“Ay, lain kali jangan candain
aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda
sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar.
“Aku juga nggak tega lihat kamu
kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah
menatap Nanda.
“Sonny tuh memang minta
disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin
mukanya?”
“Sebentar lagi,” jawab Ayu
sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya.
Nanda tersenyum sembari
menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya.
Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya.
“Nan, aku masih bersih—” Ucapan
Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya
menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan
lengannya ke leher pria itu.
Semakin lama, ciuman Nanda
semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang
tanpa melepas tautan bibirnya.
Desahan lembut mulai keluar
dari bibir Ayu dan tangannya yang halus, menjalar perlahan, masuk ke dalam
kemeja yang dikenakan Nanda dan mengelus lembut punggung pria itu.
Nanda menghentikan ciumannya
sambil meringis menahan nyeri ketika alat vitalnya mulai bereaksi dan menegang.
“Nan, kamu kenapa?” tanya Ayu
sambil menangkup wajah Nanda.
“Agak sakit,” jawab Nanda
sambil melihat ke bagian bawah tubuhnya. Entah bagaimana Ayu melakukannya, ikat
pinggang yang ia kenakan sudah terlepas dan risleting celananya pun sudah
terbuka.
“Sakit?” Ayu mengernyitkan
dahi. “Jangan bilang kalau kamu ...?”
“Sejak kejadian itu ... emang
agak sakit kalau tegang,” jawab Nanda.
“Eh!? Jadi ... kita nggak bisa
...?” Ayu menatap wajah Nanda dengan tatapan kecewa.
Nanda tertawa kecil sambil menatap
wajah Ayu yang ada di bawahnya. “Kamu sudah sangat menginginkannya?”
Ayu menggeleng. “Nggak juga.
Kalau kamu nggak bisa, kita tidur aja! Ini sudah larut malam dan kita juga
sudah sama-sama lelah,” jawabnya sambil berusaha mendorong tubuh Nanda.
Nanda langsung mengunci tubuh Ayu agar tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. “Kalau kamu menginginkannya, aku bisa berikan rasa yang lebih enak dari pertama kali kita melakukannya,” bisiknya di telinga Ayu.
Ayu tersenyum sembari menatap lekat wajah Nanda. Tidak ada hal lain yang mampu membahagiakan baginya saat ini ketika bisa kembali ke tempat yang paling tidak dia inginkan, tapi itulah tempat yang dipilihkan Tuhan untuknya. Ia selalu berusaha menolak setiap keindahan yang sedang dihadirkan, sehingga ia selalu merasakan luka.
Hari ini, ia tahu jika seseorang yang ia cari dan inginkan, tidak akan pernah ada dalam hidupnya. Semua akan indah ketika Tuhan yang memilihkan rumah yang tepat untuknya.
“I love you, Ay. Don’t leave me
again!” bisik Nanda sembari mengecup bibir Ayu dan menjatuhkan tubuhnya di samping wanita itu. Ia
memejamkan mata sembari mengatur napasnya.
Ayu tersenyum sambil memperhatikan wajah Nanda. "Nan, kita sudah melewati banyak hal sulit. Berpisah cukup lama dalam kebencian. Kenapa kamu masih mau hidup dengan wanita yang sudah pernah menghancurkan hidupmu?"
Nanda tersenyum sembari mengelus lembut rambut Ayu. "Karena aku tidak pernah bisa lupa bagaimana caramu menghancurkan hidupku, Ay. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan untuk membalasnya selain membuatmu hidup bersamaku selamanya."
"Maksudmu? Kamu lagi balas dendam ke aku?" tanya Ay dengan kening berkerut.
Nanda mengangguk. "Balas dendam terbaikku adalah mencintaimu selamanya."
"Gombal!" Ayu segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan
berbalik membelakangi Nanda.
Nanda menahan tawa sambil
melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih.
“Ay ...!” panggil Nanda lagi
sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu.
“Aku ngantuk. Mau tidur!” seru
Ayu.
Nanda tertawa kecil dan memeluk tubuh Ayu yang ada di dalam selimut. “Aku rela jadi bodoh asalkan bisa memelukmu seperti ini setiap hari. Asal aku bisa dengarkan omelanmu, bisa mendengar kamu mendebatku dan ... bisa menikmati dengkuranmu setiap malam,” ucapnya sambil tersenyum manis.
“Memangnya aku tidur
mendengkur?” tanya Ayu.
Nanda mengangguk sambil
mengeratkan pelukannya dengan mata terpejam. Ia terus memeluk tubuh Ayu dengan
erat hingga ia terlelap dalam kehangatan bersama wanita itu.
...
Tiga bulan kemudian ...
Sepulang dari kantor, Nanda
melenggang ceria memasuki rumahnya sambil memanggil nama Ayu. “Ay, aku udah
beliin testpack yang kamu pesan. Cepet pake, ya!” Ia meletakkan kantong kresek
ke atas meja dapur.
“Banyak banget? Kamu beli
testpack atau beli keripik?” Ayu menaikkan alis saat membuka kantong tersebut
dan mendapati ada banyak testpack di dalamnya.
“Biar akurat aja hasilnya kalau
testpack-nya banyak, Ay. Kali aja ada yang error.”
Ayu menghela napas sambil
menatap serius ke arah Nanda. “Satu aja cukup kali, Nan. Selebihnya, bisa
periksa ke dokter. Itu lebih akurat. Kayak gini namanya pemborosan!”
“Jadi, gimana? Aku jual lagi
testpack-nya?” tanya Nanda.
Ayu memutar kepala sambil
menarik kantong kresek tersebut. “Siapa yang mau beli testpack?” Ia segera mematikan
kompor dan masuk ke dalam kamar mandi.
Nanda tertawa kecil sambil
mengikuti langkah Ayu. Ia berdiri di sebelah pintu kamar mandi, menunggu hasil
testpack yang sudah dibawa masuk oleh Ayu.
“Ay, udah, belum? Lama banget?”
seru Nanda sambil menatap daun pintu kamar mandi.
“Gimana nggak lama kalau kamu
belikan testpack sebanyak ini?” sahut Ayu berseru.
“Pakai satu aja, Ay!”
“Lain kali, kamu belinya juga
satu! Nggak usah buang-buang duit!” seru Ayu.
“Siap, Ibu Bendahara!” sahut
Nanda sambil tersenyum. Ia tidak sabar menunggu Ayu keluar dan sangat berharap
kalau istrinya itu bisa segera hamil. Kali ini, ia benar-benar merasa bahagia
jika bisa menjadi seorang ayah sungguhan. Ia berjanji, tidak akan
menyia-nyiakan anaknya seperti bagaimana Axel Noah saat berada dalam kandungan
Ayu.
Ia benar-benar menyesal karena
ia tidak pernah bisa menghargai apa yang sudah ia miliki di masa lalu. Jika
waktu bisa kembali, ia ingin kembali ke titik di mana ia pertama kali mengenal
Ayu dan menjatuhkan hatinya ke tempat terdalam yang ada di dalam diri Ayu.
Sebab, cinta itu bukan melulu soal gengsi dan minder. Tapi tentang sebuah
keberanian melawan keputusan semua orang yang menganggapnya bersalah, padahal
itu adalah jalan terbaik yang ia pilih.
((Bersambung ...))
0 komentar:
Post a Comment