Tuesday, October 29, 2024

Sepanci Bersama



Malam pekat menyelimuti langkahku yang baru saja keluar dari rapat bersama masyarakat desa. Suasana jalan sudah sepi, semua orang sudah bersiap untuk beradu dengan mimpi, bahkan mungkin sudah ada yang menikmati indahnya dunia mimpi.
Biasanya, dua anakku sudah terlelap saat aku pulang ke rumah terlalu larut. Tapi kali ini, dua anakku masih terjaga dari tidur mereka.

Sepertinya, mereka menanti kedatanganku. Karena biasanya aku membawa nasi kotak atau kue sepulang rapat. Mereka jadi terbiasa menantikan oleh-oleh yang aku dapat. Sayangnya, rapat kali ini aku tidak membawa apa-apa untuk mereka. Tapi mereka tidak mempertanyakannya karena mereka juga tidak tahu kepergianku.

Aku sengaja pergi diam-diam. Setiap aku mau pergi rapat, anakku yang paling kecil selalu ingin ikut. Karena sering mengantuk dan rewel, aku lebih nyaman kalau dia di rumah. Bisa tidur nyenyak kapan saja saat ia mengantuk. 

Kehidupanku sebagai seorang single mom, tentunya tidak mudah. Setiap hari harus dihadapkan oleh dilema antara mencari nafkah dan mengurus keluarga.

Seberat apa pun itu, aku tetap berusaha kuat menjalaninya. Setiap kali ingin menyerah, aku selalu teringat kedua pasang mata  milik anak-anakku. Di sana, ada banyak harapan yang mereka sandarkan padaku. Maka, aku tidak boleh menyerah.

"Tumben belum pada tidur?" sapaku. Dua anakku itu langsung bereaksi. Kami berbincang sedikit, kemudian aku pergi ke dapur untuk makan. Sayangnya sudah malam. Tidak ada makanan dan malas untuk masak makanan yang ribet. Jurus andalanku adalah memasak mie instan.

Aku paling suka masak mie kuah dengan banyak potongan bawang merah yang sengaja aku iris besar-besar. Aku juga selalu menambahkan telur setengah matang.
Putraku menolak ketika aku tawari mie. Padahal dia paling suka makan mie dan telur. Sementara puteriku, langsung merebut panci yang kupakai untuk memasak dan memintanya.

Karena waktu sudah malam dan aku malas untuk cuci peralatan makan, aku langsung makan mie di panci seperti Geum JanDi dalam drama korea "Boys Over Flowers".

Aku dan puteriku makan sepanci bersama. Bagiku, ini momen yang langka. Pertama kalinya kami makan bersama dalam suasana malam yang tenang. 

Aku lupa awalnya puteriku mengajak bicara tentang apa. Aku langsung terbawa ke masa lalu dua puluh tujuh tahun silam.

"Mbak, kamu harus bersyukur sama apa yang kamu punya sekarang. Mama bukan orang kaya, tapi selalu berusaha memenuhi kebutuhanmu supaya kamu hidup layak seperti yang lain. Waktu Mama masih seumuran kamu, Mama adalah anak paling miskin di sekolah," ucapku menasehati.

Jarang sekali aku bercerita tentang bagaimana sulitnya hidupku di masa lalu pada puteriku. Sebenarnya, aku tidak ingin menceritakannya, apalagi menuliskannya.

Tapi aku akhirnya tersadar kalau puteriku butuh lebih banyak pelajaran hidup, bukan sekedar ilmu pengetahuan. Aku harus lebih banyak bercerita supaya anak-anakku bisa lebih bersyukur pada apa yang sudah mereka miliki dalam hidupnya. Aku juga harus menuliskannya supaya dia tetap bisa membacanya ketika nanti aku tiada. Supaya bisa jadi pengobat rindu untuknya. 

Dalam pembicaraan kecil kami, aku langsung terbawa oleh suasana  masa lalu saat aku seumuran dia. Aku masih memiliki beberapa ingatan masa kecilku. Mungkin benar kata banyak sastrawan, ingatan kita akan terus terjaga ketika kita banyak membaca buku. 


"Mama nggak punya uang buat sekolah. Orang tua Mama cuma petani. Kalau pas gagal panen, nggak punya uang. Nggak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi buat sekolah. Jadi, Mama dulu sekolahnya nyeker karena nggak punya sepatu. Bawa buku juga pakai kantong kresek karena nggak punya tas," ucapku pada puteriku yang sedang makan bersamaku. 

"Masa, sih, Ma? Terus, kalau kreseknya sobek, gimana?" 

"Bukunya dipegang aja. Nanti ganti kresek baru," jawabku. "Selain itu, Mama juga nggak punya uang buat beli seragam. Mama sekolah pakai seragam bekas punya orang. Paling buluk di sekolah," lanjutku. 

Anakku hanya diam sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Tapi aku tahu kalau dia sedang menyimak. 

"Waktu SD, Mama bisa punya sepatu dan tas karena dapet beasiswa dari sekolah," ucapku sembari mengingat masa-masa itu.  "Mama juga nggak pernah jajan karena nggak punya uang. Mbak harus bersyukur karena bisa beli jajan setiap hari meski Mama tertatih menghidupi kalian."

"Kalau dulu, uang seribu bisa beli jajan apa aja, Ma?" tanya puteriku lagi. 

"Kurang lebih aja sama sekarang," jawabku. 

"Kata Mbah Wedok, kalau zaman dulu itu uang seribu udah dapet jajan banyak."

"Zamannya Mbah Wedok sama zamannya Mama, kan, beda jauh, Mbak," sahutku. 

Puteriku mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat ia tidak berargumen, berarti ia sedang memperhatikan apa yang sedang kubicarakan. 

"Begitu lulus SD, Mama tinggal di panti asuhan. Cuma dikasih uang seratus ribu sama orang tua, harus cukup untuk enam bulan. Setiap hari cuma makan tahutempe sama mie. Mie sepuluh bungkus, harus cukup untuk tiga puluh anak, " jelasku lagi. 

"Emang cukup?" tanya puteriku. 

"Harus dicukup-cukupin. Mama diam-diam kerja jaga warnet kalau pulang sekolah, supaya bisa dapet uang tambahan untuk jajan, keperluan sekolah, alat mandi, dll. Kamu nggak melewati hidup susah seperti Mama. Jadi, harus banyak bersyukur, ya!" ucapku lembut. 

"Kalau Mama lagi nggak ada uang, nggak bisa kasih kamu uang jajan, jangan marah! Kalau Mama ada uang, apa pun yang kamu mau, pasti Mama kasih tanpa kamu harus nangis-nangis atau marah-marah sama Mama. Jadilah anak yang sayang sama orang tua, yang ngerti keadaan orang tuanya. Karena Mama sayang banget sama kamu dan adek. Mama pasti perjuangkan kalian berdua," ucapku lagi. 

Kami terus terlibat dalam banyak pembicaraan hingga mie yang kami makan sudah habis. Aku ingin bisa bicara lebih banyak dengan puteriku agar ia bisa menjadi anak yang lebih bersyukur dan mawas diri. 







0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas