” tanya Yeriko sambil bersandar di bibir pintu kamarnya.

 

Irvan dan Yuna langsung menoleh ke arah pintu. “Lumayan. Kenapa?”

 

“Nggak papa.” Yeriko melangkah perlahan memasuki kamarnya. “Aku mau mandi.”

 

“Kamu mau pakai jas yang mana?” tanya Yuna sambil menatap Yeriko yang akan masuk ke dalam kamar mandi.

 

“Sesuaikan aja!” pintanya.

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia sudah menyiapkan kemeja hitam dan jas warna maroon untuk Yeriko, agar senada dengan warna mawar yang ada pada gaun yang ia kenakan. “Van, pakai itu serasi nggak sama gaunku?” tanya Yuna sambil menunjuk pakaian Yeriko yang telah ia siapkan.

 

Irvan mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

Yuna langsung tersenyum riang menanggapi reaksi Irvan yang begitu baik.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas