Menu BacaanMu
- Akrostik (40)
- Artikel (44)
- Belajar Bahasa Inggris (2)
- Belajar Nulis (34)
- Berita (2)
- Biografi (1)
- Cerpen (62)
- Daily (23)
- Dongeng (1)
- Ekonomi & Bisnis (1)
- English Course (2)
- Esai (1)
- Fashion (3)
- Fizzo (2)
- Kegiatan (1)
- Kenapa Bercerai? (2)
- Kompetisi Menulis (8)
- Kuliner (3)
- Literature (1)
- Materi Nulis (14)
- My Experience (81)
- Novel MLB (81)
- Novel ILY Ustadz (4)
- Novel The Cakra (5)
- Novelme (1)
- Opini (4)
- Pendidikan (2)
- Perfect Hero (178)
- Prestasi (1)
- Puisi (157)
- Ranting Ranti (5)
- Review Aplikasi (2)
- Review Drama (16)
- Review Novel (21)
- Rumah Literasi Kreatif (82)
- Sastra (1)
- Social and Humanity (4)
- Wisata (7)
Monday, March 10, 2025
Sunday, March 2, 2025
Puisi "Dalam Jengkal" oleh Rin Muna
DALAM JENGKAL
Dunia terlalu kejam mencabik-cabik tubuhku yang mungil
Dalam sejengkal, aku ditusuk belati berkali-kali.
Dalam dua jengkal, aku diiris-iris oleh orang yang kucintai.
Dalam tiga jengkal, dadaku ditusuk pedang oleh orang yang selalu aku perjuangkan
Dalam empat jengkal, aku dihantam oleh batu-batu yang terlahir dari sebuah pengorbanan.
Dunia terlalu kejam mencabik-cabik tubuhku yang lemah.
Dalam lelah, aku dihimpit oleh perkara tanpa kata-kata
Dalam letih, aku diterpa oleh badai tanpa pilih kasih.
Dalam lelap, aku dihantui oleh neraka tanpa kisah gemerlap.
Oh, dunia ...
Kurasa kamu ilusi, tapi sakitnya sampai ke ulu hati.
Bisakah aku gadaikan waktuku agar kita sering bertemu?
Kutai Kartanegara, 21 Februari 2025
Rin Muna
Wednesday, February 26, 2025
Perfect Hero Bab 178 : Sandiwara || a Romance Novel by Vella Nine
“Buat apa nyari aku? Mau ngajak berantem lagi?” tanya Yuna
sambil menatap Refi.
Refi tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Yun, aku
terlalu lemah buat ngajak kamu berantem. Kamu lihat sendiri, aku bahkan nggak
punya kekuatan buat berdiri tegak. Gimana bisa aku ngajak kamu berantem?”
Yuna menarik napas, ia mencoba menenangkan perasaannya. Ia
tersenyum sambil menatap Refina. “Terus?”
“Aku cuma mau minta maaf sama kamu.”
“Nggak perlu,” sahut Yuna ketus.
“Aku serius, Yun. Aku mau datang ke sini karena mau minta
maaf. Setelah ini, aku nggak bakal ganggu hidup kalian lagi.”
Yuna tersenyum sambil menatap Refi. “Aku harap, kamu
bener-bener bisa berubah. Aku tahu, nggak mudah menghadapi hidup kamu yang
kayak gini. Kamu boleh bersandar sama siapa aja. Tapi, jangan sampai kamu
ngerusak kebahagiaan orang lain buat dapetin ambisi kamu.”
“Yun, aku nggak pengen ngerusak kebahagiaan kalian. Tapi,
kamu juga harus tahu kalau aku beneran sayang sama Yeriko. Cuma dia
satu-satunya orang yang peduli sama aku selama ini. Please, Yun! Biarin aku
sama dia, setidaknya sampai kakiku bener-bener sembuh!” pinta Refi.
Yuna menghela napas menatap Refi. “Ref, aku nggak pernah
ngelarang Yeriko ketemu sama kamu. Dia sama Chandra udah ngelakuin banyak hal
biar kamu bisa sembuh dan kembali ke kehidupan normal kamu. Kamu jangan
manfaatin kebaikan Yeri!” pintanya. “Aku nggak akan ngelepasin suamiku!” tegas
Yuna.
Refi menggigit bibirnya menatap Yuna. “Apa kamu selalu tahu
kalau Yeri jenguk aku ke rumah sakit?”
Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Aku yang minta dia buat
jenguk kamu. Walau aku nggak suka sama kamu, aku masih punya hati. Aku juga
percaya sama Yeri, dia nggak akan ngehianati aku.”
“Gimana kalo ternyata dia bohongin kamu?” tanya Refi.
“Mmh ... cukup ngasih hukuman kecil.” Yuna mendekatkan
bibirnya ke telinga Refi. “Aku suruh dia tidur di luar kamar dan aku pastikan
dia nggak akan tahan ngabisin waktu dua puluh empat jam tanpa belaian
istrinya,” bisik Yuna di telinga Refi. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan
tersenyum manis ke arah Refi.
Refi menatap Yuna penuh kebencian. “Kamu sengaja mau
manas-manasin aku?”
“Oh. Kamu panas?” Yuna mengedarkan pandangannya. “Nanti,
aku suruh Yeriko buat nambah AC di sini.” Ia tersenyum ke arah Refi.
“Setan kamu, Yun!” maki Refi.
Yuna tersenyum kecil menatap Refi. “Emang harus jadi setan
buat ngadepin iblis kayak kamu!” dengus Yuna sambil menjulurkan lidahnya.
Refi makin emosi melihat tingkah Yuna. “Aku heran, kenapa
Yeriko bisa tergila-gila sama cewek berandal kayak kamu. Kalo dia tahu kelakuan
asli kamu, udah pasti dia bakal ninggalin kamu secepatnya.”
Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Refi. “Yeriko yang
ngajarin aku kayak gini buat ngadepin kamu. So, kamu nggak perlu repot-repot
mikirin soal image aku di depan Yeri. Lebih baik, kamu pikirin aja diri kamu
sendiri!”
Refi menatap Yuna penuh amarah. Ia menatap wajah Yuna
dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak akan bisa melawan perkataan Yuna.
Satu-satunya cara, adalah membuat dirinya terlihat sangat lemah agar
mendapatkan simpati dari banyak orang.
Yuna mengernyitkan dahi begitu melihat Refi meneteskan air
mata. “Gila, nih cewek!” batin Yuna sambil mendelik ke arah Refi. “Bisa-bisanya
dia tiba-tiba nangis kayak gini?” gumam Yuna
Yuna mengedarkan pandangannya. Ia khawatir kalau reaksi
Refi kali ini akan mengundang banyak pasang mata ke arahnya, terutama mata
kamera wartawan yang ada di depan gedung.
“Yun, aku tahu kamu benci banget sama aku karena aku suka
sama suami kamu. Apa kamu nggak bisa maafin aku dan bersikap baik sama aku?”
tanya Refi sambil terisak.
“Ref, nggak usah nangis juga kali,” sahut Yuna. “Kamu
sengaja mau menarik perhatian banyak orang?”
“Aku cuma mau minta maaf sama kamu, Yun. Maafin aku ...”
“Iya, aku maafin kamu!” seru Yuna. “Nggak usah nangis
lagi!” pinta Yuna sambil berbalik dan melangkah pergi.
“Yun!” panggil Refi sambil bangkit dari kursi rodanya dan
menahan lengan Yuna.
Yuna memutar tubuhnya menatap Refi yang ada di belakangnya.
Refi langsung melepas genggaman tangannya dan menjatuhkan
tubuhnya ke lantai.
“Ref, kamu nggak papa?” Yuna berjongkok dan langsung meraih
pundak Refi untuk membantunya bangkit. “Sini, aku bantu!”
Refi langsung menepis kedua tangan Yuna sambil menangis.
“Ref ...! Kenapa?”
“Aargh ...!” teriak Refi sambil menangis histeris. “Tolong
...!” teriaknya sambil menoleh ke arah pintu gedung.
Wartawan yang berkerumun di depan pintu gedung langsung
menerobos masuk. Mereka menghampiri Yuna dan Refi. Dengan cepat, mata kamera
mereka membidik Yuna dan Refi.
Pikiran Yuna seketika kosong begitu melihat segerombolan
wartawan dan kamera yang menyorot ke arahnya. Ia langsung bangkit sambil
menatap Refi yang masih terisak di lantai.
“Yun, aku tahu aku salah. Aku ke sini cuma mau minta maaf
karena nggak bisa nurutin permintaan kamu buat ngerahasiain hubungan kita.
Kenapa kamu jahat banget sama aku? Aku udah minta maaf berkali-kali. Kamu
masih aja bersikap kasar sama aku,” tutur Refi bersama derai air matanya.
“Hah!?” Mulut Yuna menganga tanpa suara. Ia langsung
mengedarkan pandangannya dan menatap wartawan yang ada di hadapannya satu per
satu. Ia tak menyangka kalau sekarang ia sudah masuk ke dalam perangkap Refi
untuk kesekian kalinya.
“Kalian lihat sendiri, kan? Dia sering banget ngancam aku.
Waktu itu, aku lompat dari gedung memang karena paksaan dari dia. Saat aku mau
minta maaf, dia malah mau nyelakain aku lagi,” tutur Refi sambil menatap semua
wartawan yang ada di hadapannya.
“Apa bener yang diucapkan Mbak Refi?” tanya salah seorang
wartawan yang mendapat dukungan dari semua wartawan yang ada di sana.
Yuna tertawa kecil menanggapi pertanyaan wartawan. Ia
langsung menatap Refi sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Refi. “Bangun!”
pintanya.
Refi membuang wajahnya, ia sama sekali tak ingin menyambut
uluran tangan Yuna.
Yuna tertawa kecil. “Kamu pintar banget kalo akting,” tutur
Yuna. Ia menoleh ke arah semua wartawan yang ada di ruangan itu. “Kalian lihat
sendiri! Dia yang menolak bantuanku, bukan aku yang nyelakain dia.”
“Bohong! Mana ada maling mau ngaku! Pasti kamu yang
udah dorong Refi sampe jatuh!” sahut wartawan yang berdiri di paling belakang.
“Dorong? Siapa yang bilang aku dorong Refi? Ref, kamu nggak
ada bilang ke mereka juga kan?” tanya Yuna sambil menatap Refi. “Kamu mau
ngarang cerita lagi?” sentak Yuna sambil menunjuk pria berkacamata yang ada di
paling belakang.
“Aku nggak ngarang. Aku bisa lihat dari luar kalo kamu
dorong Refi sampe jatuh.”
Yuna langsung menatap pria berkacamata yang meneriaki
dirinya. “Emangnya kamu punya bukti?” tanya Yuna. “Jelas-jelas dia yang jatuhin
dirinya sendiri ke lantai,” jelasnya. Ia menatap Refi yang masih duduk di
lantai. “Ref, jelasin ke mereka!” pinta Yuna.
“Apa bener yang diucapkan Mbak Yuna?” tanya salah seorang
wartawan sambil mengarahkan kameranya ke wajah Refi.
“Hiks ... hiks ... Sebenarnya ... dia emang dorong aku.
Tapi, dia ngancam buat nggak ngasih tahu siapa pun. Di sini, nggak ada satu
orang pun yang percaya sama aku,” jelas Refi terisak.
“Kamu!?” Yuna geram menatap wajah Refi. “Mau kamu apa sih,
Ref? Aku sama suamiku udah baik banget sama kamu. Kamu malah kayak gini ke
aku?”
“Huu ... mana ada penjahat mau ngaku!” seru pria
berkacamata yang ada di barisan belakang.
“Diam kamu!” sahut Yuna sambil menunjuk wajah pria itu.
“Kamu kira, aku nggak tahu siapa kamu? Kamu sengaja berkomplot sama Refi buat
jatuhin aku di depan semua orang kan? Deny Kaswara? Kamu juga yang ikut andil
dalam konspirasi buatan Refi.”
“Kamu jangan nuduh sembarangan tanpa bukti!” sahut Deny
yang ada di balik kerumunan wartawan.
“Aku punya banyak bukti. Kita lihat aja nanti!” sahut Yuna.
Deny menerobos kerumunan wartawan dan langsung berhadapan
dengan Yuna. “Bukti apa yang kamu punya? Keluarin sekarang juga kalo emang
punya!” Ia menantang Yuna.
“Kami akan keluarin buktinya saat konferensi pers kalo kamu
masih cari masalah sama kami,” tutur Yeriko yang tiba-tiba muncul dan langsung menghampiri
Yuna.
Yuna tersenyum ke arah suaminya.
Yeriko melingkarkan lengannya ke pinggang Yuna sambil
menatap Refi yang masih duduk di lantai. “Bangun, Ref! Akting kamu cukup sampe
sini!” pinta Yeriko.
Refi mengepal tangan sambil menatap Yuna dan Yeriko yang
ada di hadapannya. Ia memukul lantai dan berusaha bangkit.
Yuna bergerak ingin membantu Refi bangkit, namun tangan
Yeriko menahannya.
“Dia udah bisa bangun sendiri,” tutur Yeriko.
“Tapi ...” Yuna tetap saja mengkhawatirkan keadaan Refi.
Yeriko menunjuk Refi dengan dagunya. Benar saja, Refi sudah
bisa bangkit sendiri dan kembali duduk di kursi roda.
Yuna tersenyum senang melihat perkembangan kaki Refi. Ia
berharap Refi bisa sembuh secepatnya dan berhenti menempel pada Yeriko.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus. Baca juga
karyaku yang lain ...
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
Perfect Hero Bab 177 : Gelisah || a Romance Novel by Vella Nine
“Van,
ikut kami ya!” ajak Yeriko saat ia melangkah menuruni anak tangga bersama Yuna
dan Irvan.
“Nggak
bisa, Yer. Aku masih ada job lain.”
“Sibuk
banget ya? Pegawai kamu banyak. Suruh mereka tangani!”
“Mmh
...” Irvan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kenapa?”
“Gimana
ya, Yer? Aku nggak bisa ninggalin klienku kali ini. Dia minta aku langsung yang
ngerias dia. Apalagi, lokasinya lumayan jauh.”
“Ah,
sudahlah. Kamu urus kerjaanmu aja!” pinta Yeriko. “Kasih asistenmu satu orang
buat dateng ke kantorku!” pinta Yeriko. “Kamu tahu kalo istriku nggak pandai
dandan. Aku mau, penampilannya tetap terjaga.”
“Nggak
usah kali, Yer,” sahut Yuna. “Make up aku bagus-bagus aja, kok. Bakal tahan
lama sampe sore.”
Yeriko
memerhatikan detail wajah Yuna. “Aku nggak yakin.”
“Kamu
nggak yakin sama hasil karya Irvan?” sahut Yuna.
“Bukan
itu. Aku nggak yakin sama kamunya.”
Yuna
memonyongkan bibirnya.
“Ayo,
kita berangkat!” Yeriko merangkul pinggang Yuna, membawanya masuk ke dalam
mobil.
“Jalan,
Yan!” perintah Yeriko pada Riyan yang duduk di belakang kemudi.
Riyan
mengangguk dan bergegas melajukan mobilnya menuju gedung kantor Galaxy Group.
Yuna
menarik napas beberapa kali. Ia teringat beberapa waktu lalu saat wartawan
mengejarnya di depan kantor Wijaya Group. Ia sangat takut dengan banyak
pertanyaan yang diajukan kepadanya, juga banyak mata kamera yang membidik
wajahnya.
Yeriko
menyadari kegelisahan yang ada dalam hati Yuna. Ia langsung menggenggam tangan
Yuna yang dingin. “Jangan khawatir!” pintanya.
Yuna
tersenyum kecut sambil menatap Yeriko. “Aku takut,” ucap Yuna lirih.
Yeriko
langsung memeluk tubuh Yuna. “Nggak ada yang perlu ditakutkan. Ini cuma
konferensi pers.”
Yuna
tersenyum. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Yeriko.
“Yan,
Ibu udah berangkat?”
“Udah
sampai duluan, Pak Bos,” jawab Riyan.
“Hati-hati,
Yan!” seru Yuna saat sebuah mobil melaju kencang dari arah persimpangan dan
bersiap menghantam mobilnya.
“Aaargh
...!” Yuna berteriak sambil menutup matanya.
Riyan
langsung membanting setir menghindari tabrakan dengan mobil Jeep yang nyaris
menabrak badan mobilnya.
CIIIT
...!
Ban
mobil Yeriko berdecit saat Riyan tiba-tiba menginjak rem mobilnya.
Yeriko
memeluk erat tubuh Yuna agar tak terbentur. “Kamu nggak papa?” tanya Yeriko.
Yuna
membuka mata dan menatap wajah Yeriko. “Nggak papa.” Ia mengedarkan
pandangannya ke luar jendela.
“Hati-hati,
Yan!” perintah Yeriko.
Riyan
mengangguk. Ia menjalankan mobilnya perlahan. “Pak Bos, apa perlu nambah orang
untuk keamanan?”
“Orang
Mama udah berapa?”
“Sepuluh.”
“Cukup.
Security kantor hari ini masuk semua kan?”
Riyan
menganggukan kepala. Ia kembali melajukan mobilnya menuju kantor Galaxy Group.
Yuna
langsung mencengkeram paha Yeriko saat melihat banyak wartawan berkerumun di
depan kantor suaminya. “Banyak banget orangnya?”
Yeriko
tersenyum menatap Yuna. “Nggak usah khawatir!”
Riyan
tidak menjalankan mobilnya ke depan pintu masuk gedung. Ia memutar lewat pintu
belakang gedung sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan kepadanya.
Yuna
menarik napas dalam-dalam, perlahan ia keluar dari mobil dan memasuki kantor
beriringan dengan langkah Yeriko.
“Mama
di mana?” tanya Yuna.
“Tuh!”
Yeriko menunjuk Rullyta dengan dagunya.
Yuna
langsung menghampiri Rullyta yang sedang berbincang dengan Kepala Departemen
Humas.
“Pagi,
Ma!” sapa Yuna. Ia langsung menyalami tangan Rullyta.
“Pagi
...!” balas Rullyta langsung bersalaman pipi dengan Yuna. “Gimana? Udah siap?”
Yuna
mengangguk sambil tersenyum.
“Rileks
ya, jangan tegang kayak gitu wajahnya!” pinta Rullyta.
“Kelihatan
kalo aku tegang?” tanya Yuna.
Rullyta
mengangguk. “Santai ya!” pinta Rullyta sambil menggenggam pundak Yuna.
“Mmh
... aku nggak terbiasa di depan kamera. Apalagi, disorot wartawan sebanyak itu,
Ma.”
“Kamu
harus membiasakan diri!”
“Hah!?”
“Yun,
kamu istrinya direktur di perusahaan ini. Kamu harus percaya diri. Ini baru
awal. Suatu hari, kamu bakal sering berbicara di depan orang banyak menemani
Yeri. Mama percaya sama kamu.”
Yuna
tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Yeriko
tersenyum menatap dua wanita yang ada di hadapannya. “Aku mau naik dulu, kamu
mau ikut?” tanyanya sambil menatap Yuna.
“Nggak
usah. Aku di sini aja sama Mama.”
“Oke.”
Yeriko bergegas melangkahkan kakinya menuju lift untuk mencapai ruang kerjanya
yang berada di lantai paling atas.
“Ma,
si Refi udah datang?” tanya Yuna.
“Mama
belum tahu. Mama juga baru sampai.”
Yuna
memaksa bibirnya untuk tersenyum.
“Mbak,
silakan istirahat di dalam ruangan!” Salah seorang karyawan menunjuk ruang
kerja yang tak jauh dari tempat Yuna dan Rullyta berdiri.
“Istirahatlah
dulu! Mama mau lihat persiapan di depan,” perintah Rullyta.
Yuna
mengangguk. Ia menatap pintu ruangan bertuliskan PR Manager. Ia langsung masuk
ke dalam ruangan tersebut dan duduk di sofa. Di lantai dasar gedung kantor
Galaxy Group memang diisi oleh staff PR (Public Relation) atau Departemen Humas
dan bagian pelayanan yang menangani tujuh belas anak perusahaan dan empat puluh
outlet penjualan yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Huft,
ternyata jadi istri orang kaya raya memang cukup melelahkan. Rasanya, pengen
balik ke zaman sekolah. Walau banyak tugas, aku cuma perlu bertanggung jawab
sama diriku sendiri” celetuk Yuna.
“Eh,
Nyonya Direktur di sini?” Salah seorang pria tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.
Yuna
tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Saya
Manager Humas di sini.”
“Oh.
Ini ruangan Bapak? Maaf, saya nyelonong masuk.”
“Ah,
semua ruangan yang ada di sini milik Nyonya Ye. Lagipula, di ruangan ini memang
bebas untuk siapa saja keluar masuk.”
“Oh.
Gitu ya?”
Manager
tersebut mengangguk
Ia
meraih map di atas meja. “Istirahatlah dulu! Konferensi pers kita mulai
setengah jam lagi,” tutur manager tersebut sambil melangkah keluar dari
ruangannya.
“He-em.”
Yuna menganggukkan kepala.
Tok
... tok ... tok ...!
Yuna
langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka. Ia menatap seorang wanita dengan
setelan rapi berdiri di depan pintu.
“Permisi,
Nyonya. Ada orang yang nyari Nyonya.”
“Siapa?”
“Nggak
tahu, Nyonya. Orangnya nunggu di depan.”
“Oke.”
Yuna bangkit dari sofa dan melangkah mengikuti pegawai tersebut.
Pegawai
tersebut menghampiri seorang wanita cantik yang duduk di kursi roda. Dari
kejauhan, Yuna sudah bisa mengenali wanita yang ada di kursi roda tersebut.
Yuna
melangkah perlahan mendekati Refi yang sedang duduk di kursi roda. Pandangannya
tertuju pada sekelompok wartawan yang berkerumun di depan gedung.
“Hai
...!” sapa Refi sambil tersenyum manis ke arah Yuna. Ia terlihat sangat tenang
menghadapi Yuna yang berdiri di hadapannya.
Yuna
memaksa bibirnya untuk tersenyum ke arah Refi. Senyuman di wajah Refi penuh
tanda tanya. Ia tidak bisa membedakan senyuman tulus dan niat buruk yang akan
dilakukan Refi pada konferensi pers kali ini.
“Apa
kabar, Nyonya Ye?” sapa Refi sambil menatap Yuna.
“Baik.”
Yuna tersenyum. Matanya masih saja tertuju pada sekelompok wartawan yang
berkerumun di depan kantor.
Refi
tersenyum. Ia bisa menangkap kegelisahan yang ada dalam diri Yuna. Ia ikut
melirik ke luar, bibirnya menyunggingkan senyum sambil menatap Yuna. Ia
memerhatikan gaun mewah yang dikenakan oleh Yuna.
Kemewahan
yang didapat oleh Yuna, membuatnya semakin kesal dan murka setiap kali menatap
wajah Yuna. Sementara, ia sengaja membuat penampilannya berantakan agar
berhasil menarik simpati banyak orang.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
Perfect Hero Bab 176 : Persiapan Konferensi Pers || a Romance Novel by Vella Nine
“Yer,
di bawah ada apa sih? Kok, ribut banget?” tanya Yuna yang masih enggan membuka
mata.
“Nggak
tahu,” jawab Yeriko yang masih setengah sadar dari mimpinya.
“Ini
jam berapa?” tanya Yuna lagi.
Yeriko
mengangkat kepala, memicingkan mata menatap jam dinding yang ada di kamarnya.
“Masih jam empat subuh. Tidur lagi! Aku masih ngantuk.”
“Aku
juga masih ngantuk,” sahut Yuna dengan suara melayang.
Tok
... tok ... tok ...!
“Ini
masih pagi banget. Kenapa udah ada yang ngetok pintu kamar kita?” gumam Yuna.
“Buka
pintunya! Aku masih ngantuk.” Yeriko berbalik membelakangi Yuna.
“Aku
juga masih ngantuk,” sahut Yuna. Ia memaksa diri mengangkat tubuhnya dan
bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah perlahan menuju pintu sambil mengucek
matanya. Ia langsung membuka pintu kamarnya.
“Halo
...!” sapa seorang pria yang sudah berdiri di depan pintu kamar.
Yuna
langsung melebarkan pandangannya. Ia mengucek matanya beberapa kali. “Irvan!?”
serunya. “Ngapain pagi-pagi ke sini?”
“Siapa?”
tanya Yeriko saat mendengar teriakan Yuna.
“Irvan,”
jawab Yuna.
Yeriko
mengangkat tubuhnya sambil menatap ke arah pintu. “Van, ngapain sih pagi-pagi
udah ganggu orang? Lagi enak-enaknya kelonan.”
Irvan
tertawa kecil. “Sorry ...! Bu Rully yang nyuruh aku ke sini pagi-pagi. Suruh
dandanin Mbak Yuna. Katanya, mau ada konferensi pers gitu ya?”
Yuna
langsung mengernyitkan dahi menatap Irvan. “Mama Rully? Emangnya mau konferensi
pers harus pake make up artis segala ya?”
“Harus,
dong! Biar kelihatan cantik dan mengagumkan di depan kamera.”
Yeriko
turun dari tempat tidur. Ia melangkah mendekati pintu. “Urus, Van!” pintanya
sambil menepuk bahu Irvan. Ia keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang
kerjanya.
“Kamu
mau ke mana?” seru Yuna sambil menatap punggung suaminya.
“Lanjut
tidur,” jawabnya santai. Ia bergegas masuk ke ruang kerja yang tak jauh dari
kamarnya dan berbaring di sofa.
Yuna
mengernyitkan dahi. “Enak banget, malah tidur lagi,” celetuknya.
“Udah,
biarin aja! Laki-laki mah santai. Nggak perlu dandan berjam-jam kayak
perempuan.” Irvan masuk ke dalam kamar Yuna.
“Ayo,
bawa masuk semua!” pinta Irvan pada dua orang asistennya.
Dua
asisten Irvan langsung menyeret koper dan masuk ke dalam kamar Yuna.
Yuna
merebahkan tubuhnya ke atas kasur. “Van, bisa nggak kalo dandaninnya jam enam
aja? Aku masih ngantuk banget.”
“Nggak
bisa. Harus perawatan tubuh full biar seger waktu acara nanti. Rania sama Sinta
yang bakal ngerawat kamu. Aku turun dulu!”
“Mmh
.. dipijit?”
“Iya.”
“Baguslah.
Aku bisa sambil tidur,” sahut Yuna. “Lama-lama aja di bawah!” seru Yuna sambil
menatap punggung Irvan yang melangkah keluar dari kamarnya. “Kopi buatan Bibi
War enak banget,” tambahnya sambil tertawa senang.
“Mbak,
kita mulai sekarang ya?”
“Lama
atau nggak nih?” tanya Yuna pada dua asisten Irvan.
“Satu
setengah jam. Sisa waktunya, Mas Irvan yang make up.”
“Oh.
Oke.”
Dua
asisten Irvan memasang matras di atas tempat tidur Yuna.
“Di
bawah aja!” pinta Yuna sambil menunjuk lantai.
Dua
asisten tersebut mengangguk dan menurunkan matras tersebut ke lantai.
“Bisa
ngomel sampe setahun suamiku kalo tempat tidurnya dikotorin,” celetuk Yuna.
“Maaf,
Mba.”
“Udah,
nggak papa.” Yuna langsung turun dari tempat tidur dan melepas pakaiannya. Ia
langsung menelungkupkan tubuhnya di atas matras kecil yang dibawa oleh Irvan
untuknya.
“Kita
lulur sambil pijat dulu ya, Mbak.”
Yuna
mengangguk. “Yang enak mijatnya!” pintanya. “Ntar aku kasih bonus kalo pijatan
kamu enak.”
“He-em.”
Rania menganggukkan kepala. “Sin, kamu siapin airnya buat berendam ya!”
Sinta
mengangguk. Ia bergegas masuk ke kamar mandi dan menyiapkan peralatannya untuk
memandikan Yuna.
Yuna
menenggelamkan wajahnya ke bantal yang ada di bawahnya. Pijatan-pijatan kecil
dari tangan Rania, membuatnya kembali terlarut dalam mimpi.
“Mbak,
Mbak Yuna!” panggil Rania lirih di telinga Yuna.
“Hmm
...”
“Sudah
selesai, Mbak. Waktunya berendam.”
Yuna
mengangkat dan meliukkan tubuhnya. Ia menggulung kain yang menyelimuti tubuhnya
dan berjalan menuju kamar mandi. Aroma segar dari bunga-bungaan menyeruak ke
seluruh ruang kamar mandinya.
“Wangi
banget!” tutur Yuna. Ia langsung melangkah masuk dan berendam di dalam bathtub.
“Mbak,
laper atau nggak?” tanya Sinta.
Yuna
menggeleng dan menyandarkan kepalanya.
“Haus?”
Yuna
mengangguk.
“Aku
ambilkan minum dulu. Mbak Yuna mau minum apa?”
“Apa
aja.”
Sinta
mengangguk dan bergegas keluar dari kamar mandi. Ia langsung turun ke dapur.
“Bi,
Mbak Yuna biasanya minum apa?”
“Oh.
Mijatnya udah?”
Sinta
mengangguk. “Sekarang lagi berendam.”
“Kasih
cokelat hangat atau susu aja, Sin,” sahut Irvan yang sedang duduk di meja
makan.
Sinta
mengangguk.
“Biar
Bibi aja yang siapin buat Mbak Yuna. Kamu temenin Mbak Yuna aja di atas. Nanti,
Bibi antar ke atas.”
“Nggak
papa, Bi. Ada Rania di atas.”
“Oh.
Kamu tunggu dulu! Biar Bibi yang buatkan minum buat Mbak Yuna.”
Sinta
mengangguk. Ia memerhatikan Bibi War yang sedang membuatkan cokelat hangat
untuk Yuna.
“Ini,
kasih ke Mbak Yuna!” Bibi War menyodorkan nampan berisi segelas cokelat hangat
dan beberapa potong buah-buahan segar di atas piring.
Sinta
mengangguk. “Makasih, Bi!”
Bibi
War mengangguk.
Sinta
bergegas naik ke kamar Yuna dan langsung membawa nampan tersebut ke hadapan
Yuna.
“Mmh
... Mbak!” panggil Sinta lirih karena Yuna menyandarkan kepala sambil
memejamkan matanya.
Yuna
langsung membuka mata dan menatap Sinta. “Ya.”
“Ini,
minuman dan cemilan yang disiapin sama Bibi.”
“Oke.
Makasih, ya!” Yuna mengambil gelas dari nampan dan meminumnya. “Taruh aja di
situ! Nanti aku makan,” pinta Yuna sambil menunjuk meja kecil yang ada di
samping bathtub.
Sinta
mengangguk dan bergegas keluar dari kamar mandi.
Usai
berendam dan membersihkan tubuhnya. Yuna akhirnya duduk di meja rias bersama
Irvan yang sudah ada di dalam kamarnya.
“Baju
kamu cantik banget! Pasti mahal ya?” tanya Irvan sambil memakaikan Hairdresser
Cape Gown ke tubuh Yuna.
Yuna
tersenyum kecil. “Nggak juga, kok.”
“Huu
... nggak juga, tapi harganya jutaan.”
“Nggak
tahu kalo soal harga.”
“Dibeliin
Yeri?”
Yuna
mengangguk.
“Dia
itu emang suami idaman. Kalo aku jadi cewek, udah aku kejar-kejar tuh dia,”
celetuk Irvan sambil mengeluarkan peralatan tempurnya untuk mengubah wajah Yuna
menjadi lebih memesona.
“Untungnya
kamu bukan cewek,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.
“Biar
cowok, kalo Yeriko mau, aku juga mau.”
“Apa!?”
Yuna langsung memutar kepalanya menatap Irvan.
“Bercanda.
Kamu serius banget,” sahut Irvan. “Duduk yang bagus! Ntar make up-nya
berantakan!” perintah Irvan.
Yuna
memonyongkan bibirnya, ia kembali menatap wajahnya di cermin.
“Jangan
cemberut kayak gitu! Jelek tahu!” seru Irvan. “Aku nggak mau make-up kalo kamu
masih kayak gini.”
“Iya.
Iya. Cepet make up-nya. Ntar kamu godain suamiku pula,” sahut Yuna.
“Nggak,
Mbak Yuna yang cantik. Aku cuma bercanda.” Irvan mulai merias wajah Yuna dengan
serius.
“Van
...!”
Irvan
tak menyahut panggilan Yuna.
“Mas
Irvan!” seru Yuna.
“Eh!?
Kenapa?”
“Mmh
... apa bener, di luar sana banyak cewek yang suka sama Yeriko?”
Irvan
mengangguk. “Siapa sih cewek yang nggak mau punya pasangan kayak Yeriko? Semua
juga mau, kali. Udah ganteng, kaya raya pula.”
Yuna
memonyongkan bibirnya mendengar pendapat Irvan.
“Kamu
harusnya senang, dong. Dari jutaan cewek di dunia ini, Yeriko milih kamu
sebagai istri. Pasti nggak mudah ya dapetin hatinya dia? Walau ganteng, dia itu
dingin dan sombong banget.”
“Tahu
dari mana?”
“Mmh
... aku ini make-up artist. Banyak model yang aku kenal. Mereka semua ngincar
suami kamu. Tapi ... mereka bilang, Yeriko terlalu dingin dan nggak mudah buat
ditaklukan.”
“Oh
ya?” Yuna merasa sangat bahagia karena ia berhasil mendapatkan hati Yeriko
dengan mudah.
“Masih
lama, Van?” tanya Yeriko sambil bersandar di bibir pintu kamarnya.
Irvan
dan Yuna langsung menoleh ke arah pintu. “Lumayan. Kenapa?”
“Nggak
papa.” Yeriko melangkah perlahan memasuki kamarnya. “Aku mau mandi.”
“Kamu
mau pakai jas yang mana?” tanya Yuna sambil menatap Yeriko yang akan masuk ke
dalam kamar mandi.
“Sesuaikan
aja!” pintanya.
Yuna
mengangguk sambil tersenyum. Ia sudah menyiapkan kemeja hitam dan jas warna
maroon untuk Yeriko, agar senada dengan warna mawar yang ada pada gaun yang ia
kenakan. “Van, pakai itu serasi nggak sama gaunku?” tanya Yuna sambil menunjuk
pakaian Yeriko yang telah ia siapkan.
Irvan
mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
Yuna langsung tersenyum riang menanggapi reaksi Irvan
yang begitu baik.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus.
Jangan lupa
kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih
seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi